Sabtu, 23 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (10)

"Seorang murid, yang sedang belajar silat, diminta oleh suhunya ngafalin hukum gravitasi keempat, duduk di bawah pohon apel, lalu, beberapa saat kemudian, berseru, 'Aha!'
Ia pun seketika melaporkan hasil reka-ciptanya kepada sang suhu, bahwa ia telah menemukan sebuah teori baru yang disebutnya, 'Tragedi Apel Merah'. Sang suhu berharap, agar ia mendefinisikannya dengan ringkas.
'Ternyata,' papar sang murid, 'apel merah itu, gak beda-beda amir ama pohonnya!'"

“Why do we ask question?” ucap Sansevieria sembari membuka album foto. "Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengajukan pertanyaan, walau itu gak penting semisal bertanya ringan pada bapak penjual sate favorit kita, tentang mengapa ia mengusap keningnya dengan minyak urat, dan ia akan menjawab, 'Boabo, 'dah leng-aleleng jualan te-sate, tapi belum laku, kepala jadi pusing taiye.'
Kita hidup di dunia yang serba cepat, penuh tuntutan, dan berorientasi pada hasil. Teknologi baru menempatkan sejumlah besar informasi di ujung jari kita dalam hitungan nanodetik. Kita kepingin masalah terselesaikan secara instan, hasilnya seketika, jawabannya segera, kata Michael J. Marquardt. Kita terdesak hingga melupakan 'siap-siap, bidik, lalu tembak' kemudian menembak dan nembak lagi. Para pemimpin diharapkan tegas, berani, karismatik, dan visioner—'weruh sak durunge winara'.
Ironisnya, jika kita menanggapi tekanan-tekanan ini—atau mempercayai hype atau ekstravagansa tentang pemimpin visioner yang amat menonjol dalam media bisnis—kita berisiko mengorbankan hal yang sangat kita perlukan, memimpin secara efektif. Tatkala masyarakat di sekitar kita meminta 'fast answer'—biar pun jawaban itu sekenanya—kita seyogyanya mampu menahan dulu dorongan memberikan solusi, tapi sebaliknya, belajar mengajukan pertanyaan. Kebanyakan pemimpin, tak menyadari kekuatan dahsyat dari sebuah pertanyaan—bagaimana mereka dapat menggulirkan hasil jangka pendek dan pembelajaran, serta kesuksesan jangka panjang. Masalahnya, kita selalu rumongso, bahwa kita semestinya punya jawaban, bukan pertanyaan.
Seringkali, saat kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kita sudah punya jawabannya. Namun, terkadang pula, kita mengajukan pertanyaan, yang jawabannya, tak kita ketahui. Orang menjadi pemimpin dalam organisasi, oleh beragam latarbelakang, namun salah satu argumen utamanya, kata Marquardt, karena mereka punya rekam jejak sebagai pemecah masalah dan mampu mencapai hasil.

Setiap pertanyaan yang diajukan seorang pemimpin, dapat memberikan kesempatan istimewa bagi para penerimanya, agar lebih berdaya, melakukan sesuatu yang sebelumnya tak dapat mereka lakukan. Sebuah pertanyaan berpotensi memunculkan rasa percaya diri, menambah pembelajaran, mengembangkan kompetensi, hingga melahirkan wawasan. Pertanyaan dapat menggerakkan setiap orang dalam organisasi agar menjadi manusia yang lebih rancak, serta kontributor yang lebih bermanfaat bagi organisasi dan komunitas.
Salah satu tantangan tersulit yang mungkin dikau hadapi sebagai seorang pemimpin ialah, menerima bahwa dirimu, boleh jadi tak tahu apa yang benar, atau terbaik, terhadap sebagian besar keadaan. Kita telah terbiasa punya jawaban yang benar, sehingga sulit melepaskan kebiasaan, memberikan jawaban.
Kita ingin melindungi citra diri dan potret kita di mata orang lain; kita juga ingin melindungi diri kita dari perasaan tak nyaman semisal berwalang-hati. Mengekspos diri kita dengan pertanyaan, memunculkan risiko di seluruh permukaan. Namun jarang sekali, orang memulai dengan cara ini.
Mengajukan pertanyaan merupakan bagian alami dari susunan biologis kita. Tanyakan kepada orangtua mana pun yang memiliki anak di bawah usia tiga tahun, tentang betapa sang anak senang bertanya. Sayangnya, kebanyakan kita, diminta oleh orang tua, guru, dan atasan kita, agar tak bertanya. Kita tak cuman dilarang mengajukan pertanyaan, melainkan bila pertanyaan kita tak dianggap pantas atau benar, kita malah dicemooh. Akibatnya, kita jadi takut bertanya. Kita mulai mengira bahwa orang pintar tak perlu bertanya, sebab mereka sudah punya jawabannya. Kita melindungi diri kita sendiri, agar tak dianggap bodoh dengan tak bertanya. Maka, ketika kita jadi pemimpin, tentu saja, kita berkehendak menjadi orang yang punya jawabannya, bukan orang yang punya pertanyaannya.

