Jumat, 10 Maret 2023

Para Pemikir : Terkini (1)

"Dua gurita sedang berbincang-bincang," kata Swara saat ia tiba, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
"Gurita pertama: 'Apa yang paling gak loe suka jadi gurita?'
Gurita kedua: 'Cuci-tangan sebelum makan.'"

"Terkadang kita berdalih, 'Kita tak dapat memuaskan semua orang!'" Swara melanjutkan, "Nicholas Rescher menulis, 'Sebuah Kanon tak semata peralatan aneh yang berdentum dan menjelirkan selongsong—atau pejabat di gereja katedral—melainkan pula, daftar karya otoritatif yang diterima di bidang tertentu. Dan sementara kisah-kisah ahli fabulis Yunani Aesop (ca. 640–ca. 560 SM) tak termasuk dalam kanon buku-buku filosofis yang mapan, yang tetap penuh dengan ide dan pelajaran filosofis instruktif, dan dengan demikian, tak jarang dikutip dalam diskusi filosofis.
Sebuah contoh bagus dari kisah-kisah instruktif filosofis dimana kita berutang-budi kepada Aesop, ialah fabelnya tentang 'Sang lelaki, sang bocah, dan sang keledai.' Berjalan sebagai berikut,

'Alkisah, seorang lelaki tua dan putranya, pergi ke pasar dengan keledai mereka. Saat mereka berjalan di sisinya, seorang warga berpapasan dengan mereka dan berkata, 'Betapa bodohnya kalian, apa gunanya Keledai yang tak ditunggangi itu?' Maka, sang lelaki meletakkan sang bocah di atas sang keledai dan mereka melanjutkan perjalanan. Namun, tak lama kemudian, mereka berpapasan dengan sekelompok orang, salah seorang berkata, 'Lihat, bocah egois itu, membiarkan ayahnya berjalan selagi ia sendiri menunggang keledai.' Lalu, sang lelaki memerintahkan sang bocah turun dari keledai, dan ia sendiri yang menungganginya.
Belum seberapa jauh berjalan, mereka melewati dua orang wanita, salah seorang berkata kepada sang ayah, 'Betapa memalukannya engkau ini, membiarkan anakmu yang malang, berjalan sendiri di saat engkau naik keledai.' Maka, sang lelaki bingung tentang apa yang harus dilakukannya, namun akhirnya mendudukkan sang bocah di depannya sembari menunggang keledainya. Pada saat itu, mereka telah sampai di kota, dan orang-orang yang lewat, mulai mencemooh dan menunjuk ke arah mereka. Tatkala sang lelaki berhenti dan bertanya apa yang mereka cemoohkan, mereka menjawab, 'Tak malukah engkau pada dirimu sendiri lantaran membebani keledai malangmu dengan putramu yang berat?'
Sang lelaki dan sang bocah turun dari keledai, lalu berusaha memikirkan apa yang hendaknya dilakukan. Setelah berpikir panjang, mereka akhirnya menebang sebuah batang-pohon, mengikat kaki-kaki sang keledai ke batang tersebut, dan membopong batang tersebut beserta keledai yang keempat kakinya yang telah terikat di situ. Mereka pergi bersama di tengah tawa semua orang yang bertemu mereka sampai mereka tiba di Jembatan Pasar, saat sang keledai melepaskan salah satu kakinya, menendang dan menyebabkan sang bocah melepaskan ujung batang yang satunya ke luar jembatan sehingga sang keledai terjatuh dari jembatan, dan kaki depannya terikat jadi satu, iapun tenggelam. 'Itu bakal jadi pelajaran,' kata sang lelaki tua yang mengikuti mereka, 'Mau memuaskan semua, dan engkau takkan memuaskan siapapun.'

