Senin, 19 Juni 2023

Aktor Politikkah Para Hakim itu?

"Dalam peresmian gedung baru sebuah Lembaga Yudisial, seorang Hakim senior berdiri, menunjuk ke arah patung Lady Justice, dan berkata, 'Jangan pernah menilai sang Nyonya dari bungkusannya doang!'
Seketika, segenap hadirin menjawab, "Siap, yang mulia!"
Namun, sesaat usai para hadirin hening, seorang bocah nyeletuk, 'Iya sih, mata sang Nyonya memang ketutup, tapi kan telinganya, enggaak!'" berkata Rembulan sambil membawa timbangan dan pedang, tanpa penutup mata, menirukan gaya dewi Yunani, Themis, usai membuka dengan Basmalah dan Salam.

"Peran seorang hakim itu, mengambil keputusan," lanjut Rembulan. "Masyarakat sungguh-sungguh mengharapkan para hakim menjadi pengambil keputusan yang sangat baik. Mereka mengharapkan hakim agar objektif, rasional, akurat, tak memihak, konsultatif, dan tegas. Tentu saja, ini cita-cita yang mulia. Banyak hakim berjalan melewati patung Lady Justice setiap melangkah ke ruang sidang, personifikasi dari cita-cita ini dan pengingat kekuatan moral sistem peradilan. Kemampuan hakim menaati cita-cita ini, menjadi pembuat keputusan yang baik, dan memberikan pertimbangan yang adil, merupakan ukuran kepercayaan publik terhadap pengadilan mereka.

Apa yang memotivasi para hakim dalam peran mereka sehari-hari? Selain itu, bagaimana hal ini mempengaruhi pengambilan keputusan mereka? Tak masuk akal bila berasumsi bahwa hakim punya kepentingan sendiri sampai tingkat tertentu, namun hakim yang mementingkan diri sendiri, sebagian besar merupakan 'tokoh yang absen' dalam literatur tentang peran yudisial, kata Brian M. Barry. Mungkin agak terlalu digeneralisasi, hakim mungkin punya ambisi karir, mereka mungkin merasakan pencapaian kala dipromosikan atau disanjung, dan mereka mungkin menikmati status yang menyertai perannya. Mereka mungkin khawatir tentang reputasi dan senang disukai dan dihormati. Mereka mungkin cerdik ketika pekerjaan mereka dikritik di media atau oleh rekan mereka di pengadilan yang lebih tinggi. Mereka mungkin lebih suka dibayar dengan baik, menikmati waktu senggang mereka dalam berbagai tingkatan dan berpikir tentang pensiun. Selain penelitian tentang karakteristik demografi hakim, efek psikologis dan politik yudisial, intelektual yudisial telah mempertimbangkan bagaimana motivasi pribadi dan profesional hakim dapat mempengaruhi pengambilan keputusan mereka.
Intelektual yudisial Lawrence Baum berkomentar bahwa di tengah upaya yang semakin produktif dan canggih guna memahami banyak aspek fungsi yudisial, terutama peran politik dalam pengambilan keputusan yudisial, ada baiknya berhenti sejenak merenungkan bahwa hakim hanyalah 'manusia pembuat keputusan.' Meskipun merupakan poin yang jelas, ini tetap merupakan poin penting, mengisyaratkan pentingnya tak mengabaikan motivasi yang lebih biasa, sehari-hari, dan intrinsik yang dapat mempengaruhi hakim dan yang mungkin hilang dalam desakan agar lebih memahami peran mereka.

