Senin, 06 Maret 2023

Para Pemikir : Abad ke-20 (3)

"Tiga ekor tikus sedang duduk, ngécap soal kehebatan mereka. Tikus pertama berkata, 'Perangkap tikus mah, kagak ada apa-apanya! Palangnya aja, gua pake buat push-up.'
Tikus kedua mengeluarkan pil dari sakunya, menelannya, dan berkata sambil menyeringai, 'Yang gua telan tadi, racun tikus.'
Tikus ketiga berdiri hendak pergi. Tikus pertama berkata, 'Mau kemana loe?'
'Waktunya pulang, balik aaah!' kata tikus ketiga. 'Ngapain?' kata Tikus kedua.
Seraya ngeloyor pergi, tikus ketiga berkata, 'Ngejar kucing!'"

Swara melanjutkan, 'Latar belakang kelima, hal yang mempengaruhi tradisi filosofis, menurut Baggini, dan ini, terutama di Barat, adalah Penalaran Sekuler. Di satu sisi, menurutnya berdaya-guna, di sisi lain, masih perlu 'ditantang' [tampaknya, ia menggunakan kata ini, guna membantah dengan halus, kebenaran atau validitasnya]. Ia memulai dengan, 'Panthéon di Paris, sering dipandang sebagai simbol kebangkitan akal, dan runtuhnya agama di Barat. Dibangun oleh arsitek hebat, Soufflot, sebagai basilika Kristen, hampir setahun setelah selesai pada tahun 1791, diubah oleh kaum revolusioner Prancis menjadi monumen bagi lelaki dan perempuan hebat Prancis. Sisa-sisa antiklerik Voltaire, dipindahkan ke sana akhir tahun itu, diikuti oleh banyak orang lainnya, termasuk Jean-Jacques Rousseau pada tahun 1794. Gereja digulingkan, dirampas oleh Kuil Sekuler.
Makna sebenarnya dari Panthéon, diwujudkan dalam demonstrasi ilmiah yang berlangsung enam puluh tujuh meter di bawah kubahnya, kata Baggini. Pada tahun 1851, fisikawan Léon Foucault menangguhkan pemberat dari kawat yang dipasang di bagian bawah kubah. Di lantai di bawahnya, ada sebuah lingkaran yang dibagi seperti jam matahari menjadi jam, masing-masing angka terpisah 11,3 derajat. Pendulum dilepas mulai berayun dari posisi berapapun waktunya. Sepanjang hari, ayunan pendulum tampak bergerak sepanjang dial, seolah-olah ayunannya perlahan-lahan bergeser searah jarum jam. Padahal, pendulum sama sekali tak mengubah sudut ayunannya. Yang bergerak adalah bumi di bawahnya. Rotasi bumi, yang biasanya tak terlihat, menjadi terlihat.
Pendulum Foucault menangkap semangat Pencerahan dan budaya filosofis yang lebih luas darimana ia muncul, yang dicirikan oleh sekularitas yang tak memerlukan penolakan terhadap semua agama. Sebaliknya, ia membutuhkan dukungan dari kekuatan tanpa bantuan intelek manusia. Di kuil ini, umat manusialah, bukan Tuhan, yang didahulukan.'
Baggini melanjutkan, 'Aku menyebutnya sebuah keyakinan pada kekuatan penalaran sekuler. Inilah apa yang didukung oleh hampir semua aliran filsafat Barat modern, secara implisit atau eksplisit, dan lebih menyatukan mereka lebih dalam dibanding perbedaan yang memisahkan mereka. Penalaran sekuler dibangun di atas batu fondasi filsafat Yunani kuno, yang mengembangkan logika sebagai disiplin yang mandiri, tak bergantung pada wawasan, kitab suci, atau otoritas. Dalam pandangan dunia ini, alam dapat diteliti dan operasinya dapat dijelaskan oleh hukum yang tak memerlukan asumsi agen ilahi.
