Sabtu, 09 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (5)

"'Kuda bapak, santun banget yah!' berkata seorang wanita kepada penunggang kuda yang sedang beristirahat.
'Oh iyyaa, itu bettul bu,' jawabnya, manggut-manggut. 'Bayangin coba, saat kami berdua sampai di depan sebuah pagar, doi langsung berhenti setelah berlari kencang, dan mempersilahkan saya, lewat duluan!'"

"Your voice is your brand," Sansevieria meneruskan. "Ucapanmu itu, alat untuk menyoroti kekuatan unik dan bakat khusus yang dikau miliki. Ia merupakan kendaraanmu guna menyampaikan 'your value proposition', kata Loretta Malandro. Gak ada jalan lain: Dirimu takkan pernah diangggep, hingga dikau, angkat bicara. Kolegamu mengukur keefektifanmu dan memahami kompetensimu melalui caramu mengajukan pertanyaan dan caramu menyampaikan sudut pandang. Jadi, agar beroleh rasa hormat orang lain, dikau perlu memanfaatkan setiap kesempatan yang dirimu miliki agar bersuara dan memberikan kontribusi yang bermakna. Suaramu akan mengungkapkan dengan tepat, siapa dirimu, tanpa 'window dressing.' Walau mudah kena serangan, tapi tetaplah otentik. Dirimu harus keluar dari zona nyamanmu. Ya, mungkin saja ada orang yang tak menyukai keaslian dirimu, tapi ambil saja risikonya. Mereka mungkin menyebutmu 'Julid', namun ingatlah ini, 'Julid is in the eye of the beholder,' it's their own problem, not yours.
Robert E. Atoerti dan Michael L. Emmons berpendapat bahwa tak hanya mungkin, melainkan pula, sangat dikehendaki, agar masing-masing kita, mengembangkan rasa harga diri yang tinggi, dan gaya perilaku yang bersifat self-assertive [percaya diri dan mampu menyampaikan apa yang dikehendaki, dirasakan, dan dipikirkan, kepada orang lain, namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak 'pribadi' orang lain]. Baik perilaku 'self-denying' [mengorbankan apa yang dikehendakinya agar orang lain dapat memilikinya, atau karena ia merasa secara moral benar, jika ia mengorbankannya] maupun perilaku 'other-denying' [menegasikan orang lain], tak baik bagimu atau orang-orang di sekelilingmu. Bila seseorang mengembangkan repertoar atau ragam perilaku asertif yang memadai, ia dapat memilih respons yang tepat dan memuaskan dalam berbagai keadaan. Dalam gaya asertif, engkau menjawab lugas, berbicara dengan nada dan volume sesuai irama percakapan, menatap lawan bicara, memperbincangkan inti permasalahan, mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi secara terbuka (marah, sayang, tak setuju, sedih), menempatkan 'value' diri sendiri 'setara' dengan orang lain, dan tak menyakiti diri sendiri maupun 'pribadi' orang lain.
Dalam gaya non-asertif, engkau cenderung ragu-ragu, karenanya, bercakap sayup-sayup 'nyaris tak terdengar', menoleh ke arah lain, menghindari masalah, ikutan setuju terlepas dari perasaanmu sendiri, tak mengungkapkan pendapat, menempatkan 'value' diri sendiri 'di bawah' orang lain, dan menyakiti diri sendiri untuk menghindari kemungkinan melanggar 'pribadi' orang lain. Dalam gaya agresif, engkau biasanya menyela sebelum orang lain selesai ngomong, ucapanmu keras dan kasar, memelototi orang lain, ngomong 'gak nyambung' dengan permasalahannya (berisi fitnah, penghakiman, merendahkan), mengutarakan perasaan dan pendapatmu dengan bernafsu, menempatkan 'value' diri sendiri 'di atas' orang lain, dan menikam pribadi orang lain agar tak mengoyak dirimu sendiri. Tak sulit melihat keuntungan respons asertif, dalam banyak keadaan antar-pribadi. Masih banyak kok orang yang kepingin tahu siapa dirimu yang tulen. Semakin dirimu melaju dengan 'speaking up', semakin banyak orang yang mau bersandar, lalu mendengar. Maka, tangkaplah potensi ucapanmu sepenuhnya dengan empat hal ini: speak up with 'confidence', speak up with 'integrity', speak up with 'courage', dan speak up with 'conviction'.

