Selasa, 26 Desember 2023

Cerita Bunga Matahari: Lucy (2)

“Seorang presiden, yang konon berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, lantaran pernah dikacangin ama presiden Joe Biden, selalu mengangkat dua jarinya saat ngomong dan gak pernah mau membuka satu atau tiga jemarinya, entah bagaimana, bersama seorang menteri dan wakilnya, tertangkap oleh pasukan asing yang menyusup ke negaranya.
Para penculik, terlebih dahulu menyeret wakil menteri untuk diinterogasi. Mereka mengikat tangannya ke belakang kursi dan menyiksanya selama dua jam sebelum sang wakil menteri 'ngomong'. Para penculik melemparkannya kembali ke sel dan mengeret sang menteri guna diinterogasi. Seperti sebelumnya, mereka mengikat tangannya ke belakang kursi, kemudian dipermak. Menteri tersebut, juga menolak selama dua jam sebelum nyerah. Para penculik mencampakkannya balik ke tangsi, lalu menggelandang sang presiden. Mereka kembali mengikat tangannya ke belakang kursi dan mulai memaksanya. Empat jam berlalu, lima, tujuh, lalu tiga belas, bahkan hampir sehari semalam, sang presiden belum pulak ngomong. Karena frustrasi, mereka mendepaknya kembali mendekam ke petak lokap.
Terkesan oleh keogahan sang panglima tertinggi, kedua tangan-kanannya itu, bertanya, “Bagaimana bapak bisa bertahan cukup lama?” Sang presiden menjawab, 'Oh, sebenernya sih, sa' dah mo ngomong. Cuman, tanganku keiket!'"

"Why do we write?" ucap bunga matahari sambil memegang pulpen lalu menuliskan sesuatu pada secarik kertas. “Kapan pun orang harus mencatat dan merawat peristiwa-peristiwa sejarah, kebutuhan menulis bakal terasa. Georges Jean menuturkan bahwa hampir dua puluh dua ribu tahun yang lalu, pada lukisan gua di Lascaux dan di lokasi lain, manusia menghasilkan gambar pertama. Butuh waktu tujuh belas ribu tahun lagi sebelum pencapaian umat manusia yang paling istimewa, yakni seni menulis, muncul. Kita mungkin membayangkan bahwa orang-orang pertama kali membuat petanda tertulis, guna memelihara kisah-kisah tradisi mereka. Selama puluhan ribu tahun, terdapat banyak cara menyampaikan pesan sederhana dengan menggunakan coretan, petanda, atau gambar. Namun, menulis dalam makna sejatinya, tak dapat disebut ada, hingga terdapat kumpulan petanda atau simbol formal yang disepakati, yang dapat digunakan mereproduksi dengan jelas, pikiran dan perasaan yang hendak diungkapkan oleh penulisnya.
Sistem seperti ini, tak muncul dalam semalam, dan sejarah penulisannya merupakan proses yang panjang, lambat, dan rumit. Sejauh yang kita ketahui, proses tersebut berawal di Mesopotamia kuno, wilayah antara sungai Tigris dan Efrat (Irak modern). Daerah ini, sekitar milenium ke-3 SM, terbagi menjadi Sumeria di Selatan dan Akkad di Utara. Meskipun bangsa Sumeria dan Akkadia hidup harmonis di wilayah geografis yang sama, mereka menggunakan dua bahasa yang masing-masing amat berbeda, bila diibaratkan antara Ingglisy dan Chinese. Kedua masyarakat yang sangat beradab ini, hidup dalam komunitas kecil yang berkumpul di sekitar kota-kota besar, seperti Babilonia, yang dikendalikan oleh penguasa dan dilindungi oleh dewa-dewa mereka..
Prasasti tertulis pertama, digunakan untuk menghitung hasil pertanian. Lainnya berisi informasi tentang struktur sosial bangsa Sumeria. 'Tulisan' semacam ini, sebenarnya lebih merupakan garis besar, terdiri dari goresan-goresan sederhana yang digunakan membuat representasi objek yang bercorak.
Dari satu penjuru ke lain penjuru dunia, masyarakat kemudian memandang tulisan sebagai anugerah ilahi, mencatat masa lalunya di atas batu, tanah-liat, dan papirus—alang-alang air, di zaman baheula digunakan sebagai bahan kertas. Hieroglif Mesir sejak awal merupakan bentuk tulisan yang sebenarnya, karena hampir dapat sepenuhnya merekam bahasa lisan dan dapat menata hal-hal abstrak serta tulisan-tulisan entitas konkrit yang ada, dan menuliskan dengan baik teks-teks mengenai pertanian, kedokteran, hukum dan pendidikan, doa-doa keagamaan, cerita-cerita tradisi dan, tentu saja, sastra dalam segala bentuknya. Jadi, lima ribu tahun yang lalu, para juru-tulis, telah menggunakan kertas, pena, dan tinta. Di Mesir, seperti di Mesopotamia, kemampuan membaca dan menulis merupakan tanda hak istimewa sekaligus sumber kekuatan.
Seperti orang Mesir, masyarakat zaman Tiongkok mengaitkan asal muasal tulisan legendaris, tiga kaisar berperan dalam lahirnya tulisan di China. Secara khusus, Kaisar Huang Che, yang hidup pada abad ke-26 SM, diperkirakan menemukan bakat menulis usai mempelajari benda-benda langit dan benda-benda di alam, terutama jejak kaki unggas dan satwa. Dalam lukisan Chinese dan Jepang, kaligrafi karakter merupakan elemen semantik yang terpisah: gaya penulisan, warna tinta, dan intensitas setiap goresan semuanya dapat berkontribusi pada makna keseluruhan. Tulisan Chinese mengikuti serangkaian aturan ringan, yang menjadikannya bentuk seni yang benar-benar puitis.

