Minggu, 25 Juni 2023

Keshalihan Terhadap Kedua Orangtua : Perspektif Islam (2)

"Seorang manajer toko mendengar salah seorang salesnya, berbicara dengan seorang pelanggan. 'Enggak, pak,' kata sang sales. 'Kami belum ada yang seperti itu untuk sementara waktu, dan sepertinya kami takkan mendapatkannya dalam waktu dekat.'
Sang manajer merasa waswas dan seketika memanggil sang sales menghadapnya. 'Jangan pernah bilang kepada pelanggan, bahwa kita kehabisan apa pun! Sekarang, apa yang diinginkannya?'
'Hujan,' jawab sang sales."

"Dan sekarang, mari kita lanjutkan pokok bahasan kita," lanjut Wulandari.
"Allah berfirman,
يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
'Mereka bertanya kepadamu [Nabi Muhammad (ﷺ)] tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, 'Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orangtua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan (dan membutuhkan pertolongan).' Kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.' [QS. Al-Baqarah (2):215]
Allah menyebutkan orangtua di atas kerabat, anak yatim, orang miskin, dan musafir, ketika berfirman tentang pemberian sedekah (dan siapa yang berhak menerimanya). Diriwayatkan bahwa Tariq Al-Muharibi berkata, 'Kami datang ke Al-Madinah dan Rasulullah (ﷺ) berdiri di Mimbar, mengamanatkan kepada para manusia dan bersabda,
يَدُ الْمُعْطِي الْعُلْيَا وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
'Tangan yang memberi itu, tangan yang di atas. Mulailah dengan mereka yang menjadi tanggungjawabmu; ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara lelakimu, lalu yang terdekat berikutnya, dan yang terdekat berikutnya.' [Sunan An-Nasa'i; Sahih]
Berbakti kepada orangtua itu, salah satu sifat yang dikenal dari para Nabi. Allah berfirman, berbicara tentang Isa bin Maryam (Yesus putra Maryam), alaihissalam. Isa berkata, 'Dan berbakti kepada ibuku serta Dia tak menjadikanku orang yang sombong lagi celaka.' [QS. Maryam (19):32]. Allah juga berfirman—berbicara tentang—Nabi Ibrahim, alaihissalam, yang berkata, 'Duhai Rabb kami, ampunilah aku, kedua orangtuaku, dan orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).' [QS. Ibrahim (14):41]. Dan tentang Nabi Sulaiman (Solomo), alaihissalam, yang berkata, '... Rabb-ku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) agar tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.' [QS. An-Naml (27):19]. Dan tentang Nabi Nuh, alaihissalam, yang berkata, 'Rabbku, ampunilah aku, ibu-bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang zalim itu, selain kehancuran.' [QS. Nuh (71):28]. Dan tentang Nabi Ismail, alaihissalam, ketika ia diberitahu oleh ayahnya tentang mimpi ayahnya dan memikirkannya, ia berkata, 'Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk as-sabirin.' [QS. As-Saffat (37):102]. Dan tentang Nabi Yahya bin Zakariyya (Yohanes Pembaptis), alaihissalam, Allah berfirman tentangnya, '... dan ia seorang yang bertakwa dan orang yang sangat berbakti kepada kedua orangtuanya, dan ia bukan orang yang sombong lagi durhaka.' [QS. Maryam (19):13-14].
Berbakti kepada orangtua memasukkan seseorang ke surga, sedangkan kedurhakaan terhadap mereka, membawa ke Neraka jahannam. Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.' Ada yang bertanya, 'Siapa, duhai Rasulullah?' Beliau bersabda, 'Seseorang yang mendapati kedua orangtuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tak masuk surga.' [Al-Adab Al-Mufrad; Shahih oleh Al-Albani]
Keridhaan Allah datangnya melalui ridha orangtua dan Kemurkaan-Nya datang melalui kemarahan mereka. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
'Ridha Allah tergantung pada ridha orangtua [yakni ridha orangtua menyebabkan Ridha Allah] dan murka Allah tergantung pada murka orangtua.' [Jami' at-Tirmidzi; Hasan]
Berbakti kepada orangtua mendahului berjuang di jalan Allah (jihad). 'Abdullah bin Mas'ud, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, 'Aku bertanya kepada Rasulullah (ﷺ) tentang amal terbaik.' Beliau (ﷺ) bersabda, 'Menunaikan shalat tepat pada waktunya.' Aku berkata, "Lalu apa selanjutnya?" Beliau (ﷺ) bersabda, 'Berbakti kepada orangtua (seseorang).' Aku berkata, 'Lalu apa selanjutnya?' Beliau (ﷺ) bersabda, 'Berjuang di jalan Allah.'' [Rasulullah (ﷺ) menyebutkan berbakti kepada orangtua, setelah melaksanakan shalat, dan sebelum Jihad (berjuang di jalan Allah].
Dalam hadits lain, 'Abdullah bin 'Amr bin al-'As, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan, 'Seorang lelaki datang menemui Rasulullah (ﷺ) meminta izin berpartisipasi dalam Jihad. Beliau (ﷺ) bersabda, 'Masih hidupkah orangtuamu?' Sang lelaki menegaskannya. Lalu beliau (ﷺ) bersabda, 'Kalau begitu, kerahkan dirimu, meladeni mereka.' [Sahih Al-Bukhari dan Muslim]

Berbakti kepada orangtua, salah satu amal shalih yang bisa dilakukan seseorang untuk bermohon kepada Allah. Imam Al-Bukhari mencatat dalam shahihnya,
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ انْطَلَقَ ثَلاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنْ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لا يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلا أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَكُنْتُ لا أَغْبِقُ – شُرْب الْعَشِيّ – قَبْلَهُمَا أَهْلا وَلا مَالا فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلا أَوْ مَالا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا ُ [َ فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَهُمَا وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ – الصِّيَاح بِبُكَاء بسبب الجوع – عِنْدَ رِجْلَيَّ فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمَا حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ ] حَتَّى بَرَقَ الْفَجْر فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوج
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ [ كُنْتُ أُحِبُّ امْرَأَةً مِنْ بَنَاتِ عَمِّي كَأَشَدِّ مَا يُحِبُّ الرَّجُلُ النِّسَاءَ ] فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنْ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِي [ فَقَالَتْ لا تَنَالُ ذَلِكَ مِنْهَا حَتَّى تُعْطِيَهَا مِائَةَ دِينَارٍ فَسَعَيْتُ فِيهَا حَتَّى جَمَعْتُهَا ] فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلا بِحَقِّهِ [قَالَتْ اتَّقِ اللَّهَ وَلا تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلا بِحَقِّهِ ] فَتَحَرَّجْتُ مِنْ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا [ فَقُمْتُ وَتَرَكْتُهَا] وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ [فَفَرَجَ عَنْهُمْ الثُّلُثَيْنِ ] غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ( أَيْ : ثَمَنه) غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ
Dari Abdullah bin Umar, radhiallahu anhuma, ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Ada tiga orang dari umat sebelum kalian melakukan perjalanan dan hujan deras mengguyur mereka, lalu mereka masuk ke dalam goa, berteduh di sana. Tiba-tiba ada batu besar yang runtuh dari atas gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata, 'Kalian tak dapat selamat dari batu ini kecuali kalian berdoa dengan perantara amal-amal shalih kalian.'
Lalu salah seorang dari mereka berdoa, 'Ya Allah, dahulu kedua orangtuaku telah renta. Aku tak memberi minuman di malam hari bagi keluargaku atau hewan ternakku, sebelum aku memberi minuman untuk keduanya. Suatu saat, aku ada keperluan hingga pulang larut dan belum sempat kuberi minum. Maka kubuatkan minuman bagi mereka, namun ternyata kudapatkan mereka telah tertidur. Aku tak ingin memberikan minum kepada keluarga dan hewan ternakku sebelum aku memberikan minum untuk keduanya, maka kutunggu mereka bangun tidur, sembari memegangi wadah minuman tersebut. Aku tak ingin membangunkan keduanya, sementara anak-anakku menangis kelaparan dan memegangi kakiku. Begitulah seterusnya hingga terbit fajar. Dan terbitlah fajar, lalu aku membangunkan keduanya dan memberinya minum. Ya Allah, jika aku melakukan hal itu karena mengharap wajah-Mu, lepaskanlah kami dari batu ini.' Lalu batu itu bergeser sedikit, namun mereka belum dapat keluar darinya.
Lalu Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Yang lain berkata, 'Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang teramat kucintai, lalu aku ingin berbuat zina dengannya, namun ia menolaknya. Hingga suatu saat terjadi musim paceklik. Maka ia datang (untuk meminta bantuan), maka aku memberikannya 120 dinar dengan syarat ia menyerahkan dirinya kepadaku. Maka ia bersedia. Hingga ketika aku hendak melakukan apa yang aku inginkan terhadapnya, ia berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, cincin tak boleh dilepas kecuali oleh orang yang berhak.' Maka, akupun takut melakukan perbuatan itu, lalu meninggalkannya, padahal ia orang yang sangat kusayangi. Kutinggalkan pula emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah, jika aku melakukan hal tersebut semata untuk mengharap wajah-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang kualami ini.' Lalu batu itu bergeser dua pertiganya, namun mereka masih belum dapat keluar.
Lalu Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku menyewa beberapa orang pekerja, lalu aku berikan upahnya masing-masing kecuali satu orang yang meninggalkannya begitu saja. Maka upahnya tersebut aku investasikan hingga berkembang. Lalu (sekian lama kemudian) orang tersebut datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai fulan, berikan upahku.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Semua yang engkau lihat berupa onta, sapi, kambing dan budak itu, upahmu.” Maka orang itu berkata, ‘Wahai Abdullah, jangan meledek aku,’ Aku berkata, ‘Sungguh aku tak meledekmu.' Lalu ia mengambil seluruh haknya tanpa menyisakan sedikitpun. Ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap wajah-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.' Lalu batu itu pun bergerak hingga akhirnya, mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut.'
Ridha orangtua mendahului ridha istri. lbnu 'Umar, radhiyallahu 'anhuma, berkata, 'Aku menikahi wanita yang sangat kucintai, tetapi 'Umar ('Umar bin al-Khattab, radhiyallahu 'anhu, ayahnya) tak menyukainya dan memerintahkanku agar menceraikannya, namun aku menolak . Lalu ia pergi menemui Rasulullah (ﷺ) dan menceritakan masalahnya.' Rasulullah (ﷺ) berkata kepadaku, 'Ceraikan ia.'
Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Sahih-nya, 'Seorang lelaki mendatangi Abu ad-Darda' dan berkata, 'Ayahku terus memintaku agar menikah, sampai aku melakukannya, dan sekarang ia memerintahkanku agar menceraikan istriku.' Abu ad-Darda' berkata, 'Aku takkan menyarankanmu agar tak berbakti kepada orangtuamu, aku takkan pula memerintahkanmu agar menceraikan istrimu. Namun aku akan memberitahumu sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah (ﷺ). Aku mendengar Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Orangtua itu, pintu tengah surga; engkau bisa menghilangkan atau meraihnya.'

Akhirnya, engkau sekarang tahu banyak ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang kewajiban berbakti kepada kedua orangtua, dan memperlakukan mereka dengan baik, dan ayat-ayat yang menggambarkan kebaikan Rasulullah (ﷺ) terhadap orangtua dan bagaimana berdoa kepada Allah bagi kebaikan mereka. Dan engkau tahu sekarang, melalui ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, bahwa berbakti kepada orangtua selalu dibarengi dengan beribadah kepada Allah. Berbakti kepada kedua orangtua memasukkan seseorang ke surga, karena keridhaan Allah berasal dari keridhaan orangtua, dan kemurkaan Allah berasal dari kemurkaan orangtua. Selain itu, durhaka kepada orangtua dilarang seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Tak berbakti kepada orangtua juga dianggap sebagai salah satu dosa terbesar yang diperingatkan oleh Rasulullah (ﷺ) kepada kita. Berbaik hati kepada mereka memasukkan kita ke Surga, insya Allah, karena Surga terletak di bawah kaki mereka.
Kita pun tahu bahwa doa orangtua pasti terkabul, dan nikmat orangtua sangat besar pada kita. Rasulullah (ﷺ) melarang kita mengutuk atau mencaci orangtua kita, dan ini dilakukan dengan tak mencaci atau memaki orangtua orang lain. Rasulullah (ﷺ) menegaskan bahwa kitalah dari penghasilan orangtua kita, dan bahwa kita, diri kita sendiri, milik mereka, sekaligus milik kita. Rasulullah (ﷺ) juga memerintahkan kita agar berbakti kepada orangtua kita setelah kematian mereka dan itu dilakukan dengan menjaga hubungan baik dengan orang yang mereka sayangi.
Dari semua ini, kita belajar dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi, bahwa berbakti kepada kedua orangtua, amatlah penting. Kendati satu ayat saja memerintahkan kita agar berbakti kepada orangtua kita, itu sudah cukup dan mendorong kita melakukannya. Lantas, bagaimana kalau ada banyak ayat dan hadits Nabi yang membahasnya?
Engkau semestinya berbakti kepada orangtuamu dan berperilaku terhadap mereka sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah (ﷺ), memerintahkanmu; yaitu berperilaku baik, memberikan hak-hak mereka, sehingga engkau bisa beroleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Wallahu a'lam.”

