Rabu, 29 Maret 2023

Taqwa : Manfaatnya di Dunia dan Akhirat (1)

“Seorang lelaki berjalan tertatih-tatih, masuk ke rumah sakit dan memaksa agar kakinya segera dirontgen,” berkata Rembulan dikala cahayanya mulai bersinar, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
"Setelah diketahui bahwa kakinya baik-baik saja, seorang perawat membawa sang lelaki kembali ke ruang tunggu. Lalu seorang dokter datang, menyerahkan sebuah pil yang cukup besar.
Saat itu, ada panggilan bagi sang dokter, dan ia mohon-diri barang sebentar.
Masih merasakan sakit, sang lelaki memperhatikan pil yang besar itu. Bagaimana mungkin aku menelannya? pikirnya. Tapi karena merasa sangat kesakitan, dan ia tak tahu, berapa lama sang dokter bakal balik lagi, maka, ia menutup matanya dan memaksakan dirinya, menelan pil tersebut. Memang sih rasanya, nano-nano.
Setelah itu, sang dokter kembali membawa baskom berisi air-hangat.
'Okkeyy,' katanya. 'Cukup larutkan pilnya ke dalam air dan rendam kakimu di dalamnya, bentaar aja.'"

Rembulan meneruskan, "Sesungguhnya, nasehat yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, dari zaman Nabi Adam, alaihissalam, hingga kini, ialah bertaqwa kepada-Nya.Taqwa [atau 'Takwa' dalam KBBI, namun dalam konteks ini, kita pakai kata 'Taqwa' agar lebih memudahkan pemahaman makna linguistiknya] merupakan harta yang masing-masing kita, hendaknya mencari dan menyempurnakannya, oleh teramat luasnya keutamaan, berkah dan buah yang menyertainya. Taqwa merupakan perisai bagi kita dan keluarga kita dalam kehidupan ini. Bagi siapapun yang bertaqwa kepada Allah, maka ia terlindungi. Taqwalah di antara bekal terbaik bagi seorang mukmin, bermanfaat baginya di dunia ini, memudahkan urusannya, melindunginya dari setan, menjadikannya menikmati kedudukan tinggi di dunia, serta kemudahan dan berita gembira di saat ajal.
Menurut Syaikh Shalih Al-Fauzan, makna linguistik 'Taqwa' dalam bahasa Arab ialah: menempatkan penghalang atau perlindungan antara dirimu dan apa yang tak engkau sukai, mirip dengan orang yang memakai pakaian karena khawatir dingin atau panas, atau yang memakai baju besi, takut akan panah musuh, atau serupa dengan orang yang membangun benteng, guna memproteksi diri dari jebakan musuhnya, atau memakai sepatu, agar kakinya terlindungi dari, baik panasnya jalanan yang terpanggang oleh matahari, maupun dari seonak duri. Orang yang melakukan tindakan ini, melindungi dirinya dari hal-hal berbahaya, yang mungkin bakalan menimpanya.
Kebalikan dengan hal tersebut, Taqwa kepada Allah tak dicapai dengan mengenakan pakaian pelindung atau dengan membangun benteng, pula, tak dapat direngkuh dengan mengumpulkan senjata atau pasukan. Melainkan ketaqwaan digapai dengan menaati-Nya, dan dengan memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Oleh karenanya, makna Taqwa [takut kepada Allah]: bahwa engkau bertindak atas apa yang Allah perintahkan, dengan berharap akan pahala-Nya, dan bahwa engkau menjauhi ketidaktaatan kepada-Nya, karena takut akan adzab-Nya.
Hal ini senada dengan makna ayat berikut [yang sering kita dengarkan saat diucapkan oleh Imam Khutbah Jumat atau Khutbah lainnya]:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
'Duhai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.' [QS. Ali 'Imran (3):102]
Maknanya, seseorang tak meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan Allah, melainkan ia melaksanakannya, dan demikian pula, ia tak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, melainkan ia berpantang darinya.

