Kamis, 08 Juni 2023

Menemukan Rasa-Takut

"Sang Singa, mendengar suara hambar yang garib, dan tak melihat siapa pun, mulai bersiaga: ia mendengarkan lagi, dan mendengar suara itu berulang, ia gemetar dan terguncang oleh rasa-takut. Akhirnya, melihat seekor Katak merangkak keluar dari danau, dan menemukan bahwa suara yang didengarnya, tak lain hanyalah suara serak makhluk rawit tersebut, ia mendatanginya dengan gusar; namun usai berkaca pada dirinya sendiri, ia pun putar-balik meninggalkannya, malu dengan kepengecutan dirinya," sang Purnama memulai perbincangan dikala cahayanya penuh di pertengahan bulan kalender lunar, usai mengucapkan Basmalah dan Salam.
 
"Fabel ini," kata sang Purnama, "ilustrasi cantik tentang rasa-takut yang sia-sia dan teror kosong, yang dengannya, sifat lemah kita, yang salah arah, cenderung menjadikan waswas dan merasa terganggu. Kita dilanda rasa-takut, dan bekerja di bawah kegentaran, yang menjadikan kita pengecut dan absurd; apalagi jika kekhawatiran berbunyi saat kita sendirian, dan dalam kegelapan.

Dan ada dongeng Turki yang mendongengkan, dahulu kala, ada seorang wanita yang punya seorang anak lelaki. Duduk bersama pada suatu malam, sang ibu berkata kepada putranya, 'Pergilah, anakku, dan tutup pintunya, karena aku merasa takut.'
'Apa rasa-takut itu?' sang anak lelaki bertanya kepada ibunya. 'Saat seseorang ketakutan,' begitulah jawabannya. 'Lalu apa yang bisa ditakutkan dari hal ini?' sang putra merenung. 'Aku akan pergi dan menemukannya.' Maka, ia pun berangkat, dan sampailah ke sebuah gunung dimana ia melihat empat puluh perampok yang menyalakan api dan kemudian duduk di sekelilingnya. Sang pemuda naik dan menyapa mereka, dimana salah seorang perampok memanggilnya. 'Tiada seekor uanggas pun yang berani terbang ke sini, tiada kafilah yang melewati tempat ini, lalu bagaimana engkau berani menjelajahinya?'
'Aku sedang mencari rasa-takut; tunjukkan itu padaku.'
'Rasa-takut ada di sini, di mana kita berada,' kata sang perampok.
'Dimana?' tanya sang pemuda.
Lalu sang perampok memerintahkan, 'Ambil ketel, tepung, lemak, dan gula ini; pergilah ke pekuburan di sana dan buatlah helwa dengannya.'
'Baik,' jawab sang pemuda, dan pergi.
Di kuburan, ia menyalakan api dan mulai membuat helwa. Saat ia melakukannya, sebuah tangan terulur dari dalam kuburan, dan ada suara yang berkata, 'Tidakkah aku mendapatkan apa-apa?' Memukul sang tangan dengan sendok, ia menjawab dengan mengejek, 'Sebetulnya, aku harus memberi makan orang mati sebelum yang hidup.' Sang tangan menghilang, dan seusai memasak helwa, sang pemuda kembali menemui para perampok.
'Sudahkah engkau menemukannya?' mereka bertanya padanya.
'Tidak,' jawabnya. 'Yang kulihat hanyalah sebuah tangan yang muncul dan meminta helwa; tetapi aku memukulnya dengan sendok dan tak melihatnya lagi.'
Para perampok tercengang. Kemudian yang lain berkomentar, 'Tak jauh dari sini, ada bangunan yang sepi; di sana engkau dapat, tak ada keraguan, menemukan rasa-takut.'