Pelajaran pertama dan paling jelas di sini, bahwa tiada cara untuk memuaskan semua orang: orang yang berbeda akan punya pendapat yang berbeda tentang bagaimana melanjutkan dalam situasi tertentu, dan tiada satu resolusi di antara alternatif semacam itu, yang akan memuaskan semua orang. Trus, mau diapain?
Boleh jadi, seseorang dapat mengelolanya agar meminimalkan ketidakpuasan. Saat kita melihat alternatifnya, preferensinya adalah, sang lelaki dan sang bocah, tak ada yang menunggang keledai. Jadi mari kita singkirkan itu dari perselisihan. Dan antara (1) hanya sang lelaki yang menunggangi keledai; atau hanya sang bocah yang menunggangi keledai (2), keunggulan (2) dapat bertahan: keadaan sang lelaki/sang bocah menjadi simetris di sini, sebaiknya, biarkan keledainya yang memutuskan—mencerminkan kebenaran yang lebih besar bahwa yang terpenting, tak semata voting, melainkan siapa yang berhak memilih.
Keadaan ini, juga instruktif dalam menggambarkan batas -batas teori keputusan rasional, yang tentu saja akan menghasilkan output yang tepat hanya ketika seseorang memberikan input yang tepat. Pada akhirnya prinsip -prinsip operasi utama di sini, merupakan—atau semestinya—bahwa kepentingan manusia mengalahkan kepentingan hewan; orangtua yang lemah, kurang dapat menanggung beban dibanding anak-muda yang sehat.
Agaknya, kemudian, sang lelakilah yang hendaknya berhak naik ke atas keledai dan sang bocah berjalan di samping sang keledai. Fokus pada preferabiliti ketimbang preferensi belaka, menjadikan pendekatan para filsuf, bukan sesuatu yang agak berbeda dari teori pengambilan keputusan.
Dan pelajaran lebih lanjut, tampak pula di latar belakang. Kisah sang keledai ini, sangat menonjol sebagai bersifat lambang dari keadaan filosofis. Ia berputar pada fakta bahwa ada beberapa alternatif yang saling-lepas: jumlah pengendara pada keledai dapat berupa 0, 1, atau 2 dan cuma itu. Akan tetapi, entah alternatif mana yang dipilih, akan ada masalah dan kemungkinan keberatan—tiada alternatif yang bebas biaya dalam hal ini. Tantangannya adalah melakukan analisis biaya biaya—bukan untuk menemukan opsi bebas biaya yang tak bermasalah, melainkan untuk mengidentifikasi alternatifnya yang menyeimbangkan saldo aset atas kewajiban, keuntungan di atas kerugian, plus di atas minus, merupakan opsional.

Kurang lebih seperti itulah Filosofi, kata Rescher. Masalahnya selalu mengakui resolusi alternatif dan tak satupun darinya, tanpa masalah dan kesulitan. Tantangannya bukanlah untuk menemukan resolusi tanpa cacat, tetapi menemukan yang lebih disukai vis-à-vis risikonya, sebab keseimbangan aset atas kewajiban—dari instruktif dibanding keanehan—merupakan hal yang optimal.
Pekerjaan para filsuf, dengan demikian, terutama, salah satu penilaian dan evaluasi. Seringkali—dan terutama ketika masalah moda hidup ada dalam agenda—filsuf tak dipanggil untuk mengidentifikasi alternatif: orang lain (novelis, misalnya) seringkali lebih mampu melakukannya. Perhatian para filsuf adalah kriteria logis—menjelaskan dan mengimplementasikan standar yang menentukan alasan akuntansi satu alternatif lebih baik dari yang lain. Tugasnya menyediakan bahan -bahan di atas dasar siapa seseorang dapat secara wajar, memutuskan sisi pertanyaan mana, yang punya kasus terkuat yang menguntungkannya.

