'Kapten,' serunya seraya memberi hormat, 'kita baru aja nerima surat penting dari pos terdepan, yang ada di gurun. Isi suratnya menyebutkan bahwa mereka butuh banget air.''Pasokan air bakalan tiba di sana dalam beberapa hari. Mereka bisa nunggu kok,' sahut sang kapten.'Tapi pak, keknya cukup mengkhawatirkan,' jawab sang letnan. 'Soalnya, perangko di amplop suratnya, cuma dijepit dengan paper klip, gak di tempelin,'" Wulansari memulai lagi."Yuk kita lanjut," kata Wulansari. "Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, moralitas mengacu pada keyakinan tentang benar dan salah, baik dan buruk—keyakinan yang dapat mencakup pertimbangan, nilai-nilai, aturan, prinsip, dan teori. Keyakinan ini, membantu memandu tindakan kita, menentukan nilai-nilai kita, dan memberi kita alasan agar kita menjadi yang sebagaimana mestinya. Etika, kemudian, menjawab pertanyaan kuat yang dirumuskan Socrates lebih dari dua ribu empat ratus tahun yang lalu: Bagaimana seharusnya kita hidup?Relevansi lanjutan dari pertanyaan ini, menunjukkan sesuatu yang menarik tentang etika: engkau tak dapat menghindarinya. Engkau tak dapat menjauhkan diri dari semua pilihan, perasaan, dan tindakan, yang menyertai gagasan tentang benar dan salah, baik dan buruk—gagasan yang bertahan dalam budaya dan pikiranmu. Lagi pula, bagi sebagian besar hidupmu, engkau telah mengasimilasi, memodifikasi, atau menolak norma etika yang engkau warisi dari keluarga, komunitas, dan masyarakatmu. Kecuali jika engkau sangat tak terbiasa, dari waktu ke waktu engkau mempertimbangkan tentang benar atau salahnya tindakan, merangkul atau menolak prinsip atau kode moral tertentu, menilai kebaikan karakter atau niatmu (atau niat orang lain), bahkan mungkin mempertanyakan (dan mengkhawatirkan tentang) kesehatan pandangan moralmu sendiri dikala bertentangan dengan orang lain. Dengan kata lain, engkau berperan dalam etika—engkau melakukan etika—sepanjang hidupmu. Bahkan jika engkau berupaya melepaskan diri dari ranah etika dengan bersikukuh bahwa segala konsep etika, tak relevan atau kosong, engkau punya pandangan tertentu—sebuah teori dalam arti luas—tentang moralitas dan tempatnya dalam hidupmu. Jika pada titik tertentu engkau cukup berani secara intelektual mempertanyakan bertumpukah keyakinan moralmu pada pertimbangan pendukung yang koheren, engkau akan melihat bahwa engkau bahkan tak dapat mulai memilah pertimbangan seperti itu tanpa—sekali lagi—melakukan etika. Bagaimanapun, dalam hidupmu, engkau harus berurusan dengan bagian dunia lainnya, yang memicu konflik dan resolusi moral, keputusan dan debat moral.Dalam pelayanan publik, ada hierarki yang berhubungan dengan berbagai tingkatan etika, masing-masing punya tanggung jawabnya sendiri dan kemungkinan kompleksitasnya sendiri. Pertama-tama, moralitas pribadi, atau konsep individu tentang benar dan salah. Hal ini dibentuk sebagai dasar didikan dan lingkungan. Kedua, etika profesi. Biasanya dikodifikasikan dalam organisasi atau asosiasi profesional yang berkaitan dengan organisasi atau posisi. Tingkat ketiga, organisasi. Dapat mencakup kebijakan dan prosedur tertulis yang mendikte harapan organisasi, yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan perilaku etis. Terakhir, ada etika sosial. Biasanya diberlakukan sebagai hukum masyarakat dan dapat pula menjadi bagian dari nurani sosial seseorang.Sejarah telah menunjukkan bahwa sebagian besar peradaban telah diruntuhkan dari kekuatan internal, bukan dari kekuatan eksternal. Korporasi, agensi, dan