Jumat, 16 Juni 2023

Gambaran di Kepala Kita (2)

"Dua ekor guk-guk sedang berjaga-jaga di sebuah peternakan babi, ngobrolin tentang para babi.
'Loe tau nggak,' kata salah satunya, 'manusia bilang, para babi gak bisa nengok ke atas.'
'Lantas, menurut pendapat para manusia, apa yang mesti dilakukan para babi?,' tanya yang lain.
Yang pertama menjawab, 'Mereka nyaranin supaya doski, kudu jungkir-balik, seolah tidur telentang'," lanjut Rembulan.

"Politik dan budaya tak henti-hentinya membicarakan Opini Publik," Rembulan melantas. "Presiden, anggota Kongres, calon pejabat publik, pemimpin kelompok kepentingan, jurnalis, dan eksekutif perusahaan, serta rakyat jelata, secara rutin bertanya, 'Bagaimana dengan opini publik?' Pemimpin politik perlu mengetahui kebijakan dan inisiatif seperti apa yang didukung pemilih, tetapi kelompok dan individu lain membutuhkan pula pengetahuan tentang opini publik. Pemimpin kelompok kepentingan harus memutuskan pertarungan seperti apa, yang akan dilakukan dan cara terbaik memobilisasi calon pendukung. Para jurnalis, yang merupakan kunci pemain dalam mengukur dan mengkomunikasikan opini publik, berusaha menginformasikan kepada kita, yang ingin tahu tentang sikap sesama warga. dan untuk memahami apa yang diinginkan audiens. Eksekutif perusahaan harus memperhatikan tren dalam budaya suatu negara—apa yang dipikirkan konsumen, apa yang mereka beli, dan umumnya, bagaimana mereka memilih untuk menjalani hidup.
Boleh jadi, indikator opini publik yang paling jelas adalah survei sampel atau jajak pendapat. Data kuantitatif dari survei seringkali dapat memberi kita gambaran tentang bagaimana perasaan warga tentang masalah kebijakan, praktik sosial, atau masalah gaya hidup. Hasil pemilu dan referendum terkadang mengungkap preferensi warga negara dengan cara yang sangat dramatis; sering dikatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya pemungutan suara yang penting. Namun seseorang hendaklah melampaui teknik-teknik yang jelas ini dan mempertimbangkan seluruh 'tempat' dimana opini orang dapat ditemukan: dalam naskah program televisi; dalam rapat umum politik, rapat kota, atau dengar pendapat dewan kota; dalam retorika jurnalisme; dalam dialog di antara teman-teman yang sering mengunjungi kedai kopi atau kafetaria setempat; dalam diskusi politik yang disaksikan di Internet dan di media sosial atau mendengarnya dalam perbincangan radio. Berfokus pada hasil survei saja, berarti melewatkan sebagian besar cerita.

