Senin, 18 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (8)

"Pada suatu malam, seorang eksekutif muda sedang bersiap meninggalkan kantornya, saat ia menemukan sang CEO, berdiri di depan mesin penghancur kertas, dengan selembar kertas di tangannya.
'Dokumen ini, sangat sensitif dan amat penting,' kata sang CEO, 'dan jeng sekretaris, udah pulang malam ini. Bisa bantu saya Mas?'
'Oh, siyap Pak!" jawab sang eksekutif muda dengan penuh semangat. Ia lalu menyalakan mesin penghancurnya, memasukkan kertasnya, dan menekan tombol merah START-nya.
'Mantaap! Makasih!' kata sang CEO, saat kertas tersebut, lebur ke dalam mesin penghancur. 'Oiya Mas, tolong copy-nya, sattuu lembar ajjah ...!'"

“Why do some societies make disastrous decisions?” tanya Sansevieria sembari memajang beberapa potret karya Jared Diamond. "Coba deh perhatiin ini: Pendidikan itu, sebuah proses yang melibatkan dua 'kelompok' partisipan yang seyogyanya memainkan peran berbeda: guru yang memberikan ilmu kepada para siswanya, dan siswa yang menyerap ilmu dari sang guru. Faktanya, seperti yang ditemukan oleh setiap guru yang berpikiran terbuka, pendidikan itu, juga tentang siswa yang menyampaikan ilmu kepada gurunya, dengan 'menyanggah' asumsi sang guru, dan dengan mengajukan pertanyaan yang sebelumnya, tak terpikirkan oleh sang guru.
Pertama-tama, suatu kelompok mungkin tak mampu mengantisipasi suatu masalah, sebelum masalah tersebut benar-benar terjadi. Kedua, ketika masalah datang, kelompok tersebut, mungkin tak menyadarinya. Lalu, setelah mereka menyadarinya, mereka mungkin takkan berhasil menyelesaikannya. Akhirnya, mereka mungkin berusaha merampungkannya, tapi tak berbuah. Walaupun seluruh percakapan tentang asas kegagalan dan keruntuhan masyarakat, mungkin tampak menyedihkan, dibalik peristiwa itu, ada hal yang menggembirakan, yakni: tentang pengambilan keputusan yang sukses. Amat memungkinkan, bila kita memahami dalil mengapa sekelompok orang atau masyarakat, sering mengambil keputusan yang buruk, kita dapat menggunakan dalil tersebut, sebagai acuan checklist guna memandu kelompok atau masyarakat, dalam mengambil keputusan yang baik.

Suatu kelompok atau komunitas, bisa saja, melakukan hal-hal yang membawa malapetaka, lantaran mereka tak mampu mengantisipasi suatu masalah, sebelum masalah itu datang. Sepertinya, mereka tak punya pengalaman sebelumnya mengenai masalah-masalah tersebut, sehingga, boleh jadi, tak peka terhadap kemungkinan-kemungkinannya. Salah satu contoh masyarakat yang kandas mengantisipasi masalah yang belum pernah mereka alami sebelumnya, adalah suku Maya di Copan. Mereka tak bisa memperkirakan bahwa penggundulan hutan di lereng bukit, bakalan memicu erosi tanah dari lereng hingga ke dasar lembah.
Kendati pengalaman masa lalu pun, tak menjamin bahwa suatu masyarakat dapat mengantisipasi suatu masalah, jika pengalaman tersebut, terjadi terlalu lama, hingga terlupakan. Terutama bila menjadi masalah bagi masyarakat yang tak terliterasi, yang berkapasitas lebih kecil dibanding masyarakat melek huruf, dalam menyimpan ingatan rinci tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu, disebabkan oleh keterbatasan penyampaian informasi secara lisan dibanding dengan tulisan. Misalnya, masyarakat Anasazi di Ngarai Chaco, sukses bertahan dari beberapa musim kering sebelum mengalami kekeringan besar pada abad ke-12 M. Namun musim kering sebelumnya, telah terjadi jauh sebelum lahirnya suku Anasazi yang terkena dampak kekeringan besar tersebut, sehingga hal ini, tak dapat diantisipasi karena Anasazi kurang literasi. Demikian pula dengan suku Maya di dataran rendah jaman baheula, yang mengalami kekeringan pada abad ke-9, meskipun wilayah mereka telah terkena dampak kekeringan berabad-abad sebelumnya. Dalam hal ini, walaupun bangsa Maya melek-huruf, mereka lebih suka mencatat perbuatan raja-raja dan kejadian-kejadian astronomi, ketimbang laporan cuaca, sehingga kekeringan pada abad ke-3, tak membantu bangsa Maya mengantisipasi kekeringan pada abad ke-9.
Dalam masyarakat melek huruf modern yang tulisannya membahas subjek selain para raja dan planet, itu bukan berarti bahwa kita memanfaatkan pengalaman menulis sebelumnya. Yang katanya masyarakat modern pun, cenderung melupakan sesuatu. Tatkala kota Tucson di Arizona mengalami kekeringan parah pada tahun 1950-an, warganya yang khawatir, bersumpah bahwa mereka akan mengelola air-bersih dengan lebih baik, malahan seketika membangun lapangan golf, kembali ke cara-cara yang boros air.

