Minggu, 17 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (7)

“Pernah terjadi, berkata jeng penyiar saat memberitakan sebuah catatan sejarah, para pejabat publik suatu departemen di Indonesia, bersepakat mengganti kata ‘Amin’ menjadi ‘Qobul’. Dan konon, telah dipertimbangkan pula, menghapuskan kata tersebut, baik untuk sementara maupun permanen, dari KBBI. Alesannya simpel: pertama, di Korea Utara, anak perempuan tak diperbolehkan menggunakan nama yang sama dengan putri Kim Jong Un. Gadis pemakai jenama serupa, bakalan dihapus. Tapi, Korea Selatan, membelanya mati-matian. Yang kedua, 'Tengsin'. Yang ketiga, 'Bingung'."

"Do you see what I see?" bertanya Sansevieria seraya terus membuka lembarannya. "Barangkali, atau mungkin tidak. Walau dikau berdiri tepat di sampingku dan diriku melihat sesuatu yang hendak kubagikan padamu, dirimu mungkin masih belum bisa melihatnya, hingga yang tersisa hanyalah pandangan sekilas. Aku tak hendak membicarakan sesosok manusia maupun makhluk bermata-satu semisal Dajjal atau Cyclops, atau pun b'tara Indra dan danawa Argus yang bermata seratus, sehubungan dengan sifat leksikalnya, melainkan, boleh jadi, apa yang tersembunyi di balik interiornya, buat mengandangmu, melihat apa yang kulihat.
Penglihatan merupakan indra yang amat kita kenali. Kata mereka, mata kita—dan kita bersyukur punya dua atau sepasang, apapun bentuknya—sesungguhnya tak melihat, tapi mengumpulkan informasi bila ada cahaya—karena cahaya dari suatu benda mampu bergerak melintasi ruang dan mencapai mata kita—lalu mengirimkannya ke otak Kemudian otak mengubah sinyal tersebut menjadi gambar, yang memungkinkan kita, bisa 'sumerep', 'ndelok,' atau 'ngeliat'.

Studi ilmiah tentang mata, diyakini bermula dari dokter Yunani, Herophilus, kata Kara Rogers, yang hidup sekitar tahun 335 hingga 280 SM. Dari karyanya, bermunculanlah kata-kata yang kita gunakan saat ini untuk menggambarkan ragam bagian mata, termasuk kata retina dan kornea. Pada era Herophilus, para ilmuwan meyakini bahwa kita dapat melihat, lantaran pancaran cahaya yang keluar dari mata kita dan tertuju pada suatu benda.
Fisikawan Arab, Ibnu al-Haitsam atau, dikenal di Barat sebagai, Alhazen, sekitar tahun 1000 M, menyimpulkan dari pengamatan eksperimental bahwa cahaya sesungguhnya merambat ke mata. Pengamatan pertama, bahwa 'mata, bila melihat cahaya yang sangat kuat, akan terasa sakit dan mungkin rusak.' Yang kedua, mata mencatat bayangan setelah melihat cahaya terang.
Lima ratus tahun kemudian, pada masa Leonardo da Vinci, gagasan bahwa cahaya memancar dari mata untuk meraba objek yang dilihat, dipandang masih cukup lazim, maka Leonardo mengajukan keberatan, 'Tak mungkin mata mengirimkan kekuatan penglihatan ke luar dirinya sendiri melalui cahaya penglihatan, sebab, saat membuka mata dari mana sinar tersebut harus berangkat, daya penglihatan tak dapat menjangkau objek tersebut, tanpa selang waktu. Oleh karenanya, sinar matahari tak dapat mencapai ketinggian matahari dalam sebulan, ketika mata ingin melihatnya.'
Para dokter dan ahli anatomi, menemukan bahwa mata manusia sebenarnya kolektor cahaya. Cahaya merambat dari benda-benda di sekitar kita dan menstimulasi sel-sel peka cahaya di mata kita.
Mata merupakan organ lembut dan presisi, yang rentan terhadap masalah. Namun, ada sejumlah mekanisme yang diterapkan agar melindungi mata. Alis dan bulu-mata mencegah debu, keringat, dan iritasi lainnya. Kelopak mata melumasi permukaan bola mata dan melindungi terhadap masuknya benda asing ke dalam mata. Kelenjar lakrimal di sudut luar atas setiap mata menghasilkan pasokan air-mata yang stabil guna menjaga kelembapan bola mata. Air mata—yang dihasilkan oleh iritasi, menguap, dan menangis—juga mengandung enzim pembunuh bakteri yang melawan infeksi. Untuk menjaga kelembapan mata, kita seringkali berkedip tanpa sadar.

