"Suatu hari, seorang menteri Sekretaris negara, saat menemani pak Presiden makan siang, mengucapkan terima kasih.'Ngomongnya yang agak keras dong pak menteri, gak kedengeran apa-apa!" sahut pak Presiden.'Ngapunten pak Presiden, omongan yang mana? Sa' udah lupa pak,' bisik pak Menteri.""Why do we speak?" Sansevieria lanjut membuka lembar catatan yang membuatnya, berjalan mundur. "'Yaq, dikau benar. Kita ngomong buat ng'luarin, kotoran telinga kita. Dokter cantik bilang, bahwa telinga kita, secara otomatis membersihkan dirinya saat kita berbicara, mengunyah atau kegiatan pergerakan rahang. Jadi, kita ngomong, untuk membuang kotoran yang kita dengar, yang nyangkut di telinga kita. Dan dikau bisa membayangkan bukan, jika kotoran bertumpuk di telingamu? Pendengaranmu berkurang dan engkau seolah bolot pada dunia sekitarmu, padahal sebenarnya, telingamu bengap dan pengang.Selain itu, kita ngomong memungkinkan kita membentuk koneksi, mempengaruhi keputusan, dan memotivasi perubahan. Tanpa keterampilan komunikasi, kemampuan agar maju dalam dunia kerja dan kehidupan hampir mustahil. Tak mungkin membuat simpanse ngomong, seperti mengucapkan kata-kata, kata Jean-Louis Desalles. Meskipun 98 persen genom kita sama dengan simpanse, masih terdapat perbedaan morfologi tertentu antara simpanse dan kita, salah satunya terletak pada struktur laring.Manusia memanfaatkan segala kemungkinan kombinatorial yang ditawarkannya. Sangat sedikit dari jutaan kalimat yang kita ucapkan sepanjang hidup kita, yang saling identik. Dalam hal ini, sistem komunikasi kita sungguh unik di antara makhluk hidup. Apa yang sebenarnya dilakukan manusia selama berjam-jam, yang mereka habiskan untuk ngomong atau mendengarkan orang lain berbicara, pasti menjadi pertanyaan yang sangat menarik bagi siapa pun, yang berusaha memahami sifat manusia. Bercerita, tak diragukan lagi merupakan perilaku yang membedakan spesies kita dari spesies lain. Kemampuan kita menarasikan pengalaman dan peristiwa masa lalu, termasuk peristiwa imajiner, merupakan hal yang unik bagi kita.Why then, we do speak with gestures? Ucapan tak dapat dipisahkan dari gestur atau gerak-tubuh. Gestur mengorkestrasi ucapan, kata David McNeill. Bagi seorang pembicara, wujud kognitifnya, yang tertanam dalam konteks, merupakan kesatuan gestur-ucapan. Bahasa bersifat dinamis melalui dialektika [(KBBI) hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah] dengan gerak tubuh, dan hidup bersamanya. Di balik dialektika ini, isyarat awalnya ada dalam bahasa. Pada mulanya bahasa merupakan kesatuan gerak-tubuh dan ucapan. Jika karena alasan tertentu, ia tertahan, isyarat batin, gambaran dalam bentuk tindakan, tetap ada dan 'bocor-halus' keluar melalui beberapa bagian tubuh lainnya. Gerak-tubuh dipandang sebagai struktur dan sebagai Energeia—bahasa sebagai 'momen makna yang diwujudkan' dan memadukannya. Dampaknya tak semata dirasakan dalam bahasa, melainkan pula, dalam setiap sudut kehidupan.And why do we hesitate to speak up? Ada kalanya dikau menimbang-nimbang untuk menyampaikan pendapatmu tentang suatu masalah yang penting bagi dirimu, kata Loretta Malandro. Engkau berdehem dan bersiap bicara, tapi kemudian, dirimu ragu-ragu. Percakapan berlanjut, dan engkau menarik diri kembali ke dalam pikiranmu yang kepingin aman. Dikau baru saja melewatkan kesempatan untuk menajuk.Dinamika politik di tempat kerja, dapat menyulitkanmu berkinja dan