Definisi Taqwa ini, sekaligus memberikan jawaban mengapa kita hendaknya bertaqwa. Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, mengomentari tentang ayat ini,
اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ
'... bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya ...' [QS. Ali 'Imran (3):102]
'Bertaqwalah kepada Allah (dengan melaksanakan segala yang Dia, Subhanahu wa Ta'ala, telah perintahkan dan dengan menjauhi segala larangan-Nya) sebagaimana Dia semestinya ditakuti. [Taatilah Dia, bersyukurlah kepada-Nya, dan ingatlah Dia selalu]. [Taqwa] bahwa Dia dipatuhi, bukan dipungkiri, dan bahwa Dia diingat, bukan dilalaikan, dan bahwa Dia dipuja dalam bentuk syukur, bukan didurhakai.' Jadi, siapapun yang melakukan ini, berarti takut kepada Allah lantaran Dia memang pantas ditakuti.
Tiada seorang pun yang benar-benar mampu melaksanakan segala yang Allah perintahkan tanpa meninggalkan sesuatu sama sekali, juga sunggguh-sungguh tak mampu menjauhkan diri dari segala larangan-Nya, dan oleh latarbelakang ini, sebagian sahabat agak risau mengenai ayat ini, maka Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
'Bertaqwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! Dengar dan taatlah, serta infakkanlah harta yang baik bagi dirimu! Siapa yang dilindungi dari kekikiran egonya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.' [QS. At-Taghabun (64):16]
Jadi, tatkala seseorang menunaikan amal-shalih sebanyak mungkin, ia telah takut kepada Allah sebanyak yang ia mampu, karena Allah tak membebani seseorang lebih dari yang mampu ditanggungnya, dan inilah Rahmat-Nya.
Ketika seorang hamba berjuang dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, Allah mengampuninya dalam hal apa yang tak sanggup ia tanggung dan itulah mengapa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
'Maka jika aku melarangmu melakukan sesuatu, menjauhlah darinya. Dan jika aku menyuruhmu melaksanakan sesuatu, maka kerjakanlah semampu yang engkau bisa' [Shahih Al-Bukhari]
Syaikh Al-Fauzan kemudian menjelaskan tentang 'dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.' Inilah perintah Allah, bahwa seorang mukmin tak boleh mati kecuali sebagai seorang Muslim, memegang teguh agamanya.
Tapi, mampukah seseorang, mati sebagai seorang Muslim atau semua ini ada dalam Genggaman Allah? Memang sih, dalam hal yang ini, ada dalam Genggaman Allah, tetapi yang dimaksud dengan firman-Nya 'bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim' bahwa engkau tetap teguh pada kemurnian iman dan dalam agama Islam, dan siapapun yang tetap berpegang teguh pada hal ini, telah melakukan tindakan yang menyebabkan Allah memberinya akhir yang baik, karena siapapun yang menjalani gaya hidup tertentu, akan mati dalam gaya hidupnya itu. Oleh karenanya, hal ini mengandung dorongan bagi seseorang agar berpegang-teguh dan bersabar atas agamanya, supaya kematian tak datang kepadanya dalam keadaan durhaka kepada Allah, yang berakibat keburukan baginya, mengingat bahwa seseorang, umumnya mati dalam gaya hidup tertentu, yang diikutinya.
Jadi, siapapun yang menjalani kehidupan yang, taat kepada Allah, mencintai-Nya dan Rasul-Nya (ﷺ), ia telah beroleh penyebab akhir yang baik. Adapun orang yang mencatat perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah, maka orang tersebut telah melakukan perbuatan yang menyebabkan kematiannya dengan tujuan yang buruk, maka hal ini perlu diwaspadai.
Banyak nasehat yang diberikan Syekh Al-Fauzan, diantaranya: bagaimana mempererat persatuan umat, namun akan kita bahas pada sesi lain, Insya Allah.

