Senin, 12 Juni 2023

Berhutang, dalam Karya Drama Shakespeare (2)

"Seorang dosen berkata kepada mahasiswanya, 'Teorema Gaji Dilbert menyatakan bahwa para insinyur dan ilmuwan takkan pernah mendapatkan penghasilan sebanyak para penata-usaha dan tenaga penjualan. Bagaimana membuktikannya? Katakanlah: Postulat 1: Pengetahuan adalah Daya. Postulat 2: Waktu adalah Uang.
Seperti yang diketahui setiap insinyur: Daya = Kerja / Waktu. Dan karena Pengetahuan = Daya; dan Waktu = Uang, maka boleh jadi benar bahwa Pengetahuan = Kerja / Uang.
Pemecahan untuk Uang, kita mendapatkan: Uang = Kerja / Pengetahuan. Jadi, saat Pengetahuan mendekati nol, Uang mendekati tak terhingga, terlepas dari jumlah Kerja yang dilakukan.
Kesimpulannya: semakin sedikit yang engkau tahu, semakin banyak yang engkau hasilkan," jelas sang dosen.
'Makanya, banyak pegawai yang tak kompeten, diangkat jadi manajer,' kata salah seorang mahasiswa.
'Dan aku tak 'subscribe & like' ide semacam itu,' sang dosen menimpali."

Rembulan melanjutkan, "Sekarang, pertanyaannya, apa latar belakang masalah Hutang dan Riba dalam the Merchant of Venice? Seperti orang-orang sezamannya, Shakespeare meminjam dengan bebas dari karya-karya yang dikenal sebelumnya bagi plot, karakter, dan temanya, kata Halio. Sumber utama Shakespeare untuk The Merchant of Venice ialah novel Italia abad keenam belas, Il Pecorone (The Dunce) oleh Giovanni Fiorentino.
Perhatian tentang cara kerja keuangan dari berbagai profesi karakter menawarkan konteks lain untuk mengevaluasi aksi drama tersebut. Sementara dunia seorang saudagar Venesia dapat dibayangkan diantara kekayaan, status, dan perjalanan eksotis, Salerio dan Solanio mengimbangi fantasi kemakmuran dan kekuasaan ini dengan yang lain, menentang fantasi kehidupan para saudagar sebagai sesuatu yang penuh dengan kecemasan dan ketekunan.
Adapun riba, meminjamkan uang dengan bunga, mengamuk di seluruh Eropa modern awal dan sangat akut semasa Renaisans. Riba dianggap tidak Kristiani, dan sejauh Gereja menggunakan pengaruh dan kekuatannya yang besar, riba dilarang selama berabad-abad, sampai kebangkitan perusahaan kapitalistik selama Renaisans Kontinental, merasakan perlunya pinjaman berbunga guna mendorong perdagangan dan perusahaan bisnis lainnya. Para bankir Italia, seperti kaum Medici di Italia, berada di garis depan dari mereka yang bersikukuh pada praktik riba yang diperlukan untuk ekspansi bisnis. Oleh sebab itu, mereka bekerja keras agar dapat menguasai pemerintahan Paus, kapan pun memungkinkan, dan mematahkan hukum yang melarang riba. Yang lain, secara alami mengikuti sampai praktik riba menyebar luas di Eropa, tak hanya di kalangan orang Yahudi, yang tak boleh memiliki tanah (yang mendasari kekayaan di Abad Pertengahan), tetapi juga di kalangan orang Kristen. Periode tahun 1300-1700 dikenal dengan pertumbuhan industri perbankan dan perluasan perdagangan karena pasar baru ditemukan, terutama di India dan seluruh Asia, selama zaman eksplorasi ini.