Menurut M. Neil Browne dan Stuart M. Keeley, pertanyaan mengharuskan orang yang ditanya, agar bereaksi sebagai tanggapan. Dengan pertanyaan, kita mengungkapkan kepada orang tersebut: Gue kepingin tahu; gue kepo banget nih; bantuin doong. Permintaan ini, menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain. Pertanyaan itu ada, guna menginformasikan dan memberi arahan bagi semua yang mendengarkannya. Inti dari pertanyaanmu adalah bahwa engkau perlu bantuan guna memahami atau mengapresiasi lebih mendalam, terhadap apa yang diucapkan. Banyak pakar yang siap memberimu saran. Opini itu, murah; siapa pun boleh beropini. Tapi pakar manakah yang berilmu, yang dapat menyediakan sebuah opini, yang dapat kita andalkan?
Sebagai orang berakal, dikau hendaklah memilih tentang bagaimana dirimu bereaksi terhadap apa yang engkau lihat dan dengar. Salah satu alternatifnya ialah, menerima saja apa pun yang engkau temui; melakukannya, secara otomatis membuatmu menjadikan pendapat orang lain sebagai milikmu. Alternatif yang lebih aktif adalah, dengan mengajukan pertanyaan dalam upaya mencapai keputusan pribadi tentang nilai dari apa yang telah engkau alami.
Dalam hal ini, berpikir kritis—yang dapat diutarakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kritis—dimulai dengan keinginan agar memperbaiki apa yang kita pikirkan. Sebagai warga negara dan konsumen, engkau akan merasakan manfaatnya, terutama dalam membentuk perilaku memilih dan keputusan pembelianmu, serta dalam meningkatkan kepercayaan dirimu dengan meningkatkan rasa kemandirian intelektualmu. Ilmu yang dikau peroleh, memberi landasan bagi pemikiran yang lebih rumit nantinya. Salah satu pendekatan berpikir serupa, yaitu ibarat spons bereaksi terhadap air: menyerap. Semakin banyak informasi yang dikau serap tentang dunia, semakin dirimu mampu memahami kompleksitasnya.
Kemampuan kita menemukan jawaban pasti atas pertanyaan, seringkali bergantung pada jenis pertanyaan yang membingungkan kita. Pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang dunia fisik, amat mungkin, punya jawaban yang akan diterima oleh orang-orang yang berakal sehat, sebab dunia fisik, dalam beberapa hal, lebih dapat diandalkan atau diprediksi daripada dunia sosial. Kendati jarak pasti ke bulan, atau usia tulang dari peradaban kuno yang baru ditemukan, mungkin tak sepenuhnya pasti, masih terdapat kesepakatan luas mengenai dimensi lingkungan fisik kita. Maka, dalam ilmu fisika, kita acapkali, dapat sampai pada 'the right answer'.