Keyakinan pada kekuatan penalaran sekuler, terletak di balik keyakinan bahwa tiada misteri manusia yang tak dapat ditembus oleh Sains. Antara 1990 dan 2003, the Human Genome Project memetakan DNA lengkap kita. Baik the Human Brain Project maupun the Human Connectome Project, berusaha menyediakan peta otak yang lengkap, membuka kunci mekanisme di balik segala yang kita pikirkan, alami, dan rasakan. Ilmu Fisika mencari ‘theory of everything' yang lengkap, yang menurut fisikawan Stephen Hawking, bakalan membuat kita 'mengetahui pikiran Tuhan'. Pada abad kedua puluh satu, kita menciptakan manusia baru dari tiga orangtua, memodifikasi organisme secara genetis, melihat bagaimana menciptakan kehidupan dari materi lembam, mencoba membekukan orang mati guna menghidupkannya kembali di masa depan, dan mulai membiakkan daging di laboratorium.
Penalaran sekuler, kata Baggini, merupakan salah satu alasan mengapa Barat mengatasi batasan ini guna memimpin dunia dalam Sains selama berabad-abad. Sains modern merupakan anak dari Barat, lahir pada tahun 1620, ketika Francis Bacon menetapkan prinsip-prinsip dasarnya dalam tulisannya Novum Organum. Masyarakat lain, juga memiliki sumber daya material untuk menopang penelitian ilmiah, sehingga kekayaan nasional saja, tak dapat menjelaskan kemajuan Barat. Memang, selama berabad-abad, sebagian besar Cina lebih kaya daripada Barat. Perbedaannya, harus dijelaskan, setidaknya sebagian, karena sifat pikiran Barat, yang hanya dapat dipahami dengan baik dalam cahaya filsafat Barat.
Validitas penalaran sekuler diasumsikan secara luas di Barat, baik bagi orang yang punya keyakinan agama maupun tidak. Ilmuwan yang paling taat beragama mempercayai bukti dan eksperimen, serta tak pernah mencari terobosan ilmiah melalui wahyu ilahi, papar Baggini. Standar pembuktian dan probabilitas bersifat publik dan dapat dinilai oleh semua orang. Semua pikiran manusia mampu memahami realitas. Tiada tempat bagi para resi dalam penalaran sekuler. Pula, tiada penekanan pada batasan-batasan tentang apa yang dapat dipahami oleh pikiran manusia, seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah Timur. Meskipun pemikiran Cina sebagian besar sekuler, misalnya, umumnya membatasi diri pada pertanyaan hidup dan agnostik tentang sifat realitas tertinggi. Penalaran sekuler Barat, bertujuan tak kurang dari deskripsi lengkap tentang kosmos dan cara kerjanya. Agar memberikan nalar mandiri manusia, peran yang begitu kuat secara historis, merupakan pengecualian daripada norma.
Penalaran sekuler lahir di Yunani kuno, namun berabad-abad berlalu sebelum menjadi pola pikir standar Barat. Sampai akhir Abad Pertengahan, Kekristenan merupakan pusat gravitasi bagi semua pembelajaran. Beasiswa sebagian besar alkitabiah dan terbatas pada biara-biara serta seluruh filsafat, harus sesuai dengan ajaran Gereja, dengan risiko ekskomunikasi atau bahkan kematian. Namun, secara bertahap, melalui Renaisans dan khususnya ke Pencerahan abad ketujuh belas-delapan belas, filsafat menjadi lebih otonom dari teologi. Sains—yang kemudian disebut filsafat alam—mengutamakan eksperimen dan observasi atas kitab suci dan keyakinan. Bentuk penalaran sekuler yang muncul ini, tak secara inheren bertentangan dengan agama, hanya terlepas darinya. Banyak filsuf zaman ini, yang religius dan percaya bahwa penalaran sekuler akan dan hanya dapat meneguhkan ajaran Gereja. Alkitab dibaca sebagai teologi, bukan sebagai sains atau bahkan selalu sebagai sejarah.

