Rabu, 01 Maret 2023

Para Pemikir : Abad ke-20 (1)

"Seorang lelaki tiba di ruang gawat darurat dengan kedua telinganya, mengalami luka-bakar parah," Swara memulai lagi, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
“'Gimana sih kejadiannya?' sang Dokter bertanya.
'Aku sedang ngegosok baju, dok, nah, waktu hpnya bunyi, gak sengaja, ngejawabnya pake setrika,' jelas sang lelaki.
'Trus, telinga yang satunya, kenapa?' tanya sang Dokter.
'Oh—itu kejadiannya, sewaktu nelpon ambulans.'"

"Julian Baggini menulis dalam prolog karyanya 'How the World Thinks'," Swara melanjutkan, "'Kelahiran Filosofi, antara abad kedelapan dan ketiga SM, dijelaskan oleh filsuf Jerman abad ke-19, Karl Jaspers, sebagai 'zaman aksial'. Zaman dimana periode transisi bertahap dari memahami dunia dalam hal mitos, ke pemahaman yang lebih rasional tentang dunia yang kita miliki saat ini. Pemahaman rasional tak banyak menggantikan kepercayaan masyarakat dan mitos awal, lantaran tumbuh dari nilai -nilai dan prinsipnya. Pandangan dunia, sementara dibentuk oleh tuntutan nalar yang mengagumkan, tak selalu dituntun olehnya.
Meskipun filosofi klasik India, Cina dan Yunani berbeda dalam cara -cara yang berarti, ada beberapa kesamaan yang sangat signifikan. Masing-masing dimulai dengan asumsi dasar bahwa semuanya adalah satu. Apapun yang menjelaskan kehidupan manusia, harus pula, menjelaskan jagad-raya, alam, dan apapun yang ada didalamnya. Seperti yang kemudian diutarakan William of Ockham dalam prinsip 'pisau cukur' [prinsip problem-solving yang merekomendasikan mencari penjelasan, yang dibangun dengan set elemen sekecil mungkin (yang paling sederhana). Juga dikenal sebagai prinsip penghematan atau hukum penghematan (lex parsimoniae)], pada abad keempat belas, yang tak pernah rasional mendalilkan keberadaan lebih banyak hal daripada yang diperlukan. Engkau mulai dengan penjelasan yang lebih sederhana—bahwa semuanya diatur oleh prinsip yang sama—dan hanya memperumit masalah jika ternyata tak berjalan dengan baik. Oleh karenanya, para filsuf yang paling awal, secara implisit mengikuti prinsip rasional yang belum terartikulasikan.
Pula, proyek memahami jagad-raya hanya masuk akal jika jagad-raya dapat dipahami. Bila kita berpikir bahwa ada koleksi beragam mekanisme dan prinsip -prinsip yang mengatur berbagai bagian realitas, tanpa hubungan di antara mereka, maka jagad-raya akan menjadi tempat yang kurang dapat dipahami. Dengan asumsi semacam persatuan adalah praprasyarat bagi setiap upaya yang sungguh-sungguh dalam pemahaman sistematis.
Kesatuan pengetahuan manusia lebih jelas di zaman aksial dibanding saat ini. Bagi orang-orang Yunani, semua yang kita anggap sebagai humaniora atau sains, merupakan bagian dari studi filosofis. Juga, tak ada divisi mendasar ilmu di Cina atau India. Tatkala pendalaman manusia tumbuh, cabang-cabang yang berbeda mencapai lebih jauh dari batangnya, namun semuanya, pada dasarnya masih merupakan bagian dari pohon yang sama.
Kesamaan fitur lainnya, ialah asumsi bahwa akun dunia yang memuaskan, harus berbicara dengan nalar. Cerita dan mitos yang menarik, tidaklah cukup: kita perlu mengartikulasikan ihwal intelektual yang mendukung pandangan yang kita anut. Nalar—yang berarti rasionalitas—pada dasarnya merupakan pemberian dalil-dalil, yang dapat diteliti, ditimbang, dinilai, diterima, atau ditolak. Manusia selalu punya cara memahami dunia, namun semata sejak awal filosofi-lah, mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh, memberikan dan mempertahankan dalil-dalil bagi semua ini.'