Orang Yunani pada milenium ke-2 SM, punya sistem penulisan yang tak lagi digunakan sekitar tahun 1100 SM, ketika peradabannya dikuasai oleh invasi Dorian. Tiga atau empat abad kemudian, sistem penulisan Fenisia mencapai Yunani. Alfabet pertama ini, hanya berisi konsonan. Sekitar tahun 800 SM, di kota-kota Suriah modern (saat itu disebut Aram), alfabet lain dikembangkan, yang dalam banyak aspek mirip dengan alfabet Fenisia, yaitu Aram.
Sekitar tahun 800 SM, di kota-kota Suriah modern (saat itu disebut Aram), alfabet lain dikembangkan, yang dalam banyak aspek, mirip dengan alfabet Fenisia—Aram. Bahasa Aram dan Ibrani, yang digunakan dalam menyalin Perjanjian Lama, lahir. Sejarah penulisan jelas merupakan sejarah keluarga, tulisan Arab, seperti bahasa Ibrani, berasal dari alfabet Fenisia. Bangsa Nabatean sudah menggunakan aksara yang bukan dari bahasa Fenisia maupun Arab. Sepertinya, telah menjadi fakta yang pasti bahwa prasasti pertama yang benar-benar berbahasa Arab berasal dari tahun 512-3 M. Menurut Jean, ketika umat Kristiani berbicara tentang 'Teks-teks Keramat' atau 'Scriptures' (yang secara harafiah bermakna 'tulisan'), tentu saja yang mereka maksud ialah kitab suci mereka. Demikian pula, bahkan tulisan Al-Qur'an pun merupakan tulisan Allah. Keduanya sama seperti hieroglif Mesir yang dipandang sebagai 'tulisan para dewa'.
Selama lebih dari seribu tahun, keterampilan menulis, sebenarnya merupakan monopoli para biarawan. Sangat sedikit orang awam yang menguasai seni menulis. Charlemagne, orang paling berkuasa di Eropa Barat pada saat itu, buta huruf. Ia menandatangani surat perintah kerajaan dengan sebuah salib, yang dimasukkan ke dalam lingkaran tanda tangan yang telah disiapkan untuknya, oleh seorang juru tulis. Berbeda dengan para juru tulis Mesopotamia dan Mesir, para biarawan yang dilatih sebagai penyalin di Eropa pada Abad Pertengahan, bukanlah penulis kreatif atau orang yang berkuasa; mereka menulis, tetapi mereka tak menggubah atau mengkomposisikan tulisan. Aspek kreatif karya mereka, terletak pada bidang yang berbeda, yaitu kaligrafi.
Para ahli Taurat awal, yaitu mereka yang menyalin teks-teks bible, menulis pada gulungan papirus, yang dalam bahasa Latin disebut volumen. Namun, volume ini jauh dari ideal; papirus mahal dan rapuh, dan hanya satu sisi lembarannya yang dapat digunakan. Pengenalan media baru, perkamen, mengubah seni menulis sepenuhnya. Perkamen biasanya dibuat dari kulit domba, kulit anak sapi, atau kulit kambing, meskipun kulit kijang, antelop, dan bahkan burung unta diketahui pernah digunakan. Vellum merupakan perkamen berkualitas tinggi, yang dibuat dengan menggunakan kulit anak sapi yang masih sangat muda atau bahkan kulit hewan yang lahir mati. Skriptorium, tempat naskah disalin, dihias, dan dijilid, biasanya terletak di dekat perpustakaan. Para penulis naskah, demikian sebutan mereka, menulis menggunakan pena bulu angsa, yang dipotong menjadi berbagai bentuk tergantung gaya tulisan yang akan dihasilkan.
Menjelang akhir abad ke-12, monopoli gereja atas pengajaran mulai melemah, dan para ahli Taurat sekuler, yang bekerja sama dengan para biarawan, mulai mengorganisir diri mereka menjadi serikat-serikat dan bengkel-bengkel. Mereka menyusun dokumen resmi untuk pedagang borjuis baru, dan juga menulis buku.