Frasa 'opini publik' tak digunakan secara luas sebelum abad ke-19, namun banyak filsuf politik pada periode kuno menggunakan ungkapan serupa untuk berbicara tentang sentimen populer. Plato, seorang filsuf Yunani abad keempat SM, mengakui opini publik sebagai kekuatan sentral dalam urusan politik, tapi ia ragu, orang dapat mewujudkan kepentingan terbaik mereka sendiri atau bekerja sendiri demi menciptakan negara yang sehat secara moral. Plato berpikir negara yang adil harus diatur oleh raja-raja filsuf, dan anggota masyarakat haruslah dididik agar menghargai bagaimana para pemimpin ini bertindak atas nama kebaikan bersama, guna memahami dan menghargai pemerintahan dan hukum yang mereka jalankan.
Aristoteles berargumen dengan sangat fasih bagi suara publik, membela kebijaksanaan warga negara biasa. Aristoteles tak melihat opini publik sebagai sentimen yang dipegang orang terhadap isu-isu tertentu saat itu, kendati ia melihat sikap itu penting dan layak diartikulasikan. Sebaliknya, ia menekankan nilai, norma, dan selera warga negara yang berlaku.
Cicero, negarawan dan orator kondang, mengklaim, 'Sic est vulgus: ex veritate pauce, ex opinion multa aestimat,' yang dapat diterjemahkan sebagai 'Inilah orang banyak: menilai beberapa hal menurut kebenaran, banyak menurut pendapat.' Bangsa Romawi tak mengabaikan opini publik sepenuhnya, namun mereka percaya bahwa hal itu paling penting dalam hal kepemimpinan. Dihormatikah negarawan oleh rakyat? Populerkah mereka? Banyak perbincangan opini publik di zaman Romawi berorientasi pada dimensi politik yang sempit ini.
Niccolò Machiavelli, negarawan dan penulis Italia, yang mulai menulis pada awal abad ke-16, ternama karena bukunya tentang strategi politik, The Prince, yang ditulis sebagai traktat penasehat bagi calon penguasa. Di dalamnya, ia membahas pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana seorang pangeran harus bertindak ('membawa dirinya sendiri') di depan umum, apakah ia perlu membangun benteng, dan apakah lebih baik ditakuti atau dicintai rakyat. Machiavelli menulis tentang sifat manusia, 'Bagi manusia secara umum, dapat ditegaskan bahwa mereka tak bersyukur, berubah-ubah, imitasi, rajin belajar untuk menghindari bahaya, rakus akan keuntungan, berbakti kepadamu selagi engkau dapat memberikan manfaat kepada mereka, dan siap, seperti yang kukatakan sebelumnya, selagi bahaya masih jauh, menumpahkan darah mereka, dan mengorbankan harta benda mereka, nyawa mereka, dan anak-anak mereka untukmu; tetapi pada saat dibutuhkan, mereka berbalik melawanmu. … Manusia teramat sederhana, dan diatur secara mutlak oleh kebutuhan mereka saat ini, sehingga ia yang ingin menipu, takkan pernah gagal menemukan orang yang mau ditipu.'
Dari Machiavelli, kita melihat betapa eratnya teori awal tentang opini publik dan pemerintahan terkait dengan pengamatan tentang sifat manusia. Sebelum abad ke-20, para filsuf, umumnya berspekulasi tentang esensi sifat manusia, sehingga mereka dapat memberikan gambaran holistik tentang manusia sebagai hewan politik.

Abad ke-18 merupakan masa perubahan politik dan sosial yang sangat besar. Itulah abad Revolusi Prancis dan Amerika, dan keduanya didasarkan pada filsafat politik. Perbincangan paling penting tentang demokrasi dan opini publik terjadi di Eropa. Beberapa negarawan terkemuka Amerika awal, seperti Thomas Jefferson dan Benjamin Franklin, sering berpartisipasi dalam debat ini, selama waktu yang cukup lama, mereka habiskan di Prancis dan Inggris Raya.
Barangkali karya terpenting tentang opini publik dihasilkan oleh Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Pencerahan yang brilian dan sulit diatur, yang menantang berbagai norma sosial dan paradigma teoretis yang ada. Lebih dari pemikir mana pun hingga saat ini, Rousseau menganggap perlunya menempatkan kekuasaan yang besar di tangan publik.
Kita tak dapat meninggalkan era Revolusi Prancis tanpa menyebut Jacques Necker, menteri keuangan Louis XVI, yang diyakini secara luas mempopulerkan frasa 'opini publik'. Necker mengakui bahwa wacana politik dan sifat politik telah berubah secara dramatis pada abad kedelapan belas.

Pada abad ke-19 berbagai filsuf politik menangani masalah opini publik. Di antara mereka, para cendekia Inggris yang dikenal sebagai kaum Utilitarian. Jeremy Bentham adalah Utilitarian pertama yang menulis secara ekstensif tentang opini publik, dan ia paling tertarik pada bagaimana opini publik bertindak sebagai sanksi atau kendala. Bentham meyakini bahwa opini publik menjaga keseimbangan masyarakat dengan mencegah orang terlibat dalam perilaku non-normatif.
Pandangan serupa tentang opini publik sebagai kekuatan kontrol sosial dipegang oleh Alexis de Tocqueville, pengamat politik Amerika abad ke-19 dari Prancis. Tocqueville membuat argumennya yang terkenal tentang kesetaraan politik dan hubungannya dengan opini massa. Ia mencatat bahwa dalam masyarakat dengan ketidaksetaraan yang ekstrim—dalam aristokrasi, misalnya—opini publik tak dianggap terlalu penting.
Pada saat yang sama ketika Tocqueville menulis tentang politik Amerika, Karl Marx mempelajari kehidupan politik dan sosial dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Marx tak sering menggunakan frase 'opini publik', sebagian karena itu tak lazim digunakan dalam pemikiran filosofis Jerman hingga kemudian pada abad ke-19. Namun ia dan Friedrich Engels, kolaborator dan pelindungnya, benar-benar berpendapat bahwa opini publik akar rumput yang organik, jarang terjadi.