Di zaman Renaisans, banyak kontroversi tentang riba yang berpusat pada interpretasi Naskah Aksara Suci, larangan terhadap jenis riba tertentu diatur dalam beberapa kitab dalam Bible, tetapi pembicaraan tentang masalah ini, sebenarnya sudah ada sejak Plato dan Aristoteles. St Thomas Aquinas (1224 atau 1225-1274) menentang keras segala jenis riba: membayar bunga pinjaman, katanya, dilarang, dan ia mnghadirkan alasan-alasannya. Akan tetapi, perubahan keadaan ekonomi pada zaman Renaisans, yang menunjukkan kebangkitan perbankan di Italia dan di seluruh Eropa lainnya, memerlukan penetapan riba yang berbeda, pendefinisian yang akan menyetujui, setidaknya, beberapa jenis pinjaman uang dengan bunga. Masalah utama menjadi hajat: untuk apa uang itu dipinjam dan dalam keadaan apa uang itu dipinjam. Sementara beberapa cendekiawan dan teolog berpendapat bahwa bunga apa pun sama dengan riba, yang lain menemukan jalan keluar dari larangan dari Bible. Misalnya, kemitraan yang melibatkan investasi bagi keuntungan potensial, diperbolehkan. Masalahnya kemudian, risiko. Jika ada risiko, investor dapat mengharapkan kompensasi. Hal ini berbeda dengan pinjaman kontraktual yang besarnya bunga, ditetapkan untuk jangka waktu tertentu, yang sebesar riba.
Para reformis Protestan tak semuanya satu pikiran, sama tidaknya dengan Katolik. Sedangkan Luther menerima pandangan ortodoks bahwa riba itu dosa, sejumlah pengikutnya tidak. Jakob Strauss, misalnya, salah seorang reformis yang lebih radikal, mempertahankan, bertentangan dengan Luther, bahwa hukum Perjanjian Lama tak mengikat orang Kristen. Melancthon, juga, pengikut Luther lainnya, tak sekonservatif mentornya. Namun baik Luther maupun Melancthon berpendapat bahwa otoritas sekuler dapat mengatur rente bagi kebaikan masyarakat. Calvin bergerak semakin jauh, begitu pula teolog Prancis, Charles du Moulin, yang argumennya telah diantisipasi sejak tahun 1530 oleh Heinrich Bullinger. Dalam keadaan tertentu, menurut mereka, meminjamkan dengan rente diperbolehkan, misalnya, ketika melibatkan pinjaman jangka panjang dengan tingkat bunga yang wajar (tak lebih dari 5 persen). Keduanya membela pinjaman kepada orang miskin tanpa bunga, meskipun pinjaman kepada orang kaya diperbolehkan ketika tak melibatkan pemerasan atau cedera apapun. Hal yang penting ialah mematuhi the Golden Rule, 'Lakukan kepada orang lain, sebagaimana engkau akan diperlakukan olehnya.'

