“Alkisah, ada wong ndeso, punya seekor angsa yang bertelur emas. Setiap hari, ia mendatangi petarangan angsanya, membawa telurnya ke pasar, dan beranjak jadi kaya. Tak lama berselang, ia mulai gak sabaran dengan sang angsa lantaran cuman memberinya sebutir telur sehari. Angan-angan jadi cepat kaya, lambat terwujudkan. Muncullah sifat tamaknya dan menginginkan lebih banyak cuan, maka ia pun membunuh sang angsa, berharap menemukan emas di dalamnya. Namun dikala ia membedahnya, tak ada sebutir pun telur emas. Ujung-ujungnya, ia malah kehilangan unggas sekaligus kado hariannya," berkata Wulansari—bahasa Sunda, artinya bulan yang indah—ketika ia tiba dan memancarkan paras cantiknya, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. "Tiada nafsu yang bisa menjadi siksaan yang teramat berat, bagi mereka yang dikuasai oleh ketamakan yang tak terpuaskan. Ia menjadikan manusia, buta akan kebahagiaan mereka saat ini. Orang yang menyerah pada kecenderungan ini, tak tahu bagaimana puas dengan kecukupan yang teratur dan berkelanjutan. Benak mereka dihantui oleh prospek menjadi kaya," lanjut Wulansari. “Elemen inti moralitas manusia (prinsip perilaku baik dan buruk; benar dan salah) bersifat universal. Etika tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari saat ini, sebab isu mendasar yang berkaitan dengan interaksi manusia dalam masyarakat, adalah sama, dimana pun atau kapan pun para insan berinteraksi.
Sejarah menyanjung Theodore Roosevelt, yang dengan ucapannya bahwa 'mendidik manusia dalam pikiran, namun tidak dalam moral, berarti menciptakan ancaman bagi masyarakat.' Setiap orang menghadapi dilema etika dalam kehidupan pribadi dan profesinya; pertanyaannya, siapkah mereka tatkala menghadapinya.
Istilah etika bermakna studi tentang standar moral dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku. Akar kata Yunani bagi etika ialah etos, yang menekankan kesempurnaan individu dan komunitas dimana ia dilukiskan. Hampir semua orang terpelajar mengakui pentingnya etika. Lalu, tentang apa sih etika itu? Aric W. Dutelle dan Randy S. Taylor menyebutkan bahwa etika berkisar tentang:
Benar dan Salah: 'Kita tak menyebut apa pun salah, kecuali kita bermaksud menyiratkan bahwa seseorang haruslah dihukum dengan cara tertentu karena melakukannya; jika tidak oleh hukum, menurut pendapat sesamanya; jika bukan oleh opini, oleh celaan hati nuraninya sendiri.'
Baik dan Buruk: 'Keburukan, lawan dari kebajikan, menunjukkan kepada kita dengan lebih jelas apa itu kebajikan. Keadilan menjadi lebih jelas ketika kita membandingkannya dengan ketidakadilan.'
Maslahat dan Mudarat: 'Dua unsur penting dalam sentimen keadilan adalah keinginan menghukum seseorang yang telah melakukan kejahatan, dan pengetahuan atau kepercayaan bahwa ada individu atau individu tertentu yang dirugikan.'
Aturan Tingkah Laku Universal: 'Etika meliputi aturan-aturan yang tetap dan universal tentang perilaku benar, yang tak bergantung pada waktu, budaya, atau keadaan.'
Karakter: Etika terjalin dalam karakter seseorang, 'ciri-ciri, kualitas, dan reputasi mapan yang menentukan siapa seseorang dan apa yang diperjuangkan seseorang di mata orang lain.'
Keteladanan: Etika didirikan di atas 'pola perilaku yang mapan, yang layak ditiru.'