Johann Gutenberg dari Mainz adalah orang pertama yang melakukan mekanisasi pencetakan pada sekitar tahun 1440, dan Peter Schoeffer, teman Gutenberg, menemukan metode mencetak huruf, terutama yang berbentuk asimetris, dengan menggunakan paduan timbal dan antimon. Gutenberg sangat menyadari semua kelebihan kertas, bahan yang telah lama digunakan di China. Kemudian, pada abad ke-16 tumbuh percetakan yang memadukan bakat para pengukir, juru kastor, dan juru ketik. Mesin tik komersial pertama diperkenalkan pada tahun 1874. Pada akhir abad kesembilan belas, istilah 'mesin tik' juga diterapkan pada orang yang menggunakan alat tersebut.
Di dunia modern—khususnya di bawah pengaruh periklanan—huruf telah menjadi entitas tersendiri. Dihapus dari kata-kata massal, dipisahkan dari semua asosiasi semantik, ia telah menjadi pengalaman visual tersendiri. Dalam peradaban Barat, huruf berevolusi dari representasi abstrak kembali menjadi gambar visual. Lalu muncullah seni Typographer.
Selain merekam ucapan manusia, menulis juga mencakup notasi musik. Bentuk notasi musik paling awal dapat ditemukan pada tablet paku yang dibuat di Nippur, di Babilonia (sekarang Irak), sekitar tahun 1400 SM. Sarjana dan ahli teori musik Isidore dari Seville, ketika menulis pada awal abad ke-7, berpendapat bahwa 'kecuali suara disimpan dalam ingatan manusia, suara akan musnah, karena tak dapat dituliskan.' Namun, pada pertengahan abad ke-9, suatu bentuk notasi neumatik mulai berkembang di biara-biara di Eropa. Pendiri dari apa yang sekarang dianggap sebagai staf musik standar adalah Guido d'Arezzo, seorang biarawan Benediktin Italia yang hidup dari sekitar tahun 991 hingga setelah tahun 1033.
Berbeda dengan aspek penulisan lainnya, sulit untuk menentukan kapan tinta muncul dalam sejarah. Kronik Chinese memberikan awal yang legendaris, dengan menghubungkan penemuannya dengan Tian Zhen, yang hidup di bawah pemerintahan mitos Huang Di, Kaisar Kuning. Ia secara efektif menyembunyikan kebenaran asal muasal materi ini. Era Huang Di juga dikatakan sebagai masa pertama kali munculnya aksara China.