Sekarang, mari kita lihat apa yang disampaikan oleh Syaikh bin Shalih al-Utsaimin, rahimahullah, tentang Taqwa. Tapi terlebih dahulu, siapa Syaikh Utsaimin? Abu Abdullah, Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin 'Utsaimin al-Wuhaibi at-Tamimi, lahir di kota 'Unayzah pada tanggal 27 bulan Ramadhan yang diberkahi, pada tahun 1347 H [9 Maret 1925]. Ia menghafal seluruh Al-Qur'an, lalu kemudian melanjutkan mencari ilmu. Ia belajar menulis, berhitung dan disiplin ilmu lainnya. Ia mempelajari fikih dan hukum waris bersama para ulama terkemuka.
Pada tahun 1371H, ia mulai mengajar di masjid secara berjamaah; dan ketika lembaga pendidikan dibuka di Riyadh, ia bergabung pada tahun 1372H.
Syaikh Utsaimin memiliki sejumlah besar karya buku berharga, yang bermanfaat bagi masyarakat, tentang mata pelajaran Aqidah, Fiqih dan prinsip-prinsipnya, teguran, nasihat dan dakwah, serta sebagian besar diajarkan oleh kementerian pendidikan. Kerajaan Arab Saudi. Ia wafat pada hari Rabu, tanggal 15 Syawal 1421H [10 Januari 2001], dalam usia 74 tahun. Semoga Allah merahmatinya. Allahumma Amin.

Taqwa dalam pandangan Syaikh Utsaimin tak berbeda dengan Syaikh Al-Fauzan. Makna Taqwa itu, bahwa seorang hamba menempatkan antara dirinya dan apa yang ditakutinya, sebuah penjaga yang akan melindunginya.
Kata taqwa merupakan turunan dari kata ‘ittaqa,’ dari akar kata ‘waqa’, yang maknanya, 'ia melindungi dirinya dari apa yang merugikannya.' Pada dasarnya, inilah taqwa—perlindungan dari hal-hal yang merugikan diri sendiri.
Makna taqwa bagi hamba Allah ialah ‘bahwa sang hamba menempatkan antara dirinya dan apa yang ditakutinya, yakni kemarahan dan kemurkaan Rabb-nya, penjaga yang akan melindunginya. Dengan menaati-Nya dan menahan diri dari ketidaktaatan kepada-Nya.

Berikut beberapa ucapan Pendahulu kita yang shalih, dalam menjelaskan makna Taqwa:

Abdullah bin Abbas, radhiyallahu 'anhu berkata, 'Orang-orang yang takut kepada Allah, mereka itu, orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan hukuman-Nya.

Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, ditanya tentang Taqwa, maka ia bertanya kepada sang penanya, pernahkah ia menapaki jalan yang berduri. Sang penanya menjawab bahwa ia pernah melakukannya. Abu Hurairah bertanya padanya, bagaimana cara berjalan saat melaluinya. Sang penanya berkata, 'Saat ada duri, aku menjauhinya karena bisa jadi, aku tertusuk olehnya.' Abu Hurairah berkata, 'Begitulah maksudnya (mengambil langkah guna menghindari dosa).'

Ibnu Rajab, rahimahullah, berkata, ‘Inti dari Taqwa itu, membuat tameng (yang menjaga) dari kemurkaan dan azab Allah. Tameng itulah, menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.'

Hasan al-Basri, rahimahullah, berkata, 'Orang-orang yang bertaqwa, menjaga diri dari apa yang dilarang Allah dan bertindak atas apa yang Dia perintahkan. Taqwa tetap bersama mereka sampai mereka meninggalkan banyak hal yang halal, karena takut hal itu, bisa menjadi haram.'