Argumen lain mengapa masyarakat tak mampu mengantisipasi suatu problem, ialah karena menggunakan analogi yang keliru. Di saat kita berada dalam situasi yang asing, kita melukiskan kembali analoginya, dengan keadaan lama, yang telah kita kenal. Cara ini, memang baik bila diteruskan, kalau, keadaan lama dan yang baru, benar-benar sama, namun bisa berbahaya, jika keduanya, hanya terlihat mirip.
Contoh modern yang tragis dan banyak dikenang orang, tentang penalaran dengan analogi yang keliru, semisal persiapan militer Prancis pada Perang Dunia II. Dalam penalaran dengan analogi yang keliru seusai Perang Dunia I, para jenderal Prancis, membuat kekeliruan yang lumrah: para jenderal seringkali merencanakan perang yang akan datang, seolah-olah bakalan seperti perang sebelumnya, terutama jika kemenangan perang sebelumnya, berada dipihak mereka.
Setelah suatu masyarakat sudah atau belum mengantisipasi suatu ihwal sebelum ihwalnya datang, mungkin pula, masyarakat tersebut, paham atau tak paham jika kejadian yang sebenarnya, telah tiba. Mengapa? Pertama, asal muasal beberapa masalah sebenarnya, tertumbuk pandang. Misalnya, unsur hara yang bertanggungjawab atas kesuburan tanah, tak kasat mata, dan hanya di zaman modern, barulah unsur hara tersebut, dapat diukur melalui analisis kimia. Argumen lain yang sering menyebabkan 'gagal paham' atas suatu masalah setelah masalah itu terjadi, yakni para manajer yang berjarak terlalu jauh, yang merupakan sebuah masalah potensial dalam masyarakat atau bisnis besar mana pun.
Mungkin keadaan yang paling umum dimana masyarakat tak dapat mengerti akan suatu masalah adalah ketika masalah tersebut, berbentuk tren lambat, yang tertutup oleh fluktuasi naik-turun yang besar. Contoh utama di zaman modern adalah pemanasan global. Penduduk Greenland pada abad pertengahan, kesulitan mengenali bahwa iklim mereka, berangsur-angsur menjadi lebih dingin, dan suku Maya serta Anasazi, tak menyadari bahwa iklim mereka, semakin kering. Para politisi menggunakan istilah 'creeping normalcy' untuk merujuk pada tren lambat yang berlindung di balik fluktuasi yang berisik. Jika perekonomian, sekolah-sekolah, kemacetan lalu lintas, atau kondisi lainnya memburuk secara perlahan, maka sulit disadari bahwa rata-rata kondisinya agak memburuk setiap tahunnya, dibanding tahun sebelumnya, sehingga standar dasar terhadap apa yang dimaksud dengan 'normalcy' berubah secara bertahap dan tanpa disadari. Boleh jadi, diperlukan waktu beberapa dekade melalui serangkaian perubahan kecil dari tahun ke tahun, sebelum masyarakat tersadar, dengan terkejut, bahwa keadaan beberapa dekade yang lalu, yang dulunya jauh lebih baik, dan bahwa apa yang dipandang sebagai normalcy, kini mulai terbenam. Semuanya sukar disadari, lantaran berada dibalik belukar.