Malam penghujung pun tiba, Wulandari harus berpamitan sembari melantunkan,

Bun, aku masih tak mengerti banyak hal
Semuanya berenang di kepala
Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya
Menjadi jawab saat ku bertanya **)
Kutipan & Rujukan:
- Nidham Sakkajh, Dutifulness to Parents: In the Light of the Holy Qur'an and the Authentic Sunnah, translated by iman Zakariya Abu Ghazi, 2004, IIPH
- Ibn Al-Jawzi, At Their Feet: Piety Towards Parents, 2016, Dar as-Sunnah Publishers
*) "Like my Father" karya Wayne Andrew Wilkins & Jacqueline Miskanic
**) "Bertaut" karya Nadin Amizah, Mikha Angelo Brahmantyo & Zulqi L. Ramandha

Sabtu, 24 Juni 2023

Keshalihan Terhadap Kedua Orangtua : Perspektif Islam (1)

"Sewaktu mengantarkan putri kecilnya ke taman kanak-kanak, sang dokter membiarkan anak perempuan mungilnya itu, memperhatikan stetoskopnya. Sang anak mengambil dan mulai memainkannya. Hati sang ayah serasa bergetar dan sempat terlintas dalam benaknya, 'Kelak, boleh jadi, ia bakalan mengikuti jejakku menjadi seorang dokter.'
Tapi kemudian, sang dokter mendengar sang anak, berceloteh kepada alat kedokterannya itu, 'Selamat datang di McD. Mau pesan apa, bisa dibantu?'" berkata Wulandari—bahasa Jawa, maknanya, bulan bulat atau bulan purnama—seraya menolehkan wajah cerianya ke paras bumi pertiwi, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam.

“Kewajiban dalam semua agama wahyu, ialah perintah kepada manusia agar berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua," lanjut Wulandari. "Islam lebih jauh menekankan ketaatan kepada kedua orangtua sebagai perintah Allah. Bukankah hak kedua orangtua, yang mengasuh anak sejak kecil hingga dewasa, bahwa kebaikan mereka dihargai? Seseorang hendaknya menghormati kedua orangtuanya, mencintai dan merawat keduanya di saat mereka telah menua dan membutuhkan perlakuan yang baik. Dengan kata lain, ia seyogyanya membantu mereka dengan cara yang sama seperti seorang anak membutuhkan pertolongan. Mengetahui hak-hak mereka dan secara sadar mencari ridha mereka, tak semata perintah Ilahi, melainkan pula perbuatan ibadah dan ciri manusia.
Ada banyak perintah dalam Al-Qur'an yang berhubungan dengan perlakuan kita terhadap kedua orangtua. Allah berfirman,
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ
رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا فِيْ نُفُوْسِكُمْ ۗاِنْ تَكُوْنُوْا صٰلِحِيْنَ فَاِنَّهٗ كَانَ لِلْاَوَّابِيْنَ غَفُوْرًا
'Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya, sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' [sekadar mengucapkan kata ah (atau kata-kata kasar lainnya) kepada kedua orangtua, tak diperbolehkan agama, apalagi memperlakukan mereka dengan lebih kasar] dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.
Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih-sayang dan ucapkanlah, 'Duhai Rabbku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku sewaktu kecil.'
Rabbmu lebih mengetahui apa yang ada dalam dirimu. Jika kamu orang-orang yang shalih, sesungguhnya Dia, Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat [mereka yang meniatkan kebenaran, bersegera tobat dari dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh kelemahan manusia, Allah menjanjikan ampunan]. [QS. Al-Isra (17):23-25]
Berbakti kepada orang tua mengikuti segera setelah menyembah Allah. Durhaka kepada kedua orangtua sangatlah terlarang, sebab itu dosa besar. Abu Bakar, radhiyallahu 'anhu, berkata bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda,
ألا أنبئكم بأكبر الكبائر ثلاثا ؟ قلنا بلى يا رسول الله قال الإشراك بالله وعقوق الوالدين ، وكان متكئا فجلس فقال : ألا وقول الزور وشهادة الزور ، فما زال يكررها حتى قلنا ليته سكت
‘Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar?' Kami menjawab, 'Ya, Rasulullah.' Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Menyekutukan Allah, dan mendurhakai dua orang tua.' Rasulullah (ﷺ) sedang bersandar lalu duduk, maka beliau (ﷺ) bersabda, 'Tidak mengatakan kebohongan dan kesaksian palsu. Beliau terus mengulainya sampai kami berkata semoga beliau berhenti [maksudnya 'Kami berharap beliau ( ﷺ) berhenti mengucapkan kata-kata tersebut, lantaran perasaan sayang kami pada beliau ( ﷺ), sebab kami melihat tanda-tanda kemarahan di wajah beliau ( ﷺ)].' [Sahih Al-Bukhari dan Muslim].'
Setelah Allah, tiada seorang pun yang menyadari nikmat yang lebih besar kepada seseorang selain dari orangtuanya sendiri. Ibunya melahirkannya dalam keadaan yang amat sulit saat menggendongnya, dan pada saat melahirkannya mengalami kesusahan dan masalah yang amat berat. Ia melakukan yang terbaik guna membesarkannya dan menghabiskan malam tanpa lelap, merawatnya, mengabaikan semua hasrat dan keinginannya yang lain. Ia lebih mementingkan anaknya ketimbang dirinya sendiri setiap saat.
Ayahnya, selain menjadi penyebab keberadaannya, juga memberinya cinta, kasih-sayang dan membesarkannya dengan bekerja keras dan membelanjakan untuknya. Maka, orang yang logis, mengetahui hak orang yang memberikan bantuan kepadanya, dan berusaha membalas budi seperti itu.
Tak mengakui hak orang yang telah memberikan pertolongan merupakan sifat yang paling hina, apalagi jika orang tersebut mengingkari hak tersebut, dan selanjutnya, membalasnya dengan kejahatan..
Seseorang yang berbakti dan baik kepada orang tuanya, hendaklah tahu bahwa betapapun baiknya ia kepada mereka, ia takkan pernah bisa membalas atau berterima kasih kepada mereka (atas hak dan keistimewaan mereka).
Kedekatan kerabat dapat disamakan dengan kedekatan orangtua dengan anak, dan seseorang tak boleh mengabaikan hak-hak tersebut.

Al-Qur'an menyebutkan juga, apa yang boleh dan yang tak boleh berkaitan dengan bakti terhadap orangtua. Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ
وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
'Dan Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun [selambat-lambat waktu menyapih sampai anak berumur 2 tahun]. (Wasiat Kami,) 'Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.' Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.
Jika keduanya memaksamu, mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tak punya ilmu tentangnya [yakni, tiada pengetahuan tentang keilahiannya. Tak boleh ada pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada atau tidak benar], janganlah patuhi keduanya, (melainkan) pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, semata kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beritahukan kepadamu, apa yang biasa kamu kerjakan.' [QS. Luqman (31):14-15]
Ibu punya hak tiga kali lipat dari hak ayah, dan itu lantaran kesulitan yang dihadapi ibu selama kehamilan, persalinan, dan mengasuh anak. Kemudian setelah lahir, sang ayah berbagi tanggung jawab membesarkan sang anak.
Hak orangtua (haqqul walidain) diperjelas dalam ayat tersebut, dimana Allah memasangkan rasa-syukur kepada-Nya dengan rasa-syukur kepada orangtua. Menunjukkan al-birr [digunakan untuk menggambarkan kebenaran, keshalihan, penghormatan, bakti dan keramahan antara lain] kepada mereka, dengan mematuhi apa pun yang mereka minta dan suruhkan, selama itu bukan sesuatu yang dilarang. Perintah mereka hndaknya diberikan preferensi atas doa opsional (nawafil). Jauhi apa yang mereka larang, belanjakan untuk mereka. Carilah hal-hal yang mereka sukai. Sajikan mereka secara berlebihan. Amati rasa hormat dan martabat dengan mereka. Jangan meninggikan suaramu atau memelototi mereka. Jangan panggil mereka dengan nama mereka. Berjalanlah di belakang mereka. Bersabarlah atas apa pun yang mereka lakukan, yang tak engkau sukai.