Brian M. Barry memberitahu kita tentang riset-riset yang mengungkap jawaban dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan menyangkut para hakim. Adakah bukti empiris bahwa pengambilan keputusan hakim secara sistematis dipengaruhi oleh seberapa banyak (atau seberapa sedikit) mereka menghargai waktu mereka? Para peneliti telah meneliti hal ini dengan menilai produktivitas para hakim dan kualitas keputusan mereka. Keseimbangan kehidupan kerja, mencari waktu luang, dan beban kerja hakim saling berhubungan.
Bila beban kerja hakim dapat dikelola dan sesuai, beberapa hakim mungkin memutuskan agar tidak mencurahkan lebih banyak waktu dan upaya memutuskan suatu kasus dibanding hakim lain, sebab mereka lebih menghargai waktu luang mereka. Konsekuensinya, bolrh jadi bahwa hakim yang berbeda dapat memberikan keputusan yang berbeda, tergantung pada seberapa banyak upaya yang mereka lakukan. Sama halnya, beban kerja seorang hakim mungkin amat berat dan tak dapat dikerjakan, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka mengambil keputusan hukum yang sebaik mungkin.
Bagaimana variasi dalam beban kerja, mempengaruhi hasil dan pengambilan keputusan para hakim? Saat dihadapkan dengan tekanan tinggi pada beban kasus mereka, para hakim lebih suka mengurangi jumlah putusan yang mereka tulis ketimbang berkompromi pada kualitasnya, sebagaimana diukur dengan jumlah kutipan yang kemudian diperoleh keputusan.
Beberapa peneliti telah menyajikan bukti tentatif bahwa para hakim berusaha melindungi diri dari beban kasus yang berlebihan, dengan memutuskan jenis kasus tertentu dengan cara yang strategis.

Keputusan hakim bukanlah produk dari karakteristik pribadi bawaan mereka seperti jenis kelamin, ras, atau usia. Warna kulit hakim atau jenis kelaminnya tidak dengan sendirinya mempengaruhi cara mereka memikirkan dan memutuskan kasus. Selain itu, hakim jarang akan mengakui bahwa pandangan mereka tentang masalah hukum tertentu—dan lebih jauh lagi, pengambilan keputusan—dengan cara apa pun, terkait dengan karakteristik pribadi yang kebetulan mereka miliki.

Masyarakat berhak mengharapkan hakim agar mengambil keputusan yang tak memihak, buta terhadap karakteristik pribadi para pihak yang berperkara, yang muncul di hadapan mereka. Sistem peradilan menggambarkan ketidakberpihakan mereka melalui patung Lady Justice, yang mengenakan penutup mata, atau prinsip yang diukir di gedung pengadilan yang menyatakan, antara lain, 'keadilan yang sama di bawah hukum.' Kode etik profesional hakim, dan aturan keadilan alami dan proses hukum, penuh dengan ungkapan bagaimana hakim harus memperlakukan semua pihak yang berperkara secara tak memihak dan memutuskan kasus bebas dari prasangka dan bias. Terlepas dari cita-cita ini, studi empiris secara teratur menunjukkan perbedaan dan ketidakkonsistenan dalam pengambilan keputusan yudisial, tampaknya karena karakteristik tertentu dari pihak yang berperkara, termasuk jenis kelamin, ras atau etnis atau usia.

Para hakim tahu bahwa keputusan mereka dapat diperiksa dengan seteliti-telitinya, tak semata oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, melainkan pula oleh audiens lain di luar ruang sidang. Oleh sebab itu, para hakim dapat mengingat lembaga-lembaga lain di luar pintu pengadilan mereka saat mereka memberikan keputusan.
Pengadilan banding, sesama hakim dalam komunitas yudisial yang lebih luas, cabang pemerintahan lainnya, aktor politik individu, publik dan media, semuanya, pada suatu waktu atau di waktu yang lain, dapat membebani pikiran seorang hakim. Audiens lain ini, dapat dikategorikan sebagai institusi eksternal yang menggunakan, pada tingkat yang berbeda-beda, pengaruhnya terhadap hakim ketika memutuskan kasus-kasus tertentu. Oleh karenanya, para hakim akan menganggap diri mereka sebagai aktor dalam sistem eksternal yang lebih luas, lembaga-lembaga yang saling terkait.

