Minggu, 19 Maret 2023

Sang Elang dan sang Rubah

"Toni mengalami kesulitan membujuk tetangganya agar memagari ayam-ayamnya. Sang tetangga terus aja ngomong tentang ayam sebagai makhluk yang mengagumkan, dan karenanya, mereka berhak pergi kemanapun mereka suka.
Sewaktu berbelanja ke toko kelontong, Toni membeli selusin telur. Malamnya, ia menyelinap keluar dan meletakkan telur-telur itu, di seluruh halaman rumahnya. Keesokan paginya, saat ia yakin sang tetangga sedang melihat-lihat, Toni keluar, mengambil dan mengumpulkan telur-telur itu.
Semenjak itu, ia tak pernah lagi melihat ayam-ayam sang tetangga, berkeliaran di halaman rumahnya," Swara bercerita ketika ia terdengar, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam.

Lalu ia berkata, "Selfishness [kita terjemahkan sebagai Keegoisan] dapat dibagi menjadi keegoisan yang buas, yang menimbulkan celaan moral dalam diri kita, sebab tak mampu memenuhi standar keadilan, dan keegoisan yang dapat diterima, yang kita harapkan dari orang lain. Kita merasa bahwa orang berkewajiban menjaga diri mereka sendiri dan mengurus urusan mereka sendiri. Kendati demikian, demi kepentingan bersama, masyarakat hendaknya sama adilnya bagi semua orang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata Antti Kujala dan Mirkka Danielsbacka dalam Reciprocity in Human Societies, orang saling membolehkan, agar menunjukkan tingkat keegoisan tertentu, namun dalam keadaan ekstrim, semisal usai adanya bencana, mereka akan menuntut bantuan tanpa pamrih yang sama, dari diri mereka sendiri dan orang lain. Kebaikan timbal-balik manusia, berkurang sebanding dengan jarak antar manusia.
'Kegunaan' timbal-balik bagi individu, baik dalam situasi normal maupun ekstrem, telah memungkinkannya terpilih, melalui evolusi sebagai bagian dari perilaku manusia. Orang cenderung menuntut dan mengharapkan timbal-balik dalam interaksi sosial. Harapan dan kewajiban timbal-balik berlaku, tak semata bagi hubungan antara dua atau lebih individu, melainkan pula, hubungan antara para penguasa dan rakyat-jelata.
Ada kewajiban timbal-balik tertentu, yang umumnya menghubungkan penguasa dan yang dikuasai, mereka yang berkuasa dan mereka yang tunduk pada otoritas. Kewajiban-kewajiban itu, dalam pengertian (1) bahwa masing-masing pihak tunduk pada kewajiban moral untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu sebagai bagian dari kontrak sosial implisit dan (2) bahwa kegagalan salah satu pihak menunaikan kewajiban, merupakan alasan bagi yang lain, menolak pelaksanaan tugasnya.
Kewajiban mereka yang berkuasa, dapat dipecah menjadi tiga tugas utama: melindungi dari musuh, pemeliharaan perdamaian dan ketertiban, dan kewajiban berkontribusi pada keamanan dan kemakmuran materi rakyat. Sebagai imbalannya, para subjeknya, diharapkan agar mematuhi perintah yang menunjang tugas-tugas tersebut. Secara tradisional, kewajiban utama rakyat ialah menyediakan tentara dan membayar pajak serta sewa. Kewajiban timbal-balik ini, biasanya tak ditentukan oleh konstitusi tertulis apapun, dan mereka yang berkuasa dan rakyatnya, terus-menerus mengujinya dalam praktik, guna melihat seberapa banyak mereka dapat memperoleh manfaat, dan untuk mengecek, dimana perilaku yang diperkenankan menjadi pelanggaran kontrak sosial, atau pembangkangan.
Para pihak, memang tak setara, namun bagaimanapun, subjeknya, telah mengakui tuntutan dan persyaratan moral terkait dengan mereka yang berkuasa.
Pelanggaran kewajiban timbal-balik oleh para elit, dapat merusak legitimasi posisi mereka secara fatal dan menyebabkan ketergulingan mereka dari kekuasaan.