mengutarakan apa yang ada dalam pikiranmu. Keragu-raguan kita 'to speak up' atau 'angkat bicara', umumnya disebabkan oleh dua hal: pertama, penilaian kita yang berlebihan terhadap risiko yang dapat ditimbulkannya terhadap keamanan kerja dan kemajuan karier kita, dan kedua, ketakutan kita jika terlihat buruk—dikritik, diremehkan, atau lebih buruk lagi, dianggap gak penting. When you give up your voice, you give up your vote.But, were we created to sit? Sebagai produsen kursi, merupakan pengalaman yang sangat tak menyenangkan saat kusadari bahwa umat manusia, tak diciptakan untuk duduk: para insan diciptakan untuk berjalan, berdiri, berlari kecil maupun ngacir, berburu, memancing, dan bergerak; kala mereka hendak istirahat, mereka berbaring, kata T.M. Grimsrud. Pernyataan Grimsrud ini, mungkin bukan antropologi yang valid, menurut Edward Tenner. Jika ada cara duduk yang alami, kita takkan punya banyak desain kursi dengan prinsip yang sangat berbeda, dari berlutut hingga bersandar. Tak heran jika para seniman hampir selalu melukiskan Adam dan Hawwa' sewaktu di surga, sedang berdiri. Sebelum duduk, kita memang dalam keadaan tegak-berdiri. Berdiri dalam banyak hal, merupakan posisi yang lebih sehat ketimbang duduk, terutama duduk di kursi, yang cenderung memutar panggul ke depan dan menambah beban pada tulang belakang sekitar 30 persen. Duduk terlalu lama di tempat kerja, terbukti dapat mengecilkan tulang belakang dan untuk sementara waktu, menjadikan kaki membengkak.Sejarah kursi tradisional dimulai sekitar 5000 tahun yang lalu. Konsepsi yang kita miliki saat ini tentang posisi duduk yang benar, kemungkinan besar berasal dari para Firaun, padahal pekerjaan yang kita lakukan sambil duduk, tak ada hubungannya dengan peran penguasa atau kebutuhan mereka agar dielu-elukan oleh rakyatnya. Para Fir'aun duduk di singgasananya, dengan punggung yang meninggi kala hendak memerintah atau menerima sanjungan dari rakyatnya. Mereka duduk dengan punggung sangat lurus dan tegak lurus —90° di pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Tempat duduknya horizontal. Posisi duduk simetris ini, menekankan asal-usul keilahiannya.Kursi pun punya kehidupan sosial. Namun kursi dapat mewakili ketertiban maupun ketidakteraturan sosial. Baik atau buruk, kursi-kursi telah bergerak mengelilingi bumi seolah-olah mereka berjalan dengan kakinya sendiri, semuanya tersebar tak semata oleh para biarawan Spanyol yang telah kita catat, namun oleh antara lain: para misionaris Nestorian abad pertengahan di era Tiongkok, oleh para pedagang Portugis modern awal di Afrika Barat, dan oleh diplomat Prancis dan lainnya di Kekaisaran Ottoman. Kursi Emas Ashanti yang ternama, perwujudan kebangsaan, pun bertahta di kursinya sendiri. Kursi membawa kita, dan kita membawa kursi.Akan tetapi, kita masih belum puas pulak dengan kursi kita. Baik otoritas, percakapan, maupun kecerdasan, kini bukanlah objek dari kursi; kursi masih menjadi objek kegelisahan. Kursi semestinya memberi kenyamanan, dan saking nyamannya, kita tak mau menyerahkan kursi kita kepada wanita hamil atau mereka yang membawa anak-anak, para paruh-baya atau penyandang disabilitas, dimana mereka harus bersusah-payah naik ke dalam bus yang kita tumpangi. Semuanya lantaran memang, duduk itu, enak, walakin disertai was-wasah. Karenanya, kita hendaknya, tak perlu duduk berlama-lama.Thus, why Jakarta is the most important to