Baggini kemudian menghadirkan deskripsi pembanding di bab pertama, 'Di sebuah sekolah internasional di Maastricht di Belanda, sepasang remaja yang cerdas dan cepat matang, sedang mengisi jawaban atas kuis yang telah mereka tetapkan kelompoknya. Mereka mengakui bahwa mereka tak bisa 100 persen yakin mendapatkan fakta yang benar. Namun mereka dapat meyakinkan kita, bahwa semuanya benar 'menurut internet'.
Pertanyaan tentang dasar pengetahuan kita, apa yang membenarkan anggapan bahwa anggapan kita benar, merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam filosofi. Bahwa bagi seluruh generasi, jawabannya mungkin 'internet,' sungguh menakutkan. Merupakan sesuatu bila punya terlalu banyak keyakinan pada Wikipedia, yang bagaimanapun, semata sebuah situs dengan catatan integritas yang cukup bagus. Menggunakan internet, koleksi beragam situs dengan silsilah yang sangat berbeda, sebagai otoritas atas kebenaran secara massal, tampak gegabah.
Sepanjang sejarah, manusia biasanya tak memegang anggapan mereka, karena alasan filosofis. Para insan umumnya, mempercayai, hal-hal yang mengelilingi mereka, dan hanya segrosir minoritas yang jadi pemberontak.
Kendati demikian, tulis Baggini, pada tingkat sosial—jika bukan tingkat individu—selalu ada beberapa pembenaran bagi anggapan yang membawa lebih banyak bobot daripada yang lain; Alasan mengapa beberapa hal diterima sebagai benar dan yang lain ditolak sebagai salah. Setiap budaya punya epistemologi—teori ilmu—para kawula-alit yang implisit, sama seperti hampir setiap filsafat memiliki yang eksplisit, dan epistemologi formal dan informal ini, terkait.
Siswa internasional yang mengutip internet sebagai sumber ilmu mereka, menyajikan sebuah bukti bahwa antara epistemologi para kawula-alit dan formal, saling terkait. Yang menggarisbawahi para siswa yang mudah percaya bahwa Internet itu, repositori kebenaran yang terpercaya, adalah seperangkat asumsi tentang sifat ilmu yang diterima secara luas sekarang ini, namun belum dibagikan oleh orang lain pada waktu dan tempat yang berbeda dalam sejarah. Anggapan mereka pada web, mencerminkan budaya yang selama beberapa abad, memahami ilmu sebagai, secara kolektif diproduksi oleh manusia dengan berbagai bidang keahlian. Dalam pemahaman mereka, ilmu sejati, terdiri dari fakta-fakta sejati yang paling terkini, yang dapat dicantumkan dan dikumpulkan. Jika direkam dengan benar, siapapun yang punya waktu dan sumber-daya, dapat menemukan ilmu ini, bagi diri mereka sendiri. Kebenaran bukanlah milik para elit, ia telah terdemokratisasi.'

Kemudian Baggini menulis lebih lanjut, '... sang Buddha, seperti Konfusius, secara eksplisit tak peduli dengan pertanyaan pamungkas metafisika, yang mencerminkan garis patahan yang melintasi tradisi filosofis dunia. David Hall dan Roger Ames menggambarkan ini sebagai perbedaan antara 'pencari kebenaran' dan 'pencari jalan'. Filsafat Barat secara khas merupakan pencarian kebenaran. Ia berusaha menggambarkan struktur dasar realitas, logika, bahasa, pikiran. Salah satu contohnya ialah, penekanan Barat pada sains demi sains. Bagi pencari kebenaran, belajar tanpa pamrih adalah yang terbaik, sedangkan bagi pencari jalan, ketidaktertarikan sama tak masuk akalnya dengan mengendarai mobil tanpa peduli kemana engkau akan berhenti.