Pula, Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۗوَاِنْ جَاهَدٰكَ لِتُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۗاِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
'Dan Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia agar (berbuat) baik kepada kedua orangtuanya. Bila keduanya memaksamu mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tak mempunyai ilmu tentangmya, janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beritahukan kepadamu apa yang selama ini, kamu kerjakan.' [QS. Al-'Ankabut [29]:8]
Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ اَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّاٰتِهِمْ فِيْٓ اَصْحٰبِ الْجَنَّةِۗ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ
وَالَّذِيْ قَالَ لِوَالِدَيْهِ اُفٍّ لَّكُمَآ اَتَعِدَانِنِيْٓ اَنْ اُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُوْنُ مِنْ قَبْلِيْۚ وَهُمَا يَسْتَغِيْثٰنِ اللّٰهَ وَيْلَكَ اٰمِنْ ۖاِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّۚ فَيَقُوْلُ مَا هٰذَآ اِلَّآ اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِيْٓ اُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ ۗاِنَّهُمْ كَانُوْا خٰسِرِيْنَ
وَلِكُلٍّ دَرَجٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوْاۚ وَلِيُوَفِّيَهُمْ اَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا عَلَى النَّارِۗ اَذْهَبْتُمْ طَيِّبٰتِكُمْ فِيْ حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَاۚ فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ
'Dan Kami wasiatkan kepada insan agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah-payah dan melahirkannya dengan susah-payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu, selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, ia (anak itu) berkata, 'Rabbku, mampukan aku [secara harfiah, 'kumpulkan dalam diriku kekuatan dan kemampuan terbaik'] agar dapat mensyukuri nikmat-Mu, yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dapat beramal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah keshalihan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.'
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaiknya yang telah mereka kerjakan, Kami maafkan kesalahan-kesalahannya, (dan mereka) termasuk para penghuni surga. Itulah janji kebenaran, yang dahulu dijanjikan kepada mereka.
Namun, orang yang berkata kepada kedua orangtuanya, 'Ah [ekspresi ketidaksukaan dan kejengkelan], kamu berdua! Apakah kamu berdua memperingatkanku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal umat-umat sebelumku telah berlalu?' Sementara itu, kedua orangtuanya memohon pertolongan kepada Allah (seraya berkata,) 'Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah itu benar.' Lalu, ia (anak itu) berkata, 'Ini cuma dongeng orang-orang dahulu.'
Mereka itulah orang-orang yang pasti terkena ketetapan (azab) bersama umat-umat sebelum mereka dari kalangan jin dan manusia. Sesungguhnya merekalah orang-orang yang merugi.
Setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah menyempurnakan balasan amal mereka serta mereka tak dizalimi.
Pada hari (ketika) orang-orang yang kufur dihadapkan pada neraka, (dikatakan kepada mereka,) 'Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik dalam kehidupan duniamu dan bersenang-senang dengannya. Pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu takabur di bumi, padahal tidak berhak (untuk sombong), dan (juga) karena kamu selalu durhaka.'' [QS. Al-Ahqaf (46):15-20]
Berbakti kepada orang tua meliputi: kebaikan yang pantas kepada mereka, memohon berkah Allah bagi mereka, memperhatikan nasihat mereka (di dunia ini) dan, mendambakan bimbingan mereka ke jalan yang benar meskipun mereka non-Muslim.
Mencaci dan mengutuk orang tua itu, dosa besar. 'Abdullah bin 'Amr bin al-'As, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Dosa terbesarlah jika seseorang mengutuk orangtuanya. Ditanya, 'Duhai Rasulullah! Bagaimana seseorang mengutuk orangtuanya (sendiri)?' Beliau (ﷺ) bersabda, 'Orang itu memaki ayah orang lain, kemudian yang terakhir memaki ayah dari yang pertama, dan mencaci ibunya, dan kemudian yang kedua mencaci ibu yang pertama.''
Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah (radiyallahu 'anhu) melihat dua lelaki dan bertanya kepada salah seorang dari keduanya. 'Siapa ini bagimu?’ Ia menjawab, ‘Ayahku.’ Abu Hurairah berkata, ‘Jangan memanggilnya dengan namanya. Jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum ia melakukannya.'
Muhammad bin Sirin berkata, 'Seseorang yang berjalan di depan ayahnya telah melanggar perintahnya, kecuali ia melakukannya untuk menghilangkan hal-hal yang berbahaya dari jalannya. Seseorang yang memanggil ayahnya dengan namanya, telah mendurhakainya. Ia semestinya berkata, 'Duhai ayahku!'
Mujahid berkata, 'Seorang anak lelaki tak boleh mendorong tangan ayahnya ketika ia memukulnya. Jika seseorang yang menatap-tajam orangtuanya, ia belum menunjukkan birr kepada mereka. Jika seseorang membawa sesuatu kepada mereka yang mendukakan mereka, ia telah mendurhakai mereka.’
Al-Hasan al-Basri berkata, 'Pelanggaran terburuk adalah bahwa seorang lelaki membawa ayahnya ke hadapan penguasa.'
Ibnu 'Utsman al-Hindl meriwayatkan bahwa ia mendengar Sa'd berkata, 'Telingaku telah mendengar dan hatiku telah mencatat dari Muhammad (ﷺ) kata-kata berikut, 'Barangsiapa dengan sengaja mengklaim pertalian dari selain ayahnya, surga diharamkan baginya.'
Abu Hurairah, radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Jangan membenci ayahmu. Barangsiapa membenci ayahnya, maka ia telah berbuat kekufuran.' [Sahih Al-Bukhari dan Muslim]
Ibnu Abbas (radhiyallahu ’anhuma) meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Terkutuklah orang yang mencaci ayahnya. Terkutuklah orang yang mencaci ibunya.'
Abu Hurairah (radiyallahu 'anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Allah tak menerima doa orang yang orangtuanya marah padanya, kecuali jika mereka menindasnya.'
Anak lelaki adalah dari penghasilan ayahnya. Jabir bin 'Abdullah, radhiyallahu 'anhu, meriwayatkan bahwa seorang lelaki mendatangi Rasulullah (ﷺ) dan berkata, 'Aku punya uang dan anak, dan ayahku hendak mengambil uangku dengan paksa. Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Kamu dan uangmu itu, untuk (atau di bawah bakti) ayahmu.'
A'isyah, radhiyallahu 'anha, meriwayatkan, 'Yang terbaik dari apa yang manusia dapat makan dan manfaatkan, dari penghasilannya, dan putranya (dianggap) dari penghasilannya.'
Namun dalam hadits lain, ia, radhiyallahu 'anha, berkata [dari Rasulullah (ﷺ)], 'Anak lelaki itu, dari penghasilannya, yang terbaik dari penghasilannya, maka makanlah dari uang atau harta benda mereka (yaitu, dapatkan faedah dari mereka).'"

"Pada sesi berikut," kata Wulandari, "kita akan terus membicarakan tentang bakti kita kepada kedua orangtua, bi 'idznillah."
Lalu Wulandari pun bersenandung,

I guess I learned it from my parents
[Kurasa, aku telah belajar dari orangtuaku]
That true love starts with friendship
[Bahwa cinta sejati bermula dari persahabatan]
A kiss on the forehead, a date night
[Kecupan di dahi, kencan malam]
Fake an apology after a fight *)
[Seolah pemberian maaf usai perrtengkaran]
[Sesi 2]

Jumat, 23 Juni 2023

Telur-telur Emas (2)

"Sang kapten sebuah benteng kavaleri, sedang sarapan ketika letnannya berlari memasuki gerbang.
'Kapten,' serunya seraya memberi hormat, 'kita baru aja nerima surat penting dari pos terdepan, yang ada di gurun. Isi suratnya menyebutkan bahwa mereka butuh banget air.'
'Pasokan air bakalan tiba di sana dalam beberapa hari. Mereka bisa nunggu kok,' sahut sang kapten.
'Tapi pak, keknya cukup mengkhawatirkan,' jawab sang letnan. 'Soalnya, perangko di amplop suratnya, cuma dijepit dengan paper klip, gak di tempelin,'" Wulansari memulai lagi.

"Yuk kita lanjut," kata Wulansari. "Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, moralitas mengacu pada keyakinan tentang benar dan salah, baik dan buruk—keyakinan yang dapat mencakup pertimbangan, nilai-nilai, aturan, prinsip, dan teori. Keyakinan ini, membantu memandu tindakan kita, menentukan nilai-nilai kita, dan memberi kita alasan agar kita menjadi yang sebagaimana mestinya. Etika, kemudian, menjawab pertanyaan kuat yang dirumuskan Socrates lebih dari dua ribu empat ratus tahun yang lalu: Bagaimana seharusnya kita hidup?
Relevansi lanjutan dari pertanyaan ini, menunjukkan sesuatu yang menarik tentang etika: engkau tak dapat menghindarinya. Engkau tak dapat menjauhkan diri dari semua pilihan, perasaan, dan tindakan, yang menyertai gagasan tentang benar dan salah, baik dan buruk—gagasan yang bertahan dalam budaya dan pikiranmu. Lagi pula, bagi sebagian besar hidupmu, engkau telah mengasimilasi, memodifikasi, atau menolak norma etika yang engkau warisi dari keluarga, komunitas, dan masyarakatmu. Kecuali jika engkau sangat tak terbiasa, dari waktu ke waktu engkau mempertimbangkan tentang benar atau salahnya tindakan, merangkul atau menolak prinsip atau kode moral tertentu, menilai kebaikan karakter atau niatmu (atau niat orang lain), bahkan mungkin mempertanyakan (dan mengkhawatirkan tentang) kesehatan pandangan moralmu sendiri dikala bertentangan dengan orang lain. Dengan kata lain, engkau berperan dalam etika—engkau melakukan etika—sepanjang hidupmu. Bahkan jika engkau berupaya melepaskan diri dari ranah etika dengan bersikukuh bahwa segala konsep etika, tak relevan atau kosong, engkau punya pandangan tertentu—sebuah teori dalam arti luas—tentang moralitas dan tempatnya dalam hidupmu. Jika pada titik tertentu engkau cukup berani secara intelektual mempertanyakan bertumpukah keyakinan moralmu pada pertimbangan pendukung yang koheren, engkau akan melihat bahwa engkau bahkan tak dapat mulai memilah pertimbangan seperti itu tanpa—sekali lagi—melakukan etika. Bagaimanapun, dalam hidupmu, engkau harus berurusan dengan bagian dunia lainnya, yang memicu konflik dan resolusi moral, keputusan dan debat moral.

Dalam pelayanan publik, ada hierarki yang berhubungan dengan berbagai tingkatan etika, masing-masing punya tanggung jawabnya sendiri dan kemungkinan kompleksitasnya sendiri. Pertama-tama, moralitas pribadi, atau konsep individu tentang benar dan salah. Hal ini dibentuk sebagai dasar didikan dan lingkungan. Kedua, etika profesi. Biasanya dikodifikasikan dalam organisasi atau asosiasi profesional yang berkaitan dengan organisasi atau posisi. Tingkat ketiga, organisasi. Dapat mencakup kebijakan dan prosedur tertulis yang mendikte harapan organisasi, yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan perilaku etis. Terakhir, ada etika sosial. Biasanya diberlakukan sebagai hukum masyarakat dan dapat pula menjadi bagian dari nurani sosial seseorang.

Sejarah telah menunjukkan bahwa sebagian besar peradaban telah diruntuhkan dari kekuatan internal, bukan dari kekuatan eksternal. Korporasi, agensi, dan organisasi, tak luput dari nasib yang sama. Keserakahan, kekuasaan, persaingan, dan materialisme, hanyalah beberapa alasan di balik keruntuhan internal. Bidang pelayanan publik tak luput dari kebiasaan tersebut. Dunia tempat kita tinggal sering kali mengecewakan secara moral. Dalam banyak kasus, hal ini sering terjadi karena kurangnya etika dalam bidang kepemimpinan.
Seseorang menjadi pemimpin sebagai hasil dari berbagai kemungkinan dan berbagai alasan. Ada yang dibina. Ada yang punya kualitas yang sesuai menjadi pemimpin yang efektif. Ada yang memperoleh kepemimpinan melalui kekuatan, kekayaan, sosial, atau koneksi politik. Namun, yang lain menjadi pemimpin karena keadaan atau waktu. Namun, terlepas dari alasan seseorang menemukan dirinya dalam peran kepemimpinan, ia tak dapat menjadi pemimpin tanpa pula memiliki orang-orang yang rela menjadi pengikutnya. Kepemimpinan bukanlah seseorang atau posisi. Ia hubungan moral yang kompleks antara orang-orang berdasarkan kepercayaan, kewajiban, komitmen, emosi, dan visi tujuan bersama. Pemimpin hendaknya mempertimbangkan banyak masalah dan perhatian dalam membuat keputusan etis secara konsisten dan dalam mengembangkan kode perilaku etis bagi organisasi mereka. Peran pemimpin inilah yang menetapkan contoh perilaku etis yang jelas dan seragam, serta mengartikulasikan harapan dan tujuan tertentu, sehingga perilaku etis menjadi tema integral organisasi.

Kepemimpinan itu, topik yang sama rumitnya dengan etika, maka tatkala seseorang berhenti menggabungkan keduanya, hasilnya, bisa sangat menakutkan. Richard Brookhiser melukiskan kepemimpinan sebagai 'mengenal diri sendiri, mengetahui kemana engkau hendak pergi, dan kemudian membawa orang lain ke tempat baru itu.' Ada banyak gaya kepemimpinan yang digunakan menyelesaikan tugas yang menakutkan ini. Salah satu caranya, dengan memfokuskan analisis pada persamaan tujuan/sarana/konsekuensi yang disarankan oleh Brookhiser. Ini mengarah pada tiga pertanyaan utama: Apa tujuannya? Sarana apa yang akan kita gunakan agar sampai ke sana? Jenis pengorbanan dan kompromi apa yang seyogyanya dilakukan di sepanjang jalan?

Etika terletak di jantung seluruh hubungan manusia dan, karenanya, di jantung hubungan antara para pemimpin dan pengikutnya. Sepanjang sejarah, pemimpin yang sukses itu, mereka yang beroleh kepercayaan dari orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, untuk memimpin. Ada banyak perdebatan tentang bagaimana 'kepercayaan' didefinisikan; namun, terlepas dari ketidaksepakatan ini, sebagian besar individu sangat menyadari kapan kepercayaan ada, dan kapan tidak. Kepercayaan merupakan hasil dari komunikasi yang tepat dan kejelasan tujuan dalam suatu organisasi. Kepercayaan itu, keyakinan dan ketergantungan pada individu, organisasi, atau objek. Termasuk memiliki kepercayaan pada kekuatan dan integritas yang sama. Melalui pembentukan kepercayaan dalam suatu organisasi dan jika mampu menjaga kepercayaan tersebut, pemimpin akan dapat memberikan bimbingan yang efektif dan berfungsi pada pengembangan organisasi yang tepat. Seperti hubungan pribadi, landasan kepercayaan yang tepat berfungsi mendukung organisasi melalui masa-masa sulit dan memungkinkan kepemimpinan waktu dan kemampuan guna menemukan dan mengimplementasikan solusi yang akan membantu organisasi dalam mengatasi tantangan dan hambatan kala mereka muncul.
Warren Bennis dan Joan Goldsmith menyebutkan kualitas kepemimpinan yang merupakan bagian integral dari menumbuhkan kepercayaan. Kualitas yang mereka sebutkan adalah:
Visi. Pemimpin yang sukses itu, mereka yang menginspirasi dan menciptakan visi. Visi kepemimpinan berfungsi memberikan landasan bagi tujuan organisasi dan menimbulkan kepercayaan, yang dapat memungkinkan pengikut mengembangkan identitas pribadi dan merasa memiliki visi dan pembuatannya. Pemimpin melibatkan kita dalam visi, memberdayakan kita agar membuatnya, dan mengomunikasikan visi bersama sehingga kita mengintegrasikannya ke dalam hidup kita.
Empati. Pemimpin yang berempati tanpa syarat bagi mereka yang bekerja di dalam organisasi, akan muncul sebagai yang tersukses. Meskipun pendapat mereka mungkin sangat berbeda dari yang bekerja bagi mereka, kepercayaan dibangun ketika karyawan percaya bahwa seorang pemimpin memahami pandangan mereka dan dapat memahami dari mana mereka berasal.
Konsistensi. Seorang pemimpin yang mempertahankan tingkat konsistensi sehubungan dengan pendiriannya pada topik, visinya, gaya kepemimpinannya, dan penempatan organisasinya, akan dipercaya dan muncul sebagai orang yang berhasil. Meskipun konsisten, pemimpin yang sukses, juga akan mau mempertimbangkan bukti dan kejadian baru saat membuat keputusan organisasi.
Integritas. Seorang pemimpin yang menjaga integritas yang tak dipertanyakan lagi, akan memiliki kepercayaan dari karyawan dan rekan kerja. Ketika seorang pemimpin mengambil sikap pada topik, berdasarkan standar moralnya, dan tindakan ini dapat diamati oleh mereka yang bekerja dengan dan bagi sang pemimpin, ia akan memperoleh kepercayaan mereka. Pemimpin yang sama ini, hendaknya siap pula meminta pertanggungjawaban orang lain atas tindakan dan keputusan mereka, berdasarkan standar etika yang ditetapkan dan dipatuhi oleh sang pemimpin.