Ia pergi ke rumah dimaksud, dan masuk, melihat di atas panggung yang ditinggikan dari sebuah ayunan, dimana seorang anak sedang menangis; di kamar, seorang gadis sedang berlari kesana kemari. Sang gadis mendekatinya dan berkata, 'Perkenankan aku duduk di pundakmu; anak itu menangis dan aku harus menenangkannya.' Sang pemuda tak keberatan, dan sang gadis naik ke pundaknya. Sementara sibuk dengan anak itu, berangsur-angsur ia mulai menekan leher sang pemuda dengan kakinya, sampai ia mulai hampir tercekik. Saat itu, dengan sentakan yang menjatuhkannya, sang gadis melompat dari bahunya dan menghilang. Saat sang gadis pergi, sebuah gelang jatuh dari lengannya ke lantai.
Mengambilnya, sang pemuda meninggalkan rumah tersebut. Saat ia melewati jalan, seorang Yahudi, melihat gelang itu, menegurnya. 'Itu milikku,' katanya.
'Tidak, ini milikku,' pungkasnya.
'Oh, tidak, itu milikku,' tanggap orang Yahudi itu.
'Kalau begitu mari kita pergi ke sang Kadi,' kata sang pemuda. 'Jika ia memberikannya padamu, gelaang itu akan menjadi milikmu; namun jika ia memberikannya padaku, tetap jadi milikku.'
Maka, merekapun sepakat pergi, dan sang Kadi berkata, 'Gelang itu akan menjadi milik yang membuktikan persoalannya.' Namun, tak ada yang dapat melakukannya, dan akhirnya, sang hakim memerintahkan agar gelang tersebut disita sampai salah seorang penggugat menunjukkan pasangannya, yang telah menyerahkan gelang itu padanya. Orang Yahudi dan sang pemuda, lalu berpisah.

Saat mencapai pantai, sang anak lelaki melihat sebuah kapal terombang-ambing di laut, dan mendengar rintihan ketakutan yang keluar dari sana. Ia berseru dari pantai, 'Sudahkah engkau menemukan rasa-takut?' dan dijawab dengan seruan, 'Oh, celaka, kami tenggelam!' Dengan cepat menanggalkan pakaiannya, ia melompat ke dalam air dan berenang menuju kapal. Orang-orang di atas kapal berkata, 'Seseorang menghempaskan kapal kami ke sana kemari, kami khawatir.' Sang pemuda, mengikatkan tali di sekeliling tubuhnya, menyelam ke dasar laut. Di sana, ia menemukan bahwa Putri Laut (Deniz Kyzy) sedang mengguncang kapal. Ia menimpanya, mencambuknya dengan cukup keras, dan mengusirnya. Kemudian, muncul ke permukaan, ia bertanya, 'Inikah rasa-takut?' Tanpa menunggu jawaban, ia berenang kembali ke pantai, berpakaian, dan berlalu.

Kini, saat ia berjalan, ia melihat sebuah taman, di depannya ada air mancur. Ia memutuskan memasuki taman dan beristirahat sebentar. Tiga merpati bermain-main di sekitar air mancur. Mereka menyelam ke dalam air, dan saat mereka naik lagi dan mengguncangkan diri, masing-masing berubah menjadi seorang gadis. Mereka kemudian meletakkan meja, dengan gelas minuman. Tatkala yang pertama mengarahkan gelas ke bibirnya, yang lain bertanya, 'Untuk kesehatan siapa engkau minum?' Ia menjawab, 'Kepada pemuda yang, dalam membuat helwa, tak kecewa ketika sebuah tangan terulur kepadanya dari balik kuburan.' Saat gadis kedua minum, yang lain bertanya lagi, 'Untuk kesehatan siapa engkau minum?' Dan jawabannya, 'Kepada pemuda yang di pundaknya aku berdiri, dan yang tak menunjukkan rasa takut kendati aku hampir mencekiknya,' Kemudian yang ketiga mengambil gelasnya. 'Siapa yang engkau pikirkan?' tanya yang lain. 'Di laut, saat aku menghempaskan kapal ke sana kemari,' jawab sang gadis, 'seorang pemuda datang dan mencambukku dengan sangat keras sehingga aku hampir mati. Aku minum bagi kesehatannya.'