Penglihatan merupakan salah satu jenis persepsi sensorik, dan karenanya, otak memainkan peran penting dalam interpretasi informasi, yang dikirimkan dari retina. Ada beberapa area otak yang turut-serta dalam proses ini. Informasi tentang suatu objek visual, dihantarkan ke pusat penglihatan di otak dalam bentuk impuls listrik. Impuls ini, yang berasal dari sel retina, diangkut sepanjang saluran saraf yang menentukan jalur penglihatan di otak.
Luminansi, atau apa yang dirujuk para seniman sebagai value, merupakan persepsi cahaya. Ia ditentukan oleh bagaimana sistem visual manusia merespons cahaya—khususnya, seberapa terang rata-rata manusia menilai cahaya. Memahami luminansi, penting karena persepsi kita tentang kedalaman, tiga dimensi, pergerakan (atau perlambatannya), dan organisasi spasial, semuanya dibawa oleh bagian sistem visual kita, yang hanya merespons perbedaan luminansi dan tak peka terhadap warna.
Unsur seni, telah lama dipandang sebagai warna, bentuk, tekstur, dan garis, kata Margaret Livingstone. Namun perbedaan yang lebih mendasarinya, ada di antara warna dan luminansi. Warna (selain mendeskripsikan sifat permukaan objek) dapat menyampaikan emosi dan simbolisme, namun luminansi-lah (sebagaimana yang engkau lihat dalam foto hitam-putih) yang menentukan bentuk, tekstur, dan garis. Pablo Picasso melukiskannya dengan tepat dalam suratnya kepada penyair Guillaume Apollinaire, 'Warna itu, semata simbol; fakta, hanya dapat ditemukan dalam cahaya.'

Sekarang, bayangkan dirimu sebagai seorang fotografer. Engkau hendak mengambil gambar, dengan kamera atau ponsel cerdasmu. Tiada aturan baku yang harus diikuti seseorang agar mempelajari cara melihat, namun banyak prinsip dan teknik yang dirancang untuk membantumu melihat. Guna meningkatkan penglihatan pribadimu, dikau seyogyanya memanfaatkan penglihatan lensamu, entah itu rasio zoom atau ketajamannya yang mantap. Hampir semua orang dapat 'melihat' dalam pengertian konvensional, namun mengembangkan penglihatan fotografis, memerlukan latihan. Belajar melihat secara kreatif, membantumu memvisualisasikan karyamu, dan dunia, dalam sudut pandang yang benar-benar baru, sebab salah satu elemen penting dalam memotret adalah 'your point of view'.
Di era the Zoomers—Gen Z ini, hampir setiap orang, bisa disebut fotografer. Dengan berkembangnya ponsel berkamera yang mudah dikantongi kemana-mana, baik iOS, Android, maupun Linux, masyarakat akan semakin mudah mengambil foto, baik itu sekadar 'snapshot' atau memotret dengan 'mata fotografis'. Secara umum, snapshot terlihat kek gini: Paklik Us sedang duduk di tepi kolam sambil nyengir ke arah kamera. Snapshot merupakan rekaman biasa dari beberapa peristiwa, orang, atau objek. Hal utama yang dikau pandang di sebuah snapshot adalah kesan, 'Ooo, jadi gicu ta penampakan Paman Us!' Gak masalah jika ada bagian kepala atasnya terpotong atau doi nampak rada burem. Yang penting, gambarnya cukup tandas menyimpan sebuah ingatan.
Lebih banyak hal yang esensial dalam 'potret' sejati. Sebuah Potret, merupakan, atau semestinya, interpretasi artistik dari suatu peristiwa, orang, atau objek. Obyeknya menyampaikan pada pemirsa—setiap pirsawan—sesuatu tentang subjeknya. Ia hendaknya menunjukkan tak semata apa subjeknya, melainkan seperti apa subjeknya. Dan ia seyogyanya dikerjakan dengan 'impact and style'. Perbedaan utama antara snapshot dan potret adalah, ketelitian dalam pembuatannya. Membuat snapshot tak lebih dari sekadar mengarahkan kamera ke arah yang benar dan mengeklik tombol rana. Memotret, perlu perhatian terhadap setiap detail dalam bingkai, dan menempatkan semuanya dengan tepat, sebelum tombol rana diklik.