Filosofi, menurut tradisi, merupakan bidang pengkajian yang membahas 'the big questions' tentang kodrat manusia dan tempat kita dalam skema segala sesuatu.
'Filsuf Yunani Pythagoras (ca. 570–ca. .490 SM) menempatkan matematika di depan dan di tengah bidang perembukan filosofis. Aristoteles memberitahu kita bahwa 'Pythagoras, memandang bahwa banyak struktur angka yang mencirikan pranata yang masuk akal, menganggap hal-hal nyata sebagai angka .... Lantaran atribut angka, hadir dalam skala musik dan dalam nirwana banyak hal lainnya.' Seperti yang dilihat oleh Pythagoras dan ajarannya, realitas pamungkas alam, bukanlah hal-hal inderawi sementara, yang muncul dalam pengalaman kita sehari-hari, melainkan keteraturan kuantitatif yang stabil dan tak berubah, yang menjadi ciri operasinya. Hukum Gravitasi yang selalu dipatuhi, bersama dengan segala sesuatu dimanapun, yang memberi kita wawasan tentang sifat nyata.
Garis pemikiran ini, berjalan lurus melalui sejarah filosofi ilmiah hingga saat ini. Salah satu artikulasinya yang paling tajam ialah, diktum fisikawan Inggris Lord Kelvin (1824–1907) yang sering dikutip, 'Tatkala engkau dapat mengukur apa yang engkau bicarakan, dan mengungkapkannya dalam angka, engkau mengetahui sesuatu tentangnya; namun ketika engkau tak dapat mengungkapkannya dalam angka, ilmumu amat cetek dan tak memuaskan.' Gagasan bahwa semata apa yang terukur dapat dianggap sebagai ilmu nyata tentang realitas, telah muncul sejak hari-hari awal filosofi. Namun, jauh lebih sering dipertahankan ketimbang diperdebatkan. Lagi pula, tiada alasan yang benar-benar menentukan guna menyangkal dimensi kualitatif dari pengalaman manusia, tempat instruktifnya dalam skema kognitif benda-benda. Gagasan bahwa jika engkau tak dapat mengatakannya dengan angka, maka tiada gunanya mengatakannya, hampir tak dapat dipertahankan. Mengutip Hamlet: ada lebih banyak hal di langit dan di bumi dibanding yang diimpikan dalam filsafat matematika.

Penyair dan jurnalis Amerika, John Godfrey Saxe (1816–1887), humoris yang tenar di negara itu sebelum Mark Twain. Seorang nyonya rumah Washington menganggapnya sebagai 'pantas dihukum mati sebab membuat orang tertawa terbahak -bahak.' Ia memperoleh ketenaran abadi dengan puisinya 'The Blind Men and the Elephant,' yang menceritakan kisah orang bijak buta tertentu, yakni

Six men of Indostan
[Enam orang dari Hindustan]
To learning much inclined
[Yang hendak banyak belajar]
Who went to see the elephant
[Yang pergi melihat sang gajah]
(Though all of them were blind)
[(Walau semuanya buta)]

Seorang dari para bijak tersebut, menyentuh 'sisi yang terlebar dan kokoh' dari sang gajah dan menyatakan bahwa sang satwa 'teramat-sangat seperti dinding.' Yang kedua, yang merasakan gadingnya, memaklumkan bahwa sang gajah menyerupai tombak. Yang ketiga, yang merasakan belalai sang gajah menggeliat di tangannya, membandingkannya dengan ular; Sementara yang keempat, yang meletakkan lengannya di lutut sang gajah, yakin bahwa sang satwa, menyerupai pohon. Telinga yang mengepak, meyakinkan yang lain bahwa sang gajah berbentuk kipas; Sementara orang buta keenam, menganggap bahwa sang gajah berbentuk tali, sebab ia memegang ekor sang gajah.

And so these men of Indostan,
[Dan demikianlah, orang-orang Hindustan ini]
Disputed loud and long;
[Bersengketakan lantang dan kanjang]
Each in his own opinion
[Masing-masing dengan tilikannya]
Exceeding stiff and strong:
[Melebihi penengkar dan penangkas]
Though each was partly in the right,
[Meski masing-masing sebagian benar,]
And all were in the wrong.
[Dan keseluruhannya dalam kekeliruan.]

