Rabu, 07 Juni 2023

Burung Kicau dan sang Pemburu

"'Sayang!' sapa sang Bunda kepada putri kesayangannya, 'Kok kucingnya, diberi makanan burung sih nak?'
'Terpaksa Ma,' jawab putrinya. 'soalnya, burung kenariku, ada di dalam kucingnya,'" sang Purnama mulai bercerita, usai menyapa dengan Basmalah dan Salam.

“Dan konon,” lanjut sang Purnama, “suatu hari, seekor burung cantik, sedang berkicau dengan riang di dahan ketika, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang berat, menariknya ke tanah. Seorang pemburu licik, berhasil menjebak burung mungil yang mempesona itu, ke dalam jaring. Mengepakkan sayapnya, ia tak mampu melepaskan diri dari jeratan sang pemburu. Dengan cepat, ia menimbang-nimbang situasinya yang genting dan menemukan solusi cerdik. Ia memohon kepada orang yang menahannya, 'Duhai pemburu yang hebat, engkau pasti telah menangkap banyak satwa yang menakjubkan di masamu dan berpesta dengan kerbau, domba, dan satwa lezat lainnya, yang tak terhitung banyaknya. Namun tampaknya, tak satu pun dari mereka, mampu memuaskan rasa laparmu. Perkenankan aku meyakinkanmu, bahwa tubuh mungilku dengan jumlah dagingnya yang sangat sedikit ini, juga takkan dapat melampiaskannya. Perbolehkanlah aku mengajukan tiga buah cerita dan tiga potong nasihat, yang jauh lebih berharga dibanding nilai diriku sebagai mangsa yang cemeh.'

Sang pemburu tak yakin dengan niat sang unggas dan bisakah ia mempercayainya. Sang unggas kecil merasakan ketidakpastiannya dan dengan cepat menambahkan, 'Aku yakinkan engkau bahwa engkau akan menuai kekayaan tiada tara dengan menggunakan tiga nasihat berhargaku ini. Aku akan memberikan nasihat pertama, saat masih dalam genggamanmu, dan jika engkau menyukainya, maka aku akan menyampaikan nasihat keduaku, dari atap gubukmu. Yang ketiga dan yang terpenting, akan kuberikan kepadamu dari pohon itu,' katanya seraya menunjuk dengan paruhnya ke arah pohon poplar di dekatnya.

Sang pemburu masih belum yakin, tapi dengan enggan setuju ketika ia memperhatikan bahwa, sungguh, sang unggas mungil, tak cukup mampu memberi makan bahkan satu anggota keluarga besarnya. Sang unggas, yang masih berada dalam genggaman sang pemburu, menuturkan warta pertamanya:
'Seorang pemuda sedang dalam masalah. Ia menghadapi masalah berat yang menghabiskan hidupnya, membuatnya menjadi teman yang menyedihkan bagi semua orang yang dikenalnya. Sekeras apa pun usahanya, ia tak dapat menemukan cara membebaskan diri dari jaring yang membelenggunya, melalui perilakunya sendiri, berputar dan menjerat dirinya. Ia berjalan tanpa henti dan menghabiskan waktu berjam-jam di kedai teh dan kedai kopi yang berbeda, bercakap-cakap dengan orang asing, meminta nasihat. Namun, terlepas dari usahanya, masalah yang dihadapinya, tampak tak terpecahkan.
Suatu hari, untuk pertamakalinya, ia memasuki sebuah kedai kopi istimewa dan melihat seorang lelaki tua duduk diam di pojok. Seketika ia mengenalinya, namun tak langsung mendekatinya. Sebagai gantinya, ia duduk di meja dimana ia bisa melihat profil sang lelaki. Ia mengamati sang lelaki dengan penuh minat, mengingatnya sebagai orang yang sangat cerdas dan penilai karakter yang adil. Setelah beberapa menit yang panjang, ia mengumpulkan keberaniannya dan berjalan ke meja sang lelaki tua, menanyakan bolehkah ia duduk sebentar. Sang lelaki mendongak, teralihkan dari buku bacaannya, tapi tampaknya tak terlalu senang dengan selaan tersebut. Namun ia mengangguk, dan sang pemuda dengan cepat duduk dan segera mengajukan pertanyaannya. Sang lelaki tua terkejut dengan keberterusterangan sang pemuda dan menggelengkan kepalanya sambil berpikir.
'Saudaraku yang baik, engkau semestinya meminta nasihat orang lain, seseorang yang engkau anggap teman dekatmu. Aku musuh setiamu dan hanya akan menyesatkanmu. Mengapa engkau menginginkan nasehatku? Engkau membutuhkan telinga orang yang dapat menghiburmu, semata menginginkan yang terbaik untukmu. Engkau dapat memastikan bahwa engkau tak memerlukan kata-kata nasihat yang mungkin kupunyai!' dengan jujur, sang lelaki tua memberi saran. 'Jika engkau sedang duduk di sekitar perapian dan punya seorang teman, engkau akan membayangkan bahwa engkau berada di taman bunga ros! Dan bila engkau berada di tengah-tengah taman surgawi namun ditemani musuh, engkau akan merasa seperti berada di pusaran api unggun! Maka, pergilah dan temukan seorang penasehat yang juga teman sejatimu.'
Sang lelaki tua mengatakan yang sebenarnya, berharap nasihatnya tak diabaikan dan bahwa sekarang ia akan dibiarkan sendiri dalam damai.
'Aku sangat menyadari perasaanmu terhadapku, Tuan,' sang pemuda berterusterang. 'Tapi aku juga sadar bahwa engkau orang yang sangat cerdas dan takkan pernah berbuat keliru. Karenanya, engkau takkan pernah menasihati orang lain melakukannya juga; itulah mengapa aku mempercayai pertimbanganmu, jauh di atas penilaianku atau teman mana pun.'