Norma timbal-balik, menghendaki kita mengganjar dalam bentuk apa yang telah dilakukan orang lain terhadap kita. Perkenankan aku menuturkan sebuah cerita,
Usai mereka berteman, seekor elang-betina dan seekor rubah-betina, memutuskan hidup saling berdekatan, dan dengan demikian, mengukuhkan persahabatan mereka melalui adat-kebiasaan. Maka, sang elang terbang ke atas pohon yang sangat tinggi, dimana ia menelurkan anak-anaknya dan membuat sarangnya, sedang sang rubah, masuk ke dalam semak di bawah pohon dan melahirkan anak-anaknya.
Suatu hari, tatkala sang rubah pergi berburu, sang elang, lantaran tak punya apa-apa untuk dimakan, terbang ke semak-semak, menangkap anak-anak sang rubah dan melahapnya dewek bersama anak-anaknya. Sang rubah pulang, dan kala ia melihat apa yang telah terjadi, ia tak dapat menyesali kematian anak-anaknya sebatas ketidakmampuannya melunaskan-dendam; sebab, sebagai hewan melata di bumi, boleh dibilang, makhluk yang membumi atau akar-rumput, ia tak sanggup mengejar makhluk yang dapat terbang itu. Ia semata berdiri di kejauhan dan mengutuk sang seteru, cuma itu yang bersisa, yang dapat dilakukan oleh makhluk yang tak pacak dan daif.
Nah kadarullah, sang elang segera membayar harga atas ketidaksantunanya terhadap kontrak persahabatan mereka. Yaitu, ketika ada makhluk yang bernama Insan, sedang menyembelih seekor kambing di ladang, ia terbang ke bawah dan merenggut isi perut kurban yang sedang terbakar di atas altar; namun cilokonya, kala ia membawanya ke sarang, angin kencang bertiup dan sebilah kayu yang tipis dan kering, menyulut api yang besar, membakar pohon dan sarang sang elang. Dari sini, para anak elang, ikut terbakar—lantaran mereka belum bisa terbang—lalu jatuh ke arah bumi. Dan seketika, sang rubah berlari, menyongsong dan melahap semuanya, di hadapan mata sang elang.
Ini salah satu fabel Aesopian, dimana karya terbaru tentang etika Yunani telah menekankan pentingnya norma timbal-balik.
Timbal-balik, menurut Christos A. Zafiropoulos dalam bukunya Ethics in Aesop's fables, melibatkan pertukaran barang dan jasa secara sukarela antara dua pihak atau lebih. Intinya, ia menimbulkan tuntutan berikut kepada agen etis: membantu mereka yang membantunya, menyakiti mereka yang menyakitinya, dan tak melukai mereka yang menolongnya. Oleh karenanya, ia mempunyai dua sisi utama, positif dan negatif. Yang pertama, juga dapat disebut timbal-balik yang 'bersahabat' dan melibatkan pembayaran hadiah dan bantuan, sedangkan yang kedua, dapat disebut 'bermusuhan' dan melibatkan pembayaran akibat pencederaan.
Dalam kedua jenis timbal-balik ini, ketidakberhasilan membalas, bakal mengganggu keseimbangan hubungan dan dapat menimbulkan tuntutan yang dibenarkan oleh pihak yang menunggu ganjaran. Nilai dari objek atau tindakan yang dipertukarkan dalam timbal-balik yang disamaratakan dan seimbang, ditentukan oleh anggota yang berpartisipasi dalam hubungan tersebut dan hendaknya setara dalam kaitannya dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing, namun tak harus setara dalam hal lain.
Timbal-balik dalam kehidupan sosial Yunani, kata Zafiropoulos, mendominasi konten dan perilaku yang terkait dengan persahabatan dan permusuhan. Diskusi Yunani tentang persahabatan diartikulasikan melalui terminologi yang menekankan gagasan hutang dan kewajiban guna membayar kembali di antara teman dan musuh, yang dilambangkan dalam moto 'bantu temanmu dan hancurkan musuhmu'. Timbal-balik di antara teman, juga melibatkan penempatan nilai dalam ide kesetiaan, keberanian, dan kepercayaan. Mampu membantu seorang teman, menuntut persiapan terus-menerus bagi dukungan, yang sebaiknya diberikan pada saat bahaya dan kemalangan ketimbang saat makmur. Teman itu, sarana perlindungan dalam kemiskinan dan kesulitan. Hal ini menimbulkan keyakinan bahwa semakin banyak teman yang dimiliki seseorang, semakin aman ia melawan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, sebagai sarana dan dipercaya untuk membantu saat dibutuhkan, merupakan ciri dari sahabat sejati.
Untuk mencapai pengabdian, bantuan, dan manfaat timbal balik yang berkelanjutan ini, persahabatan dianggap membutuhkan waktu dan latihan. Teman hendaknya saling terbiasa dan cara yang baik untuk mewujudkannya ialah dengan hidup bersama dan saling membiasakan diri. Jadi, persahabatan Yunani mencakup gagasan koeksistensi dan berbagi. Seperti yang sering diproklamirkan, 'friends have everything in common', κοινά τά των φίλων . Berbagi mengacu pada berbagai hal, seperti tempat tinggal, pengalaman sehari-hari, harta-benda, bahaya. Ia merujuk pula pada berbagi kebencian terhadap musuh. Sama seperti seseorang seyogyanya membantu teman-temannya dan demikian pula teman-temannya, ia juga hendaknya menghukum musuhnya sendiri dan teman-temannya. Perseteruan lama merupakan fenomena umum dalam hubungan jajak pendapat. Athena dan orang Athena tak menahan diri mengungkapkan kebencian mereka terhadap musuh mereka dalam setiap kesempatan.