Mereka menyimpulkan bahwa sang gajah laksana dinding, ular, tombak, pohon, kipas atau tali, tergantung dimana mereka menyentuhnya. Tiada deskripsi yang benar dari orang-orang Hindustan itu, terhadap sang gajah seutuhnya.

Para filsuf terlalu rentan menuduh kolega mereka, dengan cepat mengambil kesimpulan besar pada bukti kecil. Bahaya kegagalan ini—terdeteksi lebih mudah pada orang lain dibanding diri-sendiri—merupakan salah satu pelajaran instruktif dari puisi filosofis ini.
Yang pasti, orang mungkin berusaha mengatasi keadaan ini melalui gagasan bahwa berbagai akun—yang tampak sebagai doktrin filosofis yang sumbang—semuanya dengan tepat mengkarakterisasi kebenaran dari berbagai bidang yang berbeda dari satu realitas yang meriah. Dilihat dalam cahaya ini, relatas itu kompleks dan diversifikasi secara internal, menyajikan berbagai aspek dari dirinya sendiri kepada para penanya yang mendekatinya dari berbagai titik keberangkatan. Dan dengan pendekatan seperti itu, sistem filosofis yang beragam bisa tampak sebagai, menggambarkan realitas secara bervariasi karena menggambarkannya dalam berbagai aspek atau anggapan. Semua orang benar—tetapi hanya dalam kisaran terbatas. Setiap doktrin filosofis lebih benar—dengan caranya sendiri. Pada prinsipnya, berbagai akun dapat dikurangkan atau ditambahkan. Posisi yang rupanya beragam, dipandang sebagai banyaknya aspek dari satu doktrin yang merangkul semua; semuanya dapat disatukan oleh 'melainkan pula.' Doktrin realitas beragam yang seperti itu, akan menggabungkan beberapa alternatif yang tampaknya sumbang dengan cara yang memberi masing -masing bagian bawahan dalam satu keseluruhan yang menyeluruh. Rekonsiliasi antara beragam doktrin dapat dipengaruhi secara aditif melalui formula gabungan 'melainkan lebih jauh dalam hal ini,' bahkan ketika gajah seperti tombak sehubungan dengan gading dan seperti tali sehubungan dengan ekornya.

Pluralisme William James menyingkatnya seperti ini:
Tiada yang mustahil dalam anggapan bahwa analisis dunia dapat menghasilkan sejumlah formula, semuanya konsisten dengan fakta. Dalam ilmu fisika, rumus yang berbeda dapat menjelaskan fenomena yang sama baiknya—teori satu-fluida dan dua-fluida listrik, misalnya. Mengapa tak demikian halnya dengan dunia? Mengapa tiada sudut pandang yang berbeda untuk mensurvei, di mana masing -masing semua data selaras, dan yang oleh karenanya, pengamat dapat memilih antara, atau sekadar mengumpulkan satu sama lain? Sebuah kuartet string Beethoven benar-benar, seperti yang dikatakan seseorang, goresan ekor kuda di perut kucing, dan mungkin dijelaskan secara mendalam dalam istilah-istilah seperti itu; Tetapi penerapan deskripsi ini, sama sekali tak menghalangi penerapan simultan dari mode deskripsi yang sama sekali berbeda.