Orang Cina sebagian besar adalah pencari jalan, yang menurut Chenyang Li, 'biasanya tak melihat kebenaran sebagai korespondensi dengan fakta objektif di dunia; sebaliknya, mereka lebih memahami kebenaran sebagai cara menjadi orang yang baik, ayah yang baik, atau anak yang baik. Bagi mereka, kebenaran tak diukir di atas batu, dan tiada tatanan tetap yang mutlak di dunia.’ Sementara kebenaran Barat adalah ‘mutlak, abadi, dan benar pada akhirnya’, tapi menurut Chinese dao,‘tidak ada; kebenaran harus dihasilkan melalui aktivitas manusia'.

Filsafat di Barat, tulis Baggini, selalu bercita-cita menjadi lebih dari sains: teliti, tepat, menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Di Timur, ia lebih mencerminkan seni kehidupan.
Apakah filosofi pada dasarnya tentang membandingkan dunia atau mencoba menavigasi melaluinya? Sudah barang tentu, kedua proyek ini saling-terkait. Engkau memahami dunia, setidaknya sebagian untuk menyiasatinya, dan engkau tak dapat tertarik menyiasatinya, tanpa juga mengetahui tentang sesuatu sebagaimana  adanya. Namun, perbedaan penekanan itu, penting. Jika engkau seorang pencari kebenaran yang bertekad mendapatkan pemahamanmu tentang dunia dengan benar, engkau takkan puas dengan keburaman konseptual, ketidakjelasan, atau ambiguitas. Bila engkau seorang pencari jalan yang lebih peduli dengan bagaimana engkau hidup, engkau boleh jadi tak semata menerima batasan seperti itu, melainkan merangkulnya. Engkau mungkin menemukan bahwa berperan dalam dunia dengan sedikit ketergantungan pada konsep atau bahasa, membantumu merasa lebih dekat dengannya, lebih diikutsertakan.
Baik pencarian jalan maupun pencarian kebenaran punya sisi negatifnya. Risiko bagi para pencari kebenaran, bahwa pengejaran ilmu menjadi sesuatu yang dinilai semata-mata bagi kepentingannya sendiri, tanpa mempedulikan dampak atau manfaat praktisnya. Bisa dibilang inilah nasib dari banyak filosofi Barat, yang telah menarik banyak orang dengan 'tipe otak kubus Rubik', seperti yang dikatakan Owen Flanagan dengan penuh warna. Namun, pencarian kebenaran sangat bermanfaat bagi sains dan teknologi. Ada banyak pertanyaan akademis dan spekulasi tentang mengapa sains modern muncul di Barat daripada di Cina, yang untuk waktu yang lama, berpendidikan lebih baik, lebih kaya, dan lebih maju dibanding Barat. Edward Slingerland menyarankan satu alasan yang masuk akal, 'kecurigaan mendalam China terhadap pemikiran abstrak, demi kepentingannya sendiri dan kegagalan yang sama, mengembangkan ukuran sikap-mental yang tak berwujud, terhadap dunia'.
Pembedaan pencari jalan/pencari kebenaran dirancang dengan mempertimbangkan Cina dan Barat. Tapi bagaimana dengan India? Mungkin tidak. Chakravarthi Ram-Prasad menyarankan cara berbeda membedakan antara tradisi global, antara mereka yang menggunakan bahasa sebagai pedoman dan mereka yang menggunakannya sebagai rujukan. Ia berpendapat bahwa di India, seperti di Barat, bahasa dipahami terutama sebagai referensi: kata-kata memilih aspek realitas. Di Cina, bahasa, merupakan panduan utama. Ia ada guna memberi tahu kita bagaimana hidup, bukan apa yang ada. Prasad mengatakan, misalnya, bahwa 'Mozi tampaknya tak menggunakan bahasa untuk merujuk pada hal-hal yang ada di dunia, dan membatasi dirinya menggunakannya semata untuk panduan. Dalam hal ini juga, ia tak berbeda dengan Konfusius.