Masyarakat pun acapkali tak berhasil dalam upaya memecahkan suatu masalah, usai masalah tersebut diketahui. Hal inilah yang amat mengejutkan dan memerlukan percakapan yang cukup panjang, sebab wujudnya amat beragam. Banyak dalil kegagalan tersebut, dimasukkan ke dalam apa yang oleh para ekonom dan ilmuwan sosial lainnya, menyebut 'rational behavior', yang mencuat dari benturan kepentingan antar manusia. Maknanya, ada beberapa orang yang punya argumen benar bahwa mereka dapat memajukan kepentingannya sendiri melalui perilaku yang merugikan orang lain. Para pelaku kejahatan, menyebut perilaku seperti ini 'rasional', sebab perilaku tersebut, menggunakan penalaran yang benar, walau secara moral, tercela.
Para pelaku kejahatan, tahu bahwa mereka kerap bisa lolos dari perilaku buruknya, terutama jika tiada hukum yang melarangnya atau jika hukum tak ditegakkan secara efektif. Mereka merasa aman karena para pelaku kejahatan biasanya terkonsentrasi (jumlahnya sedikit) dan sangat termotivasi oleh prospek memperoleh keuntungan yang besar, pasti, dan langsung, sedangkan kerugiannya, tersebar ke sejumlah besar individu. Hal ini memberikan cuma sedikit motivasi bagi pihak yang dirugikan guna bersusah payah melawan, karena setiap pihak yang rugi, hanya mengalami tekor yang minim dan cuma akan menerima keuntungan yang kecil, tak pasti, dan bahkan diluar harapan, jika berhasil membatalkan perebutan kekuasaan oleh kelompok kecil tersebut. Jenis perilaku buruk rasional yang sering terjadi ialah 'baik bagiku, buruk bagimu dan bagi orang lain'—blokosutonya, 'egois'.

Amat sulit memutuskan, akankah seseorang meninggalkan 'core values'-nya, disaat 'values' tersebut, nampak tak sesuai dengan kelangsungan hidupnya. Pada titik manakah kita sebagai individu, lebih memilih mati ketimbang berkompromi dan hidup? Jutaan orang di zaman modern memang menghadapi keputusan, demi menyelamatkan hidup mereka, relakah mereka mengkhianati teman atau kerabatnya, bisa akurkah dengan pemerintahan yang agak diktator, hidup sebagai budakkah, atau meninggalkan negaranya. Bangsa dan masyarakat terkadang harus mengambil keputusan serupa secara kolektif. Segala putusan seperti itu, memerlukan pertaruhan, sebab acapkali, seseorang tak yakin bahwa berpegang teguh pada 'core values', akan berakibat fatal, atau (sebaliknya) bahwa mengabaikan 'values' tersebut, bakalan menjamin kelangsungan hidupnya.
Mungkin, berhasil atau ambyarnya suatu masyarakat, hakikatnya ialah mengenali 'core values' mana yang hendaknya dipegang teguh, dan 'values' mana yang seyogyanya dibuang dan diganti dengan nilai-nilai baru, tatkala zaman berubah. Dalam 60 tahun terakhir, negara-negara terkuat di dunia, telah menjauh dari nilai-nilai yang telah lama dipegang teguh, yang sebelumnya penting bagi citra nasional mereka, dan teguh berpegang pada nilai-nilai lain. Inggris dan Perancis menanggalkan peran mereka yang telah berabad-abad lamanya, sebagai kekuatan dunia yang bertindak secara independen; Jepang memencilkan tradisi militer dan angkatan bersenjatanya; dan Rusia melupakan eksperimen panjangnya terhadap komunisme. Amerika Serikat telah mundur teratur (namun tak sepenuhnya) dari nilai-nilai lamanya, yaitu diskriminasi rasial yang dilegalkan, homofobia yang dilegalkan, peran perempuan yang subordinat, dan penindasan seksual. Australia, kini mengevaluasi kembali statusnya sebagai masyarakat pertanian pedesaan dengan identitas Inggrisnya. Masyarakat dan individu yang sukses, kemungkinan adalah mereka yang punya keberanian mengambil keputusan sulit, dan beruntung memenangkan pertaruhannya. Seluruh dunia, kini menghadapi keputusan serupa mengenai masalah lingkungan.
Motif-motif umum yang lebih jauh tak masuk akal, yang menyebabkan tak berjayanya masalah teratasi, ialah bahwa masyarakat mungkin sangat tak menyukai orang-orang yang, kali pertama, mengetahui dan mengeluhkan masalah tersebut. Barangkali, masyarakat mengabaikan peringatan, lantaran sinyalemen sebelumnya, terbukti merupakan 'false alarm', seperti yang diilustrasikan oleh fabel Aesop tentang nasib anak gembala yang berulangkali teriak 'Serigala!' dan pekikan minta tolongnya, kemudian diabaikan saat seekor serigala, memang muncul. Masyarakat mulai sirik terhadap tanggungjawabnya, dengan bergumam, 'Itu derita loe!'
Alibi spekulatif terbontot atas bencana irasional dalam berusaha memecahkan masalah yang dirasakan adalah, penolakan psikologis. Terma teknis dengan makna yang didefinisikan secara tepat dalam psikologi individu, dan telah teradopsi ke dalam budaya pop. Jika sesuatu yang dikau rasakan membangkitkan emosi yang menyakitkan dalam dirimu, engkau mungkin secara tak sadar, menekan atau menyangkal persepsimu, guna menghindari rasa-sakit yang tak tertahankan, meskipun akibat praktis dari mengabaikan persepsimu, pada akhirnya dapat membawa bencana. Emosi yang tersering menjadi penyebabnya ialah teror, kecemasan, dan kesedihan. Contoh yang umum, antara lain memblokir ingatan akan pengalaman yang menakutkan, atau menafikan kemungkinan suami, istri, anak, atau sahabatmu, akan meninggal, sebab bayangan tersebut, sangat menyedihkan.