organisasi, tak luput dari nasib yang sama. Keserakahan, kekuasaan, persaingan, dan materialisme, hanyalah beberapa alasan di balik keruntuhan internal. Bidang pelayanan publik tak luput dari kebiasaan tersebut. Dunia tempat kita tinggal sering kali mengecewakan secara moral. Dalam banyak kasus, hal ini sering terjadi karena kurangnya etika dalam bidang kepemimpinan.Seseorang menjadi pemimpin sebagai hasil dari berbagai kemungkinan dan berbagai alasan. Ada yang dibina. Ada yang punya kualitas yang sesuai menjadi pemimpin yang efektif. Ada yang memperoleh kepemimpinan melalui kekuatan, kekayaan, sosial, atau koneksi politik. Namun, yang lain menjadi pemimpin karena keadaan atau waktu. Namun, terlepas dari alasan seseorang menemukan dirinya dalam peran kepemimpinan, ia tak dapat menjadi pemimpin tanpa pula memiliki orang-orang yang rela menjadi pengikutnya. Kepemimpinan bukanlah seseorang atau posisi. Ia hubungan moral yang kompleks antara orang-orang berdasarkan kepercayaan, kewajiban, komitmen, emosi, dan visi tujuan bersama. Pemimpin hendaknya mempertimbangkan banyak masalah dan perhatian dalam membuat keputusan etis secara konsisten dan dalam mengembangkan kode perilaku etis bagi organisasi mereka. Peran pemimpin inilah yang menetapkan contoh perilaku etis yang jelas dan seragam, serta mengartikulasikan harapan dan tujuan tertentu, sehingga perilaku etis menjadi tema integral organisasi.Kepemimpinan itu, topik yang sama rumitnya dengan etika, maka tatkala seseorang berhenti menggabungkan keduanya, hasilnya, bisa sangat menakutkan. Richard Brookhiser melukiskan kepemimpinan sebagai 'mengenal diri sendiri, mengetahui kemana engkau hendak pergi, dan kemudian membawa orang lain ke tempat baru itu.' Ada banyak gaya kepemimpinan yang digunakan menyelesaikan tugas yang menakutkan ini. Salah satu caranya, dengan memfokuskan analisis pada persamaan tujuan/sarana/konsekuensi yang disarankan oleh Brookhiser. Ini mengarah pada tiga pertanyaan utama: Apa tujuannya? Sarana apa yang akan kita gunakan agar sampai ke sana? Jenis pengorbanan dan kompromi apa yang seyogyanya dilakukan di sepanjang jalan?Etika terletak di jantung seluruh hubungan manusia dan, karenanya, di jantung hubungan antara para pemimpin dan pengikutnya. Sepanjang sejarah, pemimpin yang sukses itu, mereka yang beroleh kepercayaan dari orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, untuk memimpin. Ada banyak perdebatan tentang bagaimana 'kepercayaan' didefinisikan; namun, terlepas dari ketidaksepakatan ini, sebagian besar individu sangat menyadari kapan kepercayaan ada, dan kapan tidak. Kepercayaan merupakan hasil dari komunikasi yang tepat dan kejelasan tujuan dalam suatu organisasi. Kepercayaan itu, keyakinan dan ketergantungan pada individu, organisasi, atau objek. Termasuk memiliki kepercayaan pada kekuatan dan integritas yang sama. Melalui pembentukan kepercayaan dalam suatu organisasi dan jika mampu menjaga kepercayaan tersebut, pemimpin akan dapat memberikan bimbingan yang efektif dan berfungsi pada pengembangan organisasi yang tepat. Seperti hubungan pribadi, landasan kepercayaan yang tepat berfungsi mendukung organisasi melalui masa-masa sulit dan memungkinkan kepemimpinan waktu dan kemampuan guna menemukan dan mengimplementasikan solusi yang akan membantu organisasi dalam mengatasi tantangan dan hambatan kala mereka muncul.Warren Bennis dan Joan Goldsmith menyebutkan kualitas kepemimpinan yang merupakan bagian integral dari menumbuhkan kepercayaan. Kualitas yang mereka sebutkan