Maka, muncullah pertanyaan enam puluh empat dolar: Sungguhkah pandangan filosofis yang sumbang, bertentangan, atau saling melengkapikah mereka komponen berbeda dari satu posisi keseluruhan yang kompleks?
Tentu saja, akan bermurah hati dan irenik mengambil pandangan bahwa semua orang benar sebagian. Namun sayangnya, kalimat ini, tak terlihat menjanjikan. Lantaran kenyataannya, bahwa pandangan dan posisi filosofis dirancang terhadap konflik. Alasannya menjadi posisi tertentu dalam filsafat untuk menyangkal dan bertentangan dengan alternatif yang sumbang itu. Dan pada akhirnya, kita memiliki sedikit pilihan selain menduga bahwa realitas umum sesuatu itu, sebagai pengalaman kita yang terbatas tentang sesuatu yang menunjukkannya.

Dan sekarang, mari kita lihat 'Para Pemikir Terkini' menurut para kontributor kita: Noam Chomsky, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Richard Rorty, Susan Sontag, Hélène Cixous, Julia Kristeva, Martha Nussbaum, Slavoj Zižek, Gloria Jean Watkins 'bell hooks', dan Judith Butler.

Avram Noam Chomsky, lahir tahun 1928, seorang intelektual yang menjulang tinggi, kondang oleh pekerjaan perintisnya dalam linguistik. Seorang sarjana Amerika yang ketat dan juru kampanye yang tegas, pengaruhnya meluas dari filsafat dan sains kognitif ke urusan internasional. Ia dilahirkan dalam keluarga Yahudi kelas pekerja di Philadelphia. Ayahnya seorang sarjana Ibrani yang terhormat.
Pada tahun 1945, Chomsky memulai studinya di University of Pennsylvania dan beroleh gelar PhD dari Universitas Pennsylvania pada tahun 1955. Pada tahun 1957, ia menerbitkan salah satu karyanya yang paling ternama dan berpengaruh, Syntactic Structures. Selama sekitar 20 tahun ke depan, Chomsky mengamankan reputasinya sebagai 'bapak linguistik modern' dalam karya -karya besar seperti Aspects of The Theory of Language (1965) dan The Logical Structure of Linguistic Theory (1975), yang terakhir merupakan teknis yang kompleks, yang meneliti struktur yang mendasari penggunaan bahasa. Namun, kontribusi Chomsky yang paling signifikan terhadap sejarah pemikiran, yang dikembangkan sejak akhir 1950 -an dan seterusnya, berkaitan dengan teorinya tentang kemampuan manusia menguasai aturan bahasa yang kompleks.
Dalam keberangkatan radikal dari pandangan yang berlaku di paruh pertama abad ke -20 bahwa bahasa dipelajari, Chomsky mengedepankan teorinya yang inovatif tentang 'tatabahasa universal,' dengan alasan bahwa sebenarnya bahasa merupakan kapasitas bawaan manusia yang telah berkembang dari proses evolusioner. Ia lebih lanjut berpendapat bahwa aturan struktur bahasa tertentu, umum untuk semua bahasa.
Terlepas dari status akademisnya yang menjulang tinggi dan fakta bahwa ia orang yang dikenal berpribadian kurang baik, aktivisme politik Chomsky yang tak kenal lelah, yang membuatnya tetap dalam sorotan global. Chomsky kritikus ganas terhadap imperialisme AS dan dalam beberapa tahun terakhir telah mengalihkan perhatiannya pada pemerintahan Trump. Perang di Vietnam (1955–1975) mendorong bukunya The Responsibility of Intellectuals (1967), yang merupakan dakwaan yang memberatkan dari budaya intelektual AS. Sejak saat itu, ia tetap menjadi juru kampanye politik dan hak asasi manusia yang tegas (menyoroti kekejaman di Timor Timur, Kamboja, dan Turki, misalnya). Fokusnya semakin berubah pada distorsi dan kemunafikan ideologi Barat.