Abu Darda, radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Bentuk taqwa yang lengkap ialah takut kepada Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang mulai takut kepada-Nya dari potensi dosa, seperti biji sesawi dan sampai seseorang meninggalkan apa yang mungkin halal dalam kekhawatiran bahwa itu bisa menjadi haram berdasarkan ayat, 'Maka barangsiapa melakukan kebaikan sebesar atom, ia akan melihatnya; dan barangsiapa yang berbuat kejahatan sebesar atom, ia akan melihatnya.' Maka janganlah engkau melarang kebaikan apapun dan beramallah atas kebaikan. Jangan remehkan kejahatan apapun, dan lindungilah dirimu darinya.'

Talq bin Habib, seorang tabi'i yang masyhur, dikenal karena ilmunya, takwanya dan hafalannya, berkata, 'Jika muncul cobaan berat di antara kalian, padamkan dengan taqwa.'
Saat ditanya, apa itu taqwa, ia menjawab, 'Taqwa itu, bahwa engkau bertindak dalam ketaatan kepada Allah, dan berharap pada rahmat-Nya, pada cahaya dari-Nya; dan taqwa itu, meninggalkan perbuatan durhaka kepada Allah, lantaran takut pada-Nya, di atas cahaya dari-Nya. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dinyatakan Shahih oleh Syaikh Al-Albani]

Abu Umamah, radhiyallahu 'anhu, berkata, 'Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) berkhutbah saat Haji Wada', dan bersabda,
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
'Bertaqwalah kepada Rabb-mu, dan shalatlah lima waktumu, dan puasalah di bulanmu, dan bayarkanlah zakat atas hartamu, dan taatilah orang-orang yang mengurusmu, engkau akan masuk taman-surga Rabb-mu.' [Jami` at-Tirmidzi; Hasan]
Setiap kali Rasuulullah (ﷺ) mengutus seorang komandan pasukan penyerbu dalam ekspedisi militer, beliau (ﷺ) akan menasihatinya, agar bertakwa yang mengakar, dan beliau (ﷺ) juga akan memberikan nasihat yang sama kepada seluruh anak-buah sang komandan.

Para Salaf, tiada hentinya saling menasehati agar bertaqwa dalam khotbah-khotbahnya, surat-suratnya, dan wasiat-wasiatnya setelah Rasulullah (ﷺ) wafat.
Umar bin Khattab, radhiyallahu 'anhu, menyurati putranya Abdullah bin Umar, 'Amma ba'du ... Sesungguhnya aku menasehatimu agar bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, karena barangsiapa yang takut kepada-Nya, Allah akan melindunginya, dan barangsiapa yang memberikan pinjaman kepada-Nya, Allah akan membalasnya, dan barangsiapa yang bersyukur kepada-Nya, Allah akan menambahkan untuknya.'
Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu 'anhu, memberi nasihat kepada seseorang, dan ia berkata, 'Aku menasehatimu agar bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla. Tiada jalan untuk menghindar dari bertemu dengan-Nya dan tiada yang lain akan menemuimu kecuali Dia ketika engkau berada di akhirat, sebab sesungguhnya Allah memiliki dunia ini dan akhirat.'
Salah seorang yang shalih, menyurat kepada saudaranya yang beriman, 'Aku menasehatimu dengan taqwa kepada Allah Yang mengetahui rahasianu dan melihat tindakanmu, jadi ingatlah Allah di setiap waktu, malam dan siang, dan bertaqwalah kepada Allah karena Dia sangat dekat, dan Dia berkuasa atasmu. Dan ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu. Dan janganlah gantikan peraturan-Nya dengan peraturan lain, atau Kekuasaan-Nya dengan kekuasaan lain. Maka muliakanlah Dia, dengan sangat takut kepada-Nya.’

Syekh Utsaimin menyebutkan bahwa ada lebih dari dua puluh manfaat Taqwa di dunia ini dan juga lebih dari dua puluh manfaat Taqwa di akhirat. Kita akan menelaahnya pada sesi-sesi selanjutnya, Biidznillah."
[Sesi 2]