Selasa, 13 Juni 2023

Berhutang, dalam Karya Drama Shakespeare (3)

"Dalam matematika, teorema Pythagorean atau teorema Pythagoras merupakan hubungan mendasar dalam geometri Euclidean antara tiga sisi segitiga siku-siku. Ia menyatakan bahwa luas bujur sangkar yang sisinya hipotenusa (sisi yang berlawanan dengan sudut siku-siku), sama dengan jumlah luas persegi pada kedua sisi lainnya.
Mungkin bisa disamakan seperti ini, ada tiga kerajaan abad pertengahan di tepi danau yang berbentuk segitiga persegi panjang. Ada sebuah pulau di tengah danau, yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan tersebut selama bertahun-tahun. Akhirnya, ketiga rajanya, sepakat bahwa mereka akan mengutus para kesatria mereka untuk bertarung, dan pemenangnya, bakalan menguasai pulau tersebut.
Malam sebelum pertempuran, para ksatria dan pengawalnya, mendirikan kemah dan mempersiapkan diri menghadapi pertarungan.
Kerajaan pertama, sangat kaya, punya 12 ksatria, dan setiap ksatria, berbekal 5 pengawal, yang seluruhnya sibuk memoles baju besi, menyikat kuda, dan memasak makanan.
Kerajaan kedua, lebih kaya lagi, punya 20 ksatria, dan setiap ksatria berbekal 10 pengawal. Semua orang di kamp itu, juga sibuk bersiap menghadapi perlagaan, seluruhnya sibuk memoles baju besi, menyikat kuda, dan memasak makanan.
Di perkemahan kerajaan ketiga, lantaran saking melaratnya, cuma punya satu kesatria, dengan satu pengawalnya. Pengawal ini, mengambil sebuah panci besar dan menggantungnya di tali yang dilingkarkan di pohon yang tinggi. Ia menyibukkan diri menyiapkan makanan, sementara sang kesatria, memoles baju besinya sendiri. Keduanya dapat dengan santai, makan dan cukup tidur, buat menghadapi perlagaan.
Ketika waktu pertempuran telah tiba, ketiga kerajaan mengutus para pengawal mereka untuk bertarung (masalahnya terlalu sepele bagi para ksatria, bila turut serta dalam medan laga). Pertarungan sengit berkecamuk, debu beterbangan dan ketika debu-debu telah sirna, satu-satunya orang yang tersisa, pengawal semata wayang dari kerajaan ketiga, telah mengalahkan para pengawal dari dua kerajaan lainnya. Dengan demikian membuktikan bahwa, pengawal yang memasang panci dan tali yang tinggi, sama dengan jumlah pengawal pada kedua sisi lainnya."

Rembulan lanjut dengan berkata, "Sebenarnya, hal yang pelik tentang pernyataan 'seseorang harus membayar hutangnya' bahwa kendati sesuai dengan teori ekonomi standar, itu tidaklah benar, kata Graeber. Pemberi pinjaman semestinya menerima tingkat risiko tertentu. Jika semua pinjaman, betapapun konyolnya, masih dapat diperoleh kembali—jika tak ada undang-undang kepailitan, misalnya—hasilnya akan menjadi bencana. Seluruh negara modern dibangun di atas pembelanjaan defisit. Hutang telah menjadi isu sentral politik internasional, tapi sepertinya tiada yang tahu persis, apa itu, atau bagaimana memikirkannya.
Fakta bahwa kita tak tahu apa itu hutang, fleksibilitas konsepnya, merupakan dasar dari kekuatannya.
Apa perbedaan antara sekadar kewajiban, perasaan bahwa seseorang harus berperilaku dengan cara tertentu, atau bahkan seseorang berutang sesuatu kepada seseorang, dan utang, berbicara dengan benar? Jawabannya sederhana: uang. Perbedaan antara hutang dan kewajiban ialah bahwa hutang dapat diukur dengan tepat. Ia membutuhkan uang.
Ketika kita belajar tentang sejarah hutang, dengan demikian, tentu saja merupakan sejarah uang—dan cara termudah memahami peran yang dimainkan hutang dalam masyarakat manusia hanyalah dengan mengikuti bentuk-bentuk yang telah diambil uang, dan cara uang telah digunakan, di seluruh dunia. berabad-abad—dan argumen-argumen yang pasti muncul tentang apa arti semua ini. Namun, itu tentu merupakan sejarah uang yang sangat berbeda dari yang biasa kita alami. Ketika para ekonom berbicara tentang asal-usul uang, misalnya, hutang selalu menjadi sesuatu yang dipikirkan belakangan. Pertama datang barter, lalu uang; kredit hanya berkembang kemudian.
Tak semata uang yang membuat hutang menjadi mungkin: uang dan hutang muncul di tempat kejadian, pada saat yang bersamaan. Beberapa dokumen tertulis pertama yang sampai kepada kita ialah tablet Mesopotamia yang mencatat kredit dan hutang, jatah yang dikeluarkan oleh kuil, uang yang harus dibayar untuk sewa tanah kuil, nilai masing-masing ditentukan dengan tepat dalam biji-bijian dan perak.