Selama kehamilannya yang panjang, penalaran sekuler, bersayap dua. Salah satunya, empiris, menganalisis dunia itu sendiri dan mendasarkan kesimpulan pada pengamatan yang cermat. Empiris secara luas ilmiah dalam penalarannya. Sayap lainnya, rasionalis, melihat alasan apa saja yang menuntut dan menganggap dunia harus menyesuaikan diri dengannya. Rasionalis dikarikaturkan sebagai 'armchair thinkers’[Armchair theorizing, armchair philosophizing, atau armchair scholarship, merupakan pendekatan guna memberikan perkembangan baru di bidang yang tak melibatkan penelitian utama dan pengumpulan informasi baru—melainkan analisis atau sintesis pengetahuan yang ada, dan istilah ini biasanya bermakna peyoratif], namun berimplikasi bahwa mereka tak perlu keluar dan mempelajari bagaimana dunia sebenarnya bekerja cukup akurat.
Sangat menggoda bila terlalu menekankan perbedaan ini sebagai absolut, membagi filsuf Barat menjadi empiris (Aristoteles, Locke, Berkeley, Hume) dan rasionalis (Plato, Descartes, Spinoza, Leibniz), dan memang, begitu banyak buku teks mengukir kanonnya. Ada beberapa pemahaman dalam hal ini. Secara khusus, tampaknya ada perbedaan mendasar antara mereka yang percaya bahwa mungkin menemukan kebenaran tentang cara dunia ini, hanya dengan akal, tanpa mengacu pada pengalaman, dan mereka yang percaya bahwa akal murni, cuma dapat memberi tahu kita tentang matematika abstrak. dan hubungan antar konsep, dan bahwa seluruh ilmu tentang dunia nyata, harus berakar pada pengalaman. Nama teknis bagi kedua jenis ilmu ini, mengungkapkan perbedaan ini dengan rapi: ilmu dapat diperoleh dari sebelum-mengalami (a priori) atau setelah-mengalami (a posteriori).
Perbedaan antara pendekatan rasionalis dan empiris, kata Baggini, nyata dan penting. Namun, akan menyesatkan bila mengira bahwa pembagian itu jelas. Apa yang disebut rasionalis, menggunakan banyak data pengalaman, dan apa yang disebut empirisis, menarik prinsip-prinsip logika dan argumen yang dibangun dengan dalil bukan pengamatan. Lebih baik memikirkan spektrum empiris-rasionalis, dengan filsuf yang berbeda memberi bobot lebih pada observasi dan penalaran masing-masing.
Meninjau sejarah filsafat Barat, empirisme mengalami peningkatan yang lambat, namun tak merata, dan rasionalisme mengalami penurunan yang serupa. Pada hari-hari awal filsafat Barat, metode empiris tak melampaui pengamatan sehari-hari. Bentuk paling awal Sains, tak lebih dari 'armchair speculation,' dengan Thales mengusulkan bahwa segala sesuatu terbuat dari air dan Democritus menyatakan bahwa segala sesuatu, terdiri dari atom-atom diskrit. Belakangan, banyak filsuf terus melihat peran penting penalaran a priori bahkan ketika mereka menganut metode empiris. Demikian pula, beberapa filsuf paling rasionalis menghabiskan banyak waktu guna penyelidikan empiris. Descartes, misalnya, seorang peneliti yang rajin membedah bangkai, Leibniz menulis tentang kimia, kedokteran, botani, geologi dan teknologi, sementara Spinoza, tak semata sebagai penggiling lensa, namun pula pelopor dalam hidrodinamika dan metalurgi eksperimental.
Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, cabang penalaran sekuler empiris, yang dimulai dengan pengamatan Aristoteles tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sebuah laguna di pulau Lesbos, jadi lebih dominan secara bertahap. Pada abad ke-20, penalaran sekuler telah memantapkan dirinya sebagai akal-sehat dan Sains mengambil tempat yang membanggakan di hatinya. Perhatikan, misalnya, pidato pembangkit semangat yang mengakhiri mahakarya Charlie Chaplin, The Great Dictator (1940). Karakter Chaplin, seorang tukang pangkas-rambut Yahudi, mendapati dirinya disangka sebagai diktator Hitleresque Adenoid Hynkel (juga diperankan oleh Chaplin) dan diharuskan berpidato. Di dalamnya, ia menyerang 'keserakahan' yang 'telah meracuni jiwa manusia' dan 'melangkahkan kita ke dalam kesengsaraan'. Dalam banyak hal, pidatonya merupakan serangan terhadap penyakit modernitas. 'Kita telah mengembangkan kecepatan, namun kita telah mengurung diri,' katanya. 'Mesin yang memberi kelimpahan telah membuat kita kekurangan. […] Lebih dari mesin, kita membutuhkan kemanusiaan.’ Namun Chaplin mengakhirinya dengan menegaskan kembali keyakinannya pada landasan penalaran sekuler yang di atasnya dibangun modernitas. 'Mari kita berjuang bagi dunia akal,' ia berdalih, 'dunia di mana sains dan kemajuan, akan mengarah pada kebahagiaan semua orang.'
Kalimat ini mengandung ketiga elemen yang membedakan penalaran sekuler modern: kepercayaan pada sains, nalar, dan kemajuan yang pasti akan dihasilkan jika kita mengikuti keduanya. 'Sains dan nalar' begitu sering diucapkan dalam nafas yang sama, sehingga menggoda, agar berpikir bahwa keduanya selalu sejalan atau hanya berarti hal yang sama. Faktanya, dalam sebagian besar sejarah, nalar telah menjadi apapun, namun tak ilmiah.