Seperti yang biasa disaksikan dalam olahraga, motivasi berasal dari kepemimpinan. Nilai-nilai kepemimpinan dan motivasi suatu organisasi hendaknya dimulai dari atas, jika ingin menemukan jalannya ke bawah. Jika perilaku etis organisasi dipertanyakan, atau ada kebutuhan bagi perubahan, maka penetapan, atau modifikasi, kode etik organisasi mungkin diperlukan.
Kode etik (terkadang disebut code of ethics atau ethical code) merupakan kumpulan pedoman institusional yang digunakan untuk mengurangi ketidakjelasan etika dalam suatu organisasi dan berfungsi sebagai sarana memperkuat perilaku etis.
Kepemimpinan organisasi menetapkan kode-kode ini berdasarkan nilai-nilai moral. Kode etik tipikal berisi harapan umum dan nonspesifik serta panduan target yang berupaya mengurangi ketidakjelasan dan, dengan demikian, mengurangi beban pengambilan keputusan etis terkait dengan area abu-abu. Kode etik dikembangkan tak semata berdasarkan pengalaman organisasi atau individu di masa lalu, melainkan pula berdasarkan perbuatan yang ingin dicegah oleh organisasi agar tak pernah terjadi.
Menurut Robin Bowen, kode etik punya dua tujuan utama. Pertama, memberikan pedoman moral dan standar perilaku profesional. Kode profesional membuat orang bertanggungjawab atas kinerja yang tepat dan pengabdian pada kejujuran dan kewajiban. Tujuan keduanya, mendefinisikan perilaku profesional mempromosikan rasa kebanggaan, toleransi, dan tanggungjawab di kalangan profesional.
Kode etik biasanya berfungsi sebagai dasar tindakan disipliner yang berkaitan dengan pelanggaran etika. Seringkali kode etik dapat memasukkan harapan pribadi yang secara signifikan melampaui apa yang diharapkan secara hukum dari karyawan. Ini mungkin termasuk hal-hal seperti moralitas, kejujuran, dan kebenaran. Kode etik yang ditulis dengan baik, seharusnya mencegah orang melakukan tindakan tidak etis, dan seyogyanya memasukkan prosedur disiplin serta konsekuensi atas tindakan tidak etis.

Perilaku etis merupakan dasar dari setiap organisasi profesional. Dalam penegakan hukum, mungkin baik bila banyak kursus yang membahas tentang etika, namun mereka tak memiliki pengetahuan tentang ideologi etis dari petugas polisi yang diajarkan. Berbagai divisi dalam suatu departemen, bisa jadi, memerlukan kerangka etika yang berbeda, sebab unit tempat petugas ditugaskan. Petugas patroli punya kebutuhan yang berbeda dengan petugas narkotika, petugas sumber daya sekolah, petugas lalu lintas, atau petugas senjata dan taktik khusus. Hal ini membuat 'toko serba ada' pelatihan etika menjadi tak praktis atau efisien.

Kerapkali, saat etika dibahas karena berkaitan dengan sistem peradilan pidana, penekanan biasanya ditempatkan pada penegakan hukum, sistem peradilan, koreksi, dan pembebasan bersyarat. Namun, hukum adalah titik awal bagi masing-masing dan dengan demikian, pembuat undang-undanglah orang yang bertanggung jawab atas pembentukan hukum.
Kewajiban utama pembuat undang-undang adalah representasi dari orang-orang atau masyarakat yang secara bersama-sama mengangkat pejabat tersebut. Representasi legislatif merupakan tugas dua bagian, dimana individu ditugaskan mewakili dan membuat undang-undang. Masing-masing memiliki isu yang relevan terkait dengan etika. Sepanjang setiap tugas, representasi, dan legislasi, seorang legislator hnedaklah berkomunikasi dengan konstituennya, sehingga sang legislator dapat mewakili kepentingan terbaik masyarakat. Komunikasi yang tepat dengan konstituen, termasuk menyampaikan dan mendidik mereka tentang ruang lingkup konstitusional dan batasan hak dan tanggung jawab legislatif. Komunikasi yang tepat, berarti pula menyampaikan dan mendidik mereka sehubungan dengan undang-undang yang tertunda, misalnya, bagaimana undang-undang yang tertunda akan disusun dan apa dampaknya, jika ada, terhadap masyarakat. Terakhir, kewajiban bagi legislatorlah, memberikan konstituen dan anggota masyarakat akses ke waktu legislator sehingga mereka dapat mengungkapkan keprihatinannya dan mengakses informasi yang mereka perlukan guna mendapatkan informasi yang benar.

Apa gunanya etika—studi tentang moralitas? Jika engkau berharap etika menambah gajimu, menjual produk, atau mendapatkan pekerjaan baru, engkau mungkin harus mencarinya di tempat lain. Namun, itu bukan berarti bahwa etika tak punya nilai praktis. Etika berkaitan dengan hal-hal praktis yang sangat penting, termasuk banyak perjuangan masyarakat kita dengan: pertanyaan tentang rekayasa genetika, serangan drone, penimbunan dan penggunaan senjata pemusnah massal, perpajakan yang adil, dana kampanye, dan sejumlah masalah keadilan sosial. Bukan kebetulan bahwa teori etika sering memimpin garda depan dalam mencapai reformasi moral. Misalnya, kaum utilitarian abad ke-19 dengan sengaja merumuskan teori mereka guna mengoreksi pelanggaran dalam sistem peradilan pidana pada masanya.
Moralitas dan etika berdampak pada kehidupan pribadi kita—setiap kali kita marah pada pengemudi lain, disakiti oleh seseorang, berkomitmen kepada teman, atau menandatangani dokumen. Keduanya memiliki kepraktisan hidup semacam ini karena memperlihatkan ketegangan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, ketegangan yang kita hadapi setiap hari. Mempelajari etika dapat membantu kita dalam menghadapi ketegangan ini, dengan membantu kita lebih memahami apa yang membedakan benar dan salah, bagaimana memikirkan masalah moral, dan bagaimana mengatasi, antara lain, konflik moral.
Lebih mendalam lagi, moralitas dan etika berhubungan dengan tanggungjawab terpenting yang kita masing-masing miliki dalam hidup: pembentukan diri kita sendiri. Setiap pilihan yang kita buat, berkontribusi menghasilkan kepribadian moral yang akan menentukan kita di saat berikutnya. Seperti yang ditekankan oleh para eksistensialis abad ke-20, kekuatan pilihan ini—khususnya pilihan moral—merupakan tanggungjawab yang luar biasa.
Namun etika tak semata penting untuk menangani masalah sosial utama. Studi tentang moralitas penting karena moralitas itu sendiri penting. Tanpa moralitas fungsional, masyarakat bahkan takkan menjadi mungkin. Bayangkan bila tiada yang peduli tentang kewajiban moral kejujuran. Bisnis dan pemerintah akan rontok karena tak ada kesepakatan yang dapat diandalkan. Pendidikan dan berita akan menjadi sia-sia karena keakuratannya tak dapat dipercaya. Sains akan kemana-mana hanya sekedar sebagai 'politik' dan pendapat. Bahkan keluarga dan persahabatan akan menderita, karena semua ini, menuntut kita agar saling jujur.

Bukan hanya para ekonom dihadapkan pada masalah 'problem of choice'—the scarcity—namun pula, dalam hal moralitas. Lantas, apa dong tujuan moralitas? Buat apa moralitas? Rupanya, ia punya banyak tujuan. Termasuk memungkinkan kita mencapai tujuan kita dengan cara yang dapat diterima secara sosial, memungkinkan kita menyelesaikan konflik kepentingan secara patut, mengembangkan karakter positif tertentu, meningkatkan kebahagiaan manusia, memungkinkan masyarakat agar bertahan hidup. Semua ini, soal pilihan, yang tentunya dimotori oleh 'critical thinking' guna menemukan solusi terbaik.
Engkau kiranya dapat memikirkan orang lain, memperlakukan mereka sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai alat demi mencapai tujuan. Kita berkewajiban memperlakukan orang lain dengan benar; bukan memanfaatkan keadaan alias aji mumpung."

"Akhirnya," Wulansari hendak berangkat, "coba pikirkan lagi cerita kita tentang wong ndeso dan angsanya. Bayangkan jika sang angsa mewakili orang yang disayanginya, saat etika mengingatkannya, ia hanya bisa bengong, takut dan nyesel, seraya bersenandung,

So I walk into the dead of night where my monsters like to hide
[Maka ku melangkah ke malam gulita dimana monsterku suka bersembunyi]
Chaos feels so good inside, no more
[Sengkarut terasa begitu nyaman di dalam, tak lebih]

I lost, I lost, I lost control again
[Ku lepas, ku lepas, ku lepas kendali lagi]
Always do the same and I'm to blame
[Kerap berbuat yang sama dan akulah yang salah]
I lost control again
[Ku lepas kendali lagi]

I don't, I don't, I don't know who I am
[Ku tak, ku tak, ku tak kenali siapa diriku]
Always do the same and I'm to blame
[Kerap berbuat yang sama dan akulah yang salah]
I lost control again *)
[Ku lepas kendali lagi]

Lalu Wulansari menyimpulkan dengan, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Aric W. Dutelle & Randy S. Taylor, Ethics for the Public Service Professional, 2018, CRC Press
- Lewis Vaughn, Beginning Ethics : An Introduction to Moral Philosophy, 2015, W. W. Norton & Company, Inc
- Louis P. Pojman, The Moral Life: An Introductory Reader in Ethics and Literature, 2000, Oxford University Press
- Richard Burnor & Yvonne Raley, Ethical Choices: An Introduction to Moral Philosophy with Cases, 2018, Oxford University Press
*) "Lost Control" karya Alan Walker / Anders Froen / Fredrik Borch Olsen / Magnus Martinsen / Sorana Paula Pacurar / Thomas Troelsen

Kamis, 22 Juni 2023

Telur-telur Emas (1)

“Alkisah, ada wong ndeso, punya seekor angsa yang bertelur emas. Setiap hari, ia mendatangi petarangan angsanya, membawa telurnya ke pasar, dan beranjak jadi kaya. Tak lama berselang, ia mulai gak sabaran dengan sang angsa lantaran cuman memberinya sebutir telur sehari. Angan-angan jadi cepat kaya, lambat terwujudkan. Muncullah sifat tamaknya dan menginginkan lebih banyak cuan, maka ia pun membunuh sang angsa, berharap menemukan emas di dalamnya. Namun dikala ia membedahnya, tak ada sebutir pun telur emas. Ujung-ujungnya, ia malah kehilangan unggas sekaligus kado hariannya," berkata Wulansari—bahasa Sunda, artinya bulan yang indah—ketika ia tiba dan memancarkan paras cantiknya, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam.
"Tiada nafsu yang bisa menjadi siksaan yang teramat berat, bagi mereka yang dikuasai oleh ketamakan yang tak terpuaskan. Ia menjadikan manusia, buta akan kebahagiaan mereka saat ini. Orang yang menyerah pada kecenderungan ini, tak tahu bagaimana puas dengan kecukupan yang teratur dan berkelanjutan. Benak mereka dihantui oleh prospek menjadi kaya," lanjut Wulansari. “Elemen inti moralitas manusia (prinsip perilaku baik dan buruk; benar dan salah) bersifat universal. Etika tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari saat ini, sebab isu mendasar yang berkaitan dengan interaksi manusia dalam masyarakat, adalah sama, dimana pun atau kapan pun para insan berinteraksi.