Nah sekarang, saatnya melanjutkan topik kita tentang Batavia. Di sesi sebelumnya, kita telah tahu, bahwa, dari pemaparan Jean Gelman Taylor, sebelum abad ke-18, bagaimana Gubernur Coen berusaha memperkenalkan gaya Aristokrat borju Belanda ke Batavia, namun yang muncul malah masyarakat Feodal, lantaran prajurit Kompeni yang berkarakter tercela, berpendidikan rendah, dan tak punya sumber daya.
Leonard Blusse mengungkapkan bahwa pada abad kedelapan belas, ada tiga kota yang disebutnya 'visible cities', yaitu Batavia, Kanton, dan Nagasaki, sebab tiada kota lain di Asia pada abad kedelapan belas, yang digambarkan (dan mungkin bahkan ditulis) sesering pelabuhan-pelabuhan ini, tempat Timur dan Barat bertemu dengan cara yang amat berbeda, namun juga serupa. Batavia, yang ditetapkan sebagai tempat pertemuan kapal-kapal kerajaan dagang Perusahaan Hindia Timur Belanda, hidup dalam kemewahan perdagangan maritim. Berlokasi strategis di dekat Selat Sunda, jalan raya antara Jawa dan Sumatra yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Cina, Batavia bagaikan laba-laba di jejaringnya. Walau Kanton dan Nagasaki merupakan outlet dari dua kerajaan agraris yang agak arogan dan bertradisi komersial yang kaya, namun dalam banyak hal, juga menekan tradisi komersial, Batavia didirikan sebagai pusat kerajaan perdagangan maritim yang luas, yang memanfaatkan perekonomian regional Muson Asia dan menyediakan barang-barang konsumsi Asia bagi Eropa selama hampir dua abad.
Ketiga pelabuhan tersebut merupakan konfigurasi yang relatif baru dalam perdagangan muson tua, yang telah berlangsung selama ribuan tahun: tandem Kanton-Makau dimulai pada tahun 1567, dan Nagasaki serta Batavia masing-masing ditetapkan sebagai pelabuhan perdagangan internasional pada tahun 1571 dan 1619. Para pedagang Fujian, merupakan mayoritas dalam komunitas Chinese di Batavia dan Nagasaki, dan bahkan jaringan pedagang Co-hong, yang harus bertransaksi dengan orang asing di Kanton, juga berasal dari Provinsi Fujian.

Tatkala Perang Napoleon memutus hubungan pelayaran Belanda dengan Asia pada akhir tahun 1790-an, VOC dinyatakan bangkrut dan kapal-kapal Hindia Timur di pelabuhan Batavia, digantikan oleh kapal-kapal berbendera netral, yang sebagian besar berbendera Bintang dan Garis. Sebagai perusahaan dagang, VOC menjalankan aktivitasnya di sejumlah besar negara di pantai Timur Afrika dan sebagian besar Asia, dari Tanjung Harapan hingga Pulau Deshima di Jepang. Kegiatan-kegiatan ini memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi sejarah negara-negara tersebut. Dari semua perusahaan dagang pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, Perusahaan Hindia Timur Bersatu Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC), yang didirikan pada tahun 1602, tentulah yang paling sukses.