Yang terakhir, kalaupun suatu masyarakat telah mengantisipasi, memahami, atau berusaha memecahkan suatu masalah, masyarakat masih tak bisa merampungkannya, karena beberapa faktor yang nyata: masalah tersebut mungkin berada di luar kemampuan kita agar dapat terselesaikan, boleh jadi, ada solusi, tapi biayanya amat mahal, atau upaya kita, mungkin terlalu sedikit dan terlambat. Adanya upaya solusi, justru jadi bumerang, dan memperburuk masalah.

Sekarang, kita balik lagi ke potretnya Kotkin. Secara historis, feodalisme bukanlah sistem yang monolitik [kesatuan yang terorganisasi membentuk kekuatan tunggal dan berpengaruh], dan di beberapa tempat, ia bertahan lebih lama dibandingkan di tempat lain. Namun ciri-ciri tertentu yang menonjol dapat dilihat dalam struktur feodal di seluruh Eropa abad pertengahan: tatanan masyarakat yang sangat hierarkis, jaringan kewajiban pribadi yang mengikat bawahan dengan atasan, masih adanya kelas tertutup atau 'kasta', dan status perbudakan permanen bagi sebagian besar populasi. Kelompok yang sedikit mendominasi kelompok yang banyak, dengan hak yang wajar. Pemerintahan feodal jauh lebih terdesentralisasi dibanding Kekaisaran Romawi yang mendahuluinya atau negara-negara setelahnya, dan pemerintahan ini, lebih bergantung pada hubungan pribadi dibandingkan kapitalisme liberal atau sosialisme statis. Namun di era feodal, cita-cita statis masyarakat yang tertata, didukung oleh ortodoksi yang diwajibkan, mengalahkan dinamisme dan mobilitas, dalam kondisi stagnasi ekonomi dan demografi.
Sejarah tak selalu bertamadun, menuju kondisi yang lebih maju atau tercerahkan. Ambruknya peradaban klasik merupakan salah satu contohnya. Peradaban tersebut beraspek yang kejam dan tak adil, termasuk penggunaan budak secara ekstensif, pula, melahirkan dinamisme budaya, sipil, dan ekonomi yang menyebar dari Timur Dekat hingga Spanyol, Afrika Utara, dan Inggris. Ia membangun sekumpulan filosofi, hukum, dan bentuk kelembagaan yang menjadi dasar liberalisme modern. Namun seiring dengan terpecahnya peradaban klasik—yang disebabkan oleh disfungsi internal dan tekanan eksternal—wilayahnya berubah menjadi keamburadulan politik, kemunduran budaya, serta stagnasi ekonomi dan demografi.
Seperti semua struktur sosial, tatanan liberal, juga membawa ketidakadilan. Yang sangat mencoreng-muka, perbudakan dihidupkan kembali dan meluas ke wilayah-wilayah yang baru dijajah. Selain itu, revolusi industri menggantikan industri rumahan dengan pabrik dan menciptakan proletariat perkotaan yang miskin dan hidup di ambang penghidupan. Namun selama abad kedua puluh, khususnya setelah Perang Dunia Kedua, kehidupan menjadi jauh lebih baik bahkan bagi sebagian besar kelas pekerja, dan tatanan menengah terus tumbuh dalam hal kemakmuran dan hitungan. Aksi-aksi pemerintah, juga turut berperan—semisal, memberikan subsidi kepemilikan rumah, membangun infrastruktur baru, dan memberi izin serikat pekerja. Menghubungkan kebijakan-kebijakan tersebut dengan mesin pertumbuhan ekonomi guna mendorong gerakan massa menuju kemakmuran, yang merupakan pencapaian utama kapitalisme liberal.