Di Inggris, pada abad keenam belas, pandangan yang berbeda ini diperdebatkan dengan sengit, menjadi isu utama pada pertengahan abad ketika Parlemen mempertimbangkan RUU yang membatasi pinjaman dengan bunga 10 persen. Martin Bucer, tokoh utama dalam debat tersebut, berpendapat bahwa tak semua riba itu dosa. Motivasi pinjaman sangat penting dalam menentukan antara pinjaman berbunga yang sah dan tidak sah. Yang juga penting bukanlah bunga itu sendiri, melainkan jumlah bunga dan penggunaan pinjaman itu. Tanpa pinjaman dengan bunga, banyak perusahaan yang sah tak dapat maju, seperti perdagangan dan pertanian. Jadi Bucer merekonsiliasi teologi dan perdagangan, mencatat perbedaan penting, seperti yang dikatakan Calvin, antara istilah Ibrani yang digunakan dalam Naskah Aksara Suci: nesheck, 'menggigit riba,' yang melukai sesama, dan tarhith, mengambil bunga yang sah, yang tak merugikan siapa pun.
Larangan total terhadap riba, disahkan pada masa pemerintahan Edward VI pada tahun 1552, lebih berbahaya daripada kebaikan, dalam istilah praktis, karena menaikkan harga uang dan sangat melumpuhkan pedagang Inggris yang terlibat dalam perdagangan dengan negara lain. Selain itu, untuk mendorong ketekunan, seseorang harus berpegang pada motif keuntungan. Argumen yang muncul adalah bahwa negara harus mengatur tingkat bunga, menyerahkannya kepada Tuhan, Yang mengetahui rahasia hati manusia, untuk menentukan motivasi dan moralitas pemberi pinjaman. Lord Burghley, Bendahara Inggris di bawah Elizabeth I, mempelajari semua aspek masalah, baik agama maupun pragmatis, dan akhirnya menetapkan bahwa efek berbahaya dari riba sedemikian rupa sehingga memerlukan regulasi peminjaman uang; dengan demikian, ia mendukung undang-undang tahun 1571, yang mentolerir pinjaman dengan bunga tanpa sanksi riba itu sendiri.
Menurut Jones, pihak-pihak yang berseberangan dapat setuju bahwa riba itu, salah, dan berdampak buruk pada masyarakat, tetapi mereka tak sepakat dengan tepat, apa itu riba atau apa yang harus mereka lakukan. Mungkin efek yang paling merugikan, banyak yang percaya, adalah mobilitas sosial yang dipromosikan oleh riba (yaitu, kemampuan orang naik di atas kelas mereka dengan menghasilkan uang melalui riba). Mobilitas ini mengganggu hierarki sosial dan dapat mengarah pada anarki, karena para jentelmen (yang lahir dari kekayaan dan berhak memiliki senjata) direduksi menjadi kemiskinan oleh para rentenir, yang bangkit menggantikan mereka. Namun demikian, di seluruh Eropa, para pangeran menggunakan hukum perdata untuk mengatur riba, bukan menghapusnya. Setelah perdebatan sengit di kedua majelis Parlemen, sebuah undang-undang disepakati, yang pada dasarnya menghidupkan kembali undang-undang tahun 1545 di bawah Henry VIII, yang mengizinkan bunga tak lebih dari 10 persen, tetapi sekarang dibatasi dengan hati-hati oleh berbagai pembatasan dan penegakan yang ditingkatkan. Pelanggar menghadapi hukuman tiga kali lipat dari hutang pokoknya, misalnya, setengah pergi ke istana dan setengah lagi ke informannya. Undang-undang tersebut, yang diberi label 'Melawan Riba,' merupakan kompromi antara anggota Parlemen yang konservatif dan yang lebih liberal.

Dalam banyak peristiwa, kontroversi tentang riba, meski tak seganas beberapa dekade sebelumnya, masih menjadi masalah pada akhir abad keenam belas di Inggris, meskipun banyak Elizabethan, termasuk Shakespeare sendiri, terlibat dalam peminjaman uang atau komoditas lainnya. Kapitalisme berkembang pesat, menggantikan ekonomi feodal yang lebih tua. Jika butuh sedikit lebih lama agar tiba dan bertahan di Inggris, pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, bangsa itu menjadi pemimpin di antara bangsa-bangsa dalam perusahaan kapitalis.

Zaman yang dimulai dengan apa yang biasa kita sebut 'Zaman Eksplorasi' ditandai oleh begitu banyaknya hal yang benar-benar baru—kebangkitan ilmu pengetahuan modern, kapitalisme, humanisme, negara-bangsa—yang mungkin tampak aneh bagi kita. membingkainya hanya sebagai putaran lain dari siklus sejarah, kata David Graeber.
Eranya dimulai sekitar tahun 1450 dengan peralihan dari mata uang virtual dan ekonomi kredit dan kembali ke emas dan perak. Aliran emas batangan berikutnya dari Amerika mempercepat proses tersebut dengan sangat cepat, memicu “revolusi harga” di Eropa Barat yang menjungkirbalikkan masyarakat tradisional. Terlebih lagi, kembalinya emas batangan disertai dengan kembalinya berbagai kondisi lain yang, selama Abad Pertengahan, sebagian besar telah ditekan atau dijauhkan: kerajaan besar dan tentara profesional, perang pemangsa besar-besaran, riba yang tak terhalang, dan pekerjaan sewa hutang, melainkan pula filosofi materialis, ledakan baru kreativitas ilmiah dan filosofis—bahkan kembalinya perdagangan budak. Itu sama sekali bukan pertunjukan berulang yang sederhana. Semua potongan Zaman Aksial muncul kembali, tetapi bersatu dengan cara yang sama sekali berbeda.