Indonesia? Jakarta punya catatan sejarah panjang, jauh membentang dibanding lembaran yang kurentangkan. Salah satu catatan sejarah yang menarik, dituturkan oleh Jean Gelman Taylor. Studinya menggambarkan masyarakat kolonial yang terbentuk di pemukiman Belanda di pesisir Asia dan berkembang dalam waktu singkat menjadi kasta penguasa di kepulauan Indonesia. Taylor memaparkan kepada kita, bahwa ketika navigator Belanda Comelis Houtman pertama kali mendarat di Jacatra [Jakarta direpresentasikan sebagai Batavia tatkala masih menjadi kota Belanda dan sebagai Jacatra bagi kota Sunda pada periode sebelum tahun 1619] pada tanggal 13 November 1596, kota tersebut, sebuah pelabuhan kecil yang terletak di seberang muara Sungai Ciliwung, di pantai barat laut Jawa. Penduduknya, yang sebagian besar suku Sunda dan berjumlah ribuan, tinggal di balik pagar bambu; ada pemukiman kecil pedagang Chinese dan pembuat arak di luar tembok, di sisi Utara.Orang Belanda, orang Eropa pertama yang singgah di Jacatra. Dari tahun 1596 hingga 1610 kapal-kapal Belanda singgah di Jacatra mencari perbekalan. Pada tahun terakhir sebuah kontrak ditandatangani antara penguasa kota, Wijaya Krama, dan Jacques I'Hennite, agen Perusahaan Hindia Timur Belanda, memberi Belanda lahan di kawasan Chinese dan uang untuk membangun rumah batu di dalam kompleks bertembok.Tahun-tahun pertama di Jacatra berlalu dengan cukup damai. Namun, menjelang akhir tahun 1618, agen Perusahaan Perdagangan India Timur Inggris juga diberikan lahan dan hak istimewa di Jacatra, dan Jan Pieterszoon Coen, yang saat itu menjabat sebagai orang kedua di Perusahaan Belanda di Asia, bertekad membangun supremasi atas kota tersebut. Kemudian, pada akhir tahun 1618, Coen mundur ke Maluku guna mengumpulkan armada yang akan menghancurkan orang-orang Jacatra dan Bantam beserta sekutu Inggrisnya.Pada tanggal 23 Desember 1618, ketika kompleks Belanda di Jacatra dikepung oleh kelompok-kelompok yang bersekutu melawan VOC, pedagang senior Pieter van den Broeck dari semua yang tinggal di dalam tembok-temboknya, melakukan apel. Orang-orang Belanda sudah menunjukkan ciri-ciri yang menjadi ciri-ciri menetap mereka di Asia dan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di negara-negara kota asal mereka di Belanda: mereka pemilik budak dan mengambil selir dari kalangan perempuan setempat. Jadi merekalah yang menjawab panggilan tersebut, berjumlah sekitar 350 orang, ternyata mencakup orang-orang Asia yang merdeka dan budak, serta para pedagang, pemukim, wanita, dan tentara Eropa. Inilah elemen kunci masyarakat kolonial sepanjang masa Kompeni.Semua pejabat Kompeni di Timur berada di bawah hierarki di Batavia, seiring dengan penggantian nama Jacatra seusai penghancuran kota oleh Coen. Dari Batavia-lah, penunjukan ke pemukiman-pemukiman tambahan dibuat dan perintah-perintah umum dikeluarkan, dan di Batavia-lah, para pejabat meminta mutasi dan promosi. Semua dewan senior VOC di Asia, berkedudukan di Batavia: Dewan Pemerintahan Hindia, mahkamah agung, kantor kepala pembukuan, dan gudang. Jika kini kita melihat pegawai sipil Perusahaan Hindia Belanda di Asia dari bawah ke atas, kita akan menemukan penyalin dan juru tulis di tingkat paling bawah. Pada tahun-tahun awal berdirinya Batavia, mereka bermarkas di Kastil yang menggantikan kompleks asli Belanda. Mereka makan di meja bersama, karena pemukiman tersebut pertama kali dijalankan sebagai