Sebuah potret, semestinya terkomposisi. Seluruh elemennya, hendaklah dipilih dan diatur agar bergotong-royong menuju suatu efek terpadu. Nah, dalam fotografi, ada beberapa aturan: rule of third, leading lines, komposisi dan sebagainya. Semua aturan ini, ibarat roda latihan. Seluruhnya mengajari dirimu dan diriku, pengetahuan dasar dan membawa kita ke arah yang benar kala kita hendak memulainya. Hidup, penuh dengan aturan kaan? Kita punya aturan demi adanya aturan. Jujur aja: banyak orang menyukai aturan, mereka merasa aman jika ada aturan. Namun di setiap kesempatan yang ada, engkau terdesak [atau bisa jadi, 'didesak'] agar 'membengkokkan dan melanggar' aturan. Kecenderungan dan kebutuhan kita masing-masing, membuat setiap kita, melanggar aturan. Ya bolehlah, agar gaya dan wawasan fotografimu berkembang, engkau semestinya, bebas merekam dunia seperti yang dirimu saksikan. Tapi tentu saja, ada pula aturan untuk melanggar aturan. Kita semua mengenalnya dengan, 'Kebijakan.'
Pertama, langgar aturan karena asas yang baik. Kendati tak menaati aturan, semata melanggarnya mungkin terasa melegakan, namun sensasi tersebut, sepertinya takkan bertahan lama. Cepat atau lambat, semuanya mulai tampak seperti gambar acak dalam gelap. Patuhi aturan sampai dikau punya alasan kuat tak mengikutinya, dan hasilmu, mungkin bakalan lebih menarik. Kedua, langgar aturan sesedikit mungkin. Apa pun potretnya, cobalah patuhi sebanyak mungkin aturan yang telah ditetapkan. Jika engkau memutuskan melanggar aturan tentang komposisi, upayakan mengikuti aturan eksposur yang benar. Jangan lupa bahwa fotografi itu, sebuah bahasa. Jika dikau ingin dipahami, dirimu gak boleh 'ngarang' seluruh kata dan tata-bahasa milikmu sendiri. Fotografi, seperti halnya seni apa pun, seyogyanya berkembang agar tetap 'sehat,' namun kita sering melupakannya dan terlalu jauh melanggar aturan, bahkan, mengubahnya sekehendak kita.

Kini, saatnya menyajikan potret. Jeffrey A. Winters memajang beberapa potret Oligarki. Potret-potret yang dihadirkan Winters, memamerkan tipe-tipe Oligarki: Oligarki Peperangan, Oligarki Penguasa, Oligarki Sultanistik, dan Oligarki Sipil. Dalam Oligarki Peperangan, mempertahankan harta-benda [masih ingat kaan tentang konsepsi 'scarcity'], dilakukan secara langsung oleh para oligark bersenjata, yang secara terpisah menguasai wilayah kekuasaannya. Dalam Oligarki Penguasa, pengaturannya bersifat kolektif dan memerlukan setidaknya, perlucutan senjata sebagian agar sistem menjadi stabil. Oligarki Sultanistik merupakan modus ketiga dalam mempertahankan harta dan kepemilikan. Dalam Oligarki Sipil, para oligark sepenuhnya tak bersenjata, paksaan untuk mempertahankan harta para oligark, dilakukan secara eksklusif oleh negara bersenjata, oligarki sipil merupakan satu-satunya jenis oligarki yang tak ada oligark yang berkuasa (jika mereka memegang jabatan, maka oligarki tak pernah sebagai atau untuk oligarki ), dan negaralah yang bersifat memaksa untuk mempertahankan kepemilikan bagi para oligark, diatur secara impersonal melalui lembaga-lembaga birokrasi. Kombinasi faktor-faktor ini, mempunyai beberapa implikasi penting. Salah satunya bahwa dalam oligarki sipil, sistem hukum yang kuat dan impersonal, mendominasi para oligark dibanding oligark yang mendominasi (atau menjadi) hukum. Hal ini pada gilirannya, mengubah karakter kepemilikan properti dari klaim yang dilakukan oleh para oligark, menjadi hak yang ditegakkan oleh negara.