Sejarah menyanjung Theodore Roosevelt, yang dengan ucapannya bahwa 'mendidik manusia dalam pikiran, namun tidak dalam moral, berarti menciptakan ancaman bagi masyarakat.' Setiap orang menghadapi dilema etika dalam kehidupan pribadi dan profesinya; pertanyaannya, siapkah mereka tatkala menghadapinya.
Istilah etika bermakna studi tentang standar moral dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku. Akar kata Yunani bagi etika ialah etos, yang menekankan kesempurnaan individu dan komunitas dimana ia dilukiskan. Hampir semua orang terpelajar mengakui pentingnya etika. Lalu, tentang apa sih etika itu? Aric W. Dutelle dan Randy S. Taylor menyebutkan bahwa etika berkisar tentang:
Benar dan Salah: 'Kita tak menyebut apa pun salah, kecuali kita bermaksud menyiratkan bahwa seseorang haruslah dihukum dengan cara tertentu karena melakukannya; jika tidak oleh hukum, menurut pendapat sesamanya; jika bukan oleh opini, oleh celaan hati nuraninya sendiri.'
Baik dan Buruk: 'Keburukan, lawan dari kebajikan, menunjukkan kepada kita dengan lebih jelas apa itu kebajikan. Keadilan menjadi lebih jelas ketika kita membandingkannya dengan ketidakadilan.'
Maslahat dan Mudarat: 'Dua unsur penting dalam sentimen keadilan adalah keinginan menghukum seseorang yang telah melakukan kejahatan, dan pengetahuan atau kepercayaan bahwa ada individu atau individu tertentu yang dirugikan.'
Aturan Tingkah Laku Universal: 'Etika meliputi aturan-aturan yang tetap dan universal tentang perilaku benar, yang tak bergantung pada waktu, budaya, atau keadaan.'
Karakter: Etika terjalin dalam karakter seseorang, 'ciri-ciri, kualitas, dan reputasi mapan yang menentukan siapa seseorang dan apa yang diperjuangkan seseorang di mata orang lain.'
Keteladanan: Etika didirikan di atas 'pola perilaku yang mapan, yang layak ditiru.'

Moral, Nilai-nilai, dan Etika, tiga kata yang berbeda. Kata moralitas berasal dari kata Latin, moralis, yang bermakna 'kebiasaan tradisional atau perilaku yang pantas'. Oleh sebab itu, pada dasarnya, moral mengacu pada seperangkat aturan yang menetapkan apa yang dianggap benar atau salah. Aturan-aturan ini, ditentukan oleh (walaupun biasanya tak tertulis atau 'ditetapkan' dengan tulisan) dan diterima oleh suatu kelompok atau masyarakat. Kelompok atau masyarakat dapat mencakup teman sebaya, pendidik, agama, media, dan unit keluarga. Jika seseorang dalam kelompok atau masyarakat melanggar salah satu aturan, maka mereka biasanya dianggap 'buruk' atau 'tak bermoral'. Moral menggambarkan apa adanya. Etika menggambarkan apa yang seharusnya.

Nilai-nilai, di sisi lain, memberikan arah dalam penentuan benar lawan salah, atau baik lawan buruk. Nilai-nilai merupakan apa yang diyakini individu mempunyai sebuah nilai dan kepentingan, atau sesuatu yang berharga. Dengan demikian, moral adalah nilai-nilai yang diatribusikan individu ke sistem keyakinan, yang membantu individu dalam menentukan benar dari salah atau baik dari buruk.

Etika, yang intinya merupakan akar kata Yunani, etos, mengacu pada 'karakter moral seorang individu.' Orang Yunani meyakini bahwa etos mencakup penekanan pada karakter individu serta memasukkan warga negara sebagai komponen komunitas yang lebih besar. Intinya, awal yang mudah; bahwa etika dimulai dari individu.
Etika melibatkan upaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana hasil moral dapat dicapai. Acapkali disebut sebagai 'etika terapan.' Dutelle dan Taylor membagi studi etika menjadi tiga bidang:
Etika normatif: Bagaimana nilai-nilai moral harus ditentukan. (Apa yang menurut individu benar?)
Etika deskriptif: Moral apa yang sebenarnya diikuti atau dipatuhi. (Bagaimana seharusnya individu bertindak?)
Meta-etika: Sifat dasar etika, termasuk apakah ia memiliki pembenaran objektif, bagaimana individu menentukan sendiri norma-norma sosial apa yang harus diikuti. (Apa maknanya menjadi 'benar'?)

Moral dan Etika, hendaknya pula dibedakan dari Hukum. Hanya karena sesuatu diperbolehkan secara hukum, bukan berarti bahwa itu diperbolehkan secara moral dan etika. Argumen inilah yang mendasar di seputar perdebatan tentang aborsi, mariyuana medis, pekerja anak, hukuman mati, dan banyak lainnya. Dan, sebagaimana legalitas tak menyiratkan moralitas, ilegalitas tak menyiratkan imoralitas.
Ada keputusan, pilihan, dan pertimbangan yang mungkin bersifat moral, etis, atau legal, atau boleh jadi, kombinasi dari semuanya. Suatu tindakan atau keputusan dapat benar secara etis, salah secara moral, dan netral secara hukum. Contohnya sebagai berikut: Petruk suka makan daging merah. Lokasi tempat tinggal Petruk, bermuka-masam terhadap warganya yang makan daging merah. Itu tak ilegal, hanya saja tak dapat diterima secara sosial. Lantaran adanya prinsip moral, yang pada dasarnya melarang makan daging merah, hal tersebut dianggap tak bermoral ('salah'). Namun, karena perilaku Petruk tak mempengaruhi orang lain secara langsung, perilaku tersebut dipandang netral secara etis oleh orang lain, tetapi dianggap 'benar' oleh Petruk. Oleh sebab tiada undang-undang yang melarang makan daging merah, hal itu dianggap netral secara hukum.

Tapi bagaimana dengan pembunuhan? Ada berbagai kategori pembunuhan: pembunuhan yang dapat dimaafkan, pembunuhan yang dapat dibenarkan, mengambil nyawa orang lain secara ilegal, dll. Tak semua pilihan yang dibuat seseorang itu, pilihan etis. Misalnya, pilihan '2' atau '3' dalam menentukan jawaban yang tepat untuk soal 'berapa 1 + 1?' sama sekali tidak etis. Pula, tak memutuskan jawaban untuk: 'Seberapa jauh bumi dari matahari?' Banyak sekali keputusan dibuat sebagai hasil pengujian, melalui sistem metodologis yang logis, seperti matematika dan sains. Di lain waktu, matematika dan sains tak berguna dalam proses pengambilan keputusan dan seseorang harus menggali lebih dalam guna memperoleh solusi yang 'tepat' bagi masalah yang dihadapi.
Ketika pilihan yang harus dibuat itu, antara apa yang jelas benar dan jelas salah, keputusan tentang apa yang harus dilakukan pada dasarnya merupakan keberanian moral, bukan dilema etika. Orang yang beretika tahu, ia tak boleh mencuri, sedangkan orang yang bermoral, takkan mencuri.
Namun, ada faktor tambahan yang dapat berfungsi sebagai dorongan pengambilan keputusan etis. Faktor-faktor tersebut dapat mencakup, namun tak terbatas pada, keluarga, teman, profesi, agama, masyarakat, budaya, dan hukum. Faktor-faktor inilah, dikombinasikan dengan bias pribadi seseorang, yang berdampak pada konsep individu tentang benar dan salah, dan, karenanya, berimpak pada proses pengambilan keputusan etis.
Penentuan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu menjadi lebih sulit ketika pilihannya lebih dekat ke nuansa abu-abu tentang benar dan salah atau antara hak (kebajikan) yang berapit. Kerancuan seperti itu, disebut sebagai dilema etika. Dilema etika merupakan situasi dimana seseorang dihadapkan pada pilihan antara kebajikan yang berkompetensi, yang dianggap sama pentingnya, tetapi tak dapat dihormati secara simultan.
Maka, jika seseorang benar-benar dihadapkan pada dilema etika, dibanding keputusan antara apa yang etis dan apa yang bermoral, mungkin dilema etika paling baik digambarkan sebagai keputusan antara dua hak yang berlaga, atau konflik 'benar melawan benar'. Oleh karenanya, penting bagi seseorang agar memahami proses pengambilan keputusan jika seseorang ingin mengevaluasi etis atau tidaknya, suatu keputusan itu.

Ada lebih banyak etika ketimbang sekadar mengetahui tentangnya. Sama pentingnya mengetahui apa yang terikut dalam riasannya. Etika itu, cara Nilai-nilai dipraktikkan. Dengan demikian, ia merupakan proses penyelidikan (memutuskan bagaimana memutuskan) dan kode etik (seperangkat standar yang mengatur perilaku).
Berpikir baik itu, berpikir kritis. Pemikiran kritis, penggunaan nalar secara sadar, berdiri jelas terpisah dari cara lain untuk memahami kebenaran atau menghadapi pilihan: dorongan hati, kebiasaan, dll. Impuls tak lebih dari spontanitas yang tak reflektif, pikiran yang autopilot. Kebiasaan itu, di sisi lain, pengulangan yang diprogram. Ia mirip dengan memori otot, kecuali bila diterapkan pada perilaku. Pengulangan itu, kebiasaan. Oleh karenanya, 'obyek pemikiran kritis ialah untuk mencapai ukuran objektivitas guna menangkal atau mengurangi bias subyektif yang diberikan oleh pengalaman dan sosialisasi kepada kita semua.'
Landasan etika dimulai dari individu. Meski sifatnya sederhana, persoalan inilah yang juga menjadi titik awal komplikasi dan parodi yang berkaitan dengan etika dalam pelayanan publik, fakta bahwa semuanya, dimulai dari individu. Sebuah lembaga atau organisasi tak mempunyai etika; karyawannyalah yang beretika. Para penata-usahalah yang membuat keputusan beretika. Keuntungannya bahwa mayoritas masyarakat ingin menjadi etis, sebagian besar organisasi ingin bertindak secara etis, dan mayoritas karyawan dan organisasi ingin diperlakukan secara etis. Kelemahan dari hal ini, bahwa banyak sekali individu dan organisasi yang tak mahir dalam penerapan nilai-nilai bersama, atau etika kelompok, dalam proses pengambilan keputusan. Kemuliaan kisah manusia, bahwa muatan berita baik memungkinkan etika; sedangkan tragedinya, kecenderungan terhadap kejahatan, menjadikan diperlukannya etika.

Pada sesi berikutnya, kita akan membahas, secara ringkas, tentang etika dalam pelayanan publik. Bi 'idznillah.”
[Sesi 2]

Senin, 19 Juni 2023

Aktor Politikkah Para Hakim itu?

"Dalam peresmian gedung baru sebuah Lembaga Yudisial, seorang Hakim senior berdiri, menunjuk ke arah patung Lady Justice, dan berkata, 'Jangan pernah menilai sang Nyonya dari bungkusannya doang!'
Seketika, segenap hadirin menjawab, "Siap, yang mulia!"
Namun, sesaat usai para hadirin hening, seorang bocah nyeletuk, 'Iya sih, mata sang Nyonya memang ketutup, tapi kan telinganya, enggaak!'" berkata Rembulan sambil membawa timbangan dan pedang, tanpa penutup mata, menirukan gaya dewi Yunani, Themis, usai membuka dengan Basmalah dan Salam.