Pertanyaan di seputar perilaku manusia, berbeda-beda. 'The right answer' bakalan jadi mitos. Penyebab perilaku manusia begitu kompleks sehingga kita kerapkali, tak dapat berbuat apa-apa selain menebak dengan cerdik, mengapa atau kapan perilaku tertentu akan terjadi. Selain itu, lantaran banyak dari kita yang amat peduli dengan penjelasan dan deskripsi perilaku manusia, kita cenderung memilih penjelasan atau deskripsi mengenai tingkat aborsilah, frekuensi pengangguranlah, atau penyebab kekerasan terhadap anak, konsisten dengan apa yang hendak kita yakini. Karenanya, kita mengutamakan preferensi kita pada setiap percakapan mengenai isu-isu tersebut dan menyangkal argumen yang tak konsisten dengan persoalan tersebut.
Oleh sebab perilaku manusia teramat polemis dan pelik, jawaban terbaik yang dapat kita temukan dalam banyak pertanyaan tentang perilaku kita, bersifat 'probabilistik'. Bahkan jika kita menyadari setiap bukti mengenai dampak olahraga terhadap kesehatan mental kita, kita masih belum bisa mengharapkan kepastian mengenai imbasnya. Kita masih perlu berkomitmen pada tindakan tertentu, agar terhindar dari dijadikan 'orang yang gak penting' atau 'orang yang gak punya apa-apa'. Namun begitu kita mengakui bahwa komitmen kita didasarkan pada kemungkinan, dan bukan kepastian, kita akan lebih terbuka terhadap dalil orang-orang yang berusaha membujuk kita agar berubah pikiran. Bagaimanapun juga, kita mungkin saja keliru tentang keyakinan-keyakinan kita. Walau dirimu belum tentu sampai pada 'jawaban yang tepat' terhadap kontroversi sosial, engkau seyogyanya mengembangkan jawaban terbaik dan paling masuk akal, dengan menakar sifat permasalahan dan informasi yang tersedia.

Saat dirimu pertama kali menemukan sebuah kesimpulan, engkau melakukannya dengan sebuah sejarah. Dikau telah belajar memperhatikan hal-hal tertentu, mendukung kepentingan tertentu, dan mengabaikan klaim jenis tertentu. Sehingga dirimu selalu mulai berpikir kritis di tengah opini-opini yang ada. Engkau punya komitmen emosional terhadap opini-opini yang ada.
Saat kita membaca atau mendengarkan, amatlah mudah mengabaikan apa yang terungkap pada paragraf sebelumnya. Kita seringkali bereaksi terhadap penggambaran, ilustrasi dramatis, atau nada bicara, ketimbang terhadap argumen yang dimaksudkan oleh orang yang berkomunikasi dengan kita. Setiap kali reaksi kita tak sejalan dengan dalilnya, percakapan manusia menjadi ambyar. Kita gak nyambung terhadap apa yang dimaksudkan oleh orang yang menulis atau berbicara kepada kita. Maka, menjelaskan secara langsung kesimpulan dan permasalahan orang tersebut, merupakan langkah awal penting dalam interaksi manusia yang efektif.
Keterlibatan emosional, hendaklah tak dijadikan dasar utama menerima atau menolak suatu posisi. Idealnya, keterlibatan emosional, amat kuat terjadi, seusai bernalar. Karenanya, di saat engkau mendengarkan, plizz deh, jangan biarin keterlibatan emosional menghalangimu dari gagasan orang-orang yang awalnya, gak dikau sepakati. Seorang pembelajar aktif yang sukses adalah orang yang bersedia mengubah pikirannya. Bila dirimu hendak berubah pikiran, dikau semestinya amat terbuka terhadap gagasan yang menurutmu aneh, atau berbahaya, saat pertama kali engkau menemukannya.
Mengajukan pertanyaan yang tepat merupakan pekerjaan yang syulit, namun bermanfaat. Beberapa kontroversi akan jauh lebih penting bagimu dibanding kontroversi lainnya. Disaat dampak suatu kontroversi bagimu dan komunitasmu, tak terlalu besar, dirimu bakalan membuang lebih sedikit waktu dan energi, berpikir kritis terhadap hal tersebut, ketimbang memikirkan kontroversi yang lebih penting.