perkumpulan bujangan. Jam kerja mereka panjang dan berat, tak lagi mempertimbangkan iklim selain makanan yang mereka makan atau pakaian wol tebal yang mereka kenakan.Teorinya, seorang pegawai yang tekun dan cerdas, dapat naik pangkat di Kompeni menjadi asisten dan kemudian di bagian pembukuan, dan sedikit demi sedikit menjadi pedagang junior dan kemudian menjadi pedagang. Ia selanjutnya dapat bertindak sebagai administrator salah satu gudang Kompeni atau diutus memimpin salah satu pemukiman lainnya. Nantinya, ia dapat diangkat menjadi gubernur di salah satu daerah penting seperti Ambon atau Malaka. Dengan kesehatan yang baik dan keberuntungan, pegawai awal tersebut kemudian dapat dipindahkan kembali ke Batavia sebagai anggota dewan dan bahkan akhirnya menjadi gubernur jenderal. Faktanya, ada pula yang berhasil. Gubernur Jenderal Hendrik: Zwaardecroon, Jacob Mossel, Johannes Thedens, Abraham Patras, dan Reynier de Klerk, pada abad kedelapan belas, bermula sebagai anak-buah kapal atau tentara, beralih ke dinas sipil dan klerikal ketika mereka tiba di Batavia. Gubernur Jenderal Antonio van Diemen menempuh rute ini pada paruh pertama abad ketujuh belas.Hanya orang Belanda yang boleh menduduki jabatan tertinggi. Warga sipil menandatangani kontrak terbarukan yang memberikan mereka masa kerja selama lima tahun. Bagi sebagian orang, batas-batas Batavia adalah batas-batas dunia. Eropa pada abad ke-17 merupakan medan perang antara politik dan agama. Banyak dari mereka yang menandatangani ikatan dinas lima tahun sebagai prajurit Kompeni adalah orang-orang terlantar dan orang-orang miskin. Seringkali kesehatan mereka buruk sebelum melakukan perjalanan laut ke Batavia. Pada abad ketujuh belas, pelayaran bisa memakan waktu hingga sepuluh bulan. Telah lazim menganggap bahwa prajurit Kompeni adalah orang-orang yang berkarakter rendah, berpendidikan rendah, dan tak punya sumber daya. Pandangan seperti itu terutama dimulai dari Coen. Menulis kepada direktur pada tahun 1628, ia mengeluhkan kemalasan, kebodohan, dan omongan cabul para prajurit. Tentara selalu menjadi komponen Eropa terbesar di pemukiman Belanda di Indonesia. Hanya dapat diduga bahwa cuma sedikit sekali peradaban Eropa yang disebarkan. Tanpa pendidikan formal, yang berasal dari masyarakat Eropa yang terpinggirkan, tentara tak dapat mewariskan budaya borju khas Belanda kepada istri, gundik, atau anak-anak mereka.Budak merupakan bagian besar dalam populasi pemukiman Kompeni. Banyak orang-orang tersebut budak rumah tangga atau turut dalam kerajinan tangan dan perdagangan eceran atas tanggungan pemiliknya. Yang lain bekerja sebagai pelayan, penjaga honorer, dan musisi. Beberapa budak diberi upah kecil sebagai tambahan jatah mereka, dan beberapa budak yang digaji mampu membeli pembebasan mereka. Yang lainnya dibebaskan oleh kebaikan-hati pemiliknya, baik setelah budak tersebut berpindah agama menjadi Kristen maupun mengikuti ketentuan wasiat pemiliknya. Kebanyakan budak meninggal dalam perbudakan, kekurangan gizi, tempat tinggal yang buruk, dan pakaian yang buruk. Hukumannya keras, hukuman yang paling kejam diberikan oleh pemilik atau pengawas.Sejak dahulu, bahasa Melayu digunakan oleh Belanda berkomunikasi dengan banyak orang yang mereka temui, kendati bahasa Portugis sering digunakan pada abad ketujuh belas. Korespondensi resmi antara penguasa Indonesia dan pejabat Kompeni sering dilakukan dalam bahasa