Pada tahun 1594, Reiner Pauw, Jean Corel, dan Dirk van Os, bersama sekelompok kecil pedagang yang berasal dari Antwerp dan Amsterdam, mendirikan sindikat mereka sendiri. Mereka menyebut perusahaan baru mereka 'Compagnie van Verre'–Perusahaan Negeri Jauh. Tahun berikutnya, Perusahaan Negeri Jauh mengirim 249 pelaut, tersebar di 4 kapal, ke India menjelajahi rempah-rempah dan barang-barang unggulan lainnya.
Ekspedisi ini, membuang-sauh kapal ke Banten, sebuah provinsi di pulau Jawa Indonesia. Selain lokasi yang ideal, juga merupakan pelabuhan utama lada. Di sana, awak kapal Belanda terhalau oleh penduduk asli yang marah karena kedatangan mendadak tersebut dan pedagang Portugis yang sebelumnya mengklaim lahannya. Awak kapal Belanda bergerak ke pantai utara pulau itu, namun mereka malah disambut dengan lebih banyak konflik. Penyergapan oleh penduduk lokal Jawa mengakibatkan korban jiwa 12 awak kapal Belanda dan seorang pangeran Jawa di Madura.
Pada akhir tahun 1600, kapal-kapal van Neck membuahkan hasil yang membuat para saudagar Belanda dimana pun, 'nggujeng lan senneng'. Pelayarannya yang sukses menjadi yang pertama menyentuh pangkalan 'Kepulauan Rempah-rempah' Maluku. Hal ini menghilangkan kebutuhan akan perantara dari Jawa, dan pada gilirannya, pedagang Belanda memperoleh cuan sebesar 400%. Saat itulah, Belanda tahu bahwa, mereka benar-benar berbisnis.
Pada tanggal 20 Maret 1602, enam perusahaan saingan–United Amsterdam Company, Veerse Compagnie, Verenigde Zeeuwse Compagnie, Magellaanse Rotterdamse Compagnie, Moucheron van der Hagen & Compagnie, Een andere Rotterdamse Compagnie, dan Delftse Vennooteschappe Compagnie–digabungkan kekuatan mereka menjadi satu kesatuan. 'Mega-merger' baru sebuah perusahaan dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie–yang secara resmi disebut sebagai United Dutch Chartered East India Company. Pedagang dari kota terdekat Enkhuizen dan Hoorn juga diundang ke perdagangan kartel yang baru dibentuk tersebut.
Segera setelah pendiriannya, VOC berhasil memukul mundur Portugis, yang telah mendirikan kerajaan komersial mereka di Asia, satu abad sebelumnya, dan menyingkirkannya sebagai pesaing dalam perdagangan antara Eropa dan Asia. Pesaing utama VOC, yaitu Perusahaan Hindia Timur Inggris (the English East India Company, EIC), yang didirikan di London pada tahun 1600, pada awalnya tak memiliki kapasitas finansial, kemampuan organisasi, dan dukungan pemerintah agar memberikan ancaman nyata kepada Perusahaan Belanda. Barulah pada akhir abad ke-17, EIC berkembang menjadi saingan kuat yang mampu mengalahkan VOC di berbagai wilayah selama abad ke-18. Kendati demikian, hingga akhir keberadaannya sebagai perusahaan dagang pada tahun 1800, VOC tetap menjadi perusahaan terbesar di Asia.