Setelah memahami mengapa kita bertanya, mari kita percakapkan 'dikit ulasan dari pertanyaan kita tentang 'term limits.' Apa yang dapat dilakukan para presiden jika mereka memutuskan memperpanjang kekuasaannya? Menurut Baturo, menu yang dipilih bergantung pada konstitusi dan sejarah politik suatu negara, namun terdapat pula banyak ruang imajinasi konstitusional. Dalam problem rezim Rusia pada tahun 2008, presidennya bisa saja mengubah konstitusi dan membolehkan tambahan masa jabatan ketiga secara ad hoc—seperti yang dilakukan Presiden Namibia Sam Nujoma (1990–2005) pada tahun 1998—atau ia bisa saja menghilangkan batasan masa jabatan sama sekali, seperti yang dilakukan Presiden Alexander Lukashenko (1994–) di negara tetangganya, Belarus, pada tahun 2004. Pilihan menunjuk seseorang seumur hidup dan menghapuskan pemilu, tentu saja, sudah agak kuno. Alternatifnya, presiden Rusia, bisa saja integrasi lebih lanjut berintegrasi dengan salah satu negara mantan Soviet, dan menjadi kepala negara baru. Presiden juga bisa melakukan konfigurasi ulang rezim politik dan memberdayakan jabatan perdana menteri, dengan mengorbankan jabatan presiden dan kemudian menjadi kepala kabinet.

Nah, ada lagi nih, desain yang lebih membagongkan. Presiden, bisa saja mundur, tapi kenyataannya, tetap memegang kendali eksekutif dan dipimpin oleh wakilnya. Tentu saja, ada preseden sejarah mengenai hal ini, meski di lokasi yang berbeda. Misalnya, di Meksiko antara tahun 1917 dan 1936, kekuasaan politik terkadang dibagi antara presiden pada saat itu dan bos politik nasional, ketua partai yang berkuasa, atau pemimpin partai yang berkuasa, atau pemimpin partai yang berkuasa melalui perwakilan yang menduduki istana presiden. Pada tahun 1917–20 dan kemudian pada tahun 1924–28, kekuasaan sebenarnya diberikan oleh bos partai Álvaro Obregón, yang pernah menjadi presiden pada tahun 1920–24, bukan oleh Presiden Venustiano Carranza dan Plutarco Calles. Dari pembunuhan Obregón pada tahun 1928 hingga 1936, ketika Presiden Lázaro Cárdenas akhirnya menjadi penguasa tunggal, terjadi dualitas kekuasaan. Demikian pula, dalam kisah menariknya tentang kehidupan di bawah rezim Rafael Trujillo (1930–61, masa jabatan resmi pada tahun 1930–38 dan 1942–52) di Republik Dominika, Vargas Llosa memaparkan bagaimana rezim Rafael Trujillo, mengalihkan perhatian internasional dari rezim Rafael Trujillo. kritiknya, menunjuk empat penerus berbeda termasuk saudara laki-lakinya sendiri, bertugas di masa jabatannya sendiri, sementara dirinya tetap menjadi penguasa de facto suatu negara. Ada keadaan dimana penguasa de facto 'tak selalu menduduki posisi yang amat berkuasa secara konstitusional, sebuah kebijakan yang disebut politique de doublelure, atau 'politik pengganti'.
Namun pengaturan seperti itu, tak selalu berjaya. Anastasio Garciá Somoza dari Nikaragua (1936–56) yang harus mundur secara resmi pada tahun 1947 di bawah tekanan AS, mengangkat Presiden Leonardo Argüello yang berusia 72 tahun. Namun, yang terakhir ini, berbalik melawan juragannya dan berusaha memerintah tanpa bantuan. Ia digulingkan hanya 26 hari seusai pelantikan. Somoza kemudian menempatkan tokoh lain yang terbukti lebih patuh, namun pada tahun 1950 memutuskan kembali menjabat secara resmi sebagai presiden. Setelah pembunuhannya pada tahun 1956, putranya Luiz dan Anastasio, gantian memerintah negara tersebut.