Namun, sangat sedikit orang di Barat saat ini, lanjut Baggini, akan menerima sebagai kebenaran, apapun yang dibangun atas dasar kombinasi wawasan, logika, tradisi, otoritas, atau wahyu. Kita menuntut pula fakta, berdasarkan observasi dan eksperimen, bukti empiris yang bisa diuji.
Tentu saja, kata Baggini, tradisi lain tak menutup mata terhadap manfaat pengamatan. Sekitar waktu yang sama dengan Aristoteles, Gautama di India, berargumen dalam Nyaya Sūtra bahwa ilmu hendaknya didasarkan pada pengamatan dan bahwa kita tak boleh membuang waktu terhadap abstraksi seperti logika matematika. Logikanya menggabungkan metode induktif dan deduktif: logika tanpa bukti adalah kosong. Namun, empirismenya sangat memenuhi syarat dengan penerimaannya terhadap śabda para penulis Veda sebagai pramāṇa yang valid.
Di Cina, filsuf abad keempat SM, Mozi, juga dibedakan oleh advokasinya terhadap sejenis empirisme, berdasarkan 'ukuran preseden, bukti, dan penerapan'. Seseorang mencari 'preseden di antara urusan dan tindakan raja bijak kuno, [...] ke bawah untuk memeriksa bukti dari apa yang telah didengar dan dilihat orang' dan kemudian 'mengimplementasikannya sebagai kebijakan negara dan melihat apakah itu menghasilkan keuntungan atau tidak bagi negara, keluarga dan rakyat. Meskipun kaum Mohis berpengaruh yang kuat terhadap perkembangan pemikiran Chinese, ide-ide mereka tak pernah menjadi dominan.
Keyakinan pada otonomi sains mensyaratkan bahwa ilmuwan menjadi milik laboratorium, dan masyarakatlah yang memutuskan, cara terbaik menggunakan temuannya. 'Sains tak perlu malu bahkan di reruntuhan Nagasaki,' kata ilmuwan dan penyiar Jacob Bronowski. 'Malu adalah milik mereka yang menarik nilai-nilai lain selain nilai-nilai imajinatif manusia yang telah dikembangkan sains. Rasa malu itu, milik kita jika kita tak menjadikan Sains sebagai bagian dari dunia kita.’
Bagi sebagian orang, kekuatan sains, bahwa ia semata peduli pada kebenaran, tetap bebas dari etika dan ideologi. Bagi yang lain, ini masalahnya. Filsuf Islam kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, berpendapat bahwa sains modern, yang didasarkan pada 'pandangan kosmos yang disekulerkan', tak tertarik pada apakah buahnya digunakan untuk kebaikan atau keburukan, adalah penyimpangan. Jauh dari kemuliaan peradaban, ia dekaden dan amoral, bertanggung jawab atas bencana perubahan iklim, polusi, dan senjata pemusnah massal. 'Lambat-laun, orang akhirnya dapat bertanya tak hanya mengapa Islam dan Cina, dengan tradisi ilmiah mereka yang panjang dan kaya, tak menghasilkan Descartes atau Galileo,' tulisnya, 'melainkan mengapa Eropa melakukannya.'
Nasr pengkritik kuat Barat, namun banyak orang dalam tradisi, juga ragu tentang netralitas moral Sains. 'Sains merupakan kekuatan yang luar biasa, akan tetapi, ia bukan guru moral,' kata pengacara William Jennings Bryan di Scopes Monkey Trial pada tahun 1925. Sebagian besar ilmuwan akan setuju dan menganggap ini bukan masalah. Bagi Bryan, inilah kegagalan. Menentang pengajaran teori evolusi, ia mengatakan bahwa sains 'dapat menyempurnakan mesin, namun tak menambahkan batasan moral untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan mesin. Ia juga dapat membangun kapal intelektual raksasa, namun ia tak membangun kemudi moral untuk mengendalikan kapal manusia yang dilanda badai. Ia tak hanya gagal menyediakan unsur spiritual yang dibutuhkan, melainkan beberapa hipotesisnya yang belum terbukti, merampok kompas kapal, dan dengan demikian, membahayakan muatannya.'
Perdebatan tentang hubungan yang benar antara sains dan etika, mengungkapkan ketegangan dalam penalaran sekuler. Di satu sisi, otonomi akal menyiratkan kita harus pergi kemanapun pikiran membawa kita, tanpa mempedulikan kegunaan praktisnya. Di sisi lain, ia mengasumsikan hubungan antara sains, nalar, dan kemajuan. Tapi bagaimana kita bisa yakin bahwa penalaran sekuler akan menguntungkan kita jika secara etis netral? Mengapa menganggap 'sains demi sains' akan berhasil demi kemanusiaan?
Asumsi bahwa alasan otonom pasti akan, mau tak mau, mengarah pada kemajuan, juga memupuk rasa puas diri yang berbahaya di kalangan akademisi, yang sering menolak jika diminta mengatakan bagaimana pekerjaan mereka bermanfaat bagi masyarakat luas. Logika penalaran sekuler akan menjawab bahwa jika pembelajaran tak berefek praktis, tak masalah karena mempertanyakan itu baik untuk dirinya sendiri. Jika memang berpengaruh, pasti baik karena belajar mengarah pada kemajuan. Tapi tentu masuk akal mempertanyakan, apakah orang yang tepat mempelajari hal yang benar dengan cara yang benar, dan kita tak dapat menjawabnya kecuali kita punya gagasan tentang apa itu 'kebenaran'. Benarkah, misalnya, jika sebuah komunitas akademis melahirkan semacam konsensus yang membungkam suara-suara yang berbeda pendapat? Keyakinan berlebihan pada otonomi penalaran sekuler, menghentikan kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, meningkatkan momok 'sensor' akademik.
Penalaran sekuler, Baggini menyimpulkan, telah menjadi alat yang ampuh bagi perkembangan ilmiah dan intelektual. Namun, rasa berpuas-diri tentang manfaatnya, perlu ditantang, mungkin oleh tradisi yang menyatakan bahwa filsafat dan sains ada hanya untuk melayani perkembangan manusia. Jika tujuan akhir kita adalah kebaikan manusia, otonomi penalaran tak bisa mutlak. Siapa yang ingin membangun dan menimbun perpustakaan terbaik di dunia, tanpa peduli jika mereka berdiri di tengah jalanan yang terpencil, suram dan gersang?