Salah satu potret pajangan Winters adalah panorama Oligarki Indonesia. Potret 'Black & White' tersebut, mengekspos ciri-cirinya. Winters menyebutnya 'Oligarki Sultanik'. Kata 'Sultan' di sini, gak ada hubungannya dengan Sultan di Jogja maupun sultan-sultan lain di Indonesia. Betewe, menurut Elena Woodacre tentang monarki konstitusional yang ada saat ini, tiada keraguan akan makna pentingnya dalam hal studi akademis, sebagai elemen sentral peradaban di seluruh dunia, mulai dari masyarakat paling awal hingga saat ini. Monarki telah dicermati oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu, khususnya sejarawan, antropolog, sosiolog, arkeolog, sejarawan seni, spesialis sastra, dan juga, melalui kacamata studi gender, antara lain tentang 'Kingship' dan 'Queenship'. Woodacre dan peneliti lainnya, tak pernah menyinggung monarki konstitusional sebagai 'Politik Dinasti'.
Jadi, Winters merujuk konsep sultanisme dari karya-tulis Max Weber. Nampak bersifat orientalis, namun maksudnya tak terbatas pada penguasa di Timur Tengah maupun pada kekhalifahan. Konsepsi Sultanisme disini, bersifat sekuler dalam asal-usul dan cara kerjanya. Ada tiga elemen yang sangat menonjol dalam menentukan rezim sultanistik. Pertama, para penguasa yang bersifat sultanistik [dalam konteks Indonesia, mungkin yang dimaksud Winters adalah 'para bendoro' dalam makna peyoratif], memerintah secara personal dan sangat berhati-hati dalam menangani segala persoalan penting politik-ekonomi. Mereka meningkatkan kekuasaan dan keleluasaannya, dengan memblokade, ketimbang dengan membangun institusi yang independen. Undang-undang dan lembaga-lembaga yang ada, berada di bawah hak prerogatif penguasa.
Kedua, penguasa sultan mempertahankan kendali strategis atas akses terhadap kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai bagian penting dari basis kekuasaannya. Hubungan oligarki antara yang satu dengan yang lain, bersifat simbiosis, namun juga sarat dengan ketegangan. Ketiga, aturan sultanistik berupaya membangun dan mempertahankan kontrol diskresi atas kekuasaan koersif dalam negara atau rezim. Hal ini mencakup pengendalian angkatan bersenjata, intelijen, polisi, aparat peradilan, dan terkadang, melibatkan kelompok paramiliter, penegak hukum, dan preman bayaran. Sekalipun seorang penguasa sultan tak dapat sepenuhnya melucuti oligark lain dalam sistemnya, ia punya kekuatan yang cukup untuk mengintimidasi [dibaca: 'menyandera'] dan mengalahkan sebagian besar para oligark tersebut. Ringkasnya, rezim sultanistik merupakan pemerintahan personalistik yang institusi dan hukumnya, dilemahkan, dan pemimpinnya memerintah melalui penggunaan kekuatan koersif dan material guna mengendalikan rasa-takut dan imbalan.

Oligarki sultanistik sebagai tipe ideal berciri umum tertentu, dan juga menunjukkan beberapa persamaan dan perbedaan dengan oligarki Peperangan dan oligarki Penguasa. Mempertahankan harta dan kepemilikan sebagai suatu keharusan oligarkis, tak hilang hanya karena tugas mengamankan posisi material oligarki, berpindah ke tangan individu atau kolektif mereka. Catatan sejarah, kaya akan contoh yang menunjukkan bahwa para oligark dapat beradaptasi terhadap perubahan pengaturan guna mengamankan harta mereka dari ancaman. Namun, oleh dalil eksistensial, apa yang tak dapat mereka terima adalah, gagal mempertahankannya secara tergeneralisasi.
Tak bersenjata, bukan berarti mengubah fakta bahwa para oligark umumnya dapat menggunakan sumber daya materialnya, menjaga harta-benda mereka dari ancaman frontal. Dalam keadaan ekstrim, hal ini berarti 'rearming'–sebuah pola yang sangat mungkin terjadi dalam persoalan-persoalan yang melibatkan para oligark, yang menguasai sebagian besar hartanya, dalam bentuk lahan atau ekstraksi dan pertambangan. Bagi para oligark perkotaan, yang harta dan kepunyaannya terutama bersifat komersial, biasanya bermakna mengerahkan sumber daya material dengan cara yang dapat menggoyahkan penguasa yang bersifat sultan—termasuk menghalangi transfer harta keluar dari perekonomian, secara diam-diam mendanai demonstrasi massal, mempekerjakan milisi yang main hakim sendiri, atau membiayai aliansi dengan para komandan angkatan bersenjata, yang rela memulihkan rezim properti yang aman. Kaum oligark, dapat pula mempercepat keluarnya penguasa dengan menunjukkan kurangnya dukungan mereka dalam suatu krisis. Mengkonsentrasikan sejumlah besar harta dan kuasa koersif di tangan seorang aktor sultanistik, memberikan individu tersebut keleluasaan yang besar. Namun, dengan adanya lapisan para oligark yang mandiri dan matang, keleluasaan tersebut, menjadi rumit lantaran tuntutan oligarki yang lebih luas mempertahankan harta dan kepemilikannya.
Fakta bahwa semua oligarki, kecuali satu, tak memiliki senjata, atau setidaknya, satu oligarki berkemampuan memaksa yang dahsyat (paling sering dilakukan oleh polisi dan angkatan bersenjata), berarti bahwa para oligark sebagai suatu kelompok, tak mungkin memerintah secara langsung. Kendati beberapa oligark mendapatkan akses terhadap jabatan-jabatan tinggi—yang pada gilirannya membantu melahirkan oligark baru melalui korupsi atau alokasi peluang bisnis—proporsi seluruh jabatan yang dipegang oleh oligark, sangat berkurang dibandingkan dengan pola yang terlihat pada oligarki yang berkuasa. Selain itu, tak seperti dalam oligarki yang berkuasa, dimana metode rumit dirancang oleh oligarki itu sendiri guna merotasi jabatan, memperluas akses, dan menerapkan batasan masa jabatan pada posisi-posisi penting untuk menghindari destabilisasi konsentrasi kekuasaan, dalam oligarki sultanistik, pemimpin oligark menerapkan strategi terlebih dahulu guna memusatkan kekuasaannya, dan kemudian menggunakan akses ke posisi-posisi penting untuk memberi penghargaan kepada pendukungnya, dan menumbangkan pesaingnya. Individu yang memegang jabatan penting dan berpotensi berkuasa, baik para oligark maupun elit, sangat bergantung pada oligark sultan. Seluru oligark yang menduduki jabatan politik, melakukan hal tersebut karena keterkaitan mereka dengan oligarki utama dan beraksi berdasarkan kebebasan bertindaknya.