Moral, Nilai-nilai, dan Etika, tiga kata yang berbeda. Kata moralitas berasal dari kata Latin, moralis, yang bermakna 'kebiasaan tradisional atau perilaku yang pantas'. Oleh sebab itu, pada dasarnya, moral mengacu pada seperangkat aturan yang menetapkan apa yang dianggap benar atau salah. Aturan-aturan ini, ditentukan oleh (walaupun biasanya tak tertulis atau 'ditetapkan' dengan tulisan) dan diterima oleh suatu kelompok atau masyarakat. Kelompok atau masyarakat dapat mencakup teman sebaya, pendidik, agama, media, dan unit keluarga. Jika seseorang dalam kelompok atau masyarakat melanggar salah satu aturan, maka mereka biasanya dianggap 'buruk' atau 'tak bermoral'. Moral menggambarkan apa adanya. Etika menggambarkan apa yang seharusnya.
Nilai-nilai, di sisi lain, memberikan arah dalam penentuan benar lawan salah, atau baik lawan buruk. Nilai-nilai merupakan apa yang diyakini individu mempunyai sebuah nilai dan kepentingan, atau sesuatu yang berharga. Dengan demikian, moral adalah nilai-nilai yang diatribusikan individu ke sistem keyakinan, yang membantu individu dalam menentukan benar dari salah atau baik dari buruk.
Etika, yang intinya merupakan akar kata Yunani, etos, mengacu pada 'karakter moral seorang individu.' Orang Yunani meyakini bahwa etos mencakup penekanan pada karakter individu serta memasukkan warga negara sebagai komponen komunitas yang lebih besar. Intinya, awal yang mudah; bahwa etika dimulai dari individu.
Etika melibatkan upaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana hasil moral dapat dicapai. Acapkali disebut sebagai 'etika terapan.' Dutelle dan Taylor membagi studi etika menjadi tiga bidang:
Etika normatif: Bagaimana nilai-nilai moral harus ditentukan. (Apa yang menurut individu benar?)
Etika deskriptif: Moral apa yang sebenarnya diikuti atau dipatuhi. (Bagaimana seharusnya individu bertindak?)
Meta-etika: Sifat dasar etika, termasuk apakah ia memiliki pembenaran objektif, bagaimana individu menentukan sendiri norma-norma sosial apa yang harus diikuti. (Apa maknanya menjadi 'benar'?)
Moral dan Etika, hendaknya pula dibedakan dari Hukum. Hanya karena sesuatu diperbolehkan secara hukum, bukan berarti bahwa itu diperbolehkan secara moral dan etika. Argumen inilah yang mendasar di seputar perdebatan tentang aborsi, mariyuana medis, pekerja anak, hukuman mati, dan banyak lainnya. Dan, sebagaimana legalitas tak menyiratkan moralitas, ilegalitas tak menyiratkan imoralitas.
Ada keputusan, pilihan, dan pertimbangan yang mungkin bersifat moral, etis, atau legal, atau boleh jadi, kombinasi dari semuanya. Suatu tindakan atau keputusan dapat benar secara etis, salah secara moral, dan netral secara hukum. Contohnya sebagai berikut: Petruk suka makan daging merah. Lokasi tempat tinggal Petruk, bermuka-masam terhadap warganya yang makan daging merah. Itu tak ilegal, hanya saja tak dapat diterima secara sosial. Lantaran adanya prinsip moral, yang pada dasarnya melarang makan daging merah, hal tersebut dianggap tak bermoral ('salah'). Namun, karena perilaku Petruk tak mempengaruhi orang lain secara langsung, perilaku tersebut dipandang netral secara etis oleh orang lain, tetapi dianggap 'benar' oleh Petruk. Oleh sebab tiada undang-undang yang melarang makan daging merah, hal itu dianggap netral secara hukum.
Tapi bagaimana dengan pembunuhan? Ada berbagai kategori pembunuhan: pembunuhan yang dapat dimaafkan, pembunuhan yang dapat dibenarkan, mengambil nyawa orang lain secara ilegal, dll. Tak semua pilihan yang dibuat seseorang itu, pilihan etis. Misalnya, pilihan '2' atau '3' dalam menentukan jawaban yang tepat untuk soal 'berapa 1 + 1?' sama sekali tidak etis. Pula, tak memutuskan jawaban untuk: 'Seberapa jauh bumi dari matahari?' Banyak sekali keputusan dibuat sebagai hasil pengujian, melalui sistem metodologis yang logis, seperti matematika dan sains. Di lain waktu, matematika dan sains tak berguna dalam proses pengambilan keputusan dan seseorang harus menggali lebih dalam guna memperoleh solusi yang 'tepat' bagi masalah yang dihadapi. Ketika pilihan yang harus dibuat itu, antara apa yang jelas benar dan jelas salah, keputusan tentang apa yang harus dilakukan pada dasarnya merupakan keberanian moral, bukan dilema etika. Orang yang beretika tahu, ia tak boleh mencuri, sedangkan orang yang bermoral, takkan mencuri.