Sebenarnya, sang pemburu enggan mendengarkan cerita sang unggas, ia memintanya segera lanjut dengan cerita kedua,
'Ukuran sorban di masa lalu, menunjukkan keberanian dan status seseorang dalam masyarakatnya. Di sebuah kota kecil, ada seorang guru paruh baya yang melarat dan hampir setiap hari kelaparan, namun ia terlalu sombong mengakui kemelaratannya kepada rekan-rekannya. Ia secara teratur mengumpulkan sisa-sisa dari toko kain, gumpalan kapas yang dibuang, dan potongan jubah yang tak diinginkan, memasukkannya ke dalam sorbannya yang sederhana, agar terlihat lebih besar. Seiring waktu, sorbannya yang tua dan kotor, tampak menyerupai hiasan kepala sutra sultan, memperdayai semua orang di sekolah dan menjadikannya sangat dihormati di kota.
Murid-muridnya tak pernah berpikir sejenak bahwa guru yang mereka hormati, bukanlah seperti yang dibayangkan, dan penduduk kota tak tahu sama sekali bahwa ketika mereka membungkuk pada kemewahan luarnya di jalan, mereka menghormati seorang penipu. Hanya ia sendiri yang tahu bahwa reputasi baiknya, didasarkan pada kepura-puraan—bahwa, sebenarnya, itu bohong besar.
Suatu pagi, sebelum matahari terbit, sang guru meninggalkan rumahnya dan memulai perjalanan hariannya ke sekolah, mempersiapkan pelajaran pagi di kepalanya. Tanpa sepengetahuannya, seorang maling rendahan bersembunyi di balik pilar yang berada di pojok, menunggu kesempatannya. Begitu ia melihat hiasan kepala sang guru yang amat besar dan berornamen, ia berpikir bahwa, saat yang tepat telah tiba. Di antara para maling terdapat kesepahaman, bahwa para orang kaya, umumnya menyembunyikan uang dan perhiasan mereka di dalam sorban, agar tak terlihat.
Sang maling menunggu dengan sabar, yakin bahwa ia dapat dengan mudah menaklukkan lelaki kurus yang berjalan ke arahnya, dan dengan penuh semangat, ia mengantisipasi momen kemenangannya. Saat sang guru mendekat, dalam sekejap mata, sang pencuri melepaskan sorban dari kepalanya, meraihnya dengan cepat, dan berlari membawa sorban tersebut. Pada awalnya, sang guru bingung dan tak dapat menemukan bantalan kepalanya, namun seketika, ia menyadari apa yang telah terjadi dan kemudian mengejar sang maling.
'Engkau tak berguna!' teriaknya sambil mengejar. 'Lihat ke dalam sorban itu dulu sebelum engkau bersenang-senang! Engkau akan segera tahu apa yang telah engkau dapatkan! Tidak ada apa-apanya! Sama sekali tak ada yang berharga di dalamnya!' dengan lantang sang guru mengaku.
Sang maling berhenti berlari, lalu membuka sorban itu dan menemukan bahwa, memang tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali potongan-potongan kain bekas yang tak berguna. Ia melemparkan semuanya ke tanah, kehilangan kesabaran dan mengutuk, baik sang guru maupun nasib buruknya sendiri.'