Tahun 1400-an merupakan periode yang aneh dalam sejarah Eropa. Itulah abad bencana tanpa akhir: kota-kota besar secara teratur dihancurkan oleh Black Death; ekonomi komersial merosot dan di beberapa daerah runtuh seluruhnya; seluruh kota bangkrut, gagal membayar obligasi; kelas ksatria memperebutkan sisa-sisa, meninggalkan sebagian besar pedesaan hancur oleh perang endemik. Bahkan dalam istilah geopolitik Kekristenan, sangat mengejutkan, dengan Kekaisaran Ottoman tak hanya meraup apa yang tersisa dari Byzantium, tetapi terus mendorong ke Eropa tengah, kekuatannya berkembang di darat dan laut.
Pada saat yang sama, dari sudut pandang banyak petani biasa dan buruh kota, keadaan tak bisa jauh lebih baik. Salah satu efek buruk wabah pes, yang membunuh sekitar sepertiga tenaga kerja Eropa, ialah upah yang meningkat secara dramatis. Itu tak segera terjadi, namun sebagian besar oleh reaksi pertama pihak berwenang yang memberlakukan undang-undang pembekuan upah, atau bahkan berusaha mengikat petani bebas, kembali ke lahan lagi. Upaya semacam itu, ditanggapi dengan perlawanan yang kuat, yang berpuncak pada serangkaian pemberontakan rakyat di seluruh Eropa. Ini dipadamkan, tapi pihak berwenang juga dipaksa berkompromi. Tak lama kemudian, begitu banyak kekayaan mengalir ke tangan orang-orang biasa sehingga pemerintah harus mulai memperkenalkan undang-undang baru, yang melarang orang-orang rendahan mengenakan sutra dan bahan cerpelai, dan membatasi jumlah pesta hari raya, yang, di banyak kota dan paroki, mulai menghabiskan sampai sepertiga atau bahkan setengah tahun. Faktanya, abad ke-15 dianggap sebagai masa kejayaan kehidupan perayaan Abad Pertengahan, dengan kendaraan hias dan naganya, tiang kayu yang tinggi dengan hiasan warna-warni dan bir-putih gereja, mabuk-mabukan dan pesta-gila.
Selama berabad-abad berikutnya, semua ini, luluh-lantak. Di Inggris, kehidupan pesta secara sistematis diserang oleh para reformis Puritan; kemudian akhirnya, oleh para reformis di mana-mana, baik Katolik maupun Protestan. Pada saat yang sama, basis ekonominya, dalam kemakmuran rakyat, dilenyapkan.
Mengapa ini terjadi, telah menjadi bahan perdebatan sejarah yang intens selama berabad-abad. Ini yang kita tahu: dimulai dengan inflasi besar-besaran. Antara tahun 1500 dan 1650, misalnya, harga-harga di Inggris meningkat 500 persen, tetapi upah naik jauh lebih lambat, sehingga dalam lima generasi, upah riil turun menjadi mungkin 40 persen dari apa yang mereka miliki. Mengapa? Penjelasan favorit, sejak seorang pengacara Prancis bernama Jean Bodin pertama kali mengajukannya pada tahun 1568, yakni masuknya emas dan perak dalam jumlah besar, yang mengalir ke Eropa setelah penaklukan Dunia Baru. Saat nilai logam mulia anjlok, argumen berlanjut, harga segala sesuatu yang lain meroket, dan upah tak bisa mengimbangi.