Dan sekarang kita lanjutkan telaah singkat kita tentang beberapa filsuf Abad ke-20.

Jean-Paul Sartre, 1905–1980, filsuf eksistensialis Prancis, novelis, dramawan, dan aktivis politik, percaya bahwa manusia 'condemned to be free.' Ia menghabiskan hidup dan pekerjaannya, bergulat dengan ide-ide kebebasan dan gerakan. Ia dilahirkan dalam keluarga Paris kelas menengah. Ayahnya, seorang perwira angkatan laut, meninggal karena demam kuning sebelum ulang tahun kedua Jean-Paul.
Usai menjalankan dinas militernya dari tahun 1929 hingga 1931, Sartre menghabiskan 14 tahun berikutnya mengajar filsafat di berbagai sekolah menengah. Selama satu tahun belajar di Akademi Prancis di Berlin (1933–1934), ia diperkenalkan dengan filosofi henomenologis Edmund Husserl, yang akan berdampak besar pada pemikirannya sendiri. Pada tahun 1938, Sartre menerbitkan novel pertamanya, Nausea, sebuah karya filosofis dan sebagian otobiografi yang dipengaruhi oleh fenomenologi (studi tentang objek seperti yang kita alami secara sadar).
Penulis dan pemikir Prancis kelahiran Aljazair, Albert Camus (1913–1960), bertemu Sartre di Paris pada tahun 1943, dan keduanya menjalin persahabatan yang erat, yang berlangsung hingga mereka berselisih pada tahun 1951 karena pandangan mereka yang berlawanan tentang komunisme. Meskipun ia menolak label eksistensialisme, Camus menjelajahi banyak tema yang sama, seperti kebebasan individu dan usaha yang sia-sia, atau 'tak masuk akal,' guna menemukan makna di dunia yang tak bermakna. Novelnya tahun 1946 L'Étranger (Orang-asing) merupakan studi brilian tentang keterasingan abad ke-20, sementara dalam esai Le mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus) (1956), ia menganalisis nihilisme yang lazim dalam pemikiran pascaperang.
Pada tahun 1943, Sartre menerbitkan karya besarnya, L'Être et le néant : Essai d'ontologie phénoménologique (Makhluk dan Ketiadaan: Sebuah Esai tentang Ontologi Fenomenologis). Dalam risalah monumental ini, ia membalikkan gagasan filosofis tradisional bahwa 'esensi mendahului keberadaan', mendukung konsep bahwa 'keberadaan mendahului esensi.' Ia memuji pentingnyafree choice, yang membuat bebannya sendiri, lantaran membawa tanggung jawab, mengutuk manusia agar menciptakan maknanya sendiri dalam keberadaan yang tak bermakna. Pada tahun 1945, ia mendirikan Modern Times, sebuah majalah yang bertujuan menyediakan forum bagi literatur eksistensialis. Pada tahun 1945, Sartre menerbitkan L'âge de raison (Masa Penalaran dan Penagguhan Hukuman), dua jilid pertama dari trilogi Les chemins de la liberté (Jalan Menuju Kebebasan). Volume ketiga, La mort dans l'âme (Tidur Bermasalah juga diterjemahkan dalam Bahasa Inggris sebagai Iron in the Soul), diterbitkan pada tahun 1948. Sebagian bersifat otobiografi, trilogi ini menggunakan fiksi guna mengeksplorasi tema-tema filosofis tentang kebebasan, tanggung jawab, keaslian, dan penipuan diri serta menunjukkan pergeseran fokus Sartre pada pentingnya gerakan dan keterlibatan.
Melepaskan novel sebagai alat ekspresi yang berguna, Sartre kembali ke media drama dalam upaya melukiskan manusia sebagaimana adanya, mengeksplorasi komitmen politik dalam permainan Les Mains Sales (Dirty Hands) (1948). Sebagi seorang Marxis, Sartre mendukung Uni Soviet, meskipun ia tak pernah bergabung dengan Partai Komunis. Komitmennya terhadap komunisme Soviet terguncang oleh invasi rezim ke Hongaria pada tahun 1956 dan oleh pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan sang penulis. Namun ia menganggap Marxisme sebagai 'filsafat zaman kita,' dan pada tahun 1960 menerbitkan Critique de la raison dialectique (Kritik alasan Dialektik), upaya mendamaikan Marxisme dan eksistensialisme. Pada tahun 1960, Sartre bepergian dengan Simone de Beauvoir ke Kuba, dimana ia bertemu Fidel Castro dan Che Guevara, menyatakan yang terakhir disebutkan, sebagai 'manusia paling lengkap seusia kita.'
Pada tahun 1964, Sartre dianugerahi Hadiah Nobel dalam Sastra, tetapi ia menolak kehormatan itu. Di tahun 1968, ia ditangkap karena pembangkangan sipil selama pemberontakan Mei di Paris, dan segera diampuni oleh Presiden Charles de Gaulle. Setelah kematiannya pada tahun 1980, lebih dari 50.000 orang terlihat menemani iring-iringan pemakamannya melalui jalan -jalan Paris.