VOC merupakan perusahaan multinasional dan internasional pertama, perusahaan publik pertama, serta perusahaan saham gabungan perseroan terbatas pertama dengan basis modal permanen. Seluruh sistem perekonomian yang kini kita kenal, merupakan hasil dari terobosan perusahaan ini. Tak diragukan, inilah cuan besar; ada yang bahkan menjulukinya sebagai perusahaan besar pertama. Selama 200 tahun keberadaannya, lebih dari satu juta orang bekerja bagi perusahaan tersebut, dan kekayaan bersihnya dapat diukur dalam triliunan dolar AS di zaman Gen Z kini. Ia membantu membentuk dunia modern, sedemikian rupa sehingga beberapa sejarawan mengklaim bahwa pengaruhnya sama besarnya dengan Kekaisaran Romawi, atau bahkan lebih besar. Tanpanya, dunia pasti akan menjadi tempat yang jauh berbeda. Akan tetapi, yang membuat kita kepo, darimana datangnya kekayaan sebesar itu? Darimana lagi kalau bukan menguras darah dan daging 'Ibu Pertiwi.' So, mau minta dijajah lagi ama paman X[eh kok ada bunyi 'biip' yaq]? Jika iya, maka dikau sependapat dengan Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen, 'master-mind' kerajaan Belanda di Timur. Menurut Blusse, bagi Coen, tiada keraguan bahwa Batavia harus bergantung pada jaringan perdagangan China dan tenaga kerja China, demi kelangsungan hidupnya di Kepulauan Indonesia. Lebih penting lagi, ia yakin bahwa pembukaan pasar China, merupakan kunci keberhasilan perluasan jaringan perdagangan VOC di Asia. Dibangun di atas reruntuhan bekas kerajaan Jayakarta, yang bernama Sunda Kalapa, yang dalam sumber-sumber Tiongkok, telah disebutkan sebagai pelabuhan perdagangan, Belanda bermaksud agar Batavia menjadi ujung jalur Chinese Xiyang.

Trus, k'nape sih Batavia melebar ke Bogor dan Depok? Menurut Taylor, pelaut dan penyair Kompeni, Jan de Marre, berlayar ke Batavia pada awal abad kedelapan belas untuk pertama kalinya. Kesan yang dibuat kota ini pada sang pengunjung, usai berbulan-bulan terapung di laut, dapat dirasakan dalam kutipan puisi panjangnya yang menyebut 'Lovely Batavia': kubah lengkung Balai Kota, Kanal Macan yang luas terisi dengan air segar, laksana jalur hijau musim semi abadi. Akan tetapi, semua itu, merupakan masa terakhir kemakmuran kota ini, meskipun masyarakat memperoleh kekayaan dari pembiayaan Kompeni sepanjang abad kedelapan belas. Malaria, gaya hidup imigran Belanda yang tak sehat, berpadu dengan epidemi kolera dan tipus, yang memusnahkan populasi kota. Bahaya mematikan seperti itu, mengosongkan Batavia dari harta-bendanya, mendorong mereka membangun vila-vila yang luas dan sejuk di luar batas pemukiman lama. Pada pertengahan abad itu, rumah-rumah pedesaan para elit Batavia meluas ke Selatan, hingga ke Bogor. Namun, perpindahan dari kota tua sebenarnya telah dimulai sejak lama. Gunung Sari dibangun oleh Frederik Julius Coyett pada dekade ketiga abad kedelapan belas. Ukuran dan ornamennya cukup sederhana. Petronella Speelman-Wonderaer menggambarkan dirinya pada tahun 1680 tinggal di 'tanah miliknya, bernama Wonderwel, di luar kota Batavia.' De Graaff menulis, 'Di luar Kota, kita dapat menemukan banyak padang rumput, sungai, sawah dan ladang serta kebun nan indah, semuanya ditanami pohon buah-buahan, dan beberapa di antaranya, memiliki rumah yang indah dan taman yang menyenangkan.' De Bruijn, juga pernah menjadi tamu Cornelis Chastelein di propertinya di Depok, tiga puluh tahun sebelumnya.
Pada awalnya, kawasan pedesaan hanya digunakan untuk bersantai selama beberapa jam, dan pemiliknya kembali ke tembok Batavia yang aman, saat malam tiba. Baru pada abad ke-18, masyarakat modern menghabiskan waktu berminggu-minggu di pedesaan dan para pensiunan pejabat tinggal secara permanen di vila-vila pedesaan. Perubahan kebiasaan hidup ini, sebagian bergantung pada dua kondisi. Salah satunya adalah perjanjian yang ditandatangani dengan Banten pada tahun 1684 yang menjamin Batavia dari serangan. Yang lainnya, ialah transformasi lingkungan sekitar Batavia menjadi lahan pertanian. Lebatnya kemajuan vegetasi di sekitar kota, mengurangi bahaya terhadap kehidupan dan harta benda dari hewan liar dan budak yang melarikan diri. Willem van Outhoorn, yang tinggal di masa pensiun di sebuah vila yang terletak tak jauh dari kota. 'Seluruh pedesaan ditanami padi,' tulis pelukis Belanda Comelis de Bruijn ketika sampai di Batavia pada awal tahun 1706.