adalah:Visi. Pemimpin yang sukses itu, mereka yang menginspirasi dan menciptakan visi. Visi kepemimpinan berfungsi memberikan landasan bagi tujuan organisasi dan menimbulkan kepercayaan, yang dapat memungkinkan pengikut mengembangkan identitas pribadi dan merasa memiliki visi dan pembuatannya. Pemimpin melibatkan kita dalam visi, memberdayakan kita agar membuatnya, dan mengomunikasikan visi bersama sehingga kita mengintegrasikannya ke dalam hidup kita.Empati. Pemimpin yang berempati tanpa syarat bagi mereka yang bekerja di dalam organisasi, akan muncul sebagai yang tersukses. Meskipun pendapat mereka mungkin sangat berbeda dari yang bekerja bagi mereka, kepercayaan dibangun ketika karyawan percaya bahwa seorang pemimpin memahami pandangan mereka dan dapat memahami dari mana mereka berasal.Konsistensi. Seorang pemimpin yang mempertahankan tingkat konsistensi sehubungan dengan pendiriannya pada topik, visinya, gaya kepemimpinannya, dan penempatan organisasinya, akan dipercaya dan muncul sebagai orang yang berhasil. Meskipun konsisten, pemimpin yang sukses, juga akan mau mempertimbangkan bukti dan kejadian baru saat membuat keputusan organisasi.Integritas. Seorang pemimpin yang menjaga integritas yang tak dipertanyakan lagi, akan memiliki kepercayaan dari karyawan dan rekan kerja. Ketika seorang pemimpin mengambil sikap pada topik, berdasarkan standar moralnya, dan tindakan ini dapat diamati oleh mereka yang bekerja dengan dan bagi sang pemimpin, ia akan memperoleh kepercayaan mereka. Pemimpin yang sama ini, hendaknya siap pula meminta pertanggungjawaban orang lain atas tindakan dan keputusan mereka, berdasarkan standar etika yang ditetapkan dan dipatuhi oleh sang pemimpin.Seperti yang biasa disaksikan dalam olahraga, motivasi berasal dari kepemimpinan. Nilai-nilai kepemimpinan dan motivasi suatu organisasi hendaknya dimulai dari atas, jika ingin menemukan jalannya ke bawah. Jika perilaku etis organisasi dipertanyakan, atau ada kebutuhan bagi perubahan, maka penetapan, atau modifikasi, kode etik organisasi mungkin diperlukan.Kode etik (terkadang disebut code of ethics atau ethical code) merupakan kumpulan pedoman institusional yang digunakan untuk mengurangi ketidakjelasan etika dalam suatu organisasi dan berfungsi sebagai sarana memperkuat perilaku etis.Kepemimpinan organisasi menetapkan kode-kode ini berdasarkan nilai-nilai moral. Kode etik tipikal berisi harapan umum dan nonspesifik serta panduan target yang berupaya mengurangi ketidakjelasan dan, dengan demikian, mengurangi beban pengambilan keputusan etis terkait dengan area abu-abu. Kode etik dikembangkan tak semata berdasarkan pengalaman organisasi atau individu di masa lalu, melainkan pula berdasarkan perbuatan yang ingin dicegah oleh organisasi agar tak pernah terjadi.Menurut Robin Bowen, kode etik punya dua tujuan utama. Pertama, memberikan pedoman moral dan standar perilaku profesional. Kode profesional membuat orang bertanggungjawab atas kinerja yang tepat dan pengabdian pada kejujuran dan kewajiban. Tujuan keduanya, mendefinisikan perilaku profesional mempromosikan rasa kebanggaan, toleransi, dan tanggungjawab di kalangan profesional.Kode etik biasanya berfungsi sebagai dasar tindakan disipliner yang berkaitan dengan pelanggaran etika. Seringkali kode etik dapat memasukkan harapan pribadi yang secara signifikan melampaui apa yang diharapkan secara hukum dari karyawan. Ini mungkin termasuk hal-hal seperti moralitas, kejujuran, dan kebenaran. Kode etik yang ditulis dengan baik, seharusnya