Kendati ada banyak kesinambungan dalam sikap Yunani terhadap persahabatan, ia mungkin menandai tahapan sejarah tertentu. Ciri khas periode Archaic ditunjukkan oleh refleksi tentang teman yang tak dapat diandalkan dalam puisi yang dikaitkan dengan Theognis. Keanggunan ini, mengungkapkan kepedulian yang kuat terhadap kesetiaan dan kepercayaan sebagai kebajikan terpenting dari seorang teman sejati. Ia menunjukkan transisi dari kepastian lama tentang fungsionalitas kewajiban timbal-balik di antara jaringan pertemanan dan aliansi aristokrat ke gangguan kepercayaan ini, lantaran gejolak sosial yang menjadi ciri abad keenam dan kelima SM, serta penggantian bertahap cita-cita aristokrat, termasuk persahabatan, dengan polis demokrasi yang sedang bangkit.
Pada tahap kedua, demokrasi membawa serta perubahan jaringan pertemanan dari pranata sosial yang mengedepankan kepentingan warga dan kelompok warga tertentu, menjadi pranata sosial di bawah kendali lembaga dan ideologi demokrasi. Konsep ideologis yang dihasilkan ialah, kesamaan di antara teman, saling membantu dan menguntungkan, dan saling ketergantungan antara warga negara dalam kerangka egaliter. Hal ini mengurangi peluang jaringan pertemanan tertentu guna mendapatkan kekuasaan dengan mengorbankan warga negara lain dan, dengan demikian, mengancam dasar ideologi demokrasi.
Tahap terakhir, merupakan periode Helenistik, dimana institusi polis sebagian digantikan oleh institusi kerajaan pasca Aleksandria dan oleh dominasi Romawi. Penekanan pada keterusterangan dan kejujuran, yang menjadi tema dominan dalam wacana persahabatan pada periode ini, perlu dikaitkan dengan persyaratan konselor handal istana. Pada titik transisi antara pandangan egaliter tentang persahabatan dalam polis demokrasi Klasik dan pandangan utilitarian periode Helenistik bertahannya Menander, yang menunjukkan perlunya saling membantu di antara teman, melainkan pula, menyoroti validitas karakter sebagai kriteria memilih teman.
Timbal-balik hadir pula dalam agama dan politik antar negara. Umat beriman [dalam perspektif Yunani kuno] memberikan persembahan kepada para dewa dengan mengharapkan imbalan yang baik dari mereka. Selain itu, praktik keagamaan itu sendiri (yaitu doa, pengorbanan, persembahan secara umum, dll.) merupakan tindakan timbal-balik sebagai imbalan atas manfaat dewa bagi umat manusia. Adapun bidang politik, meskipun hubungan antara kelompok warga berdasarkan serangkaian tugas timbal-balik merupakan ancaman bagi kekuatan demo, norma timbal-balik sering menjaga hubungan antara berbagai negara kota (khususnya dalam ciri politik Athena). Diplomasi Yunani memberikan peran penting pada kewajiban kota agar membalas bantuan sebelumnya dan kegagalan melakukannya, sering dicela.