"Peran seorang hakim itu, mengambil keputusan," lanjut Rembulan. "Masyarakat sungguh-sungguh mengharapkan para hakim menjadi pengambil keputusan yang sangat baik. Mereka mengharapkan hakim agar objektif, rasional, akurat, tak memihak, konsultatif, dan tegas. Tentu saja, ini cita-cita yang mulia. Banyak hakim berjalan melewati patung Lady Justice setiap melangkah ke ruang sidang, personifikasi dari cita-cita ini dan pengingat kekuatan moral sistem peradilan. Kemampuan hakim menaati cita-cita ini, menjadi pembuat keputusan yang baik, dan memberikan pertimbangan yang adil, merupakan ukuran kepercayaan publik terhadap pengadilan mereka.

Apa yang memotivasi para hakim dalam peran mereka sehari-hari? Selain itu, bagaimana hal ini mempengaruhi pengambilan keputusan mereka? Tak masuk akal bila berasumsi bahwa hakim punya kepentingan sendiri sampai tingkat tertentu, namun hakim yang mementingkan diri sendiri, sebagian besar merupakan 'tokoh yang absen' dalam literatur tentang peran yudisial, kata Brian M. Barry. Mungkin agak terlalu digeneralisasi, hakim mungkin punya ambisi karir, mereka mungkin merasakan pencapaian kala dipromosikan atau disanjung, dan mereka mungkin menikmati status yang menyertai perannya. Mereka mungkin khawatir tentang reputasi dan senang disukai dan dihormati. Mereka mungkin cerdik ketika pekerjaan mereka dikritik di media atau oleh rekan mereka di pengadilan yang lebih tinggi. Mereka mungkin lebih suka dibayar dengan baik, menikmati waktu senggang mereka dalam berbagai tingkatan dan berpikir tentang pensiun. Selain penelitian tentang karakteristik demografi hakim, efek psikologis dan politik yudisial, intelektual yudisial telah mempertimbangkan bagaimana motivasi pribadi dan profesional hakim dapat mempengaruhi pengambilan keputusan mereka.
Intelektual yudisial Lawrence Baum berkomentar bahwa di tengah upaya yang semakin produktif dan canggih guna memahami banyak aspek fungsi yudisial, terutama peran politik dalam pengambilan keputusan yudisial, ada baiknya berhenti sejenak merenungkan bahwa hakim hanyalah 'manusia pembuat keputusan.' Meskipun merupakan poin yang jelas, ini tetap merupakan poin penting, mengisyaratkan pentingnya tak mengabaikan motivasi yang lebih biasa, sehari-hari, dan intrinsik yang dapat mempengaruhi hakim dan yang mungkin hilang dalam desakan agar lebih memahami peran mereka.

Brian M. Barry memberitahu kita tentang riset-riset yang mengungkap jawaban dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan menyangkut para hakim. Adakah bukti empiris bahwa pengambilan keputusan hakim secara sistematis dipengaruhi oleh seberapa banyak (atau seberapa sedikit) mereka menghargai waktu mereka? Para peneliti telah meneliti hal ini dengan menilai produktivitas para hakim dan kualitas keputusan mereka. Keseimbangan kehidupan kerja, mencari waktu luang, dan beban kerja hakim saling berhubungan.
Bila beban kerja hakim dapat dikelola dan sesuai, beberapa hakim mungkin memutuskan agar tidak mencurahkan lebih banyak waktu dan upaya memutuskan suatu kasus dibanding hakim lain, sebab mereka lebih menghargai waktu luang mereka. Konsekuensinya, bolrh jadi bahwa hakim yang berbeda dapat memberikan keputusan yang berbeda, tergantung pada seberapa banyak upaya yang mereka lakukan. Sama halnya, beban kerja seorang hakim mungkin amat berat dan tak dapat dikerjakan, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka mengambil keputusan hukum yang sebaik mungkin.
Bagaimana variasi dalam beban kerja, mempengaruhi hasil dan pengambilan keputusan para hakim? Saat dihadapkan dengan tekanan tinggi pada beban kasus mereka, para hakim lebih suka mengurangi jumlah putusan yang mereka tulis ketimbang berkompromi pada kualitasnya, sebagaimana diukur dengan jumlah kutipan yang kemudian diperoleh keputusan.
Beberapa peneliti telah menyajikan bukti tentatif bahwa para hakim berusaha melindungi diri dari beban kasus yang berlebihan, dengan memutuskan jenis kasus tertentu dengan cara yang strategis.

Keputusan hakim bukanlah produk dari karakteristik pribadi bawaan mereka seperti jenis kelamin, ras, atau usia. Warna kulit hakim atau jenis kelaminnya tidak dengan sendirinya mempengaruhi cara mereka memikirkan dan memutuskan kasus. Selain itu, hakim jarang akan mengakui bahwa pandangan mereka tentang masalah hukum tertentu—dan lebih jauh lagi, pengambilan keputusan—dengan cara apa pun, terkait dengan karakteristik pribadi yang kebetulan mereka miliki.

Masyarakat berhak mengharapkan hakim agar mengambil keputusan yang tak memihak, buta terhadap karakteristik pribadi para pihak yang berperkara, yang muncul di hadapan mereka. Sistem peradilan menggambarkan ketidakberpihakan mereka melalui patung Lady Justice, yang mengenakan penutup mata, atau prinsip yang diukir di gedung pengadilan yang menyatakan, antara lain, 'keadilan yang sama di bawah hukum.' Kode etik profesional hakim, dan aturan keadilan alami dan proses hukum, penuh dengan ungkapan bagaimana hakim harus memperlakukan semua pihak yang berperkara secara tak memihak dan memutuskan kasus bebas dari prasangka dan bias. Terlepas dari cita-cita ini, studi empiris secara teratur menunjukkan perbedaan dan ketidakkonsistenan dalam pengambilan keputusan yudisial, tampaknya karena karakteristik tertentu dari pihak yang berperkara, termasuk jenis kelamin, ras atau etnis atau usia.

Para hakim tahu bahwa keputusan mereka dapat diperiksa dengan seteliti-telitinya, tak semata oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, melainkan pula oleh audiens lain di luar ruang sidang. Oleh sebab itu, para hakim dapat mengingat lembaga-lembaga lain di luar pintu pengadilan mereka saat mereka memberikan keputusan.
Pengadilan banding, sesama hakim dalam komunitas yudisial yang lebih luas, cabang pemerintahan lainnya, aktor politik individu, publik dan media, semuanya, pada suatu waktu atau di waktu yang lain, dapat membebani pikiran seorang hakim. Audiens lain ini, dapat dikategorikan sebagai institusi eksternal yang menggunakan, pada tingkat yang berbeda-beda, pengaruhnya terhadap hakim ketika memutuskan kasus-kasus tertentu. Oleh karenanya, para hakim akan menganggap diri mereka sebagai aktor dalam sistem eksternal yang lebih luas, lembaga-lembaga yang saling terkait.

Lalu, bagaimana dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial inteligence (AI)), bisakah membantu mereka dalam pengambilan keputusan di banyak yurisdiksi? Di beberapa pengadilan, hakim AI telah menggantikan hakim manusia sama sekali. Platform penyelesaian sengketa online dan pengadilan online telah berkembang dengan kecepatan yang luar biasa, terutama sepanjang tahun 2020, dan kemungkinan akan menjadi pengalaman yang semakin imersif seiring perkembangan teknologi, mungkin meniru ruang sidang di kehidupan nyata. 
Artificial intelligence (AI) merupakan konsep tak berbentuk yang dikenal kurang baik. Dalam istilah yang paling sederhana, AI mengacu pada komputer yang melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh pikiran. Mesin AI ditujukan mendekati beberapa aspek kognisi manusia—berperilaku dengan cara yang akan disebut cerdas jika manusia berperilaku dengan cara yang sama. Banyak peneliti AI berpendapat bahwa tujuannya untuk mengembangkan kecerdasan yang memperbaiki dan meningkatkan kapasitas otak manusia.
Pakar teknologi berbicara tentang gelombang AI yang berbeda: sistem AI gelombang pertama dan gelombang kedua. AI gelombang pertama mengacu pada sistem berbasis aturan yang telah diprogram sebelumnya oleh manusia dengan pohon keputusan atau diagram alir yang kompleks untuk melakukan tugas tertentu. Sistem AI gelombang pertama didikte oleh input manusia menuju sejumlah hasil yang sesuai. AI gelombang kedua mengacu pada sistem yang belajar dari sejumlah besar data, dan mengembangkan serta meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya. Sementara sistem AI gelombang pertama bergantung sepenuhnya pada seperangkat aturan terbatas yang diprogram oleh manusia, sistem AI gelombang kedua berkapasitas untuk menggunakan dan menganalisis data dengan hak mereka sendiri. Kendati demikian, mereka tak menalar atau memproses informasi dengan cara yang sama seperti manusia. Sebaliknya, mereka mengandalkan pembelajaran mesin.

Pertanyaan dapat atau haruskah komputer menggantikan hakim manusia, telah dipertanyakan selama beberapa dekade. Namun, hanya dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, prospek ini telah menjadi kemungkinan nyata, dan terkadang menjadi kenyataan. Bukan hanya hakim yang semakin mengandalkan sistem AI. Pengacara juga menggunakan sistem AI yang menganalisis data pada kasus masa lalu guna menganalisis dan memprediksi kemungkinan hasil dalam kasus yang akan datang. Teknologi ini telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kebangkitannya sangat produktif, dengan pengacara litigasi terkemuka menyarankan bahwa bahkan dapat dianggap malpraktek bila tidak menggunakan teknologi ini dalam waktu yang tak terlalu lama.
Kembali ke fungsi yudisial, sistem AI semakin umum di ruang sidang, dan jangkauannya benar-benar global. Sejauh ini, sebagian besar sistem dirancang untuk membantu, bukan menggantikan hakim manusia, melayani fungsi yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Misalnya, beberapa sistem AI menyusun dan menyajikan informasi tentang para pihak dan beberapa menghitung dan menyarankan hukuman bagi penjahat yang dihukum berdasarkan informasi tentang suatu kasus. Sistem lain bertindak dalam peran pengawasan, menandai hakim manusia ketika penilaian yang mereka usulkan tak biasa atau tak sesuai dengan tren dari data kasus sebelumnya.

Sebagai contoh, pada Februari 2020, pengadilan Malaysia untuk pertama kalinya menggunakan sistem AI yang merekomendasikan putusan hukuman dalam dua kasus kepemilikan narkoba, dengan menganalisis tren putusan dari kasus serupa yang diputuskan antara tahun 2014 dan 2019.
Para hakim mempertahankan keleluasaan menggunakan rekomendasi sistem AI atau tidak. Peradilan Malaysia sekarang menggunakan sistem untuk merekomendasikan keputusan hukuman bagi kasus kepemilikan narkoba dan pemerkosaan, dan diperkirakan akan segera diluncurkan untuk memberikan ganti rugi dalam kasus cedera pribadi kecelakaan lalu lintas jalan.
Pada tahun 2017, hakim Ohio mulai menggunakan sistem AI khusus untuk mengumpulkan informasi guna menyelesaikan kasus pengadilan remaja. Sistem ini menyediakan ringkasan situasi anak, informasi tentang situasi pendidikan mereka, pengaturan hidup mereka dan sejarah penggunaan obat dan medis mereka. Diperkirakan bahwa seiring waktu, karena sistem AI ini mempelajari lebih banyak kasus dan hasil kasus, ia akan dapat menyarankan keputusan dalam kasus selanjutnya.
Sistem AI yang dirancang membantu para hakim telah diintegrasikan ke banyak pengadilan China dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, dalam upaya meningkatkan konsistensi pengambilan keputusan, hakim sekarang dibantu oleh sistem AI yang memberikan hakim 'peringatan penilaian yang tidak normal' jika keputusan mereka bertentangan dengan keputusan serupa lainnya dalam database.
Di Meksiko, sistem 'Expertius' menyarankan hakim dan panitera tentang apakah penggugat memenuhi syarat atau tidak untuk pensiun.

Sekarang kembali ke pertanyaan, aktor politikkah para hakim itu? Menurut Keith Bybee, sebuah penelitian di Negeri Paman Sam menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya, tampak percaya bahwa semua hakim itu, aktor politik—kecuali saat mereka tidak. Sudut pandang yang ambivalen ini, menimbulkan kecurigaan bahwa hakim seringkali tak bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka ucapkan; dan kecurigaan ini, pada gilirannya, mengancam akan mengikis kepercayaan publik terhadap otoritas pengadilan dan menggerogoti kedudukan pengadilan sebagai arbiter yang tak memihak atas perselisihan individu.