Portugis, dan bahasa Portugis juga terdengar di jalan-jalan, di pasar, di gereja, dan di rumah-rumah tempat laki-laki Eropa memelihara simpanan orang Asia.Pemeran karakter seperti yang muncul dalam absensi tahun 1618 kini telah lengkap: tentara dan warga sipil dari berbagai belahan Eropa; warga negara bebas; Orang-orang Asia, semuanya dikelompokkan sebagai 'orang berkulit gelap'; dan kaum perempuan, baik orang Belanda, penduduk nusantara, maupun dari India. Seluruh elemen penting ini, penduduk perkotaan sepanjang masa Kompeni. Tiga kelompok hilang. Salah satunya adalah orang Chinese yang bermukim di Batavia dalam jumlah besar setelah Batavia menjadi pusat kekuasaan VOC di Asia. Dua lainnya masih belum terlihat; mereka muncul dari kelompok yang telah disebutkan. Yang pertama, bangsa Eurasia, atau Mestizos, yang berasal dari persatuan antara Eropa dan Asia. Yang lainnya, orang Indonesia tulen, lebih sulit diidentifikasi. Mereka muncul sebagai kategori budaya masyarakat Batavia: budak impor; Orang-orang Eurasia ditinggalkan ketika masih anak-anak oleh ayah berkulit putih; dan masyarakat dari seluruh pelosok nusantara tertarik ke kota ini, lantaran prospek peluang-peluang baru. Pada saat itu, kelompok yang diklasifikasikan sebagai 'Pribumi' ini sama sekali tidak homogen, karena kelompok ini mencakup Kristen dan Muslim, dan kemudian, orang-orang untuk sementara waktu diidentifikasi secara terpisah sebagai Mardijkers.Semua kelompok ini, berkumpul di Batavia dan tumbuh dari sana. Dalam menaklukkan Jacatra, Coen telah menghancurkan pusat kota kembar, kabupaten, atau kediaman resmi penguasa Sunda setempat, dan masjid. Di atas reruntuhan Jacatra, ia membangun benteng bertembok, Kastil Batavia, menggantikan kabupaten Indonesia dan masjid Islam sebagai pusat otoritas dan prestise baru. Di kota itu sendiri, tumbuhlah masyarakat istimewa, yang terisolasi dari masyarakat Indonesia lainnya.Tembok lain yang berkontribusi terhadap isolasi masyarakat ialah tembok yang dibentuk oleh hutan di sekitarnya. Hewan-hewan liar cukup berani datang langsung ke tembok luar kota dan menangkap pekerja dari ladang gula. Premi untuk harimau yang ditangkap, baru dihentikan pada tahun 1762. Budak yang melarikan diri dan orang Bantam yang bermusuhan, juga membuat lingkungan sekitar Batavia berbahaya bagi orang Eropa. Pada tahun 1642, kaum perempuan secara tegas dilarang melewati batas kota, dengan ancaman denda, karena risiko serangan dari 'orang-orang yang bersembunyi di hutan, bajingan, orang Jawa, dan musuh-musuh kita lainnya.' Oleh karenanya, dalam waktu yang panjang, saluran keluar utama kota ini, melalui laut, yang didominasi Belanda dan menghubungkan Batavia dengan negeri Belanda dan permukiman Asia lainnya.Secara budaya, Batavia juga terisolasi. Banyak penduduk asli Sunda yang mengungsi pada tahun 1619. Semua orang Jawa, kelompok etnis utama di pulau tersebut (terutama di bagian tengah dan timur), dikeluarkan dari kota, dan populasi baru didatangkan dari berbagai wilayah di Asia dan Eropa. Belakangan, ketika perjanjian perdamaian ditandatangani dengan Banten dan Mataram, daerah pinggiran kota di luar Batavia meluas, dan orang-orang kaya mulai pindah lebih jauh dari kota, membuat taman rekreasi diri mereka sendiri dan melakukan perjalanan ke hulu sungai. Lambat laun jaringan masyarakat yang terbentuk di dalam pemukiman tersebut, juga bergerak melampauinya. Pertumbuhan Batavia