Kita telah melihat hutang dari sisi tinjauan sejarah, ada baiknya kita memandangnya dari perspektif lain. Ray Dalio memulainya dengan kredit, yaitu pemberian daya-beli. Daya-beli ini, diberikan dengan imbalan janji untuk membayarnya kembali, yakni hutang. Jelas, memberikan kemampuan agar melakukan pembelian dengan memberikan kredit, dengan sendirinya, merupakan hal yang baik, dan bila tak menghasilkan kemampuan membeli, maka melakukan hal yang baik, bisa menjadi hal yang buruk. Contohnya, jika kredit yang diberikan terlalu sedikit bagi pembangunan, maka pembangunan bakal menjadi sangat terbatas, itulah hal buruknya. Masalah hutang muncul tatkala ada ketidakmampuan membayarnya kembali. Dengan kata lain, pertanyaan apakah pertumbuhan kredit/hutang yang cepat merupakan hal yang baik atau buruk, tergantung pada apa yang dihasilkan kredit tersebut, dan bagaimana hutang itu dilunasi (yakni, bagaimana meladeni hutang tersebut).
Hampir semua orang, yang bertanggungjawab secara finansial, tak suka punya banyak hutang. Dalam perspektif Dalio—kendati ia membeli beberapa aset, atau ketika ia membangun Bridgewater, tanpa berutang—ia mengidentifikasi bahwa pandangan tersebut, tak sepenuhnya benar, terutama bagi masyarakat secara keseluruhan (berbeda dengan individu), sebab mereka yang membuat kebijakan bagi masyarakat, punya kontrol. sedangkan individu, tidak. Ia mempelajari bahwa pertumbuhan kredit/hutang yang terlalu sedikit, dapat menciptakan masalah ekonomi yang buruk atau bahkan mungkin lebih buruk, sama seperti bila punya terlalu banyak hutang, dengan biaya yang timbul dalam bentuk peluang yang hilang.
Secara umum, kata Dalio, karena kredit menciptakan daya-beli dan hutang, baik lebih banyak kredit dikehendaki maupun tidak, bergantung pada cukup produktifkah uang pinjaman yang digunakan,  menghasilkan pendapatan yang cukup guna membayar hutang. Jika itu terjadi, sumber daya akan teralokasikan dengan baik, dan, baik pemberi pinjaman maupun peminjam, akan memperoleh keuntungan secara ekonomi. Jika hal itu tak terjadi, peminjam dan pemberi pinjaman takkan puas dan ada kemungkinan, sumber daya dialokasikan dengan buruk.
Dalam menaksir hal ini bagi masyarakat secara keseluruhan, seseorang hendaknya mempertimbangkan ekonomi sekunder/tidak langsung serta ekonomi yang lebih primer/langsung. Misalnya, acapkali tak cukup uang/kredit yang disediakan bagi hal-hal yang jelas hemat biaya, semisal mendidik anak-anak kita dengan baik (yang akan membuat mereka lebih produktif, sekaligus mengurangi kejahatan dan biaya pemenjaraan), atau mengganti infrastruktur yang tak efisien, lantaran masalah konservativisme fiskal yang menegaskan bahwa meminjam untuk melakukan hal-hal seperti itu, buruk bagi masyarakat, tidaklah benar.
Kredit/hutang yang menghasilkan keuntungan ekonomi yang cukup untuk membayar dirinya sendiri, dalam pandangan Dalio, merupakan hal yang baik. Namun terkadang, ada trade-off yang lebih rumit bila ditilik. Jika standar peminjaman sangat ketat sehingga membutuhkan kepastian agar dibayar kembali, hal itu dapat menyebabkan lebih sedikit masalah utang, tetapi akan ada sangat sedikit pembangunan. Jika standar pinjaman lebih longgar, maka dapat mengarah pada lebih banyak pembangunan, namun pula, dapat menimbulkan masalah hutang yang serius di masa mendatang, sehingga menghapus manfaatnya.