Baru saja sang gadis selesai berbicara, ketika sang pemuda muncul dan berkata, 'Akulah pemuda itu.' Ketiga gadis tersebut bergegas memeluknya, dan ia melanjutkan, 'Pada sang Kadi, aku punya gelang yang jatuh dari lengan salah seorang dari kalian. Seorang Yahudi hendak merampasnya dariku, tapi aku menolak menyerahkannya. Aku sekarang sedang mencari pasangannya.'
Para gadis membawanya ke sebuah gua dimana sejumlah aula megah yang terbuka di hadapannya, membuatnya takjub. Masing-masing terisi dengan emas dan benda-benda maewah. Di sini, para gadis memberinya gelang kedua, yang dengannya ia langsung pergi ke sang Kadi dan menerima yang pertama, kembali tanpa kehilangan waktu ke gua. 'Engkau tak berpisah dari kami lagi,' kata para gadis. 'Akan sangat menyenangkan,' jawab sang pemuda, 'tapi sampai aku menemukan rasa-takut, aku tak dapat beristirahat.' Mengatakan ini, ia berpamitan, meski mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar ia tetap tinggal.

Di saat itu, ia tiba di tempat dimana terdapat banyak sekali orang. 'Apa masalahnya?' sang pemuda bertanya, dan diberi tahu bahwa Shah negeri itu, sudah tiada lagi. Seekor merpati hendak dilepaskan, dan ia yang kepalanya dihinggapi burung itu, akan dinyatakan sebagai pewaris takhta. Sang pemuda berdiri di antara para pengunjung yang penasaran. Sang merpati dilepaskan, berputar-putar di udara, dan akhirnya hinggap di atas kepala sang pemuda. Ia langsung dielu-elukan sebagai Shah; namun karena ia tak mau menerima kehormatan itu, merpati kedua dilepaskan. Yang inipun hinggap di atas kepala sang pemuda. Hal yang sama terjadi ketiga kalinya. 'Engkau Shah kami!' teriak orang-orang. 'Tapi aku mencari rasa-takut; aku takkan menjadi Shah kalian,' jawabnya, menolak upaya orang banyak membawanya ke istana. Kata-katanya diulangi kepada Sultanah, janda mendiang sang penguasa, yang berkata, 'Biarkan ia menerima kemuliaan itu, setidaknya untuk malam ini; besok aku akan menunjukkan rasa-takut padanya.' Sang pemuda setuju, meskipun ia menerima keterangan yang tak terlalu menghibur bahwa siapa pun kelak yang menjadi Shah, maka keesokan paginya, bakal menjadi mayat. Melewati istana, ia tiba di sebuah ruangan dimana ia mengamati bahwa peti matinya sedang dibuat dan air dipanaskan. Namun demikian, ia berbaring tidur dengan tenang di kamar itu; tetapi ketika para budak pergi, ia bangkit berdiri, mengambil peti mati itu, meletakkannya di dinding, menyalakan api di sekelilingnya dan menjadikannya abu. Setelah selesai, ia berbalik lagi dan tidur nyenyak.
Saat fajar menyingsing, para budak masuk membawa pergi jenazah Shah yang baru; namun mereka bersukacita melihatnya dalam kebugaran yang sempurna, dan bergegas menemui Sultanah membawa berita gembira. Ia kemudian memanggil juru masak dan memerintahkan, 'Saat engkau menyiapkan makan malam, taruh seekor burung pipit hidup di mangkuk sup.'

Sore tiba. Shah muda dan Sultanah duduk hendak makan malam, dan saat hidangan dibawa masuk, Sultanah berkata, 'Angkat tutup mangkuknya.'
'Tidak,' jawab sang pemuda; 'Aku tak mau sup.'
'Tapi mohon di angkat,' ulang Sultanah sedikit membujuk. Sekarang saat sang pemuda mengulurkan tangannya dan mengangkat tutupnya, seekor burung, terbang keluar. Kejadian itu, sangat tak terduga sehingga memberinya kejutan rasa-takut sesaat. 'Engkau lihat!' seru Sultanah. 'Itulah rasa takut.'
'Benarkah?' tanya sang pemuda. 'Engkau memang takut,' jawab Sultanah.
Kemudian diadakanlah pesta pernikahan, dan berlangsung selama empat puluh hari empat puluh malam. Shah muda membawa sang ibu ke istananya, dan mereka hidup bahagia selamanya.