Kendati 'opini publik' merupakan konsep penting dalam teori demokrasi, ia menghindari definisi yang sederhana dan disepakati. Peneliti dan ahli teori dari banyak disiplin ilmu, menerapkan asumsi dan metodologi yang berbeda, sering menggunakan definisi yang berbeda. Keberagaman ini, mencerminkan kompleksitas dan ambiguitas yang melekat pada pembahasan ini. Juga, makna opini publik terkait dengan perubahan keadaan sejarah: jenis budaya politik yang ada, sifat teknologi komunikasi, dan pentingnya partisipasi publik dalam pekerjaan sehari-hari pemerintah.
Sulit mengatakan definisi opini publik mana yang 'terbaik'. Dalam kehidupan Amerika kontemporer, semua definisi digunakan, tergantung pada keadaan di mana suasana hati publik sedang dibahas. Cendekiawan pasti menggunakan kelima kategori tersebut dalam pekerjaannya, seperti halnya jurnalis dan pejabat publik. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa karena popularitas jajak pendapat, kategori pertama (opini publik sebagai kumpulan opini individu) adalah yang paling umum, tetapi para jurnalis dan pemimpin kita, sering mendapatkan pengetahuan tentang opini publik dengan berbicara dengan pemimpin kelompok kepentingan. Dan hampir semua jurnalis dan pembuat kebijakan, baik secara sadar atau tidak, membuat gagasan opini publik melalui retorika lisan dan tulisan mereka.

Lantas, mengapa Opini Publik begitu penting? Riset opini publik merupakan bidang yang sangat luas, lantaran para ahli dalam banyak disiplin ilmu perlu memahami bagaimana sikap tentang urusan publik dibentuk, dikomunikasikan, dan diukur. Ada empat alasan umum mengapa begitu banyak cendekiawan dan pejabat publik mempelajari dan peduli dengan opini publik.
Pertama, legitimasi dan stabilitas pemerintahan bergantung pada dukungan publik. Jika rakyat menarik dukungannya, pemerintah tak punya kekuatan yang terlegitimasi.
Kedua, Opini Publik harus membatasi pemimpin politik. Pendapat orang tentang masalah kebijakan, seperti pendapat mereka tentang pemerintahan dan nilai-nilai demokrasi, melibatkan pertanyaan normatif dan empiris.
Ketiga, Opini Publik memberikan petunjuk tentang budaya.
Keempat, pemimpin politik berusaha mengubah atau memobilisasi opini publik. Sementara para pemimpin politik mungkin dibatasi oleh opini publik, mereka juga berusaha mempengaruhinya. Keadaan yang paling jelas adalah di masa perang, ketika presiden biasanya mendesak warga untuk berkorban besar: mengirim putra dan putri mereka ke medan perang, menghemat sumber daya yang langka, dan berkontribusi dengan cara lain.