mencegah orang melakukan tindakan tidak etis, dan seyogyanya memasukkan prosedur disiplin serta konsekuensi atas tindakan tidak etis.Perilaku etis merupakan dasar dari setiap organisasi profesional. Dalam penegakan hukum, mungkin baik bila banyak kursus yang membahas tentang etika, namun mereka tak memiliki pengetahuan tentang ideologi etis dari petugas polisi yang diajarkan. Berbagai divisi dalam suatu departemen, bisa jadi, memerlukan kerangka etika yang berbeda, sebab unit tempat petugas ditugaskan. Petugas patroli punya kebutuhan yang berbeda dengan petugas narkotika, petugas sumber daya sekolah, petugas lalu lintas, atau petugas senjata dan taktik khusus. Hal ini membuat 'toko serba ada' pelatihan etika menjadi tak praktis atau efisien.Kerapkali, saat etika dibahas karena berkaitan dengan sistem peradilan pidana, penekanan biasanya ditempatkan pada penegakan hukum, sistem peradilan, koreksi, dan pembebasan bersyarat. Namun, hukum adalah titik awal bagi masing-masing dan dengan demikian, pembuat undang-undanglah orang yang bertanggung jawab atas pembentukan hukum.Kewajiban utama pembuat undang-undang adalah representasi dari orang-orang atau masyarakat yang secara bersama-sama mengangkat pejabat tersebut. Representasi legislatif merupakan tugas dua bagian, dimana individu ditugaskan mewakili dan membuat undang-undang. Masing-masing memiliki isu yang relevan terkait dengan etika. Sepanjang setiap tugas, representasi, dan legislasi, seorang legislator hnedaklah berkomunikasi dengan konstituennya, sehingga sang legislator dapat mewakili kepentingan terbaik masyarakat. Komunikasi yang tepat dengan konstituen, termasuk menyampaikan dan mendidik mereka tentang ruang lingkup konstitusional dan batasan hak dan tanggung jawab legislatif. Komunikasi yang tepat, berarti pula menyampaikan dan mendidik mereka sehubungan dengan undang-undang yang tertunda, misalnya, bagaimana undang-undang yang tertunda akan disusun dan apa dampaknya, jika ada, terhadap masyarakat. Terakhir, kewajiban bagi legislatorlah, memberikan konstituen dan anggota masyarakat akses ke waktu legislator sehingga mereka dapat mengungkapkan keprihatinannya dan mengakses informasi yang mereka perlukan guna mendapatkan informasi yang benar.Apa gunanya etika—studi tentang moralitas? Jika engkau berharap etika menambah gajimu, menjual produk, atau mendapatkan pekerjaan baru, engkau mungkin harus mencarinya di tempat lain. Namun, itu bukan berarti bahwa etika tak punya nilai praktis. Etika berkaitan dengan hal-hal praktis yang sangat penting, termasuk banyak perjuangan masyarakat kita dengan: pertanyaan tentang rekayasa genetika, serangan drone, penimbunan dan penggunaan senjata pemusnah massal, perpajakan yang adil, dana kampanye, dan sejumlah masalah keadilan sosial. Bukan kebetulan bahwa teori etika sering memimpin garda depan dalam mencapai reformasi moral. Misalnya, kaum utilitarian abad ke-19 dengan sengaja merumuskan teori mereka guna mengoreksi pelanggaran dalam sistem peradilan pidana pada masanya.Moralitas dan etika berdampak pada kehidupan pribadi kita—setiap kali kita marah pada pengemudi lain, disakiti oleh seseorang, berkomitmen kepada teman, atau menandatangani dokumen. Keduanya memiliki kepraktisan hidup semacam ini karena memperlihatkan ketegangan antara apa yang ada dan apa yang seharusnya, ketegangan yang kita hadapi setiap hari. Mempelajari etika dapat membantu kita dalam menghadapi ketegangan ini, dengan membantu kita lebih memahami apa yang membedakan benar dan