Misalkan engkau, sebagai pembuat kebijakan, memilih membangun sistem kereta bawah tanah yang menelan biaya $1 miliar. Engkau membiayainya dengan utang yang engkau harapkan akan dibayar kembali dari pendapatannya, akan tetapi, keadaan ekonomi ternyata jauh lebih buruk daripada yang engkau harapkan, sehingga, dari pendapatan yang diharapkan, hanya setengah yang masuk. Hutang tersebut harus dikurangi 50 persen. Apakah itu berarti bahwa enkau tak membangun kereta bawah tanah?
Dengan kata lain, pertanyaannya, apakah sistem kereta bawah tanah bernilai $500 juta lebih dari yang dianggarkan pada awalnya, atau, secara tahunan, apakah nilainya sekitar 2 persen lebih tinggi per tahun dari yang dianggarkan, seandainya sistem kereta bawah tanah berjangka waktu 25 tahun. Dilihat dari sini, engkau mungkin menaksir bahwa mempunyai sistem kereta bawah tanah dengan biaya tersebut, jauh lebih baik ketimbang tak punya sistem kereta bawah tanah.
Agar memberimu gambaran tentang apa maknanya bagi perekonomian secara keseluruhan, kerugian hutang yang sangat buruk terjadi ketika sekitar 40 persen dari nilai pinjaman, tak dapat dibayar kembali. Pinjaman macet itu, berjumlah sekitar 20 persen dari seluruh pinjaman yang belum dibayar, jadi kerugiannya, sama dengan sekitar 8 persen dari total hutang. Total hutang itu, pada gilirannya, sama dengan sekitar 200 persen dari pendapatan (misalnya, PDB), jadi kekurangannya, kira-kira sama dengan 16 persen dari PDB. Jika biaya itu 'disosialisasikan' (yaitu, ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan melalui kebijakan fiskal dan/atau moneter) dan tersebar selama 15 tahun, jumlahnya akan menjadi sekitar 1 persen per tahun, yang masih dapat ditoleransi. Tentu saja, jika tak ditebar, biayanya bakalan tak tertahankan.
Oleh sebab itu, kata Dalio, risiko kerugian dari berutang dalam jumlah besar, sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan pembuat kebijakan untuk menyebarkan kerugian yang timbul dari kredit macet. Apakah pembuat kebijakan dapat melakukannya, bergantung pada dua faktor: 1) apakah hutang didenominasikan dalam mata uang yang mereka kendalikan, dan 2) apakah mereka punya pengaruh terhadap perilaku masing-masing kreditur dan debitur.

Dengan mempelajari sistem moneter global ('Bretton Woods') pada tahun 1966–1971, gelembung inflasi pada tahun 1970-an dan ledakannya pada tahun 1978–82, depresi inflasi Amerika Latin pada tahun 1980-an, gelembung Jepang pada akhir 1980-an dan ledakannya. pada tahun 1988–1991, gelembung hutang global yang menyebabkan 'gelembung teknologi' meledak pada tahun 2000, dan Great Deleveraging tahun 2008, runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad kelima, restrukturisasi utang Amerika Serikat pada tahun 1789, Republik Weimar Jerman pada tahun 1920-an, Depresi Hebat global dan perang yang melanda banyak negara pada periode 1930–1945, dan banyak krisis lainnya, Dalio melihat bahwa setiap kasus dari jenis penyakit tertentu yang terungkap, sebagai 'salah satu dari semua penyakit itu'.
Sepanjang sejarah, hanya sedikit negara yang berdisiplin baik, yang terhindar dari krisis hutang. Hal tersebut disebabkan peminjaman tak pernah dilakukan dengan sempurna dan seringkali dilakukan dengan buruk, yang disebabkan oleh bagaimana siklus tersebut, mempengaruhi psikologi orang untuk menghasilkan bualan dan patung setengah badan. Walau para pembuat kebijakan, umumnya berupaya melakukannya dengan benar, lebih sering terjadi daripada tidak, mereka melakukan kesalahan karena terlalu longgar dengan kredit, lantaran sepertinya, imbalan jangka pendek (pertumbuhan yang lebih cepat) membenarkannya. Pula, secara politis, lebih mudah membolehkan kredit lunak (misalnya, dengan pemberian jaminan, melonggarkan kebijakan moneter) daripada memberlakukan kredit ketat. Itulah alasan utama bahwa kita melihat siklus hutang yang besar. Krisis hutang tak terelakkan, dan, menurut Dalio, datang berbentuk siklus. Engkau membuat siklus secara virtual, kapan pun engkau meminjam uang. Membeli sesuatu yang tak mampu engkau beli, berarti membelanjakan lebih dari yang engkau hasilkan. Engkau tak semata meminjam dari pemberi pinjamanmu; engkau meminjam masa depanmu sendiri. Pada dasarnya, engkau menciptakan waktu di masa depan dimana engkau perlu membelanjakan lebih sedikit dibanding yang engkau hasilkan, sehingga engkau dapat membayarnya kembali. Pola meminjam, membelanjakan lebih dari yang engkau hasilkan, dan kemudian mengalami penggunaan yang lebih sedikit dari yang engkau hasilkan, sangat cepat menyerupai sebuah siklus. Ini berlaku bagi ekonomi nasional, sama seperti individu. Meminjam uang menggerakkan serangkaian peristiwa yang mekanis dan dapat diprediksi. Perekonomian yang pertumbuhannya didukung secara berarti oleh pembangunan investasi tetap, real estat, dan infrastruktur yang dibiayai hutang, amatlah rentan terhadap perubahan siklus yang besar, sebab percepatan pembangunan aset jangka panjang tersebut, tak berkelanjutan.