Permasalahan dalam cerita konvensional ini, sangat sedikit emas dan perak yang bertahan lama di Eropa. Sebagian besar emas berakhir dalam kuil-kuil di India, dan sebagian besar emas batangan akhirnya dikirim ke Cina. Yang terakhir ini, krusial, lantaran berkaitan dengan bagaimana Cina meninggalkan penggunaan uang kertas.
Setelah orang-orang Mongol menaklukkan Cina pada tahun 1271, mereka mempertahankan sistem uang kertas, dan bahkan terkadang berusaha (yang biasanya membawa malapetaka) memperkenalkannya di bagian lain kerajaan mereka. Namun, pada tahun 1368, mereka digulingkan oleh pemberontakan rakyat besar Cina lainnya, dan seorang mantan pemimpin petani, sekali lagi, diangkat berkuasa.
Selama abad kekuasaan mereka, bangsa Mongol telah bekerja sama dengan pedagang asing, yang sangat dibenci. Sebagian akibatnya, mantan pemberontak, sekarang Dinasti Ming, curiga terhadap perdagangan dalam bentuk apa pun, dan mereka mempromosikan visi romantis tentang komunitas agraris yang mandiri. Ada konsekuensi yang tak menguntungkan. Untuk satu hal, itu berarti pemeliharaan sistem pajak Mongol kuno, dibayar dengan tenaga kerja dan barang; pada gilirannya, didasarkan pada sistem kuasi-kasta dimana subjek terdaftar sebagai petani, pengrajin, atau tentara dan dilarang berganti pekerjaan. Hal ini terbukti sangat tidak populer. Sementara investasi pemerintah di bidang pertanian, jalan, dan kanal memicu ledakan komersial, banyak dari perdagangan ini, secara teknis ilegal, dan pajak atas tanaman sangat tinggi sehingga banyak petani yang berhutang mulai meninggalkan tanah leluhur mereka.
Biasanya, populasi mengambang seperti itu, dapat diharapkan mencari apa saja kecuali pekerjaan industri biasa; di sini, seperti di Eropa, paling disukai kombinasi pekerjaan sambilan, berjualan, hiburan, pembajakan, atau bandit. Di Cina, banyak juga yang menjadi pencari bahan-bahan mineral. Ada serbuan perak kecil, dengan tambang ilegal bermunculan dimana-mana. Batangan perak tanpa koin, ketimbang uang kertas resmi dan untaian koin perunggu, segera menjadi uang riil ekonomi informal yang tak tercatat. Tatkala pemerintah berusaha menutup tambang ilegal pada tahun 1430-an dan 1440-an, upayanya memicu pemberontakan lokal, dimana para penambang, bekerja sama dengan petani yang terlantar, merebut kota-kota terdekat, dan terkadang mengancam seluruh provinsi.
Pada akhirnya, pemerintah menyerah, bahkan berusaha menekan ekonomi informal. Sebaliknya, mereka mengayunkan sepenuhnya ke arah lain: berhenti mengeluarkan uang kertas, melegalkan pertambangan, membolehkan emas batangan menjadi mata uang yang diakui untuk transaksi besar, dan bahkan memberi wewenang kepada percetakan swasta menghasilkan serangkaian uang tunai. Hal ini, pada gilirannya, memungkinkan pemerintah secara bertahap, meninggalkan sistem pungutan tenaga kerja dan mengganti sistem pajak yang seragam, yang harus dibayar dengan perak.
Secara efektif, pemerintah Cina telah kembali ke kebijakan lamanya guna mendorong pasar dan hanya campur tangan untuk mencegah konsentrasi modal yang tak semestinya. Ini dengan cepat terbukti sukses secara spektakuler, dan pasar Cina berkembang pesat.