Sumber dari potret apa pun, bukanlah kamera atau bahkan pemandangan yang ditengok melalui jendela bidik—melainkan, otak sang fotografer. Potret lainnya dipersembahkan oleh Joel Kotkin. Potret-potret Kotkin menyampaikan kepada kita bahwa Feodalisme kembali muncul. Kali ini bakal terlihat beda: kita takkan melihat ksatria berbaju zirah, atau para antek yang memberikan penghormatan kepada majikannya, atau Gereja Katolik yang kuat menegakkan ortodoksi yang berkuasa. Masyarakat menjadi lebih terstratifikasi [(KBBI) pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise], dengan berkurangnya peluang mobilitas ke atas bagi sebagian besar penduduk. Sekelompok pemimpin pemikiran dan pembuat opini, yang Konkin sebut sebagai 'kleris', memberikan dukungan intelektual terhadap hierarki yang sedang berkembang. Tatkala peluang mobilitas ke atas semakin berkurang, model kapitalisme liberal kehilangan daya tariknya di seluruh dunia, dan doktrin-doktrin baru pun bermunculan, termasuk doktrin-doktrin yang mendukung, semacam 'Neo-Feodalisme'. Menurut Kotkin, bentuk aristokrasi baru yang berkembang di Amerika Serikat dan negara-negara lain, seiring dengan perekonomian pasca-industri, kekayaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir orang.
Saat ini, manfaat pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara, paling banyak dirasakan oleh kelompok masyarakat terkaya. Kekayaan ini cenderung diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menimbulkan sesuatu yang mirip dengan aristokrasi tertutup. Negara tersebut, mungkin tak berstatus istimewa secara hukum atau kekuasaan politik berdasarkan hak waris, namun kekayaannya dapat membeli pengaruh pemerintah dan budaya. Maka, kita melihat oligarki muncul di negara-negara yang dipandang demokratis, dengan aristokrasi neo-feodal, dicangkokkan ke dalam pusat negara yang berkuasa.

Kita teruskan potret Kotkin ini, di sesi selanjutnya yaq, soalnya durasi sesi ini, udah 'abis. Bi 'idznillah."

Lalu, Sansevieria mengalunkan tembangnya Richard Marx,

Now, I can rest my worries
[Kini, kudapat rehatkan resahku]
And always be sure
[Dan selalu meyakini]
that I won't be alone, anymore
[bahwa kutakkan sendiri lagi]
If I'd only known, you were there
[Jika saja t'lah kutahu, dikau ada di sana]
all the time
[sepanjang waktu]
all this time! *)
[selama ini!]
Kutipan & Rujukan:
- Kara Rogers, The Eye: The Physiologi of Human Perception, 2011, Britannica Educational Publishing
- Bryan Peterson, Learning to See Creatively, 2003, Amphoto Books
- Margaret Livingstone, Vision and Art: The Biology of Seeing, 2014, Abrams
- Jeffrey A. Winters, Oligarchy, 2011, Cambridge University Press
*) "Now and Forever" karya Anthony Little & Douglas Shawe