Para ekonom umumnya berbicara tentang tiga fungsi uang: alat tukar, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Kisah uang bagi para ekonom, selalu dimulai dengan dunia fantasi barter. Mitos Barter takkan pernah lenyap, sebab merupakan inti dari seluruh wacana ekonomi.
Begitu ekonomi telah ditetapkan sebagai sebuah disiplin ilmu, argumen Teologis, tampaknya, tak lagi diperlukan atau penting. Masyarakat terus saja memperdebatkan tentang apakah pasar bebas yang tak terbelenggu, benar-benar akan membuahkan hasil seperti yang disebutkan Adam Smith; tetapi tiada yang mempertanyakan, adakah 'pasar' itu, secara alami. Asumsi mendasar yang berasal dari hal ini, kemudian dilihat sebagai masuk-akal—sedemikian rupa sehingga, kita cuma berasumsi bahwa ketika benda berharga berpindah tangan, biasanya karena dua individu, sama-sama memutuskan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan materi dengan menukarnya.
Perlu diingat di sini, apa yang sebenarnya Adam Smith coba lakukan kala ia menulis The Wealth of Nations. Di atas segalanya, buku tersebut, merupakan upaya menetapkan disiplin ilmu ekonomi yang baru ditemukan sebagai ilmu. Itu berarti bahwa ekonomi tak semata milik domain studinya sendiri yang khas—yang sekarang kita sebut 'ilmu ekonomi', walaupun gagasan bahwa ada sesuatu yang disebut 'ekonomi' merupakan ilmu yang sangat baru di zaman Smith—namun bahwa ekonomi ini, berdaya-guna sesuai dengan hukum yang hampir sama dengan yang belakangan diidentifikasi oleh Sir Isaac Newton sebagai, yang mengatur dunia fisik. Newton telah merepresentasikan Tuhan sebagai Pencipta jam kosmik, Yang telah menciptakan mesin fisik alam semesta sedemikian rupa, sehingga dapat beroperasi bagi puncak kepentingan manusia, dan kemudian membiarkannya berjalan sendiri. Smith berupaya membuat argumen Newtonian yang serupa. Tuhan—atau Divine Providence, demikian istilahnya—telah mengatur segala sesuatunya sedemikian rupa, sehingga perburuan kita akan kepentingan pribadi, mengingat pasar yang tak terbelenggu, dipandu 'seolah-olah oleh tangan tak terlihat' guna memajukan kesejahteraan umum. Tangan tak terlihat Smith yang kondang itu, seperti yang disampaikannya dalam Theory of Moral Sentiments, merupakan agen Takdir Ilahi. Itu secara harafiah, Tangan Tuhan. Wallahu a'lam."

Para ayam jago telah bangun, dan bersiap menarik nafas untuk menyuarakan panggilan Subuh. Rembulan undur-diri seraya melantunkan,

I was just guessing at numbers and figures
[Aku cuma menebak angka dan bilangan]
Pulling the puzzles apart
[Memilah-milah teka-teki]
Questions of science, science and progress *)
[Pertanyaan sains, sains dan kemajuan]
Kutipan & Rujukan:
- M. Lindsay Kaplan (ed.), The Merchant of Venice: Texts and Contexts. 2002, Palgrave
-  Jay L. Halio, Understanding The merchant of Venice: a Student Casebook to Issues, Sources, and Historical Documents, 2000, Greenwood Press
- David Graeber, Debt: The First 5,000 Years, 2014, Meliville
- Ray Dalio, A Template for Understanding Big Debt Crises, 2018, Bridgewater
*) "The Scientist" karya Jonathan Mark Buckland, Guy Rupert Berryman Rupert, William Champion  & Christopher Anthony John Martin