Rasa-takut itu, tak sebesar bayanganmu, tapi memang demikian, kata Acharya Rajneesh, yang dikenal sebagai Osho. Bayangan itu juga ada—nonsubstansial, negatif, tetapi bukan tidak ada—dan terkadang bayangan tersebut, bisa berdampak besar padamu. Di hutan saat malam menjelang, engkau bisa merasa takut pada bayanganmu sendiri. Di tempat yang sunyi, di jalan yang sepi, engkau mulai berlari karena bayanganmu sendiri. Pelarianmu akan nyata, usahamu meloloskan diri bakalan nyata, akan tetapi, penyebabnya tak substantif.
Engkau dapat lari dari seutas tali lantaran mengira bahwa itu, ular; jika engkau kembali dan melihat lebih dekat dan mengamati, engkau akan menertawakan seluruh kekonyolanmu. Namun, para manusia, merasa takut datang ke tempat-tempat yang ada rasa-takutnya. Orang-orang lebih gentar pada rasa-takut dibanding apa pun, sebab keberadaan rasa takut, mengguncang pendirianmu.
Keterguncangan pendirianmu, ingatlah, sangat nyata. Rasa-takut itu, bagaikan mimpi, mimpi buruk, tapi setelah mimpi buruk, saat engkau terbangun, efek sampingnya masih ada, rasa-mabuk tetap ada. Nafasmu berubah, Engkau berkeringat, tubuhmu masih gemetar, suhu tubuhmu panas. Sekarang engkau tahu bahwa itu hanyalah mimpi buruk, mimpi, tak penting, tetapi kendati mengetahuinya, akan membutuhkan waktu untuk menembus ke inti keberadaanmu. Sementara efek dari mimpi yang tak penting, akan terus berlanjut. Rasa-takut itu, mimpi buruk.
Lantas, terbuat dari apa rasa-takut itu? Rasa-takut terbuat dari ketidaktahuan akan diri sendiri. Semata ada satu ketakutan; ia bermanifestasi dalam banyak cara, seribu satu bisa menjadi manifestasi, namun pada dasarnya, ketakutan itu satu, dan itu, 'Jauh di lubuk hatimu, 'Mungkin bukan aku.' Dalam segala hal, boleh jadi, benar bahwa memang bukan engkau.

Susan Jeffers, Ph.D., mengatakan bahwa Rasa-takut dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama dapat dibagi menjadi dua jenis: yang 'terjadi' dan yang membutuhkan tindakan. Di antara yang 'terjadi', adalah: Penuaan; Menjadi cacat; Masa pensiun; Sendirian; Anak-anak meninggalkan rumah; Bencana alam; Kehilangan keamanan finansial; Perubahan; Sekarat; Perang; Penyakit; Kehilangan orang yang dicintai; Kecelakaan; Perkosaan.
Di antara yang membutuhkan tindakan adalah: Kembali ke sekolah; Membuat keputusan; Mengubah karir; Berteman; Mengakhiri atau memulai suatu hubungan; Pergi ke dokter; Menegaskan diri sendiri; Kehilangan berat; Diwawancarai; Menyetir; Berbicara di depan umum; Membuat kesalahan; Keintiman.

Rasa-takut tingkat 2, tak berorientasi pada situasi; melainkan melibatkan ego. Diantaranya adalah: Penolakan; Tertipu; Kesuksesan; Ketidakberdayaan; Kegagalan; Penyangkalan; Menjadi rentan; Kehilangan citra.
Rasa-takut tingkat 2 lebih berkaitan dengan kondisi batin ketimbang keadaan luar. Semuanya mencerminkan perasaan dirimu dan kemampuanmu menghadapi dunia ini. Hal ini menjelaskan mengapa rasa-takut, umum terjadi. Jika engkau merasa takut ditolak, rasa-takut ini akan mempengaruhi hampir setiap bidang kehidupanmu—teman, hubungan intim, wawancara kerja, dan sebagainya. Penolakan tetaplah penolakan—dimana pun itu ditemukan. Maka, engkau mulai melindungi diri sendiri, dan akibatnya, sangat membatasi diri. Engkau mulai mematikan dan menutup dunia di sekelilingmu.