Perbedaan antara pencari-jalan dan pencarian-kebenaran, lanjut Baggini, antara bahasa sebagai pedoman dan acuan, antara seni dan sains, tidaklah serasi, dan ada aspek masing-masing dalam semua budaya. ‘Setiap tradisi filosofis dalam beberapa hal akan mencari Ilmu-Bahwa dan Ilmu-Bagaimana,’ kata Ram-Prasad, ‘tetapi ada perbedaan dalam penekanannya.’ Kita harus ingat bahwa pencarian jalan dan pencarian kebenaran, tak bertentangan. Seharusnya, kita bisa melihat kekuatan keduanya dan memberikan penekanan yang tepat pada keduanya. Peluangmu menemukan jalan yang benar, meningkat jika engkau bersedia melihat dunia sebagaimana adanya, terlepas dari nilai-nilaimu. Dan peluangnu memanfaatkan kebenaran yang engkau temukan, menjadi lebih tinggi jika engkau terus-menerus berusaha menyampaikan kebenaran itu, pada apa yang paling penting bagi kehidupan manusia. Kebenaran tak berguna kecuali memungkinkan kita agar bergerak maju dan kita tak bisa bergerak maju, kecuali kebenaran menerangi jalan.
Perbedaan pendekatan yang luas ini, merupakan peringatan bahwa perbedaan antara tradisi filosofis dunia sangat dalam. Sangat mudah berasumsi bahwa setiap tradisi menawarkan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama, padahal seringkali mereka mengajukan pertanyaan yang berbeda. Misalnya, sifat pertanyaan tentang bagaimana kita mengetahui, bagaimana kita mendefinisikan ilmu, diubah dalam tradisi yang berbeda, lantaran kepentingan mereka dalam mengajukan pertanyaan ini, sangat berbeda.
Tak semua orang percaya bahwa nalar manusia, bila tanpa bantuan, banyak berpeluang memberi tahu kita sesuatu yang penting tentang dunia atau cara hidup di dalamnya. Semua versi 'Bagaimana kita bisa tahu?' ditanyakan dalam semua tradisi, namun ada yang dengan penekanan lebih besar dibanding yang lain.'"

"Sekarang, mari kita coba menelaah beberapa pemikir abad ke-20," kata Swara. "Para kontributor kita menyebutkan cukup banyak nama: Edmund Husserl, Jane Addams, Henri Bergson, John Dewey; George Santayana; Bertrand Russell; Max Scheler; José Ortega y Gasset, Karl Jaspers, Ludwig Wittgenstein, Martin Heidegger, Herbert Marcuse, Gilbert Ryle, Hans-Georg Gadamer, Karl Popper, Theodor Adorno, Jean-Paul Sartre, Hannah Arendt, Simone de Beauvoir, Simone Weil, Arne Næss, Roland Barthes, Louis Althusser, Iris Murdoch, Philippa Foot, John Rawls, Thomas Kuhn, Jean-François Lyotard, Frantz Fanon, and Michel Foucault. Jadi, mari kita mulai,

Edmund Husserl, 1859–1938, pendiri Fenomenologi, salah satu gerakan terpenting dan berpengaruh dalam filsafat abad ke-20, yang berangkat untuk mengeksplorasi secara langsung struktur kesadaran. Ia dilahirkan dalam keluarga Yahudi di Prossnitz, Moravia, yang saat itu menjadi bagian dari Kekaisaran Austria tetapi sekarang berada di dalam Republik Ceko. Salah satu pengaruh besar atas Husserl adalah filsuf, psikolog, dan pendeta Jerman, Franz Brentano. Husserl menghadiri kuliah Brentano di Wina pada tahun 1884 dan sangat terkesan dengan gagasannya tentang 'intensionalitas' kesadaran, sebuah gagasan yang berakar pada filsafat abad pertengahan. Premis dasarnya adalah bahwa kesadaran harus selalu menjadi kesadaran akan sesuatu. Ini menjadi ide sentral bagi Husserl dalam bagaimana ia mengembangkan penjelajahannya terhadap struktur kesadaran.