Sama seperti elit klerus yang berbagi kekuasaan dengan kaum bangsawan di era feodal, hubungan antara 'kleris' [istilah Kotkin tentang orang-orang yang mendominasi jaringan global dari 'cultural creators', akademisi, media, dan bahkan sebagian besar sisa lembaga keagamaan tradisional] dan oligarki, merupakan inti dari neo-feodalisme. Kedua kelas ini, sering berguru di perguruan yang sama dan tinggal di lingkungan serupa di perkotaan. Secara keseluruhan, mereka berpandangan dunia yang sama dan bersekutu dalam banyak persoalan, meski terkadang ada konflik, seperti yang terjadi antara bangsawan abad pertengahan dan para padri. Tentu saja, mereka punya pandangan yang sama mengenai globalisme, kosmopolitanisme, the value of credentials [hal-hal yang perlu dirahasiakan], dan otoritas para ahli.
Hubungan kekuasaan ini, dimungkinkan oleh teknologi yang dulunya dipandang luas memberikan harapan besar bagi demokrasi akar rumput dan pengambilan keputusan, namun kini, menjadi alat pengawasan dan konsolidasi kekuasaan. Bahkan ketika halaman-halaman di internet berkembang, memberi kesan demokrasi informasi, sekelompok kecil perusahaan, mengontrol lebih ketat terhadap arus informasi dan bentuk budaya. Juragan baru kita, tak lagi mengenakan baju zirah dan topi baja, melainkan mengarahkan masa depan kita dengan jeans dan hoodies. Para elit teknokratis ini, merupakan realisasi abad ke-21 dari apa yang Daniel Bell sebut sebagai 'a new priesthood of power' berdasarkan kepakaran ilmiah.
Masa depan politik, setidaknya di negara-negara berpendapatan tinggi, akan berkisar pada kemampuan kelompok dominan, menjamin penyerahan 'the Third Estate' [Prancis di bawah Ancien RĂ©gime (sebelum Revolusi Perancis) membagi masyarakat menjadi tiga kelompok: the First Estate (klerus); the Second Estate (bangsawan); dan the Third Estate (rakyat jelata). Raja bukanlah bagian dari 'estate' manapun].
Kleris modern seringkali mengklaim sains sebagai dasar doktrinnya dan menyebut kredensial akademis sebagai kunci status dan otoritas. Mereka berupaya menggantikan 'bourgeois values' tentang penentuan nasib sendiri, keluarga, komunitas, dan bangsa dengan gagasan 'progresif' mengenai globalisme, pendefinisian ulang peran gender, dan otoritas kaum campin. Values ini, ditanamkan melalui dominasi para kleris atas institusi pendidikan tinggi dan media, dibantu oleh kontrol oligarki atas teknologi informasi dan saluran-saluran budaya.