Hannah Arendt, 1906–1975. Dengan pengalaman langsung Nazisme dan anti-Semitisme yang dianutnya, ia mengembangkan perspektif unik tentang sifat kekuatan politik dan penilaian moral, dasar dari karya-tulis filosofisnya yang kontroversial. Pada tahun 1929, ia menerbitkan tesis doktoralnya, Der Liebesbegriff Bei Augustin (Cinta dan Saint Augustine).
Di Marburg, Arendt bertemu Martin Heidegger, salah seorang tutornya, yang berpengaruh abadi pada filosofinya. Ia juga menjadi kekasihnya. Pada tahun 1929, ia bertemu dan menikah dengan filsuf Gunther Stern, seorang Yahudi Jerman. Pada saat ini, Arendt mengalihkan perhatiannya menulis biografi Rahel Varnhagen (seorang Yahudi Rusia abad ke-19), sebuah karya yang melaluinya, ia dapat mengeksplorasi ide-idenya tentang asimilasi Yahudi.
Ia mulai mengerjakan apa yang akan menjadi buku besar pertamanya, The Origins of Totalitarianism, yang diterbitkan pada tahun 1951 dalam bahasa Inggris, dan terjemahan Jerman diterbitkan pada tahun 1955 sebagai Elemente und Ursprünge Totaler Herrschaft (Elemen dan Asal -usul Aturan Totaliter) . Perlu dicatat bahwa para tiran telah ada sepanjang sejarah, tetapi pada abad ke -20, menunjukkan munculnya sejumlah rezim totaliter spesifik, yang ditandai oleh nasionalisme ekstrem dan pelaksanaan kekuatan politik atas setiap aspek negara. Berbagai ideologi otoriter muncul di kedua ujung spektrum politik: Nazisme Hitler dan fasisme Mussolini tumbuh dari gerakan sosialis nasionalis tetapi menjadi kediktatoran. Demikian pula, Stalin dan Mao, naik ke kekuasaan di belakang revolusi komunis, dan Korea Utara, yang belakangan ini, diperintah oleh Dinasti Kim yang totaliter.
Karyanya yang paling berpengaruh, The Human Condition, muncul pada tahun 1958, dan pada tahun yang sama, ia menerbitkan versi jadi dari biografinya, berjudul Rahel Varnhagen: The Life of a Jewess. Pijakan Arendt sebagai filsuf telah dipertanyakan (setidaknya di antara orang Yahudi) ketika pada tahun 1961, ia ditugaskan oleh The New Yorker untuk melaporkan persidangan di Yerusalem Adolf Eichmann. Laporannya diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1963, sebagai Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Tugasnya memicu badai protes. Penggambarannya tentang Eichmann sebagai kebodohan, tak imajinatif, dan hampir seperti robot, daripada monster yang dianggapnya, secara luas ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap penderitaan orang-orang Yahudi di Holocaust, seperti pembelaannya terhadap Heidegger.
Karya besar akhir Arendt, On Revolution (1963), ia segera mulai lebih berkonsentrasi pada kegiatan pengajaran dan kampanye. Seorang perokok berat sepanjang hidupnya, ia meninggal oleh serangan jantung pada tahun 1975 di New York.

Simone de Beauvoir, 1908–1986, novelis Prancis, esaist, dan filsuf eksistensial, dihormati karena analisisnya yang inovatif tentang patriarki dan gender, serta berpengaruh besar pada teori feminis, etika, dan politik di abad ke -20. Karya Simone de Beauvoir yang kondang dan kontroversial, Le Deuxième Sexe (Sex Kedua), diterbitkan pada tahun 1949 kepada penonton yang sebagian besar bermusuhan. Teks radikal memicu kemarahan karena keterlibatannya yang menantang dan tak tergoyahkan dengan patriarki, gender, subordinasi, dan seksualitas perempuan.
De Beauvoir membawa kehidupan borju di awal kehidupannya, mengumumkan ateismenya pada usia 14 dan, segera setelah itu, minatnya pada filsafat dan dalam buku yang dianggap tak pantas bagi anak perempuan. Di sekolah, ia menjalin persahabatan yang mendalam dengan Elizabeth Millal, atau Zaza, yang meninggal pada tahun 1929, tampaknya karena meningitis—De Beauvoir mengklaimnya karena patah hati, mengikuti upaya keluarganya memaksakan pernikahan yang diatur terhadapnya. Ingatan Zaza berdampak seumur hidup pada de Beauvoir, khususnya membentuk idenya di sekitar sikap borju terhadap wanita. Pada usia 19, ia menulis dalam buku hariannya 'Aku ingin hidupku, mematuhi kehendak lain selain diriku sendiri'—dan ini tetap menjadi clarion-callnya.
Pada tahun 1943, ia menerbitkan novel pertamanya, L'Vitée (She Came to Stay). Novel ini akun fiksi tentang hubungannya dan Jean-Paul Sartre dengan Olga Kosakiewicz dan Wanda Kosakiewicz. Hubungan seumur hidup De Beauvoir dengan filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre merupakan legenda. Pasangan itu bertemu di awal usia 20 -an dan menjadi tenggelam dalam kehidupan dan pekerjaan satu sama lain. Pada tahun 1947, Pour une morale de l'ambiguïté (Etika Ambiguitas) diterbitkan, menggambar pada eksistensialisme Sartrean. Pada tahun 1954, ia menerima Prix Goncourt, kehormatan sastra paling bergengsi di Prancis, untuk Les Mandarin (Mandarin). Pada tahun 1981, La Cérémonie des Adieux (Adieux: A Farewell to Sartre), yang diterbitkan pada tahun setelah kematian Sartre, merupakan narasi sedih dari tahun-tahun terakhir sang filsuf. De Beauvoir sendiri meninggal karena pneumonia 5 tahun kemudian, pada usia 78 tahun.