Para hakim, tentu saja, manusia, kata Brian Barry. Mereka aktor sosial dan aktor politik. Mereka didorong dan ditarik oleh kekuatan internal dan eksternal. Kekuatan psikologis. Kekuatan emosional. Kekuatan kelembagaan. Kekuatan politik. Kekuatan yang mementingkan diri sendiri sebagai profesional. Bias implisit. Prasangka eksplisit.
Seringkali, para hakim secara mengagumkan melawan, atau setidaknya berusaha melawan beberapa konsekuensi berbahaya dari kekuatan-kekuatan ini. Mengingat standar tinggi yang diharapkan dari mereka, para hakim bercita-cita melakukan tugas kehakiman semata dalam empat sudut hukum yang berlaku  [the four corners rule contract law, juga dikenal sebagai the patrol evidence rule, menetapkan bahwa jika dua pihak membuat perjanjian tertulis, mereka tak dapat menggunakan perjanjian lisan atau tersirat di pengadilan agar bertentangan dengan ketentuan perjanjian tertulis. Istilah 'four corners' (empat sudut) mengacu pada empat sudut sebuah dokumen]. Terkadang, para hakim mungkin menganggap benar dan perlu bahwa untuk 'menunaikan keadilan'—sebuah gagasan yang licin dan tak berbentuk—mereka harus mengakui dan tunduk pada perhatian manusia, sosial atau politik yang sensitif, yang menuntun mereka menuju apa yang mereka anggap sebagai hasil peradilan yang lebih baik dan lebih patut. Dan kemudian, ada alasan lain ketika hakim secara sadar atau tidak sadar, menyerah pada konsekuensi negatif dari beberapa kekuatan internal dan eksternal yang tadi telah disebutkan. Wallahu a'lam."

Walau ia tak buta, tapi mengapa Lady Justice menutupi matanya? Namun, Rembulan harus pergi, dan ia berlalu sembari menjawabnya dengan melantunkan,

I can turn it on, be a good machine
[Aku bisa menyalakannya, menjadi mesin yang baik]
I can hold the weight of worlds, if that's what you need
[Aku dapat menanggung beban dunia, jika itu yang engkau perlukan]
Be your everything
[Menjadi segalamu]

I can do it, I can do it, I'll get through it
[Aku bisa melakukannya, aku bisa melakukannya, aku bakalan bisa melaluinya]

But I'm only human and I bleed when I fall down
[Namun aku cuma manusia dan aku berdarah bila kuterjatuh]
I'm only human *)
[Aku hanyalah manusia]
Kutipan & Rujukan:
- Brian M. Barry, How Judges Judge: Empirical Insights Into Judicial Decision Making, 2021, Informa Law
- Keith Bybee, All Judges Are Political—Except When They Are Not: Acceptable Hypocrisies and the Rule of Law, 2010, Stanford University Press
- Richard A. Posner, How Judges Think, 2008, Harvard University Press
- Cass R. Sunstein, [et al.], Are judges political? : An Empirical Analysis of the Federal Judiciary, 2006, The Brookings Institution
*) "Human" karya Martin Johnson & Christina Perri

Jumat, 16 Juni 2023

Gambaran di Kepala Kita (2)

"Dua ekor guk-guk sedang berjaga-jaga di sebuah peternakan babi, ngobrolin tentang para babi.
'Loe tau nggak,' kata salah satunya, 'manusia bilang, para babi gak bisa nengok ke atas.'
'Lantas, menurut pendapat para manusia, apa yang mesti dilakukan para babi?,' tanya yang lain.
Yang pertama menjawab, 'Mereka nyaranin supaya doski, kudu jungkir-balik, seolah tidur telentang'," lanjut Rembulan.

"Politik dan budaya tak henti-hentinya membicarakan Opini Publik," Rembulan melantas. "Presiden, anggota Kongres, calon pejabat publik, pemimpin kelompok kepentingan, jurnalis, dan eksekutif perusahaan, serta rakyat jelata, secara rutin bertanya, 'Bagaimana dengan opini publik?' Pemimpin politik perlu mengetahui kebijakan dan inisiatif seperti apa yang didukung pemilih, tetapi kelompok dan individu lain membutuhkan pula pengetahuan tentang opini publik. Pemimpin kelompok kepentingan harus memutuskan pertarungan seperti apa, yang akan dilakukan dan cara terbaik memobilisasi calon pendukung. Para jurnalis, yang merupakan kunci pemain dalam mengukur dan mengkomunikasikan opini publik, berusaha menginformasikan kepada kita, yang ingin tahu tentang sikap sesama warga. dan untuk memahami apa yang diinginkan audiens. Eksekutif perusahaan harus memperhatikan tren dalam budaya suatu negara—apa yang dipikirkan konsumen, apa yang mereka beli, dan umumnya, bagaimana mereka memilih untuk menjalani hidup.
Boleh jadi, indikator opini publik yang paling jelas adalah survei sampel atau jajak pendapat. Data kuantitatif dari survei seringkali dapat memberi kita gambaran tentang bagaimana perasaan warga tentang masalah kebijakan, praktik sosial, atau masalah gaya hidup. Hasil pemilu dan referendum terkadang mengungkap preferensi warga negara dengan cara yang sangat dramatis; sering dikatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya pemungutan suara yang penting. Namun seseorang hendaklah melampaui teknik-teknik yang jelas ini dan mempertimbangkan seluruh 'tempat' dimana opini orang dapat ditemukan: dalam naskah program televisi; dalam rapat umum politik, rapat kota, atau dengar pendapat dewan kota; dalam retorika jurnalisme; dalam dialog di antara teman-teman yang sering mengunjungi kedai kopi atau kafetaria setempat; dalam diskusi politik yang disaksikan di Internet dan di media sosial atau mendengarnya dalam perbincangan radio. Berfokus pada hasil survei saja, berarti melewatkan sebagian besar cerita.

Frasa 'opini publik' tak digunakan secara luas sebelum abad ke-19, namun banyak filsuf politik pada periode kuno menggunakan ungkapan serupa untuk berbicara tentang sentimen populer. Plato, seorang filsuf Yunani abad keempat SM, mengakui opini publik sebagai kekuatan sentral dalam urusan politik, tapi ia ragu, orang dapat mewujudkan kepentingan terbaik mereka sendiri atau bekerja sendiri demi menciptakan negara yang sehat secara moral. Plato berpikir negara yang adil harus diatur oleh raja-raja filsuf, dan anggota masyarakat haruslah dididik agar menghargai bagaimana para pemimpin ini bertindak atas nama kebaikan bersama, guna memahami dan menghargai pemerintahan dan hukum yang mereka jalankan.
Aristoteles berargumen dengan sangat fasih bagi suara publik, membela kebijaksanaan warga negara biasa. Aristoteles tak melihat opini publik sebagai sentimen yang dipegang orang terhadap isu-isu tertentu saat itu, kendati ia melihat sikap itu penting dan layak diartikulasikan. Sebaliknya, ia menekankan nilai, norma, dan selera warga negara yang berlaku.
Cicero, negarawan dan orator kondang, mengklaim, 'Sic est vulgus: ex veritate pauce, ex opinion multa aestimat,' yang dapat diterjemahkan sebagai 'Inilah orang banyak: menilai beberapa hal menurut kebenaran, banyak menurut pendapat.' Bangsa Romawi tak mengabaikan opini publik sepenuhnya, namun mereka percaya bahwa hal itu paling penting dalam hal kepemimpinan. Dihormatikah negarawan oleh rakyat? Populerkah mereka? Banyak perbincangan opini publik di zaman Romawi berorientasi pada dimensi politik yang sempit ini.
Niccolò Machiavelli, negarawan dan penulis Italia, yang mulai menulis pada awal abad ke-16, ternama karena bukunya tentang strategi politik, The Prince, yang ditulis sebagai traktat penasehat bagi calon penguasa. Di dalamnya, ia membahas pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana seorang pangeran harus bertindak ('membawa dirinya sendiri') di depan umum, apakah ia perlu membangun benteng, dan apakah lebih baik ditakuti atau dicintai rakyat. Machiavelli menulis tentang sifat manusia, 'Bagi manusia secara umum, dapat ditegaskan bahwa mereka tak bersyukur, berubah-ubah, imitasi, rajin belajar untuk menghindari bahaya, rakus akan keuntungan, berbakti kepadamu selagi engkau dapat memberikan manfaat kepada mereka, dan siap, seperti yang kukatakan sebelumnya, selagi bahaya masih jauh, menumpahkan darah mereka, dan mengorbankan harta benda mereka, nyawa mereka, dan anak-anak mereka untukmu; tetapi pada saat dibutuhkan, mereka berbalik melawanmu. … Manusia teramat sederhana, dan diatur secara mutlak oleh kebutuhan mereka saat ini, sehingga ia yang ingin menipu, takkan pernah gagal menemukan orang yang mau ditipu.'
Dari Machiavelli, kita melihat betapa eratnya teori awal tentang opini publik dan pemerintahan terkait dengan pengamatan tentang sifat manusia. Sebelum abad ke-20, para filsuf, umumnya berspekulasi tentang esensi sifat manusia, sehingga mereka dapat memberikan gambaran holistik tentang manusia sebagai hewan politik.

Abad ke-18 merupakan masa perubahan politik dan sosial yang sangat besar. Itulah abad Revolusi Prancis dan Amerika, dan keduanya didasarkan pada filsafat politik. Perbincangan paling penting tentang demokrasi dan opini publik terjadi di Eropa. Beberapa negarawan terkemuka Amerika awal, seperti Thomas Jefferson dan Benjamin Franklin, sering berpartisipasi dalam debat ini, selama waktu yang cukup lama, mereka habiskan di Prancis dan Inggris Raya.
Barangkali karya terpenting tentang opini publik dihasilkan oleh Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Pencerahan yang brilian dan sulit diatur, yang menantang berbagai norma sosial dan paradigma teoretis yang ada. Lebih dari pemikir mana pun hingga saat ini, Rousseau menganggap perlunya menempatkan kekuasaan yang besar di tangan publik.
Kita tak dapat meninggalkan era Revolusi Prancis tanpa menyebut Jacques Necker, menteri keuangan Louis XVI, yang diyakini secara luas mempopulerkan frasa 'opini publik'. Necker mengakui bahwa wacana politik dan sifat politik telah berubah secara dramatis pada abad kedelapan belas.

Pada abad ke-19 berbagai filsuf politik menangani masalah opini publik. Di antara mereka, para cendekia Inggris yang dikenal sebagai kaum Utilitarian. Jeremy Bentham adalah Utilitarian pertama yang menulis secara ekstensif tentang opini publik, dan ia paling tertarik pada bagaimana opini publik bertindak sebagai sanksi atau kendala. Bentham meyakini bahwa opini publik menjaga keseimbangan masyarakat dengan mencegah orang terlibat dalam perilaku non-normatif.
Pandangan serupa tentang opini publik sebagai kekuatan kontrol sosial dipegang oleh Alexis de Tocqueville, pengamat politik Amerika abad ke-19 dari Prancis. Tocqueville membuat argumennya yang terkenal tentang kesetaraan politik dan hubungannya dengan opini massa. Ia mencatat bahwa dalam masyarakat dengan ketidaksetaraan yang ekstrim—dalam aristokrasi, misalnya—opini publik tak dianggap terlalu penting.
Pada saat yang sama ketika Tocqueville menulis tentang politik Amerika, Karl Marx mempelajari kehidupan politik dan sosial dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Marx tak sering menggunakan frase 'opini publik', sebagian karena itu tak lazim digunakan dalam pemikiran filosofis Jerman hingga kemudian pada abad ke-19. Namun ia dan Friedrich Engels, kolaborator dan pelindungnya, benar-benar berpendapat bahwa opini publik akar rumput yang organik, jarang terjadi.