Namun, ada faktor tambahan yang dapat berfungsi sebagai dorongan pengambilan keputusan etis. Faktor-faktor tersebut dapat mencakup, namun tak terbatas pada, keluarga, teman, profesi, agama, masyarakat, budaya, dan hukum. Faktor-faktor inilah, dikombinasikan dengan bias pribadi seseorang, yang berdampak pada konsep individu tentang benar dan salah, dan, karenanya, berimpak pada proses pengambilan keputusan etis.
Penentuan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu menjadi lebih sulit ketika pilihannya lebih dekat ke nuansa abu-abu tentang benar dan salah atau antara hak (kebajikan) yang berapit. Kerancuan seperti itu, disebut sebagai dilema etika. Dilema etika merupakan situasi dimana seseorang dihadapkan pada pilihan antara kebajikan yang berkompetensi, yang dianggap sama pentingnya, tetapi tak dapat dihormati secara simultan.
Maka, jika seseorang benar-benar dihadapkan pada dilema etika, dibanding keputusan antara apa yang etis dan apa yang bermoral, mungkin dilema etika paling baik digambarkan sebagai keputusan antara dua hak yang berlaga, atau konflik 'benar melawan benar'. Oleh karenanya, penting bagi seseorang agar memahami proses pengambilan keputusan jika seseorang ingin mengevaluasi etis atau tidaknya, suatu keputusan itu.
Ada lebih banyak etika ketimbang sekadar mengetahui tentangnya. Sama pentingnya mengetahui apa yang terikut dalam riasannya. Etika itu, cara Nilai-nilai dipraktikkan. Dengan demikian, ia merupakan proses penyelidikan (memutuskan bagaimana memutuskan) dan kode etik (seperangkat standar yang mengatur perilaku).
Berpikir baik itu, berpikir kritis. Pemikiran kritis, penggunaan nalar secara sadar, berdiri jelas terpisah dari cara lain untuk memahami kebenaran atau menghadapi pilihan: dorongan hati, kebiasaan, dll. Impuls tak lebih dari spontanitas yang tak reflektif, pikiran yang autopilot. Kebiasaan itu, di sisi lain, pengulangan yang diprogram. Ia mirip dengan memori otot, kecuali bila diterapkan pada perilaku. Pengulangan itu, kebiasaan. Oleh karenanya, 'obyek pemikiran kritis ialah untuk mencapai ukuran objektivitas guna menangkal atau mengurangi bias subyektif yang diberikan oleh pengalaman dan sosialisasi kepada kita semua.'
Landasan etika dimulai dari individu. Meski sifatnya sederhana, persoalan inilah yang juga menjadi titik awal komplikasi dan parodi yang berkaitan dengan etika dalam pelayanan publik, fakta bahwa semuanya, dimulai dari individu. Sebuah lembaga atau organisasi tak mempunyai etika; karyawannyalah yang beretika. Para penata-usahalah yang membuat keputusan beretika. Keuntungannya bahwa mayoritas masyarakat ingin menjadi etis, sebagian besar organisasi ingin bertindak secara etis, dan mayoritas karyawan dan organisasi ingin diperlakukan secara etis. Kelemahan dari hal ini, bahwa banyak sekali individu dan organisasi yang tak mahir dalam penerapan nilai-nilai bersama, atau etika kelompok, dalam proses pengambilan keputusan. Kemuliaan kisah manusia, bahwa muatan berita baik memungkinkan etika; sedangkan tragedinya, kecenderungan terhadap kejahatan, menjadikan diperlukannya etika.
Pada sesi berikutnya, kita akan membahas, secara ringkas, tentang etika dalam pelayanan publik. Bi 'idznillah.”