Ketika Husserl pensiun sebagai profesor pada tahun 1928, Heidegger adalah pewaris alaminya. Namun, selama tahun-tahun berikutnya, Husserl jadi tak suka dengan anak didiknya itu, lantaran pemikiran ulang fenomenologi-nya yang radikal.
Husserl mengajar di Universitas Halle, Jerman, dari tahun 1887 di bawah bimbingan Carl Stumpf, profesor filsafat dan psikologi, yang juga pernah menjadi murid Brentano. Kuliah pengukuhannya, 'On the Goals and Problems of Metaphysics', menunjukkan peralihan minatnya dari matematika ke filsafat. Ketika diangkat menjadi profesor di Universitas Freiburg pada tahun 1916, Husserl mampu mengembangkan sepenuhnya, ide-idenya tentang Fenomenologi.
Dalam salah satu karyanya yang paling kondang, Cartesianische Meditationen (Meditasi Cartesian) (1931), Husserl menulis bahwa siapapun yang hendak berfilsafat, harus sekali dalam hidupnya, beusaha menarik diri dari semua pendapat. dan mulai lagi dari awal—dengan kata lain, jika kita ingin berfilsafat, kita perlu mengesampingkan semua asumsi kita tentang dunia agar kita dapat membangun sistem pengetahuan yang bebas dari bias. Dalam hal ini, Husserl mengikuti jejak filsuf abad ke-17, René Descartes.
Sejak permulaannya, filsafat di Barat telah menarik perbedaan antara apa yang terjadi (apa yang disebut Immanuel Kant sebagai sesuatu dalam dirinya sendiri, noumena), dan apa yang tampak pada pengalaman kita (fenomena). Husserl melangkah lebih jauh dari Kant. Ia berpendapat, kita harus berpegang teguh pada fenomena—dengan hal-hal seperti yang muncul dalam kesadaran—dan mempelajari fenomena ini secara lebih sistematis, sepenuhnya mengesampingkan masalah dengan hal-hal-dalam-dirinya sendiri. Jika kita melakukan ini, kita mungkin berhasil dimana Descartes gagal dan membangun ilmu yang benar-benar pasti bebas dari asumsi sebelumnya. Bagi Husserl, tugas filsafat adalah deskripsi sistematis dan pemetaan pengalaman sadar kita dari dalam—tanpa mengklaim apapun tentang keberadaan atau ketiadaan dunia. Jika kita dapat memberikan deskripsi yang lengkap dan sistematis tentang dunia pengalaman, maka kita akan memiliki sistem filsafat yang lengkap yang bebas dari asumsi apa pun tentang dunia tempat pengalaman ini muncul. Tujuan utama Husserl ialah agar Fenomenologinya menjadi ilmu yang benar-benar teliti, namun ia sangat frustrasi dengan ambisinya. Tiga tahun sebelum kematiannya, Husserl menulis kata-kata berikut, 'Filsafat sebagai ilmu ... mimpi berakhir.'

Jane Addams 1860–1935, seorang reformis, aktivis, dan feminis sosial Amerika dan dianggap oleh beberapa orang sebagai pendiri pekerjaan sosial di AS. Ia juga seorang pemikir dan penulis yang produktif dalam tradisi filosofis Pragmatisme AS. Pada tahun 1919, Addams mendirikanthe Women’s International League for Peace and Freedom, yang bekerja untuk perdamaian dan pelucutan senjata dunia.
Addams bukan hanya seorang aktivis dan pembaharu, melainkan pula seorang penulis yang sangat produktif. Sebagai seorang filsuf, ia teguh dalam tradisi Pragmatis AS dan merupakan teman dan koresponden John Dewey—pengaruh yang mengalir ke dua arah. Salah satu gagasan utama Addams adalah 'ilmu simpatik'. Bagi Addams, ilmu ini muncul dari hubungan sosial dengan orang lain dari berbagai latar belakang. Saat kita berhubungan dengan orang-orang yang berpengalaman, yang sangat berbeda dari diri kita sendiri, hal ini berkekuatan untuk mengganggu hidup kita secara positif, membuka kemungkinan baru bagi empati. Begitu kita bisa berempati, kita menemukan diri kita bertindak demi orang yang kita sayangi. Dan ini—bagi Jane Addams—terletak di dasar masyarakat demokratis.