Lalu, bagaimana dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial inteligence (AI)), bisakah membantu mereka dalam pengambilan keputusan di banyak yurisdiksi? Di beberapa pengadilan, hakim AI telah menggantikan hakim manusia sama sekali. Platform penyelesaian sengketa online dan pengadilan online telah berkembang dengan kecepatan yang luar biasa, terutama sepanjang tahun 2020, dan kemungkinan akan menjadi pengalaman yang semakin imersif seiring perkembangan teknologi, mungkin meniru ruang sidang di kehidupan nyata. 
Artificial intelligence (AI) merupakan konsep tak berbentuk yang dikenal kurang baik. Dalam istilah yang paling sederhana, AI mengacu pada komputer yang melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh pikiran. Mesin AI ditujukan mendekati beberapa aspek kognisi manusia—berperilaku dengan cara yang akan disebut cerdas jika manusia berperilaku dengan cara yang sama. Banyak peneliti AI berpendapat bahwa tujuannya untuk mengembangkan kecerdasan yang memperbaiki dan meningkatkan kapasitas otak manusia.
Pakar teknologi berbicara tentang gelombang AI yang berbeda: sistem AI gelombang pertama dan gelombang kedua. AI gelombang pertama mengacu pada sistem berbasis aturan yang telah diprogram sebelumnya oleh manusia dengan pohon keputusan atau diagram alir yang kompleks untuk melakukan tugas tertentu. Sistem AI gelombang pertama didikte oleh input manusia menuju sejumlah hasil yang sesuai. AI gelombang kedua mengacu pada sistem yang belajar dari sejumlah besar data, dan mengembangkan serta meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya. Sementara sistem AI gelombang pertama bergantung sepenuhnya pada seperangkat aturan terbatas yang diprogram oleh manusia, sistem AI gelombang kedua berkapasitas untuk menggunakan dan menganalisis data dengan hak mereka sendiri. Kendati demikian, mereka tak menalar atau memproses informasi dengan cara yang sama seperti manusia. Sebaliknya, mereka mengandalkan pembelajaran mesin.

Pertanyaan dapat atau haruskah komputer menggantikan hakim manusia, telah dipertanyakan selama beberapa dekade. Namun, hanya dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih, prospek ini telah menjadi kemungkinan nyata, dan terkadang menjadi kenyataan. Bukan hanya hakim yang semakin mengandalkan sistem AI. Pengacara juga menggunakan sistem AI yang menganalisis data pada kasus masa lalu guna menganalisis dan memprediksi kemungkinan hasil dalam kasus yang akan datang. Teknologi ini telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kebangkitannya sangat produktif, dengan pengacara litigasi terkemuka menyarankan bahwa bahkan dapat dianggap malpraktek bila tidak menggunakan teknologi ini dalam waktu yang tak terlalu lama.
Kembali ke fungsi yudisial, sistem AI semakin umum di ruang sidang, dan jangkauannya benar-benar global. Sejauh ini, sebagian besar sistem dirancang untuk membantu, bukan menggantikan hakim manusia, melayani fungsi yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Misalnya, beberapa sistem AI menyusun dan menyajikan informasi tentang para pihak dan beberapa menghitung dan menyarankan hukuman bagi penjahat yang dihukum berdasarkan informasi tentang suatu kasus. Sistem lain bertindak dalam peran pengawasan, menandai hakim manusia ketika penilaian yang mereka usulkan tak biasa atau tak sesuai dengan tren dari data kasus sebelumnya.

Sebagai contoh, pada Februari 2020, pengadilan Malaysia untuk pertama kalinya menggunakan sistem AI yang merekomendasikan putusan hukuman dalam dua kasus kepemilikan narkoba, dengan menganalisis tren putusan dari kasus serupa yang diputuskan antara tahun 2014 dan 2019.
Para hakim mempertahankan keleluasaan menggunakan rekomendasi sistem AI atau tidak. Peradilan Malaysia sekarang menggunakan sistem untuk merekomendasikan keputusan hukuman bagi kasus kepemilikan narkoba dan pemerkosaan, dan diperkirakan akan segera diluncurkan untuk memberikan ganti rugi dalam kasus cedera pribadi kecelakaan lalu lintas jalan.
Pada tahun 2017, hakim Ohio mulai menggunakan sistem AI khusus untuk mengumpulkan informasi guna menyelesaikan kasus pengadilan remaja. Sistem ini menyediakan ringkasan situasi anak, informasi tentang situasi pendidikan mereka, pengaturan hidup mereka dan sejarah penggunaan obat dan medis mereka. Diperkirakan bahwa seiring waktu, karena sistem AI ini mempelajari lebih banyak kasus dan hasil kasus, ia akan dapat menyarankan keputusan dalam kasus selanjutnya.
Sistem AI yang dirancang membantu para hakim telah diintegrasikan ke banyak pengadilan China dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, dalam upaya meningkatkan konsistensi pengambilan keputusan, hakim sekarang dibantu oleh sistem AI yang memberikan hakim 'peringatan penilaian yang tidak normal' jika keputusan mereka bertentangan dengan keputusan serupa lainnya dalam database.
Di Meksiko, sistem 'Expertius' menyarankan hakim dan panitera tentang apakah penggugat memenuhi syarat atau tidak untuk pensiun.