Vila-vila abad kedelapan belas di sekitar Batavia, semuanya berkarakteristik tertentu. Pertama, ditempatkan di lahan yang luas. Kedua, bangunan-bangunan tersebut, dibangun di luar tembok Istana, di jantung kota Jakarta saat ini, namun di kala itu, seringkali berjarak satu atau dua jam perjalanan dengan perahu atau kereta. Ketiga, lahan-lahan tersebut dipelihara oleh sejumlah besar budak dan pemiliknya, melanjutkan praktik tradisional Indonesia dalam memanfaatkan tenaga kerja penduduk di lahan yang mereka sewa atau beli. Pemiliknya hidup dalam gaya seigneurial yang megah, yang mengejutkan pengamat abad kedelapan belas. Gaya hidup tersebut, berhubungan dengan pemilik properti besar pada masa itu, anggota dari semua divisi utama dalam elit kolonial: penduduk asli Eropa, Eurasia, Kreol, dan Kristen Asia.

Gaya hidup tersebut, terkait dengan pemilik properti besar pada masa itu, anggota dari semua divisi utama dalam elit kolonial: penduduk asli Eropa, Eurasia, Kreol, dan Kristen Asia. Masyarakat kolonial pada masa VOC dan beberapa waktu kemudian, terdiri dari kelompok-kelompok yang bagian luarnya saja orang Eropa. Karena etnis Asia, Eurasia, dan Kreol merupakan mayoritas, mereka sangat mempengaruhi minoritas imigran Belanda dalam hal perilaku, gaya hidup, dan rekreasi.
Kekayaan dan demonstrasi publik juga menyibukkan pemerintahan Batavia. Kekhawatiran tak muncul dari rasa tak suka, seperti yang terjadi pada para pelancong, namun lebih dari keengganan terhadap anggapan bahwa anggota masyarakat yang berada dalam peringkat hierarki, harus terlihat setara dalam hal kekayaan. Dengan mengikuti aturan-aturan masyarakat istana Jawa dan Jepang sebagai modelnya, para penguasa Batavia mulai menguraikan derajat dan bentuk keagungan yang sesuai bagi setiap tingkatan masyarakat, baik bagi pegawai Kompeni maupun bagi para burgher bebas. Kekayaan, dan kenikmatan yang diperoleh darinya, ditunjukkan oleh kepemilikan budak. Wajah lain dari masyarakat inilah yang mengatur rumah mewah dan masyarakat perkebunan. Budak Batavia dibeli oleh penduduk guna keperluan rumah tangga dan sepenuhnya berada di bawah kendali mereka.
Perekat yang menyatukan masyarakat ini ialah sistem kekeluargaan. Di bawah struktur politik dan ekonomi VOC, promosi sebagian besar dikendalikan oleh patronase, yang mana, hubungan keluarga memainkan peranan penting. Elit penguasa disibukkan dengan definisi 'Eropa'. Secara teknis, yang termasuk dalam istilah ini merupakan semua orang yang lahir di Eropa, semua yang lahir di Asia dari orang tua Eropa (Kreol), perempuan yang menikah dengan lelaki Eropa, anak sah dari ayah Eropa, dan semua anak tak sah yang diakui oleh lelaki Eropa.