Pada tahun 1910, Universitas Yale memberinya gelar kehormatan, dan pada tahun 1931, ia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian untuk karyanya dalam aktivisme perdamaian. Saat itu, kesehatan Addams sudah memburuk dan tak dapat melakukan perjalanan ke Oslo menerima hadiah. Ia meninggal 4 tahun kemudian, pada tahun 1935.

Henri-Louis Bergson, 1859–1941, filsuf Prancis paling masyhur di awal abad ke-20, Bergson menghargai intuisi daripada kecerdasan dan pengalaman hidup daripada analisis logis. Karya-karyanya dikagumi karena kualitas sastranya dan juga karena ide-idenya. Ia lahir di Paris pada tahun 1859, putra seorang pianis Yahudi Polandia dan ibu Anglo-Irlandia. Setelah mengenyam pendidikan elit di Lycée Condorcet dan Ecole Normale Supérieure, ia menerbitkan esai pertamanya, Essai sur les données immédiates de la consciousness (Sebuah Esai tentang Data Kesadaran Langsung), saat mengajar di provincial lycée pada tahun 1889. Dalam karya utamanya yang kedua, Matière et mémoire (Materi dan Memori) (1896), Bergson menolak deskripsi ilmiah tentang ingatan dan aspek lain dari pikiran sebagai fungsi otak, dengan alasan pembagian mendasar antara pikiran dan materi. Novelis Prancis ternama, Marcel Proust (1871–1922) adalah sepupu dari istri Bergson, Louise Neuburger. Mahakarya Proust, À la recherche du temps perdu (Pencarian Waktu yang Hilang), dimana ia memperlambat dan memperbesar pengalaman dan secara sadar mencemooh waktu jam, sangat dipengaruhi oleh gagasan Bergson.
Meskipun dikritik oleh kaum rasionalis, filosofi Bergson selaras dengan semangat inovatif di awal abad ke-20, memberikan inspirasi bagi kaum Modernis yang merevolusi seni dan radikal politik yang bertekad mengubah masyarakat. Reputasi Bergson memudar setelah Perang Dunia I, ketika ia secara tak bijaksana berdebat dengan fisikawan Albert Einstein tentang kodrat waktu, sebuah debat yang membuatnya tampak kurang informasi tentang sains kontemporer.
Pada tahun 1927, ia dianugerahi Hadiah Nobel Sastra dan, pada tahun 1930, Grand-Croix de la Légion d'Honneur. Karya besarnya yang terakhir, Les deux sources de la morale et de la religion (Dua Sumber Moralitas dan Agama) (1932), memperdebatkan masyarakat terbuka yang kreatif dan keyakinan berdasarkan pengalaman mistis. Bergson tertarik pada Katolik tetapi menolak pindah agama karena ia tak ingin meninggalkan identitas Yahudinya dalam menghadapi anti-Semitisme yang meningkat di Eropa, 'Aku ingin tetap berada di antara mereka yang akan dianiaya besok.' Ia meninggal oleh bronkitis pada tahun 1941, seketika setelah pendudukan Nazi di Paris. Gagasan radikal Bergson tentang 'durasi' berpengaruh pada gerakan para Kubisme seperti Picasso, Braque, dan Gris, yang berusaha menjelajahi dimensi waktu dengan sekaligus menangkap objek dari beberapa perspektif.