Vladimir Putin mempertahankan ketegangan hingga tanggal 2 Oktober 2007, kala ia mengumumkan keputusannya memimpin daftar partai berkuasa, Rusia Bersatu, dalam pemilihan parlemen mendatang, yang segera dimenangkan oleh partai tersebut, dan memperoleh mayoritas super legislatif. Kemudian, pada 10 Desember 2007, ia mendukung wakil Perdana Menteri, Dmitry Medvedev, salah seorang anggota lingkarannya, menjadi penggantinya. Sehari setelah rencana suksesi terungkap, Medvedev kemudian mengundang Putin menjadi perdana menteri usai pemilihan presiden 2 Maret 2008. Selain itu, jika diambil dari kosakata Kaisar, dalam dua tahun terakhir masa jabatannya yang kedua, Presiden Putin sering disebut sebagai 'pemimpin nasional', baik saat menjabat sebagai presiden maupun tidak. Tak mengherankan jika Presiden Medvedev, yang memenangkan pemilu dengan telak, menunjuk Putin sebagai perdana menteri pada 8 Mei 2008, sehari sesudah pelantikannya. Sejak saat itu, konfigurasi kekuasaan eksekutif Rusia menyerupai keadaan yang dijelaskan sebelumnya di Meksiko, dengan jefe maximo [pemimpin maksimal, diksi yang digunakan dari istilah pemimpin personal transisional di Meksiko, Maximato] yang berkuasa mendampingi presiden. Namun masih belum jelas akan tetapkah Putin menjadi pemimpin de facto dengan presiden proksi, sehingga secara efektif memperpanjang masa jabatannya, atau akankah ia berbagi kekuasaan politik dengan presiden tersebut dan mungkin pensiun setelah memastikan kekuasaan penggantinya aman. Meskipun Dmitry Medvedev menduduki jabatan kepresidenan yang amat berkuasa dengan kekuasaan luas dan wewenang formal atas pengangkatan dan pemberhentian, pada saat yang sama, pendahulunya tetap memegang kendali atas eksekutif dalam kapasitas sebagai perdana menteri dan juga mampu memakzulkan presiden dan mengubah konstitusi, mengingat adanya super mayoritas legislatif di Duma jika diperlukan.

Praktik-praktik yang dilakukan presiden-presiden dunia masa kini, memberikan pilihan-pilihan yang memungkinkan bagi kelangsungan hidup politik di luar batasan masa jabatan konstitusional. Presiden juga dapat menggabungkan beberapa perubahan pada saat yang bersamaan, biasanya dengan memperpanjang masa jabatan, sekaligus membuang masa jabatan yang telah dijalani.
Tatkala konstitusi baru disusun, banyak pasal yang dimasukkan secara otomatis, tanpa banyak pemikiran atau pertimbangan. Batasan masa jabatan hampir selalu muncul dalam konstitusi nasional kontemporer, baik setelah kemerdekaan atau setelah diperkenalkannya demokrasi multipartai. Namun, semuanya menjadi teramat menonjol dikala waktu berhenti telah semangkin dekat di hadapan sang presiden. Pada saat seperti itu, para penguasa melakukan hal-hal yang menarik dalam rekayasa ketatanegaraan: masa jabatan kedua mereka, jadi yang pertama, atau masa jabatan ketiga, jadi yang kedua, atau jumlah tahun masa jabatan mereka, dihapuskan, atau tahun-tahun tambahan diperlukan demi menjalankan kebijakan tertentu. Para presiden menulis ulang dan menafsirkan ulang konstitusi mereka, seringkali secara imajinatif; namun mereka juga menghadapi tentangan dari lembaga-lembaga lain, dari partai mereka sendiri, masyarakat sipil, donor internasional, dan sekutu. Namun mereka, tetep 'ogah' dan acapkali sukses melampaui mandat yang telah mereka tetapkan."

Kita telah melalui sesi-sesi kita dimulai dari Monarki, Feodalisme, Aristokrasi (termasuk Oligarki), dan sesi selanjutnya, sebagai eposide terakhir, yuk kita bincangkan sececah tentang demokrasi dalam perspketif yang lain. Bi 'idznillah."

Setelah itu, Sansevieria mengalunkan tembangnya Anita Sarawak,

Mungkin kau belum merasa gelisah
dan terlepas dari rasa ragu
Namun dirimu itu, tersimpan jua
seribu tanya, seribu sapa *)
Kutipan & Rujukan:
- Michael J. Marquardt, Leading with Questions: How Leaders Find the Right Solutions by Knowing What to Ask, 2014, Jossey-Bass
- M. Neil Browne & Stuart M. Keeley, Asking the Right Questions, 2007, Pearson College Div
- Alexander Baturo, Democracy, Dictatorship, and Term Limits, 2014, The University of Michigan Press
- Stanley M. Caress & Todd T. Kunioka, Term limits and Their Consequences: The Aftermath of Legislative Reform, 2012, Suny Press.
*) "Tragedi Buah Apel" karya Dani Mamesah & Irwan S Samosir