yang pesat dan cepat ini, memaksa para pejabat senior Belanda di Asia, merancang undang-undang dan lembaga yang dapat mengendalikan penduduk kota.Pengunjung abad pertengahan ke Batavia, pasti akan memperhatikan gereja-gereja batu yang berdiri di tengah-tengah rumah-rumah bergaya Belanda di kota tersebut. Semuanya dimaksudkan untuk beribadah dengan cara Gereja Refonned, satu-satunya denominasi yang dikanonisasi oleh direktur Kompeni dalam kepemilikan mereka di luar negeri. Pada awalnya, ibadah umum dilakukan di balai kota, dan karakter resmi yang diberikan oleh gereja Calvinis ini, semakin diperkuat dengan kebiasaan jemaat pagi dan sore di Kastil, yang harus dihadiri semua orang. Istirahat hari Minggu, yang ditetapkan pada awal Januari 1620, menandai Batavia sebagai 'the externals of a godly city'.Penguasa Batavia membedakan antara Eropa, Eurasia, dan Indonesia. Walau agama merupakan ikatan pemersatu, orang-orang Asia dan sebagian Asia mempunyai peringkat sosial yang lebih rendah. Memang benar bahwa lelaki kaya dan berkedudukan tinggi dapat mempromosikan putra-putra mereka yang keturunan Asia dan bahwa lelaki Eurasia di pemukiman-pemukiman yang berada di bawah Batavia, dan di Batavia sendiri pada abad kedelapan belas, sungguh berpengaruh dan berotoritas.Menurut peraturan panti asuhan tahun 1752, pakaian dialokasikan dengan cara berikut. Kepada gadis-gadis Eropa diberikan setiap tahun: 2 blus dari katun biasa yang diputihkan; 4 korset linen China; 2 rok chintz; 2 buah kebaya model pelaut (overblouse); 2 buah kebaya kain surat; 1sarung Makassar; 3 saputangan; 3 pasang stoking; 2 pasang sepatu; dan 2 pasang sandal. Setiap tahun kedua mereka menerima 1 rok katun bermotif bunga dan 1 pasang penginapan. Jatah pakaian untuk anak perempuan Mestiza terdiri dari: 2 blus halus dari kain guinea; 1 blus kasar dari kain yang diputihkan; 3 korset linen China; 2 kebaya model pelaut; 4 kerudung halus Bengali; 1 pakaian bagus dari sari India; 2 saputangan; 2 pasang sepatu; 2 pasang sandal; dan 3 pasang stoking. Perlu diperhatikan bahwa kelahiran Mestiza tak memuat pakaian khas Eropa, seperti korset; sebaliknya, Mestiza [sebuah istilah yang digunakan Belanda pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas untuk menyebut orang-orang yang berlahiran campuran] menerima lebih banyak item kostum Asia, semisal kerudung.""Sepertinya, aku masih membutuhkan satu sesi lagi untuk menyampaikan perspektif Jean Gelman Taylor tentang Jakarta, Jacatra ataupun Batavia. Jadi, kita teruskan ke sesi selanjutnya yaq, bi 'idznillah."Sambil menunggu sesi terusannya, Sansevieria bersenandung,Dan bawaku kesanadunia fatamorganaTermanja-manja oleh rasadan ku terbawaterbang tinggi oleh suasana *)
Kutipan & Rujukan:
- Jean-Louis Desalles, Why We Talk: The Evolutionary Origins of Language, 2007, Oxford University Press
- David McNeill, Why We Gesture: The surprising Role of Hand Movements in Communication, 2016, Cambridge University Press
- Loretta Malandro Ph. D, Speak Up, Show Up and Stand Out, 2015, McGraw-Hill Education
- T. M. Grimsrud, Humans were not created to sit-and why you have to refurnish your life, 1990, Ergonomics
- Edward Tenner, Our Own Devices: How Technology Remakes Humanity, 2009, Vintage Books
- Jean Gelman Taylor, Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia, 2009, the University of Wisconsin Press
*) "Sebenarnya Cinta" karya Sabrang Mowo Damar Panuluh