Dalam demokrasi langsung, seluruh warga negara yang memenuhi syarat, dapat berpartisipasi langsung dalam pembuatan kebijakan. Kita mengasumsikan demokrasi langsung sebagai praktik dalam sistem politik, bukan keseluruhan sistem; sulit membayangkan pemerintah mana pun membuat semua keputusan dengan demokrasi langsung. Dalam bentuk demokrasi langsung yang kuat, warga negara yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi dalam pertemuan di mana semua kebijakan utama diputuskan. Tentu saja, orang bisa tak setuju tentang apa yang dianggap sebagai kebijakan atau keputusan 'utama'. Dalam bentuk demokrasi langsung yang lebih terbatas, warga negara yang memenuhi syarat, kadang-kadang memberikan suara pada isu-isu tertentu, tak semua isu utama. Berbagai prosedur demokrasi ini, sangat berbeda baik dalam seberapa besar kekuasaan yang mereka berikan kepada publik maupun dalam tuntutan yang mereka berikan kepada warga negara.
Bahkan teori-teori normatif minimalis (atau 'elit') dari demokrasi memerlukan beberapa derajat kompetensi demokrasi. Apa yang dimaksud dengan kompetensi demokrasi? Menurut Walter Lippmann pada tahun 1922, kendati para pemikir politik AS tak setuju tentang siapa yang memenuhi syarat untuk menangani urusan politik, mereka umumnya telah menyepakati kualifikasi dasar, yang telah mereka tafsirkan sebagai bawaan, 'Yang diperhitungkan adalah hati yang baik, pikiran yang bernalar, penilaian yang seimbang. Hal-hal ini akan matang seiring bertambahnya usia, tapi tak perlu mempertimbangkan bagaimana memberi tahu hati dan memberi makan alasannya. Masyarakat menyerap faktanya, sembari menarik napas.'
Mari kita mulai dengan 'hati yang baik.' Sebagian besar konsep pemerintahan demokratis (dan bahkan pemerintahan non-demokratis) menganggap adanya kebaikan bersama, atau 'kesejahteraan umum'. Nah, kepercayaan pada 'kesejahteraan umum' tak perlu menjadi masalah 'hati' sama sekali; pada prinsipnya, orang dapat bekerja sama menggalakkan kepentingan bersama, bahkan jika mereka benar-benar acuh tak acuh—atau bahkan bermusuhan—terhadap kesejahteraan masing-masing. Namun demikian, sebagian besar konsep masyarakat yang tertata dengan baik, berasumsi bahwa warga negara pada umumnya, saling menghormati dan bersimpati dengan kepentingan dasar satu sama lain. Misalnya, kita biasanya berbesar hati, tapi tidak terkejut, dengan laporan sumbangan yang mengalir untuk membantu korban bencana alam. Orang yang tampaknya tak menghargai kepentingan lain selain kepentingannya sendiri, dapat disebut 'antisosial', atau pada tingkat yang lebih ekstrim, 'sosiopat': memusuhi masyarakat dan semua orang di dalamnya.
Tetapi masalah 'kebaikan hati' bukanlah kisah moralitas sederhana tentang kemurahan hati dan solidaritas manusia versus keegoisan yang tertutup. Salah satu komplikasinya adalah orang cenderung menilai apakah orang lain 'antisosial' dengan apakah mereka menyesuaikan diri dengan norma sosial, beberapa di antaranya dianut secara luas, yang lainnya berbeda atau kontroversial. Selain itu, orang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok sosial, besar dan kecil. Engkau mungkin mengidentifikasi sebagai penggemar Cubs, seorang wanita, seorang pecinta anjing, seorang feminis, seorang Republikan, seorang Baptis, seorang vegetarian, atau lusinan identitas sosial lainnya. Terkadang identifikasi kita dan cara kita memikirkannya—dan cara kita memikirkan orang-orang dalam kelompok sosial lain—dapat mempengaruhi sikap dan perilaku kita dengan cara yang mungkin tak kita sadari. Orang mungkin menganggap satu sama lain sebagai kawan, musuh, atau apa pun di antaranya berdasarkan persepsi kita tentang identitas kelompok masing-masing. Seperti norma sosial pada umumnya, tiada kesepakatan tentang bagaimana menangani identitas kelompok kita yang berbeda—dan bahkan jika kita setuju secara abstrak, kita masih akan dipengaruhi oleh asumsi kita yang seringkali tak disadari.
Sekarang kita beralih ke 'pikiran yang bernalar'. Mungkin sebagian besar pertanyaan kebijakan takkan menyerah begitu saja pada kebajikan, toleransi, dan kemauan untuk melampaui loyalitas kelompok, yang mungkin penting. Pembuat kebijakan harus mempertimbangkan fakta yang relevan dan mempertimbangkan kewajaran dan kemungkinan konsekuensi dari tindakan mereka, menolak angan-angan. Plato, dalam buku 6 Republik, berpendapat pemerintah hanya boleh dipercayakan kepada jenis orang 'yang memiliki karunia ingatan yang baik, dan cepat belajar—terhormat, ramah, sahabat kebenaran, keadilan, keberanian, kesederhanaan.' Penguasa ideal Platon (seorang 'raja filsuf') dengan demikian, menggabungkan pengetahuan ahli dan kecerdasan dengan serangkaian kebajikan mulia. Sebagian besar warga negara, betapapun ramah dan beraninya mereka, mungkin kekurangan waktu dan motivasi untuk belajar dan bernalar tentang isu-isu kebijakan.
Memang, banyak orang mungkin tak pantas bernalar tentang masalah kebijakan, terlepas dari kendala waktu. Sebagian besar dari kita, mengenal orang-orang yang matanya tampak berkaca-kaca saat percakapan beralih ke politik atau kebijakan, serta orang lain yang 'sering salah tapi tak pernah ragu'.
Apa itu 'penilaian yang seimbang', dan apa bedanya dengan 'pikiran yang bernalar'? Kita tak tahu persis apa yang dimaksud Lippmann, tetapi kita dapat mempertimbangkan setidaknya dua makna. Beberapa orang menganggap 'penilaian' sebagai semacam kebijakan praktis—perasaan tentang cara mendengarkan orang yang saling tidak setuju, kapan harus menunda keputusan dan kapan harus bergerak maju, bagaimana menghindari kesalahan besar, dan bagaimana mengidentifikasi kesalahan yang telah dibuat—alasan itu sendiri tak dapat diberikan. Alternatifnya, tapi bukan tidak kompatibel, seseorang dapat menganggap penilaian sebagai proses pengambilan keputusan yang mengintegrasikan elemen Lippmann lainnya: hati yang baik dan pikiran yang bernalar. Jika emosi kita ('hati' kita) dan nalar kita, tampak berlawanan arah, mendamaikan perselisihan mungkin merupakan masalah pertimbangan. Atau jika emosi kita nampak menyapu alasan kita di jalannya—jika alasan kita memberikan rasionalisasi terhadap kesimpulan yang segera kita ambil—'penilaian yang seimbang' mungkin merupakan atribut mental atau proses yang memberitahu kita agar tak kesusu memutuskan, sampai kita benar-benar mempertimbangkan dari segala sisi, seadil mungkin.