Kini, mari kita lihat apa yang terjadi pada sang Elang dan Rubah kita. Timbal-balik yang bersahabat dan bermusuhan dalam kaitannya dengan pertemanan merupakan tema yang sering muncul dalam fabel Aesopian. Biasanya menggambarkan hubungan timbal-balik yang gagal atau disfungsional, antara teman dan pembalasan permusuhan yang sukses antar seteru.
Persahabatan, pengkhianatannya, dan tindakan yang terjadi darinya, dikemas dalam fabel ini. Elang dan Rubah berteman; ungkapan yang digunakan ialah φιλίαν προς άλλήλους πονησάμενοι, yang secara harfiah bermakna 'saling menciptakan persahabatan'. Persahabatan antara rubah dan elang merupakan sesuatu yang artifisial, sesuatu yang mereka ciptakan (ποιησάμενον); kepalsuan ini dijelaskan oleh fakta bahwa timbal-balik yang bersahabat, bukanlah watak alami antara dua hewan pemangsa. Persahabatan antara satwa-darat dan unggas-langit, tidaklah wajar oleh alasan lain: lingkungan alami mereka, berada di dua bidang yang terpisah, bumi dan langit; oleh karenanya, agar hidup berdampingan, keduanya harus melampaui batas alaminya. Kesepakatan mereka merupakan paradoks sejak awal, dan kemungkinan satwa ini, hidup bersama menyebabkan ketegangan; ia mempengaruhi pembaca terhadap kekerasan selanjutnya di antara mereka dan kegagalan timbal-balik yang bersahabat. Hubungan timbal-balik yang bersahabat mereka, tak berfungsi, dan karena pemberlakuannya (koeksistensi dua pemangsa) maka bencana yang diakibatkannya terjadi. Mereka memutuskan hidup berdekatan, sehingga persahabatan mereka sehari-hari akan membuat persahabatan mereka semakin kuat. Gagasan Yunani tentang kehidupan bersama sebagai komponen hubungan timbal-balik antar teman, hadir di sini. Ungkapan yang digunakan ialah βεβαίωσιν φιλίας την συνήθειαν ποιούμενοι, 'menjadikan kebiasaan sebagai konfirmasi persahabatan'. Kosakata artifisial muncul lagi; mereka harus mengubah kebiasaan menjadi konfirmasi.
Fabel ini memerlukan konotasi religius. Awalnya, hubungan timbal-balik mereka, tampak sukses. Narasi tersebut tak menggambarkan kehidupan bersama mereka yang efektif lebih jauh sebagai sahabat. Sebaliknya, langsung mengarah pada pencederaan persahabatan. Reaksi rubah mengungkapkan: bukan kematian anaknya yang menyebabkan kesedihannya, melainkan ketidakmampuannya membalaskan dendam. Perbedaan tinggi-rendah lalu menjadi penghalang balas dendam sang rubah. Ia hewan-darat yang tak kuasa mengejar yang terbang atau mencapai sarangnya. Ia cuma bisa mengutuk mantan sahabatnya, yang telah berubah menjadi lawan, menyeru kekuatan gaib agar menolongnya dalam perjuangan.

Pesan moral fabel ini, jelas: mereka yang mengkhianati persahabatan, akan segera di azab dengan satu atau lain cara. Sang rubah tak menyaksikan kematian anak-anaknya, tetapi sang elang, melihat langsung bagaimana anak-anaknya di santap, lantaran tak mampu bereaksi. Pesan moralnya juga merupakan pesan dari epimythium. Bahwa mereka yang mengkhianati persahabatan, walau jika mereka bisa lolos dari hukuman orang yang mereka zalimi, karena ketidakmampuan orang yang terzalimi itu, tak bakalan lolos dari azab Ilahi. Tapi gambaran keseluruhannya, pesimistis; ia menggambarkan dunia dimana timbal-balik yang bersahabat, tak dapat dicapai, karena pelanggarannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan timbal-balik yang bermusuhan, menggantikannya sebagai cara yang efektif untuk menangani hubungan sosial.