salah, bagaimana memikirkan masalah moral, dan bagaimana mengatasi, antara lain, konflik moral.Lebih mendalam lagi, moralitas dan etika berhubungan dengan tanggungjawab terpenting yang kita masing-masing miliki dalam hidup: pembentukan diri kita sendiri. Setiap pilihan yang kita buat, berkontribusi menghasilkan kepribadian moral yang akan menentukan kita di saat berikutnya. Seperti yang ditekankan oleh para eksistensialis abad ke-20, kekuatan pilihan ini—khususnya pilihan moral—merupakan tanggungjawab yang luar biasa.Namun etika tak semata penting untuk menangani masalah sosial utama. Studi tentang moralitas penting karena moralitas itu sendiri penting. Tanpa moralitas fungsional, masyarakat bahkan takkan menjadi mungkin. Bayangkan bila tiada yang peduli tentang kewajiban moral kejujuran. Bisnis dan pemerintah akan rontok karena tak ada kesepakatan yang dapat diandalkan. Pendidikan dan berita akan menjadi sia-sia karena keakuratannya tak dapat dipercaya. Sains akan kemana-mana hanya sekedar sebagai 'politik' dan pendapat. Bahkan keluarga dan persahabatan akan menderita, karena semua ini, menuntut kita agar saling jujur.Bukan hanya para ekonom dihadapkan pada masalah 'problem of choice'—the scarcity—namun pula, dalam hal moralitas. Lantas, apa dong tujuan moralitas? Buat apa moralitas? Rupanya, ia punya banyak tujuan. Termasuk memungkinkan kita mencapai tujuan kita dengan cara yang dapat diterima secara sosial, memungkinkan kita menyelesaikan konflik kepentingan secara patut, mengembangkan karakter positif tertentu, meningkatkan kebahagiaan manusia, memungkinkan masyarakat agar bertahan hidup. Semua ini, soal pilihan, yang tentunya dimotori oleh 'critical thinking' guna menemukan solusi terbaik.Engkau kiranya dapat memikirkan orang lain, memperlakukan mereka sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai alat demi mencapai tujuan. Kita berkewajiban memperlakukan orang lain dengan benar; bukan memanfaatkan keadaan alias aji mumpung.""Akhirnya," Wulansari hendak berangkat, "coba pikirkan lagi cerita kita tentang wong ndeso dan angsanya. Bayangkan jika sang angsa mewakili orang yang disayanginya, saat etika mengingatkannya, ia hanya bisa bengong, takut dan nyesel, seraya bersenandung,So I walk into the dead of night where my monsters like to hide[Maka ku melangkah ke malam gulita dimana monsterku suka bersembunyi]Chaos feels so good inside, no more[Sengkarut terasa begitu nyaman di dalam, tak lebih]I lost, I lost, I lost control again[Ku lepas, ku lepas, ku lepas kendali lagi]Always do the same and I'm to blame[Kerap berbuat yang sama dan akulah yang salah]I lost control again[Ku lepas kendali lagi]I don't, I don't, I don't know who I am[Ku tak, ku tak, ku tak kenali siapa diriku]Always do the same and I'm to blame[Kerap berbuat yang sama dan akulah yang salah]I lost control again *)[Ku lepas kendali lagi]Lalu Wulansari menyimpulkan dengan, "Wallahu a'lam."
Kutipan & Rujukan:
- Aric W. Dutelle & Randy S. Taylor, Ethics for the Public Service Professional, 2018, CRC Press
- Lewis Vaughn, Beginning Ethics : An Introduction to Moral Philosophy, 2015, W. W. Norton & Company, Inc
- Louis P. Pojman, The Moral Life: An Introductory Reader in Ethics and Literature, 2000, Oxford University Press
- Richard Burnor & Yvonne Raley, Ethical Choices: An Introduction to Moral Philosophy with Cases, 2018, Oxford University Press
*) "Lost Control" karya Alan Walker / Anders Froen / Fredrik Borch Olsen / Magnus Martinsen / Sorana Paula Pacurar / Thomas Troelsen