Nah, sejak zaman Romawi, Eropa telah mengekspor emas dan perak ke Timur: masalahnya, bahwa Eropa tak pernah menghasilkan banyak barang yang hendak dibeli oleh orang-orang Asia, sehingga terpaksa membayar dalam mata uang, terhadap sutra, rempah-rempah, baja, dan impor lainnya. Tahun-tahun awal ekspansi Eropa sebagian besar merupakan upaya mendapatkan akses pada kemewahan Timur atau sumber baru emas dan perak guna membayarnya. Pada masa-masa awal itu, Eropa Atlantik benar-benar hanya mempunyai satu keunggulan substansial atas saingan Muslimnya: tradisi perang laut yang aktif dan maju, diasah oleh konflik selama berabad-abad di Mediterania. Momen ketika Vasco da Gama memasuki Samudra Hindia pada tahun 1498, prinsip bahwa laut harus menjadi zona perdagangan yang damai, seketika berakhir. Armada Portugis mulai membombardir dan menjarah setiap kota pelabuhan yang mereka temui, kemudian menguasai titik-titik strategis dan memeras uang perlindungan dari pedagang Samudra Hindia yang tak bersenjata agar hak menjalankan bisnis mereka, tak mengalami gangguan.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Christopher Columbus—seorang pembuat peta Genoa yang mencari jalan pintas ke Cina—menyentuh bumi  di Dunia Baru, dan kekaisaran Spanyol dan Portugis, dengan tak terduga, beroleh rejeki nomplok ekonomi terbesar dalam sejarah manusia: seluruh benua penuh dengan harta-karun yang tak terkira, yang penduduknya, hanya dipersenjatai dengan senjata Zaman Batu, segera mulai mati pelan-pelan, sejak kedatangan mereka. Penaklukan Meksiko dan Peru mengarah pada penemuan sumber logam mulia baru yang sangat besar, dan ini dieksploitasi dengan brutal dan sistematis, bahkan sampai memusnahkan populasi sekitarnya agar mengekstraksi logam mulia sebanyak dan secepat mungkin. 
Pada tahun 1540, kelebihan perak menyebabkan jatuhnya harga di seluruh Eropa; tambang Amerika, pada titik ini, berhenti berfungsi, dan seluruh proyek kolonisasi Amerika kandas, jika bukan karena permintaan dari Cina. Kapal galleon harta karun Spanyol, yang bergerak menuju Eropa segera menahan diri menurunkan muatan mereka, malahan mengitari tanduk Afrika dan melanjutkan perjalanan melintasi Samudra Hindia menuju Kanton. Setelah tahun 1571, dengan berdirinya kota Manila yang dikuasai Spanyol, mereka mulai bergerak langsung melintasi Pasifik. Pada akhir abad keenam belas, Cina mengimpor hampir lima puluh ton perak setahun, sekitar 90 persen peraknya, dan pada awal abad ketujuh belas, 116 ton, atau lebih dari 97 persen. Sutra, porselen, dan produk Cina lainnya dalam jumlah besar, harus diekspor untuk membayarnya. Banyak dari produk Cina ini, pada gilirannya, berakhir di kota-kota baru di Amerika Tengah dan Selatan. Perdagangan Asia ini, menjadi satu-satunya faktor terpenting dalam ekonomi global yang sedang berkembang, dan mereka yang pada akhirnya mengendalikan pengungkit keuangan—khususnya para bankir dagang Italia, Belanda, dan Jerman—menjadi tajir melintir.
Tapi bagaimana tepatnya ekonomi global yang baru ini, pada jamannya, menyebabkan runtuhnya standar hidup di Eropa? Jelas bukan dengan menyediakan logam mulia dalam jumlah besar untuk transaksi sehari-hari. Jika ada, efeknya malah sebaliknya. Sementara pembuatan uang-logam Eropa membasmi sejumlah besar rial, thaler, dukat, dan doubloon, yang menjadi media perdagangan baru dari Nikaragua ke Bengal, hampir tak ada yang masuk ke kantong rakyat jelata Eropa.
Kendati masuknya logam secara besar-besaran dari Amerika, sebagian besar rumah-tangga sangat kekurangan uang tunai sehingga mereka secara teratur terpaksa mencairkan perak milik keluarga untuk membayar pajak.
Lantaran pajak harus dibayar dengan logam. Sebaliknya, bisnis sehari-hari terus ditransaksikan seperti pada Abad Pertengahan, melalui berbagai bentuk uang kredit virtual: tally, surat promes, atau, dalam komunitas yang lebih kecil, hanya dengan melacak siapa berutang apa kepada siapa. Apa yang sebenarnya menyebabkan inflasi, ialah bahwa mereka yang pada akhirnya mengendalikan emas—pemerintah, bankir, pedagang skala besar—dapat menggunakan kendali itu untuk mulai mengubah aturan, pertama dengan bersikeras bahwa emas dan perak adalah uang, dan kedua. dengan memperkenalkan bentuk-bentuk baru uang kredit agar digunakan sendiri, sementara perlahan-lahan merusak dan menghancurkan sistem kepercayaan lokal yang telah memungkinkan komunitas skala kecil di seluruh Eropa agar beroperasi sebagian besar tanpa menggunakan mata uang logam.
Ini pertarungan politik, bahkan jika itu juga merupakan argumen konseptual tentang sifat uang. Rezim baru uang batangan, hanya dapat dipaksakan melalui kekerasan yang hampir tak tertandingi—tak hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri. Di sebagian besar Eropa, reaksi pertama terhadap 'revolusi harga' dan penyerbuan lahan-lahan rakyat yang menyertainya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi di Cina: ribuan petani yang dulunya melarikan diri atau dipaksa keluar dari desa mereka untuk menjadi gelandangan. atau 'orang tak bertuan', sebuah proses yang berujung pada pemberontakan. Namun, reaksi pemerintah Eropa sama sekali berbeda. Pemberontakan digilas, dan kali ini, tiada konsesi berikutnya yang diberikan. Gelandangan dikumpulkan, diekspor ke koloni sebagai buruh kontrak, dan direkrut menjadi tentara dan angkatan laut kolonial—atau, akhirnya, bekerja di pabrik-pabrik di kampung halamannya.
Hampir semua ini, dilakukan melalui manipulasi hutang. Akibatnya, sifat hutang juga menjadi salah satu pokok perselisihan. Itulah mengapa Gereja sangat tak kenal kompromi dalam sikapnya terhadap riba. Bukan semata pertanyaan filosofis; melainkan masalah pertandingan moral. Uang selalu berpotensi menjadi keharusan moral, yang tak boleh tidak, bagi dirinya sendiri. Membiarkannya berkembang, dan ia dapat dengan cepat menjadi moral imperatif yang teramat penting, sehingga yang lain, jika diperbandingkan, tampak tak berarti. Bagi debitur, dunia direduksi menjadi kumpulan potensi bahaya, alat potensial, dan barang dagangan potensial. Bahkan hubungan manusia menjadi soal kalkulasi cost-benefit. Jelas, inilah cara para penakluk Spanyol memandang dunia, yang hendak mereka taklukkan.