Pada pertengahan abad kedelapan belas, ketika Baron van Imhoff menjabat, masyarakat Hindia telah terbentuk. Budayanya jelas bukan lagi budaya Belanda. Masyarakat Belanda pada saat itu dapat dikenal secara luas sebagai masyarakat yang homogen secara ras, Calvinis, dan patriarkal, kota-kotanya dijalankan oleh oligarki pengusaha makmur dan industrinya dikendalikan oleh serikat pekerja. Penghematan dan ketenangan merupakan kualitas yang sangat dihargai. Rata-rata penduduk Belanda tinggal di rumah sempit dan tertutup dan pola makan mereka hanya daging merah, keju, dan roti. Kelas atas melek huruf Perancis dan Jerman, serta Belanda. Sebaliknya, masyarakat Hindia Belanda berkomposisi sangat poliglot, dan elit 'Eropa' yang bersifat sekuler, sebelum agnostisisme merupakan kondisi umum di Eropa. Elit kolonial juga tak bersifat patriarki. Pada abad kedelapan belas, akses terhadap posisi-posisi istimewa ini, ditentukan oleh koneksi, dan dasar dari koneksi tersebut adalah pernikahan dalam keluarga Hindia. Program kolonial Van Imhoff mengingatkan pada usulan J. P. Coen dalam banyak hal, karena ia juga hendak mengembangkan karakter khas Belanda di ibu kota kolonial dengan memasukkan keluarga-keluarga burgher sebagai pemukim dan mengizinkan mereka berdagang dalam kategori barang dan di pelabuhan yang sampai saat itu, berada di bawah monopoli Kompeni. Urusan pertama pemerintahannya ialah memulihkan perdagangan dan pendapatan Perusahaan, mendorong kembalinya retailer Chinese dan tukang kebun pasar, membangun rumah sakit kedua, dan menyediakan lebih banyak asisten medis. Bagian kedua dari rencananya, dikhususkan untuk melestarikan budaya tanah air di kalangan imigran dan menggantikan budaya Mestizo di antara para kepala suku kelahiran lokal yang berstatus Eropa. Tugas terakhir ini, pada dasarnya harus diselesaikan melalui pendirian sekolah khusus bagi putra-putra dari keluarga Kristen Kreol, Eurasia, dan Asia terpilih. Sekolah pertama adalah seminari teologi yang dibuka pada tahun 1745. 'Tujuan utama' seminari ini ialah 'untuk membantu mendorong pendirian agama Kristen yang direformasi di wilayah ini' melalui pelatihan 'sejumlah' pemuda untuk pelayanan. Seminari merupakan sekolah berasrama, rektor, asisten, dan master juniornya, juga menetap di perguruan tinggi tersebut.

Perluasan Kekaisaran Prancis di bawah Napoleon, mencaplok Belanda pada tahun 1806, dan dengan terpilihnya Marsekal Hennan Daendels oleh Napoleon, seorang reformis baru yang sadar diri, melangkah ke jabatan gubernur jenderal. Daendels menganggap dirinya sebagai putra Revolusi, dan sebagai representasi dari semangat baru zaman itulah, ia menjabat. Dalam masa singkatnya, ia mulai menata ulang Batavia. Ia melakukannya dengan menyelesaikan perpindahan dari kota tua ke pinggiran selatan, membangun taman umum dan jalan setapak yang luas bagi warga Eropa, membangun Hannonie sebagai clubhouse bagi sekelompok orang pilihan, yang semuanya orang Eropa, dan merencanakan sebuah istana yang akan menjadi kediaman baru gubernur jenderal. Pada tahun 1809, ia merobohkan Kastil Batavia. Lebih dari perbuatan lainnya, ini melambangkan akhir suatu zaman. Karena Kastil tersebut, telah mewakili Kompeni di Timur, sistem monopolinya, dan sejarah para pelayannya di Asia.