Jean Baudrillard, 1929–2007, seorang guru Postmodernitas Prancis, terkenal karena analisis realitas dan simulasi, ia menarik perhatian media bagi aktivisme dan komentar provokatifnya tentang peristiwa global dan masyarakat konsumen. Tesis doktoralnya kemudian diterbitkan sebagai buku utama pertamanya, Le Système des Objets (The System of Objects) (1968). Dalam Simbolic Exchange and Death (1976), ia membuat patahan radikal dari analisis ekonomi yang diilhami Marxis sebelumnya tentang budaya konsumen agar berfokus lebih kuat pada semiotika, tanda, dan masyarakat. Tapi itulah publikasi Simulacra dan simulasi pada tahun 1981 yang benar -benar meluncurkan kariernya.
Baudrillard mempertanyakan status 'yang sebenarnya.' Film tahun 1999, The Matrix, dimana manusia disimulasikan oleh mesin, melambungkan Baudrillard ke status kultus. Film ini membuat berbagai referensi terhadap simulacra dan simulasi, meskipun filsuf mengklaim bahwa hal ini didasarkan pada salah membaca teksnya. Dalam film tahun 1999, The Truman Show, yang dibintangi Jim Carrey, hidup digambarkan tak lebih dari set panggung, simulasi realitas—seperti dunia yang direplikasi, 'hyperreal' yang digambarkan oleh Jean Baudrillard.

Jacques Derrida, 1930–2004, paling sering dikaitkan dengan bentuk analisis tekstual yang dikenal sebagai 'dekonstruksi.' Kekhawatiran utama dari dirinya ialah, melalui analisis yang ketat, mengungkap ketegangan dan kontradiksi dalam wacana yang berbeda. Ia dilahirkan di El-Biar, pinggiran kota Aljir di Aljazair yang dikelola Prancis. Orang tuanya orang Yahudi Sephardic, dan ia mengalami diskriminasi sejak usia dini.
Pada tahun 1967, ia menerbitkan tiga karya filosofisnya yang paling berpengaruh dan penting: L'écriture et la différence (penulisan dan perbedaan), de la grammatologie (dari gramatologi),
dan La Voix et le Phénomène (pidato dan fenomena).
Derrida sering terkait erat dengan konsep dekonstruksi. ' Seperti namanya, dekonstruksi merupakan strategi filosofis yang bertujuan memisahkan tradisi filosofis, membongkar asumsi dan prasangka filosofis umum guna melihat beberapa ketegangan yang membingungkan tetapi terkubur yang ada di belakangnya. Kemudian dalam karirnya, Derrida berfokus secara lebih eksplisit pada pertanyaan etika dan dipengaruhi oleh filsuf Emmanuel Levinas. Cara berpikir Derrida melalui pertanyaan etis mengungkapkan sesuatu dari impuls dekonstruktifnya. Semisal dalam esainya tentang konsep pengampunan, ia berpendapat bahwa apa yang benar -benar menuntut pengampunan adalah hal yang tak dapat dimaafkan.
Derrida meninggal di rumah sakit Paris pada tahun 2004 karena kanker pankreas, yang telah didiagnosis tahun sebelumnya. Karyanya terus memprovokasi, mengganggu, dan menginspirasi para sarjana—bukan hanya dalam filsafat dan sastra, tetapi di banyak bidang lainnya.

Richard Rorty, 1931–2007, seorang filsuf dalam tradisi pragmatis Amerika. Ia ganas menentang klaim bahwa ilmu dan bahasa dapat dengan sederhana dan efektif 'mencerminkan' seperti dunia.
Awalnya, Rorty bekerja dengan kuat dalam tradisi filsafat analitik. Namun, pada saat buku pertamanya, Philosophy and the Mirror of Nature (1979), ia telah memalingkan punggungnya pada tradisi ini, mengkritik gagasan filsafat sebagai cara menjelaskan kebenaran objektif. Publikasi ini segera sukses, memproyeksikan Rorty jadi terkenal, tetapi juga menyebabkan kontroversi besar. Rorty berpendapat menentang pandangan yang dipegang oleh para filsuf sejak abad ke -17 bahwa pikiran dapat dianggap sebagai cermin yang memberikan cerminan nyata dari kenyataan.