Lantas, bagaimana dengan kemanusiaan kita, akankah juga, kita pesimis? Ada lelucon, 'Kalau pinjam uang, pinjamlah dari orang pesimis. Ia gak bakalan mengharapkanmu, membayarnya kembali.'
Mengutip Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments, 'Betapa egoisnya seseorang dianggap, ternyata ada beberapa prinsip dalam sifatnya, yang menariknya pada kekayaan orang lain, dan membuat kebahagiaan mereka diperlukan baginya, meskipun ia memperolehnya. tiada apa-apa darinya, kecuali kesenangan melihatnya.'
Apakah kepentingan pribadi merupakan watak alami spesies kita, selain kemurahan hati terhadap anggota keluarga terdekat? Apakah hati nurani kita, tak lebih dari 'suara batin yang memberitahu kita bahwa seseorang mungkin melihat'? Dan jika penegasan Adam Smith tentang sentimen moral manusia lebih hampir benar dibanding skeptisisme Mencken, bagaimana mungkin hewan kooperatif yang aneh ini, Homo sapiens—nama yang diterapkan oleh bapak klasifikasi biologi modern, Carolus Linnaeus—bisa muncul?
Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam A Cooperative Species: Human Reciprocity and Its Evolution, mengajukan dua proposisi. Pertama, manusia bekerja-sama, tak semata bagi kepentingan diri sendiri, melainkan pula karena mereka benar-benar memperhatikan kesejahteraan orang lain, berusaha menegakkan norma-norma sosial, dan nilai berperilaku etis demi dirinya sendiri. Para manusia menghukum mereka yang mengeksploitasi perilaku kooperatif manusia lain, oleh alasan yang sama. Berkontribusi pada keberhasilan proyek bersama demi kepentingan kelompok seseorang, bahkan dengan biaya pribadi, membangkitkan perasaan puas, bangga, bahkan bahagia. Ketidaksuksesan dalam melakukannya, seringkali merupakan sumber rasa-malu atau rasa-bersalah.
Kedua, kita memiliki 'sentimen moral' ini, lantaran nenek moyang kita hidup di lingkungan, baik yang dibangun secara alami maupun sosial, dimana kelompok individu yang cenderung bekerjasama dan menjunjung tinggi norma etika, cenderung bertahan dan berkembang relatif terhadap kelompok lain, sehingga memungkinkan motivasi prososial ini berkembang biak.
Proposisi pertama menyangkut motivasi terdekat bagi perilaku prososial, yang kedua membahas asal-usul evolusioner yang jauh dan pelestarian berkelanjutan dari disposisi kooperatif ini.
Sementara kerjasama umum terjadi pada banyak spesies, Homo sapiens merupakan eksepsional, karena pada manusia, kerjasama melampaui kerabat dekat silsilah untuk memasukkan bahkan orang asing pun, dan terjadi pada skala yang jauh lebih besar daripada spesies lain, terkecuali serangga sosial.
Singkatnya, menurut Bowles dan Gintis, preferensi sosial seperti kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan prosedur yang adil, tetap penting bagi masyarakat berkelanjutan dan meningkatkan kualitas hidup."

"Mungkin penuturanku terlalu bertele-tele," Swara hendak mengakhiri percakapannya, "tapi begitulah adanya dan sekarang, waktuku telah habis, aku harus pergi, dadah dan Allahu a'lam."
Swara mulai sirna dalam kelengangan, diiringi oleh senandungnya,

And if there's no tomorrow
[Dan jika tiada hari esok]
And all we have is here and now
[Dan yang kita punya cuma disini dan kini]
I'm happy just to have you
[Aku bahagia hanya memilikimu]
You're all the love I need somehow
[Entah bagaimana, engkaulah segala cinta yang kubutuhkan]
It's like a dream
[Ibarat sebuah mimpi]
Although I'm not asleep
[Walau aku tak tertidur]
And I never want to wake up
[Dan kutakkan pernah mau terbangun]
Don't lose it
[Jangan hilangkan]
Don't leave it *)
[Jangan tinggalkan]
Kutipan & Rujukan:
- Antti Kujala & Mirkka Danielsbacka, Reciprocity in Human Societies: From Ancient Times to the Modern Welfare State, Palgrave
- Christos A. Zafiropoulos, Ethics in Aesop's fables : the Augustana Collection, Brill
- Samuel Bowles and Herbert Gintis, A cooperative species: Human Reciprocity and Its Evolution, Princeton University Press
*) "Breathless" karya Andrea Jane Corr, Caroline Corr, James Corr, Robert John Lange & Sharon Corr