Makna 'opini publik' selalu bergeser. Bagaimana kita berpikir tentang konsepnya, tergantung pada keadaan historis serta pada hipotesis riset kita dan, lebih dari sebelumnya, teknologi yang kita miliki untuk menilai opini publik dan pengaruhnya. Opini publik merupakan fenomena psikologis, sosiologis, ekonomi, dan sekaligus politik. Pembentukan opini publik berlangsung terus-menerus saat masyarakat bereaksi terhadap dunia di sekitar mereka. Kita semua, setiap hari dibombardir dengan komunikasi persuasif, dari media massa, online, melalui media sosial, dari pemimpin politik lokal, dan dari teman dan keluarga kita. Banjir informasi yang masuk ini—seringkali bersifat simbolis—membentuk cara orang berpikir tentang peristiwa, aktor, dan kebijakan politik tertentu.
Tatkala kita memikirkan masa depan, kita harus selalu memikirkan masa lalu. Ketika kita memikirkan tentang hubungan yang sering bermasalah tapi penting, antara publik dan para pemimpinnya, mungkin sebaiknya tak diakhiri dengan nada kebencian, melainkan dengan harapan dan sejarah. Abraham Lincoln, salah seorang pemimpin demokrasi yang paling mengesankan sepanjang masa, juga—tak mengherankan—sangat memperhatikan opini publik, dan memikirkannya. Dalam banyak hal, Lincoln mengantisipasi masalah demokrasi massa dan betapa sulitnya bagi presiden Amerika untuk mendengarkan semua warga sepanjang waktu. Tapi Lincoln melakukan yang terbaik, membentuk forum ekspresi publik dan mendengarkan semampu yang ia bisa, memberikan tekanan pada kedudukannya.
Sebaik Lincolnkah para pemimpin kita dalam menanggapi opini publik dengan sungguh-sungguh? Mungkinkah media baru, media sosial, dan kemajuan teknologi komunikasi digunakan demi efek ini? Bagaimana masyarakat akan membentuk dan mengungkapkan pendapat mereka tentang isu-isu politik dan sosial utama? Masa depan opini publik, masih terus dicatat. Wallahu a'lam." 
Berbeda dengan Cinderella—yang meninggalkan satu selopnya agar ditemukan oleh sang Pangeran, Rembulan tak meninggalkan selopnya kecuali jejak yang terbenam di dalam benak mereka yang memandanginya. Dan waktu telah habis, Rembulan pamit seraya bersenandung, 

After my picture fades and darkness has turned to gray
[Usai gambarku memudar dan kegelapan berubah jadi kelabu]
Watching through windows
[Mengamati lewat jendela]
You're wondering if I'm okay
[Engkau kepo apakah aku baik-baik saja]
Secrets stolen from deep inside
[Rahasia di jarah dari sesuatu yang nyata]
And the drum beats out of time *)
[Dan genderang berdentum di saat yang keliru]
Kutipan & Rujukan:
- Walter Lippmann, Public Opinion, 1922, Free Press
- Carroll J. Glynn, Susan Herbst, Mark Lindeman, Garrett J. O’Keefe, Public Opinion, 2016, Westview Press
- Maxwell McCombs, Setting the Agenda: The Mass Media and Public Opinion, 2014, Polity Press
*) "Time After Time" karya Cyndi Lauper & Robert Hyman
[Sesi 1]