Kendati 'opini publik' merupakan konsep penting dalam teori demokrasi, ia menghindari definisi yang sederhana dan disepakati. Peneliti dan ahli teori dari banyak disiplin ilmu, menerapkan asumsi dan metodologi yang berbeda, sering menggunakan definisi yang berbeda. Keberagaman ini, mencerminkan kompleksitas dan ambiguitas yang melekat pada pembahasan ini. Juga, makna opini publik terkait dengan perubahan keadaan sejarah: jenis budaya politik yang ada, sifat teknologi komunikasi, dan pentingnya partisipasi publik dalam pekerjaan sehari-hari pemerintah.
Sulit mengatakan definisi opini publik mana yang 'terbaik'. Dalam kehidupan Amerika kontemporer, semua definisi digunakan, tergantung pada keadaan di mana suasana hati publik sedang dibahas. Cendekiawan pasti menggunakan kelima kategori tersebut dalam pekerjaannya, seperti halnya jurnalis dan pejabat publik. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa karena popularitas jajak pendapat, kategori pertama (opini publik sebagai kumpulan opini individu) adalah yang paling umum, tetapi para jurnalis dan pemimpin kita, sering mendapatkan pengetahuan tentang opini publik dengan berbicara dengan pemimpin kelompok kepentingan. Dan hampir semua jurnalis dan pembuat kebijakan, baik secara sadar atau tidak, membuat gagasan opini publik melalui retorika lisan dan tulisan mereka.

Lantas, mengapa Opini Publik begitu penting? Riset opini publik merupakan bidang yang sangat luas, lantaran para ahli dalam banyak disiplin ilmu perlu memahami bagaimana sikap tentang urusan publik dibentuk, dikomunikasikan, dan diukur. Ada empat alasan umum mengapa begitu banyak cendekiawan dan pejabat publik mempelajari dan peduli dengan opini publik.
Pertama, legitimasi dan stabilitas pemerintahan bergantung pada dukungan publik. Jika rakyat menarik dukungannya, pemerintah tak punya kekuatan yang terlegitimasi.
Kedua, Opini Publik harus membatasi pemimpin politik. Pendapat orang tentang masalah kebijakan, seperti pendapat mereka tentang pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi, melibatkan pertanyaan normatif dan empiris.
Ketiga, Opini Publik memberikan petunjuk tentang budaya.
Keempat, pemimpin politik berusaha mengubah atau memobilisasi opini publik. Sementara para pemimpin politik mungkin dibatasi oleh opini publik, mereka juga berusaha mempengaruhinya. Keadaan yang paling jelas adalah di masa perang, ketika presiden biasanya mendesak warga untuk berkorban besar: mengirim putra dan putri mereka ke medan perang, menghemat sumber daya yang langka, dan berkontribusi dengan cara lain.

Dalam demokrasi langsung, seluruh warga negara yang memenuhi syarat, dapat berpartisipasi langsung dalam pembuatan kebijakan. Kita mengasumsikan demokrasi langsung sebagai praktik dalam sistem politik, bukan keseluruhan sistem; sulit membayangkan pemerintah mana pun membuat semua keputusan dengan demokrasi langsung. Dalam bentuk demokrasi langsung yang kuat, warga negara yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam pertemuan di mana semua kebijakan utama diputuskan. Tentu saja, orang bisa tak setuju tentang apa yang dianggap sebagai kebijakan atau keputusan 'utama'. Dalam bentuk demokrasi langsung yang lebih terbatas, warga negara yang memenuhi syarat, kadang-kadang memberikan suara pada isu-isu tertentu, tak semua isu utama. Berbagai prosedur demokrasi ini, sangat berbeda baik dalam seberapa besar kekuasaan yang mereka berikan kepada publik maupun dalam tuntutan yang mereka berikan kepada warga negara.
Bahkan teori-teori normatif minimalis (atau 'elit') dari demokrasi memerlukan beberapa derajat kompetensi demokrasi. Apa yang dimaksud dengan kompetensi demokrasi? Menurut Walter Lippmann pada tahun 1922, kendati para pemikir politik AS tak setuju tentang siapa yang memenuhi syarat untuk menangani urusan politik, mereka umumnya telah menyepakati kualifikasi dasar, yang telah mereka tafsirkan sebagai bawaan, 'Yang diperhitungkan adalah hati yang baik, pikiran yang bernalar, penilaian yang seimbang. Hal-hal ini akan matang seiring bertambahnya usia, tapi tak perlu mempertimbangkan bagaimana memberi tahu hati dan memberi makan alasannya. Masyarakat menyerap faktanya, sembari menarik napas.'
Mari kita mulai dengan 'hati yang baik.' Sebagian besar konsep pemerintahan demokratis (dan bahkan pemerintahan non-demokratis) menganggap adanya kebaikan bersama, atau 'kesejahteraan umum'. Nah, kepercayaan pada 'kesejahteraan umum' tak perlu menjadi masalah 'hati' sama sekali; pada prinsipnya, orang dapat bekerja sama menggalakkan kepentingan bersama, bahkan jika mereka benar-benar acuh tak acuh—atau bahkan bermusuhan—terhadap kesejahteraan masing-masing. Namun demikian, sebagian besar konsep masyarakat yang tertata dengan baik, berasumsi bahwa warga negara pada umumnya, saling menghormati dan bersimpati dengan kepentingan dasar satu sama lain. Misalnya, kita biasanya berbesar hati, tapi tidak terkejut, dengan laporan sumbangan yang mengalir untuk membantu korban bencana alam. Orang yang tampaknya tak menghargai kepentingan lain selain kepentingannya sendiri, dapat disebut 'antisosial', atau pada tingkat yang lebih ekstrim, 'sosiopat': memusuhi masyarakat dan semua orang di dalamnya.
Tetapi masalah 'kebaikan hati' bukanlah kisah moralitas sederhana tentang kemurahan hati dan solidaritas manusia versus keegoisan yang tertutup. Salah satu komplikasinya adalah orang cenderung menilai apakah orang lain 'antisosial' dengan apakah mereka menyesuaikan diri dengan norma sosial, beberapa di antaranya dianut secara luas, yang lainnya berbeda atau kontroversial. Selain itu, orang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok sosial, besar dan kecil. Engkau mungkin mengidentifikasi sebagai penggemar Cubs, seorang wanita, seorang pecinta anjing, seorang feminis, seorang Republikan, seorang Baptis, seorang vegetarian, atau lusinan identitas sosial lainnya. Terkadang identifikasi kita dan cara kita memikirkannya—dan cara kita memikirkan orang-orang dalam kelompok sosial lain—dapat mempengaruhi sikap dan perilaku kita dengan cara yang mungkin tak kita sadari. Orang mungkin menganggap satu sama lain sebagai kawan, musuh, atau apa pun di antaranya berdasarkan persepsi kita tentang identitas kelompok masing-masing. Seperti norma sosial pada umumnya, tiada kesepakatan tentang bagaimana menangani identitas kelompok kita yang berbeda—dan bahkan jika kita setuju secara abstrak, kita masih akan dipengaruhi oleh asumsi kita yang seringkali tak disadari.
Sekarang kita beralih ke 'pikiran yang bernalar'. Mungkin sebagian besar pertanyaan kebijakan takkan menyerah begitu saja pada kebajikan, toleransi, dan kemauan untuk melampaui loyalitas kelompok, yang mungkin penting. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan fakta yang relevan dan mempertimbangkan kewajaran dan kemungkinan konsekuensi dari tindakan mereka, menolak angan-angan. Plato, dalam buku 6 Republik, berpendapat pemerintah hanya boleh dipercayakan kepada jenis orang 'yang memiliki karunia ingatan yang baik, dan cepat belajar—terhormat, ramah, sahabat kebenaran, keadilan, keberanian, kesederhanaan.' Penguasa ideal Platon (seorang 'raja filsuf') dengan demikian, menggabungkan pengetahuan ahli dan kecerdasan dengan serangkaian kebajikan mulia. Sebagian besar warga negara, betapapun ramah dan beraninya mereka, mungkin kekurangan waktu dan motivasi untuk belajar dan bernalar tentang isu-isu kebijakan.
Memang, banyak orang mungkin tak pantas bernalar tentang masalah kebijakan, terlepas dari kendala waktu. Sebagian besar dari kita, mengenal orang-orang yang matanya tampak berkaca-kaca saat percakapan beralih ke politik atau kebijakan, serta orang lain yang 'sering salah tapi tak pernah ragu'.
Apa itu 'penilaian yang seimbang', dan apa bedanya dengan 'pikiran yang bernalar'? Kita tak tahu persis apa yang dimaksud Lippmann, tetapi kita dapat mempertimbangkan setidaknya dua makna. Beberapa orang menganggap 'penilaian' sebagai semacam kebijakan praktis—perasaan tentang cara mendengarkan orang yang saling tidak setuju, kapan harus menunda keputusan dan kapan harus bergerak maju, bagaimana menghindari kesalahan besar, dan bagaimana mengidentifikasi kesalahan yang telah dibuat—alasan itu sendiri tak dapat diberikan. Alternatifnya, tapi bukan tidak kompatibel, seseorang dapat menganggap penilaian sebagai proses pengambilan keputusan yang mengintegrasikan elemen Lippmann lainnya: hati yang baik dan pikiran yang bernalar. Jika emosi kita ('hati' kita) dan nalar kita, tampak berlawanan arah, mendamaikan perselisihan mungkin merupakan masalah pertimbangan. Atau jika emosi kita nampak menyapu alasan kita di jalannya—jika alasan kita memberikan rasionalisasi terhadap kesimpulan yang segera kita ambil—'penilaian yang seimbang' mungkin merupakan atribut mental atau proses yang memberitahu kita agar tak kesusu memutuskan, sampai kita benar-benar mempertimbangkan dari segala sisi, seadil mungkin.

Makna 'opini publik' selalu bergeser. Bagaimana kita berpikir tentang konsepnya, tergantung pada keadaan historis serta pada hipotesis riset kita dan, lebih dari sebelumnya, teknologi yang kita miliki untuk menilai opini publik dan pengaruhnya. Opini publik merupakan fenomena psikologis, sosiologis, ekonomi, dan sekaligus politik. Pembentukan opini publik berlangsung terus-menerus saat masyarakat bereaksi terhadap dunia di sekitar mereka. Kita semua, setiap hari dibombardir dengan komunikasi persuasif, dari media massa, online, melalui media sosial, dari pemimpin politik lokal, dan dari teman dan keluarga kita. Banjir informasi yang masuk ini—seringkali bersifat simbolis—membentuk cara orang berpikir tentang peristiwa, aktor, dan kebijakan politik tertentu.
Tatkala kita memikirkan masa depan, kita harus selalu memikirkan masa lalu. Ketika kita memikirkan tentang hubungan yang sering bermasalah tapi penting, antara publik dan para pemimpinnya, mungkin sebaiknya tak diakhiri dengan nada kebencian, melainkan dengan harapan dan sejarah. Abraham Lincoln, salah seorang pemimpin demokrasi yang paling mengesankan sepanjang masa, juga—tak mengherankan—sangat memperhatikan opini publik, dan memikirkannya. Dalam banyak hal, Lincoln mengantisipasi masalah demokrasi massa dan betapa sulitnya bagi presiden Amerika untuk mendengarkan semua warga sepanjang waktu. Tapi Lincoln melakukan yang terbaik, membentuk forum ekspresi publik dan mendengarkan semampu yang ia bisa, memberikan tekanan pada kedudukannya.
Sebaik Lincolnkah para pemimpin kita dalam menanggapi opini publik dengan sungguh-sungguh? Mungkinkah media baru, media sosial, dan kemajuan teknologi komunikasi digunakan demi efek ini? Bagaimana masyarakat akan membentuk dan mengungkapkan pendapat mereka tentang isu-isu politik dan sosial utama? Masa depan opini publik, masih terus dicatat. Wallahu a'lam." 
Berbeda dengan Cinderella—yang meninggalkan satu selopnya agar ditemukan oleh sang Pangeran, Rembulan tak meninggalkan selopnya kecuali jejak yang terbenam di dalam benak mereka yang memandanginya. Dan waktu telah habis, Rembulan pamit seraya bersenandung, 

After my picture fades and darkness has turned to gray
[Usai gambarku memudar dan kegelapan berubah jadi kelabu]
Watching through windows
[Mengamati lewat jendela]
You're wondering if I'm okay
[Engkau kepo apakah aku baik-baik saja]
Secrets stolen from deep inside
[Rahasia di jarah dari sesuatu yang nyata]
And the drum beats out of time *)
[Dan genderang berdentum di saat yang keliru]
Kutipan & Rujukan:
- Walter Lippmann, Public Opinion, 1922, Free Press
- Carroll J. Glynn, Susan Herbst, Mark Lindeman, Garrett J. O’Keefe, Public Opinion, 2016, Westview Press
- Maxwell McCombs, Setting the Agenda: The Mass Media and Public Opinion, 2014, Polity Press
*) "Time After Time" karya Cyndi Lauper & Robert Hyman
[Sesi 1]