Susan Sontag, 1933–2004, salah seorang intelektual Amerika ternama di periode pascaperang, Sontag seorang polymath: seorang filsuf, penulis, pembuat film, dan aktivis. Bermuka-badak dan bermusuhan, ia sering mengubah pendapat dan perspektifnya.
Sontag dikenal paling baik karena esainya dan ulasan yang menangani berbagai subjek, dari budaya modern dan media hingga penyakit, perang, hak asasi manusia, dan politik. Pada tahun 1966, ia melangkah ke pusat perhatian dengan penafsiran terhadap interpretasi, kumpulan esai yang secara bertahap melakukan serangan terhadap kritik interpretatif: peran kritik, menurutnya, haruslah 'menunjukkan bagaimana itu seperti apa adanya, bahkan itulah yang merupakan apa adanya, daripada menunjukkan apa maknanya.' Koleksi ini mencakup karya besar pertamanya, 'Notes on ‘Camp' (1964), yang menganalisis budaya' tinggi 'dan' rendah 'dalam konteks komunitas gay; pula termasuk refleksi tentang karya, antara lain, para penulis dan filsuf Albert Camus, Georg Lukács, dan Jean-Paul Sartre dan pembuat film Jean-Luc Godard. Kemudian, pada 1980-an, Sontag menghasilkan komentar penting tentang para filsuf Roland Barthes dan Walter Benjamin.

Hélène Cixous, lahir tahun 1937, suara terkemuka dalam teori feminis poststrukturalis, ia seorang filsuf, novelis, penyair, dan penulis naskah. Ia terkenal karena écriture féminine-nya, teori penulisan yang berfokus pada perbedaan seksual. Lahir di Oran, Aljazair, Hélène Cixous putri seorang ibu Austro-Jerman dan ayah Prancis dari iman Yahudi.
Pada pertengahan 1970-an, Cixous menulis The Newly Born Woman (bersama Catherine Clément), 'Sorties,' dan karya paling kondangnya, 'The Laugh of the Medusa,' teks dimana ia mengembangkan konsep écriture feminin (Menulis feminin). Dipengaruhi oleh karya Derrida dan oleh keyakinan bahwa bahasa dapat menghasilkan perubahan sosial, teori penulisan ini berfokus pada identitas seksual, perbedaan, dan biseksualitas; hal ini menantang oposisi hierarkis yang menjadi dasar epistemologi Barat (misalnya, pria/wanita, diri sendiri, berbicara/menulis, alam/budaya).
Seorang penulis yang sangat produktif, Cixous telah menghasilkan lusinan karya di berbagai genre dan disiplin ilmu, termasuk filsafat, teori sastra, puisi, dan fiksi. Di Prancis, ia sangat dihormati sebagai penulis naskah; Drama pertamanya, yang ditulis pada tahun 1975, merupakan pengerjaan ulang kasus 'Dora' Freud yang menarik. Ia telah menerima beberapa doktor kehormatan dan banyak hadiah serta penghargaan, termasuk, pada tahun 1994, Légion d'Honneur yang bergengsi.

Kita akan lanjutkan ini pada sesi berikutnya, namun sebelum aku pergi, perkenankan aku menyampaikan sebuah candaan, 'Seekor induk tikus dan tikus kecil, berjalan bersama, ketika tiba -tiba, seekor kucing menyerang mereka. Sang induk tikus berseru, 'Guk!' Dan sang kucing pun lari.
'Lihat?' kata sang induk tikus kepada tikus kecilnya. 'Sekarang, kamu bisa lihat kaan, mengapa penting belajar bahasa asing?'"

"Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- DK London, Philosophers - Their Lives and Works, Cobaltid
- Nicholas Rescher, A Journey through Philosophy in 101 Anecdotes, University of Pittsburgh Press
[Bagian 2]
[Sesi Sebelumnya]