John Dewey, 1859–1952, secara filosofis seorang Pragmatis, ia juga aktif dalam politik demokrasi dan pendidikan progresif. Dikagumi secara luas, ia kemudian dipandang sebagai pembawa standar tradisi liberal AS. Di bidang pendidikan, Dewey menerapkan gagasannya untuk menentang pembelajaran hafalan di sekolah demi pengembangan keterampilan dan kemampuan siswa melalui pemecahan masalah dan interaksi dengan guru mereka. Guna mempraktikkan pandangannya, ia membantu mendirikan Sekolah Laboratorium Universitas Chicago, awalnya menerima anak-anak melalui prasekolah hingga kelas 12. Sekolah-sekolah yang masih beroperasi hingga saat ini, menjadi andalan gerakan pendidikan progresif yang selalu mendorong siswa agar menjadi peserta aktif dalam proses pembelajaran. Dewey banyak menulis tentang psikologi dan membangun reputasi sebagai ahli teori pendidikan terkemuka dengan buku-buku seperti The School and Society (1899) dan The Child and the Curriculum (1902). Ia menulis karya akademisnya yang paling berpengaruh, Experience and Nature pada tahun 1925. Secara filosofis, Dewey—bersama dengan C. S. Peirce dan William James—salah seorang dari tiga Pragmatis AS terkemuka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dewey merupakan pandangan dunia yang empiris dan berwawasan ke luar, sejalan dengan optimisme dinamis AS pada peralihan abad ke-20.

George Santayana, 1863–1952, terlepas dari kelahirannya di Spanyol dan bertahun-tahun di Eropa, Santayana menganggap dirinya sebagai orang Amerika. Seorang penyair dan novelis, serta ahli metafisika, ia tokoh kunci di zaman keemasan fakultas filsafat Universitas Harvard. Publikasi besar pertamanya, The Sense of Beauty (1896), membahas estetika, mendefinisikan kesenangan yang kita alami dari merenungkan benda-benda indah sebagai kualitas benda-benda itu sendiri. Karya hebat Santayana, The Life of Reason, dipuji karena ekspresi puitisnya dan pesannya, keluar dalam empat jilid pada tahun 1905–1906. Di dalamnya, ia mencari dasar moralitas yang rasional, dengan menyesal menolak agama atas dasar intelektual; meskipun demikian, ia terus merasakan kasih-sayang terhadap iman yang dianutnya, membuatnya digambarkan sebagai 'ateis Katolik'. Secara politis, ia curiga terhadap aspek demagogis demokrasi, tetapi sangat mendukung kesetaraan kesempatan bagi semua. Ia terus menulis hingga usia lanjut, merilis otobiografinya, Persons and Places, pada tahun 1944, pada usia 80 tahun—terlepas dari ketulian progresif dan kehilangan penglihatan sebagian—ia menulis dengan baik hingga usia tua, menerbitkan karya besar terakhirnya, Dominations and Powers, pada tahun 1951.

Bertrand Russell, 1872–1970, dikagumi oleh para filsuf atas karyanya tentang logika dan dasar-dasar matematika, Russell beken di kalangan masyarakat luas karena sikap radikalnya terhadap masalah sosial, dari cinta bebas hingga perlucutan senjata nuklir. Lahir pada tahun 1872, Bertrand Russell lahir sebagai anggota aristokrasi liberal Inggris. Ayahnya, Lord Amberley, putra dari Lord John Russell, seorang reformis politik dan dua kali menjabat perdana menteri Inggris. Filsuf Inggris George Edward Moore adalah teman Russell di Cambridge dan berpengaruh besar pada pemikiran filosofis awalnya.
Bersamaan dengan karya filosofis Russell, ia terlibat dalam isu-isu politik dan gerakan reformasi sosial. Setelah dikurung selama 6 bulan di penjara Brixton pada tahun 1918 dan dipecat dari persekutuannya di Trinity College, Russell melanjutkan penelitian filosofisnya tentang dasar ilmu dan sifat dunia dalam karya-karya seperti The Philosophy of Logical Atomism (1918) dan An Inquiry into Meaning and Truth (1940), tetapi sejak tahun 1920-an dan seterusnya, sebagian besar karya-tulisnya bersifat jurnalistik, dan ia lebih berperan dalam masalah sosial dan politik. Tak seperti banyak aktivis lainnya, Russell bukanlah pengagum negara komunis di Rusia. Kunjungan ke sana pada tahun 1920, dimana ia bertemu Lenin, meyakinkannya bahwa komunisme bakalam jadi bentuk penindasan ketimbang pembebasan. Proyek Russell untuk reformasi sosial, dengan demikian, berfokus pada moralitas seksual dan pendidikan daripada revolusi politik.