Simone Weil, 1909–1943, seorang aktivis politik, mistikus, dan filsuf Prancis, menjalani hidup yang singkat dengan intensitas yang luar biasa. Refleksinya tentang kekuasaan negara dan ketidakadilan sosial, dan visi keagamaannya yang istimewa, menarik perhatian hanya setelah kematiannya. Lahir dari keluarga Yahudi sekuler yang makmur di Paris pada tahun 1909, Simone Weil menunjukkan bakat intelektual yang luar biasa sejak usia dini. Setelah menerima pendidikan elit di Lycée Henri IV dan Ecole Normale Supérieure, ia lulus pada tahun 1931 dan memulai karir sebagai guru filsafat di sebuah sekolah tingkat provinsi.
Pada akhir 1930-an, pemikiran Weil berevolusi menuju mistisisme dan spiritualitas. Meskipun dibesarkan tanpa keyakinan agama, serangkaian pengalaman visioner—terutama pengangkatan ekstatik di sebuah gereja di Assisi, Italia, pada tahun 1937—menuntunnya menempatkan kepercayaan pada Tuhan di pusat pandangan dunianya.
Pada tahun 1942, setelah kekalahan Prancis oleh Nazi Jerman, Weil melarikan diri bersama orang tuanya ke AS. Ia lalu bergabung dengan gerakan the Free French di Inggris dan menulis satu -satunya bukunya yang sudah selesai, L'Angracinement (1949). Terjemahan bahasa Inggris pertama, The Need for Roots, diterbitkan pada tahun 1952. Seperti semua buku Weil, diterbitkan secara anumerta. Ia meninggal di Ashford, Kent, pada tahun 1943, karena tuberkulosis dan kekurangan gizi.

Arne Næss, 1912–2009, seorang filsuf dan pencinta lingkungan Norwegia yang terkait secara khusus dengan konsep 'deep ecology.' Ia juga dikenal sebagai aktivis dan pendaki gunung yang ulung. Bagi Næss, ada perbedaan penting antara ekologi dangkal (shallow ecology) dan ekologi dalam )deep ecology). Menurutnya, isu lingkungan yang kita hadapi merupakan gejala dari masalah filosofis bagaimana kita berhubungan dengan dunia sekitar kita. Buku Næss Pengetahuan dan Perilaku Ilmiah (1936) mengantisipasi banyak tema yang akrab dalam filsafat analitik pascaperang.
Pada tahun 1970, bersama dengan sejumlah besar pengunjuk rasa, ia merantai dirinya ke bebatuan di depan Mardalsfossen, air terjun di fyord Norwegia, dan menolak turun sampai rencana membangun bendungan dibatalkan.
Ia sampai pada konsep deep ecology melalui pembacaannya terhadap karya-karya Spinoza, Gandhi, dan Sang Buddha. Dia bekerja sama erat dengan George Sessions, seorang profesor filsafat di Sierra College di Rocklin, California. Dalam perjalanan berkemah ke Death Valley pada tahun 1984, pasangan ini menyusun delapan prinsip dasar ekologi dalam, yang kemudian diuraikan dalam karya George Sessions.
Deep ecology terus mempengaruhi filosofi lingkungan. Namun, gerakan deep ecology memunculkan pula inisiatif politik dan aktivis di seluruh dunia. Næss sendiri—seorang aktivis dan penganjur perlawanan tanpa kekerasan—terlibat dalam protes publik menentang pembangunan bendungan dan juga berkampanye untuk Partai Hijau Norwegia. Ia meninggal pada usia 96 tahun.