Level 3 turun ke seluk-beluk masalah: ketakutan terbesar dari semuanya—yang benar-benar membuatmu terjebak: AKU TAK SANGGUP MENGATASINYA!
'Hanya itukah? Itukah masalah besarnya?' engkau mungkin bertanya. Aku tahu engkau kecewa dan menginginkan sesuatu yang jauh lebih dramatis dari itu. Tapi kenyataannya: DI BAWAH SETIAP RASA-TAKUTMU, KETAKUTAN BAHWA ENGKAU TAK MAMPU MENGATASI APA PUN YANG MUNGKIN DIBERIKAN KEHIDUPAN KEPADAMU.
Yang benar: JIKA ENGKAU TAHU ENGKAU SANGGUP MENGATASI APA SAJA YANG MENGHADAPIMU, APA YANG MUNGKIN HARUS ENGKAU TAKUTKAN?
Jawabannya: TIDAK ADA!
Engkau dapat mengatasi semua rasa-takutmu tanpa harus mengendalikan apa pun di dunia luar, kata Jeffers. Engkau tak harus lagi mengontrol apa yang dilakukan pasanganmu, apa yang dilakukan temanmu, apa yang dilakukan anakmu, atau apa yang dilakukan atasanmu. Engkau tak perlu mengontrol apa yang terjadi saat wawancara, apa yang terjadi pada pekerjaanmu, apa yang terjadi dalam karier barumu, apa yang terjadi pada uangmu, atau apa yang terjadi di pasar saham. YANG HARUS ENGKAU LAKUKAN UNTUK MENGURANGI RASA-TAKUTMU IALAH MENGEMBANGKAN LEBIH BANYAK KEPERCAYAAN PADA KEMAMPUANMU UNTUK MENGATASI APA PUN YANG MENDATANGIMU!"

Sang Purnama lalu menyimpulkan dengan, "Prasangka awal tentang didikan yang keliru, semata dapat diberantas oleh pikiran yang tak mudah terpengaruh. Yang lemah mempertahankannya sepanjang hidup. Rasa takut itu, hasrat alami, dan berguna untuk menjaga kita dari bahaya, dengan memperingatkan para sukma: tetapi itu, seperti semua ego kita yang lain, hendaknya terjaga dalam keadaan takluk: kendati semuanya merupakan para hamba yang baik dan berguna, namun bila, begitu mereka menguasai akal-sehat kita, mereka akan terbukti menjadi tiran yang paling mendominasi, yang bisa dibayangkan; pula, tiada lain di antara mereka, yang memperlakukan kita dengan cara yang amat keji dan seperti diperbudak oleh rasa-takut: itu menakutkan dan melayuhkan anggota tubuh kita, sekaligus membelenggu pemahaman kita; dan pada saat yang sama, menunjukkan bahaya yang telah dekat, memperlemah dan membuat kita tak mampu membela diri darinya. Namun kita hendaknya membangkitkan rasa kehormatan dan fadihat, guna memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Wallahu a'lam."

Sang fajar mulai menggeliat, waktunya menjauh, sang Purnama beranjak pergi, seraya bersenandung,

T'lah ku nyanyikan alunan-alunan senduku
T'lah ku bisikkan cerita-cerita gelapku
T'lah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa kutakkan bisa sentuh hatimu? *)
Kutipan & Rujukan:
- Thomas Bewick, Bewick Select Fables of Aesop and Others, 1871, Bickers & Son
- Ignaz Cunos, Forty-four Turkish Fairy Tales, 2017, Abela Publishing
- Osho, Fear: Understanding and Accepting the Insecurities of Life, 2012, St. Martin's Griffin
- Susan Jeffers, Ph.D., Feel the Fear... and Do It Anyway, 2007, Jeffers Press
*) "Simfoni Hitam" karya Sherina Munaf