Daendels telah berencana mengubah hubungan Kompeni dengan orang-orang Indonesia, mengakhiri hubungan-hubungan upeti yang lama dan memotong aspek-aspek 'feodal' dengan melarang orang-orang Eropa, menggunakan tenaga kerja penduduk yang tidak dibayar di perkebunan mereka. Kurangnya sumber daya dan kebutuhan untuk mempersiapkan pertahanan Jawa terhadap serangan Inggris yang diperkirakan akan terjadi membuatnya beralih ke geng-geng buruh yang menekan, sebagai cara untuk membangun 'the Great Java Road' di sepanjang Anyer ke Panarukan, sementara tindakannya terkait perbudakan rumah tangga juga diarahkan guna mengurangi pelanggaran yang amat mencolok ketimbang menghapuskan institusi itu sendiri.
Pada masa Interregnum Inggris, kelas penguasa baru berbeda dengan kelas penguasa VOC. Kelasnya mrupakan kasta perwira, terdiri dari putra-putra yang lebih muda dan cabang-cabang kecil dari keluarga-keluarga Inggris kuno, komisi mereka dibeli dalam resimen-resimen dengan tradisi panjang dan dengan semangat korps yang dipupuk dengan tekun. Atau mereka, pejabat sipil Perusahaan Hindia Timur Inggris, orang-orang terpelajar, yang mewakili Inggris dan Kekaisaran India pada saat kekuasaannya meningkat, ketika kepercayaan terhadap moral dan perilaku Inggris belum tergoyahkan.
Kebudayaan yang khas tersebut melebur menjadi bagian-bagian penyusunnya, dan bangsa Indonesia dan Belanda pun berpisah, dikala Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pada bulan puasa dan mereka berdua pun sedang berpuasa. Sejarah Jakarta yang panjang dan berliku masih terus bergulir dan tiada keraguan saat para founding parents bersepakat menunjuk Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Dan kini, di era kebijakan 'tiba masa tiba akal', entah konon karena polusi—diriku tak bicara soal kolusi, atau hendak mengulang histori—ketika Presiden Marcos mengeluarkan Keputusan Presiden 824, pada tahun 1975, membentuk Metro Manila Commission (MMC), pemerintah pusat Metro Manila, dan menunjuk Imelda, isteri Marcos, sebagai pemimpinnya, menjadikannya Gubernur Metro Manila sejak saat itu, hingga Marcos digulingkan pada tahun 1986—Jakarta ingin dihapus dari daftar ibukota di ardi.

Joel Kotkin, pada tahun 2020 menulis, 'Feodalisme sedang bersiap muncul, lama seusai diyakini telah dibuang ke tong sampah sejarah.' Yuk kita obrolin pada sesi mendatang yaq. Bi 'idznillah."

Sambil menyongsong sesi selanjutnya, Sansevieria menembangkan lagu country-nya John Denver,

Dark and dusty, painted on the sky
[Kelam dan berdebu, tergambar di langit]
misty taste of moonshine,
[serasa berkabut gemerlap rembulan]
teardrop in my eye
[derai air-mata di mataku]
Country roads, take me home
[Jalan-jalan desa, bawa daku pulang]
to the place I belong *)
[ke tempat asalku]
Kutipan & Rujukan:
- Robert E. Atoerti, PKD. and Michael L. Emmons,Ph.EX, Stand Up, Speak Out, Talk Back! The Key to Self-Assertive Behavior, 1975, Pocket Books
- Leonard Blusse, Visible Cities: Canton, Nagasaki and Batavia and the Coming of the Americans, 2008, Harvard University Press
- Charles River Editors, The Dutch East India Company: The History of the World’s First Multinational Corporation, 2017, CreateSpace Independent Publishing Platform
- J. S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, 2010, Cambridge University Press
- G.L. Balk, F. van Dijk & D.J. Kortlang, The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta), 2007, BRILL
*) "Take Me Home, Country Roads" karya John Denver, Mary Catherine Taffy Nivert-Danoff, William Thomas Danoff
[Sesi 6]
[Sesi 4]