Roland Barthes, 1915–1980, karyanya merupakan pusat perkembangan Strukturalisme dan Poststrukturalisme, dan ia dikenal terutama karena analisis semiotiknya yang brilian tentang mitos budaya borjuis. Teori Barthes tentang bahasa dan sastra mencapai kematangan dalam teks besar pertamanya, Le degré zéro de l'écriture (Menulis Gelar Nol) (1953). Dipengaruhi oleh karya Karl Marx dan Jean-Paul Sartre, buku ini menantang gagasan bahwa menulis adalah ekspresi dari subjektivitas seorang penulis: bagi Barthes, ia mendalami ideologi, produk dari nilai-nilai sosial dan budaya.
Barthes mengembangkan ide-ide ini dalam Mythologies (1957), yang mengacu pada teori Strukturalis dari ahli bahasa Swiss Ferdinand de Saussure. Di sini, dalam serangkaian esai yang brilian dan menyenangkan, Barthes memecahkan berbagai 'mitos' borjuis yang mendasari budaya populer Prancis, menunjukkan bagaimana tanda-tanda yang digunakan masyarakat mengekspresikan dirinya—segelas anggur merah atau sepiring steak-fries, misalnya— mencerminkan wacana kekuasaan, seperti kolonialisme dan seksisme. Mitos, kata Barthes, amerupakan ucapan yang didepolitisasi, yang membuat hal-hal tampak alami, padahal sebenarnya tidak: mitos 'menghapus kerumitan tindakan manusia, memberi mereka kesederhanaan esensi.'
Kehidupan dan pekerjaan Barthes terkait erat: lingkaran dalamnya termasuk raksasa intelektual seperti Foucault dan Susan Sontag; dan ia pernah mengklaim bahwa Kristeva, yang dipujanya, adalah 'satu-satunya wanita yang bisa membuatku mengubah seksualitasku.' Namun, cinta sejatinya adalah ibunya, yang tinggal bersamanya selama 60 tahun dan yang kematiannya—hanya 3 tahun sebelum kematiannya—membuatnya sedih.

Louis Althusser, 1918–1990, seorang filsuf Marxis Prancis, salah seorang pemikir sayap kiri terkemuka pada 1960-an dan 70-an. Ia sangat dikenal akan reinterpretasi yang cukup teliti terhadap karya Marx, dan juga karena membunuh isterinya di rumah universitas pada bulan November 1980.
Pada akhir 1940-an, Althusser bertemu dan sangat dipengaruhi oleh aktivis komunis dan sosiolog Hélène Rytmann, seorang wanita 8 tahun lebih tua darinya yang pernah bertempur di Perlawanan Prancis.
Pada tahun 1965, Althusser menerima pujian atas karya analisis Marxisnya, For Marx dan Reading Capital, yang terakhir ditulis bersama filsuf Etienne Balibar. Reinterpretasi Althusser terhadap Marx mengidentifikasi peran 'peralatan negara ideologis'. Ia memperkenalkan konsep 'interpelasi' yang berpengaruh, sebuah proses dimana individu dibentuk oleh aparatur negara ideologis 'sebagai subjek dan menjadi produk dari ideologi dominan: sama seperti kita secara naluriah berbalik ketika seseorang memanggil nama kita, demikian pula ideologi ' interpelasi,' atau sambut kami. Yang penting, Althusser juga mengadaptasi teori psikoanalitik Sigmund Freud tentang 'penentuan berlebihan' untuk digunakan dalam konteks yang sangat berbeda. Ia meninggal karena serangan jantung di rumah sakit jiwa dekat Paris pada usia 72 tahun.

Iris Murdoch, 1909–1999, seorang novelis terkenal, juga seorang filsuf. Filosofi moralnya yang spesifik mempengaruhi para pemikir kontemporer dan kemudian, dan ide-idenya semakin penting. Karya filosofis pertamanya yang diterbitkan merupakan kritik terhadap eksistensialisme: Sartre: Romantic Rationalist (1953). Tahun berikutnya, ia menerbitkan novel pertamanya, Under the Net. Seorang penulis yang produktif, ia menerbitkan buku kira-kira setiap 2 tahun selama empat dekade berikutnya. Novel Murdoch sering menampilkan satwa, yang diberkahi dengan kepribadian yang kaya. Ia menulis total 27 novel, dilaporkan melarang penerbitnya mengubah satu kata pun dalam manuskripnya. A Severed Head, novel kelima Murdoch, diterbitkan pada tahun 1961, membahas tema perzinahan, moralitas, aborsi, dan bunuh diri, namun dipuji oleh kecerdasannya yang masam.
Tujuh tahun setelah ia berhenti mengajar, Murdoch menerbitkan The Sovereignty of Good (1970), berisi tiga esai yang menentang aliran pemikiran yang berlaku—filsafat analitik dan eksistensialisme. Dipengaruhi oleh Simone Weil dan Plato, ia menyelidiki apa yang ia sebut 'fat, relentless ego' sebagai sumber kebutaan moral. Ia mempertimbangkan bagaimana orang bisa menjadi lebih baik secara moral dan merujuk pada konsep Plato tentang the Form of the Good, atau gagasan tentang kebaikan, sebagai cara yang efektif mendekati 'pendidikan progresif dalam kebajikan.'
Murdoch terus menulis hingga beberapa tahun sebelum kematiannya akibat penyakit Alzheimer di Oxford di bulan Februari 1999, pada usia 79 tahun.

Masih terdapat beberapa nama lagi yang akan kita telaah secara singkat pada sesi berikutnya.
[Bagian 2]
English