Berpisah dari istrinya, Alys, pada tahun 1911, Russell menjadi juru kampanye kebebasan seksual dan pendekatan liberal dalam membesarkan anak. Pada tahun 1921, ia menikah dengan Dora Black, seorang sosialis dan feminis muda yang berpandangan yang sama tentang 'perkawinan terbuka' dan pengendalian kelahiran—yang kemudian menjadi isu yang sangat kontroversial. Bersama dengan Dora, Russell mendirikan sekolah Beacon Hill yang sangat progresif di Hampshire. Sekolah tersebut, lembaga pendidikan bersama yang dijalankan dengan prinsip progresif, menawarkan pendidikan seks tetapi tak ada pelajaran agama dan hampir tidak ada disiplin sama sekali.
Gagasan Russell tentang masyarakat diekspresikan dalam karya-karya populer seperti On Education (1926) dan Marriage and Morals (1929), namun pada kenyataannya, beberapa praktik yang ia promosikan, terbukti bermasalah. Karyanya, History of Western Philosophy, salah satu buku filsafat terlaris yang pernah ditulis. Ia dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 1950. Pada tahun 1961, ia dipenjara selama seminggu— pada usia 89 tahun—karena perannya dalam protes anti-nuklir di London. Russell meninggal pada Februari 1970, dalam usia 97 tahun.

Max Scheler, 1874–1928, seorang filsuf Jerman yang diasosiasikan dengan Fenomenologi dan antropologi filosofis, yang berupaya memberikan penjelasan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia. Max Ferdinand Scheler lahir di Munich pada tahun 1874 dari ibu Yahudi dan ayah Lutheran. Di masa remajanya, ia pertama-tama berkomitmen pada Marxisme dan kemudian pada Katolik, yang menyebabkan keterasingannya dari keluarga. Kehidupan pribadinya, merupakan badai. Surat kabar Munich melaporkan tuduhan perselingkuhan dengan murid-muridnya.
Scheler bertemu Edmund Husserl pada tahun 1901, dan terkesan dengan gagasan Fenomenologi sebagai eksplorasi kesadaran secara sistematis. Titik tolak fenomenologi ialah upaya memahami kesadaran dari sudut pandang diri kita sendiri sebagai makhluk yang sadar. Dengan kata lain, upaya ini untuk memahami manusia—dan dunia tempat kita menjadi bagiannya—dari dalam. Fenomenologi merupakan bidang yang sangat beragam—begitu beragamnya, pada kenyataannya, dapat dikatakan lebih berguna melihatnya bukan sebagai gerakan tunggal, tetapi sebagai serangkaian eksperimen dalam berfilsafat, yang semuanya berangkat dari pertanyaan dasar, 'Bagaimana rasanya menjadi makhluk sadar?'
Karya Scheler yang paling penting, termasuk Zur Phänomenologie und Theorie der Sympathiegefühle und von Liebe und Hass (Tentang Fenomenologi dan Teori Simpati, dan Cinta dan Benci) (1913) dan Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik (Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Non-Formal) (1913). Dalam Die Stellung des Menschen im Kosmos (Tempat Manusia di Alam)(1928), di antara karya lainnya, Scheler membahas apa yang ia anggap sebagai masalah filosofis terpenting: apa artinya menjadi manusia? Menurut Scheler, manusia dibedakan dari hewan lain, dengan kemampuan mereka, melepaskan diri dari dorongan hewaninya.
Selama beberapa dekade, Scheler disanjung sebagai salah satu filsuf terpenting Eropa. Namun, kehidupan pribadinya terus bergejolak, dan di tahun-tahun terakhirnya, kesehatannya menurun drastis, sebagian sebagai akibat dari kebiasaan merokoknya yang berat. Ia meninggal karena serangan jantung pada tahun 1928.
[Bagian 2]