Seiring berjalannya waktu, sepanjang abad kesembilan belas, dominasi melalui utang luar negeri merupakan bagian penting dari kebijakan imperialis dari kekuatan para kapitalis besar; hal ini terus menjangkiti abad kedua puluh satu dalam bentuk-bentuk terkini. Sebagai negara pemula selama periode 1820–1830, Yunani menyerah pada perintah kekuatan kreditor (terutama Inggris dan Prancis). Meskipun Haiti dibebaskan dari Prancis selama Revolusi Prancis dan memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1804, utang kembali memperbudaknya ke Prancis pada tahun 1825. Prancis menginvasi Tunisia yang berhutang pada tahun 1881 dan mengubahnya menjadi protektorat. Inggris Raya menuntun Mesir ke nasib yang sama pada tahun 1882. Dari tahun 1881, penyerahan langsung Kekaisaran Ottoman kepada para kreditornya (Inggris Raya, Prancis, Jerman, Italia, dan lainnya) menambah disintegrasinya. Pada abad ke-19, kreditur memaksa Cina menyerahkan konsesi teritorial dan membuka pasarnya sepenuhnya. Tsar Rusia yang berhutang banyak, mungkin pula telah menjadi mangsa kekuatan kreditor, seandainya Revolusi Oktober tak menyebabkan penolakan utang sepihak pada tahun 1918.

Jadi, apa dong hutang itu? Hutang hanyalah pemutarbalikan sebuah janji, kata Graeber. Janji yang dirusak oleh matematika dan kekejian. Jika kemerdekaan (kemerdekaan sejati) merupakan kemampuan berkawan, maka ia juga, semestinya, merupakan kemampuan membuat janji-janji yang nyata, bukan janji palsu. Janji macam apa yang amat mungkin benar-benar saling memerdekakan lelaki dan perempuan? Pada titik ini, kita bahkan tak sanggup melafazkannya. Ia tak lebih merupakan pertanyaan tentang bagaimana kita bisa sampai ke tempat yang memungkinkan kita mengetahuinya. Dan langkah pertama dalam perjalanan itu, pada gilirannya, menerima bahwa dalam skema terbesar segala sesuatu, sama seperti tiada yang berhak memberi tahu nilai kita yang sebenarnya, tiada yang berhak memberi tahu kita, pada apa yang memang kita berhutang.

Pada sesi berikutnya, kita akan membicarakan tentang trade-off utang yang lebih rumit dipandang. Bi'idznillah."
[Sesi 3]
[Sesi 1]