Sang pemburu terkekeh, namun seolah mengejek. Tak sabar, ia meminta cerita ketiga. Sang unggas pun bercerita,
'Ada sebuah kota bernama Qazvin di Persia Tengah, dimana para pegulat biasanya menato bagian tubuh mereka. Suatu hari, seorang lelaki, yang sebenarnya bukan pegulat tapi berpura-pura jadi seorang pemberani dan perkasa, menemui seorang seniman tato yang bekerja di rumah pemandian. Ia meminta sang seniman membuatkan desain indah di lengannya, sesuai dengan kejantanannya.
'Desain seperti apa yang ente sukai?' tanya sang seniman
'Singa yang ganas, apa lagi? Zodiak gue, Leo yang perkasa, jadi pastikan loe pake tinta warna biru paling gelap yang pernah loe pake buat siapa pun!' kata sang lelaki dengan angkuh.
Sang seniman tato mengeluarkan tinta dan jarumnya, dan mulai bekerja. Hanya perlu beberapa tindikan sebelum sang lelaki tak tahan dengan rasa sakit yang membakar dari jarum tato, dan ia membentak, 'Bagian singa yang mana yang loe tato?'
"Ane mulai dengan ekornya, bos.'
'Biarin; biarin aja ekornya dan mulai aja di bagian lain,' sang pegulat palsu merasakan sakit.
Sang seniman kembali bekerja, akan tetapi, begitu lengannya ditusuk lagi, sang lelaki mulai berteriak kesakitan, 'Bagian mana yang loe lukis sekarang?'
'Telinga singa,' lapor sang seniman.
'Biarin; biarin aja telinganya, mulai aja di bagian lain!' pekik sang lelaki, air matanya mengalir, menahan perih.
Sang seniman mulai jengkel dan dongkol, namun tak ngomong sepatah kata pun, kembali ke pekerjaannya. Sekali lagi, sang pegulat palsu mulai berteriak, 'Loe ngapain aja seh? Bagian mana yang loe tato sekarang?'
'Perut singa, bos,'jawab sang seniman mulai muak.
'Ya Tuhan, ini apaan seh! Biarin aja perutnya, rasanya, nyeri banget!' sang lelaki merintih, tak sanggup menahan rasa sakit yang membakar. 'Napa sih, singa yang cakep butuh perut?'
Sang seniman tato kehabisan akal. Benar-benar gondok, ia melemparkan peralatannya dan berjalan menjauh dari kostumernya.
'Tato singa macam apa yang gak punya ekor, telinga, atau perut? Tuhan gak nyiptain singa kek gitu!” bentaknya. 'Pergi dari hadapan ane dan jangan pernah berani tunjukin batang hidung ente di ruang tamu ane lagi!'
Bahkan sebelum sang pegulat palsu mangap, sang seniman tato mencengkam tengkuknya dan melemparkannya dari rumah pemandian, keluar, ke udara musim dingin.'

Lalu sang unggas, yang masih dalam genggaman sang pemburu, mengajukan nasihat pertamanya,
'Nasihat pertamaku untukmu, Tuan yang baik-hati, jangan pernah mempercayai hal yang mustahil, dari siapa pun.'
Sang pemburu menepati janjinya dan melepaskan sang unggas mungil, yang kemudian terbang ke puncak atap.
'Nasihat kedua, jangan pernah menyesali masa lalu. Tatkala ada sesuatu di masa lalu, ia takkan pernah kembali.'
Sang pemburu, menunggu nasihat ketiga, memperhatikan sang unggas saat terbang ke atas pohon.
'Di dalam perutku, ada mutiara langka yang beratnya seratus gram!' katanya cuek. 'Engkau telah kehilangan satu-satunya kesempatan memilikinya! Jelas, itu bukan untukmu; jika tidak, engkau bisa memberi makan seluruh keluargamu selama sisa hidup mereka.'

Saat sang pemburu mendengar kata-katanya, ia mulai meratap dan menangis seperti wanita yang hendak melahirkan.
'Bukankah telah kusampaikan padamu bahwa, jangan pernah menyesali masa lalu?' sang unggas menegurnya. 'Tulikah engkau, atau engkau cuma tak mau mendengarkanku? Nasihatku yang lain, jangan pernah mempercayai hal yang mustahil. Mana mungkin sebuah mutiara seberat seratus gram berada di dalam tubuh mungilku, di saat beratku bahkan tak sampai sepuluh gram?'
Sang pemburu menenangkan diri dan menyeka air matanya, dan dengan malu-malu meminta nasihat ketiga dari sang unggas.
'Engkau pasti sudah gila, meminta lebih banyak dariku!' seru sang unggas. 'Mengapa harus kuberikan rahasia ketiga, ketika aku telah menyaksikan betapa buruknya engkau menggunakan dua rahasia lainnya?'
Sang unggas bersiap terbang, namun sebelumnya, ia menyapa kembali mantan penculiknya, 'Berbagi nasihat dengan orang dungu, ibarat mencoba bercocok-tanam di ladang garam!'
Sang pemburu, yang rupanya baperan, hanya memandangi sang unggas, terbang lepas, melayang bebas di angkasa.

Lalu sang Purnama menutup dengan, "Wallahu a'lam." Kemudian mohon-diri seraya menyanyikan,

I'm like a bird, I'll only fly away
[Aku bagaikan seekor burung, kukan semata terbang lepas]
I don't know where my soul is, I don't know where my home is *)
[Kutak tahu dimana keberadaan jiwaku, kutak tahu dimana keberadaan tempat tinggalku]
Kutipan & Rujukan:
- Maryam Mafi (trans.), The Book of Rumi: 105 Stories and Fables that Illumine, Delight and Inform, 2018, Hampton Roads
*) "I'm like a Bird" karya Nelly Furtado