Salah satu konsekuensi dari tren perekonomian saat ini adalah, meningkatnya pesimisme di negara-negara berpendapatan tinggi. Separuh penduduk Eropa, meyakini bahwa generasi mendatang akan mengalami kondisi ekonomi yang lebih buruk dibanding generasi mereka, menurut Pew Research Center. Di Perancis, pandangan pesimis didominasi tujuh berbanding satu. Tren pesimistis juga terlihat pada masyarakat yang biasanya lebih optimis seperti di Australia, Kanada, dan Amerika Serikat (57 persen). Pesimisme juga tumbuh di Asia Timur yang menjadi dinamo perekonomian di era kekinian. Di Jepang, tiga perempat responden yang disurvei memperkirakan bahwa generasi mendatang bakal mengalami hal yang lebih buruk, dan ekspektasi tersebut juga mendominasi di negara-negara sukses seperti Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Banyak anak muda di China, punya dalil pesimis: pada tahun 2017, delapan juta lulusan perguruan tinggi, masuk pasar kerja dan mendapati bahwa mereka hanya mampu memperoleh gaji, yang mungkin mereka peroleh dengan bekerja di pabrik setelah lulus SMA.
Tanda pesimisme lainnya adalah menurunnya angka kelahiran, terutama di negara-negara berpendapatan tinggi. Di Eropa dan Jepang, dan bahkan di Amerika Serikat, yang relatif subur, tingkat kesuburannya mendekati titik terendah dalam sejarah, meskipun para wanita muda menyatakan keinginan punya lebih banyak anak. Stagnasi demografis ini, yang merupakan pula kemunduran pada Abad Pertengahan, punya beragam penjelasan, termasuk tingginya tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan keinginan lebih banyak waktu luang. Kausa lainnya adalah alasan ekonomi, termasuk kurangnya perumahan keluarga yang terjangkau. Kapitalisme liberal pada masa kejayaannya membangun sejumlah besar perumahan yang terjangkau bagi kelas menengah dan kelas pekerja yang bermobilitas tinggi, namun feodalisme baru membangkitkan dunia dimana semakin sedikit orang yang mampu memiliki rumah. Tren berkurangnya ekspektasi, telah melemahkan dukungan terhadap kapitalisme liberal bahkan di negara-negara yang demokrasinya kuat, khususnya di kalangan generasi muda. Dibanding generasi sebelumnya, mereka kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi, tak hanya di Amerika Serikat, juga di Swedia, Australia, Inggris, Belanda, dan Selandia Baru. Orang-orang yang lahir pada tahun 1970-an dan 1980-an, tak begitu menentang penegasan kekuasaan yang tak demokratis seperti kudeta militer, dibanding mereka yang lahir pada tahun 1930-an, 1940-an, dan 1950-an.

Belakangan ini, terjadi penolakan terhadap demokrasi liberal di seluruh dunia. Para pemimpin otoriter sedang mengkonsolidasikan kekuasaan di negara-negara yang sebelumnya tampak berada pada jalur liberalisasi—Xi Jinping di China dan Vladimir Putin di Rusia. Di negara-negara yang lebih demokratis, kita bisa melihat kerinduan baru akan sosok orang kuat, yang banyak di antaranya, berfungsi sebagai otoriter. Banyak orang yang kehilangan kepercayaan terhadap prospek kebebasan, justru mencari pelindung yang bersifat paternalistik. Para pemimpin otoriter seringkali bangkit dengan membungkas kejayaan masa lalu dan memicu kebencian, baik yang lama maupun yang baru. Pada akhir Perang Dingin, dunia nampak sedang bergerak menuju masa depan yang lebih demokratis, namun tatanan dunia baru saat ini, justru menjadi musim semi yang menjanjikan bagi para diktator.

Kita cukupkan sesi kita kali ini dan lanjut pada sesi berikutnya, bi 'idznillah. Sekarang, perkenankan aku ke ruang belakang barang sebentar, soalnya 'Aku mau tidur!'"
Dan seraya berjalan menuju ruang belakang, Sansevieria bersenandung,

You may say I'm a dreamer
[Dikau boleh bilang daku pemimpi]
But I'm not the only one
[Tapi tak semata diriku]
I hope someday you'll join us
[Kuberharap kelak dirimu bergabung dengan kami]
And the world will live as one *)
[Dan duniapun akan hidup menyatu]
Kutipan dan Rujukan:
- Jared Diamond, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, 2005, Viking Penguin
- Joel Kotkin, The Coming of Neo Feodalism: A Warning to Global Middle Class, 2020, Encounter Books
*) "Imagine" karya John Winston Lennon
[Sesi 9]
[Sesi 7]