Sekarang kembali ke pertanyaan, aktor politikkah para hakim itu? Menurut Keith Bybee, sebuah penelitian di Negeri Paman Sam menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya, tampak percaya bahwa semua hakim itu, aktor politik—kecuali saat mereka tidak. Sudut pandang yang ambivalen ini, menimbulkan kecurigaan bahwa hakim seringkali tak bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka ucapkan; dan kecurigaan ini, pada gilirannya, mengancam akan mengikis kepercayaan publik terhadap otoritas pengadilan dan menggerogoti kedudukan pengadilan sebagai arbiter yang tak memihak atas perselisihan individu.

Para hakim, tentu saja, manusia, kata Brian Barry. Mereka aktor sosial dan aktor politik. Mereka didorong dan ditarik oleh kekuatan internal dan eksternal. Kekuatan psikologis. Kekuatan emosional. Kekuatan kelembagaan. Kekuatan politik. Kekuatan yang mementingkan diri sendiri sebagai profesional. Bias implisit. Prasangka eksplisit.
Seringkali, para hakim secara mengagumkan melawan, atau setidaknya berusaha melawan beberapa konsekuensi berbahaya dari kekuatan-kekuatan ini. Mengingat standar tinggi yang diharapkan dari mereka, para hakim bercita-cita melakukan tugas kehakiman semata dalam empat sudut hukum yang berlaku  [the four corners rule contract law, juga dikenal sebagai the patrol evidence rule, menetapkan bahwa jika dua pihak membuat perjanjian tertulis, mereka tak dapat menggunakan perjanjian lisan atau tersirat di pengadilan agar bertentangan dengan ketentuan perjanjian tertulis. Istilah 'four corners' (empat sudut) mengacu pada empat sudut sebuah dokumen]. Terkadang, para hakim mungkin menganggap benar dan perlu bahwa untuk 'menunaikan keadilan'—sebuah gagasan yang licin dan tak berbentuk—mereka harus mengakui dan tunduk pada perhatian manusia, sosial atau politik yang sensitif, yang menuntun mereka menuju apa yang mereka anggap sebagai hasil peradilan yang lebih baik dan lebih patut. Dan kemudian, ada alasan lain ketika hakim secara sadar atau tidak sadar, menyerah pada konsekuensi negatif dari beberapa kekuatan internal dan eksternal yang tadi telah disebutkan. Wallahu a'lam."

Walau ia tak buta, tapi mengapa Lady Justice menutupi matanya? Namun, Rembulan harus pergi, dan ia berlalu sembari menjawabnya dengan melantunkan,

I can turn it on, be a good machine
[Aku bisa menyalakannya, menjadi mesin yang baik]
I can hold the weight of worlds, if that's what you need
[Aku dapat menanggung beban dunia, jika itu yang engkau perlukan]
Be your everything
[Menjadi segalamu]

I can do it, I can do it, I'll get through it
[Aku bisa melakukannya, aku bisa melakukannya, aku bakalan bisa melaluinya]

But I'm only human and I bleed when I fall down
[Namun aku cuma manusia dan aku berdarah bila kuterjatuh]
I'm only human *)
[Aku hanyalah manusia]
Kutipan & Rujukan:
- Brian M. Barry, How Judges Judge: Empirical Insights Into Judicial Decision Making, 2021, Informa Law
- Keith Bybee, All Judges Are Political—Except When They Are Not: Acceptable Hypocrisies and the Rule of Law, 2010, Stanford University Press
- Richard A. Posner, How Judges Think, 2008, Harvard University Press
- Cass R. Sunstein, [et al.], Are judges political? : An Empirical Analysis of the Federal Judiciary, 2006, The Brookings Institution
*) "Human" karya Martin Johnson & Christina Perri