Nah, setelah mengetahui sedikit latar belakang tentang tulisan, kini kita akan cari tahu perspektif tentang apa sebenarnya menulis itu. Thomas S. Kane berpendapat bahwa menulis itu, kegiatan yang rasional dan berharga. Bila kita menyebutkan bahwa menulis itu rasional, bermakna tak lebih dari bahwa menulis itu, melatih otak, yang memerlukan penguasaan teknik, yang dapat dipelajari oleh siapa pun. Dikau tak perlu jadi seorang jenius agar dapat menulis dengan jelas. Dirimu hanya perlu memahami apa saja yang termasuk dalam menulis dan mengetahui cara menata kata, kalimat, dan paragraf. Itu bisa engkau pelajari. Jika sudah, dirimu dapat mewacanakan apa yang hendak dikau komunikasikan dengan kata-kata yang bisa dipahami orang lain.
Kane juga berpendapat bahwa menulis itu, layak dipelajari. Ia memberikan manfaat praktis langsung di hampir semua pekerjaan atau karier. Kendati mudah dipastikan bahwa banyak pekerjaan yang dapat engkau jalani, tanpa perlu bisa menulis dengan terang. Namun, jika dirimu tahu cara menulis, engkau akan menguasainya lebih cepat dan lebih jauh. Dan ada nilai lain yang lebih mendalam dari menulis. Kita mengkreasikan diri kita dalam wujud kata-kata. Sebelum kita menjadi pebisnis, atau pengacara, atau insinyur, atau guru, kita manusia. Pertumbuhan kita sebagai manusia, bergantung pada kemampuan kita memahami dan menggunakan bahasa. Menulis itu, cara untuk berkembang. Tak ada orang yang berpendapat bahwa bisa menulis, bakalan membuatmu lebih baik secara moral. Melainkan ia menjadikanmu lebih majemuk dan lebih menarik—dengan kata lain, lebih manusiawi.
Beragam pengaruh yang ingin diberikan seorang penulis kepada pembacanya—menginformasikan, membujuk, menghibur—menghasilkan berbagai jenis prosa. Yang paling umum ialah prosa yang menginformasikan, yang tergantung pada topiknya, disebut eksposisi, deskripsi, atau narasi. Eksposisi menjelaskan. Cara kerja sesuatu—mesin pembakaran. Ide—teori ekonomi, misalnya. Fakta kehidupan sehari-hari—berapa banyak orang yang bercerai. Sejarah—mengapa Kompeni menyerang Sunda Kalapa. Isu-isu kontroversial yang sarat dengan perasaan—aborsi, politik, agama. Namun apa pun subjeknya, eksposisi mengungkapkan apa yang dipikirkan, atau diketahui, atau diyakini, oleh pikiran tertentu. Eksposisi dibangun secara logis. Ia disusun berdasarkan: sebab/akibat, benar/salah, kurang/lebih, positif/negatif, umum/khusus, penegasan/penyangkalan. Pergerakannya ditandai dengan kata penghubung seperti: oleh karenanya, akan tetapi, dan sebagainya, selain itu, namun, tak hanya, yang lebih penting, pada kenyataannya, semisal.
Deskripsi berkaitan dengan persepsi—paling umum persepsi visual. Perhatian utamanya ialah menyusun apa yang kita lihat menjadi suatu pola yang bermakna. Berbeda dengan logika eksposisi, polanya bersifat spasial: atas/bawah, sebelum/belakang, kanan/kiri, dan seterusnya.
Subyek narasi adalah serangkaian peristiwa yang berkaitan—sebuah cerita. Atensinya ada dua: menyusun peristiwa-peristiwa dalam urutan waktu dan mengungkap makna pentingnya.
Persuasi berupaya mengubah cara pembaca berpikir atau berkeyakinan. Biasanya membahas topik kontroversial dan seringkali menggunakan dalil dalam bentuk argumen, menyediakan bukti atau keterangan logis. Bentuk persuasi lainnya adalah satire, yang mengguraukan kedunguan atau kejahatan, kadang halus, adakalanya kasar dan ofensif [namun tak disertai dengan kata-kata kotor]. Terakhir, persuasi bisa dalam bentuk kefasihan berbahasa, yang memberikan daya tarik terhadap sentimen keteladanan dan keluhuran-budi.
Tulisan yang mengedapankan sifat menghibur, meliputi fiksi, esai pribadi, sketsa. Prosa seperti ini, tentu saja penting, namun amat jauh dari kebutuhan sehari-hari dibanding eksposisi atau persuasi.

Salah satu tulisan tentang sejarah Indonesia, disajikan oleh Steven Drakeley (2005). Ia mengawali tulisannya dengan memaparkan bahwa Indonesia, negara kepulauan yang terdiri dari, tak kurang dari 17.508 pulau yang tersebar sepanjang 5.200 kilometer, terletak di garis khatulistiwa antara Australia dan daratan Asia.
Banyak pulau di Indonesia yang kecil dan tak berpenghuni [dapat berimplikasi negatif semisal diperjualbelikan atau dipersewakan secara diam-diam]. Pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Sumatera dan Pulau New Guinea (Papua) di Indonesia dan Borneo (Kalimantan), berukuran sangat besar, masing-masing sebesar Spanyol, California, dan Perancis. Paradoksnya, Pulau Sumatera, Papua, dan Kalimantan berpopulasi relatif kecil, sementara beberapa pulau kecil berpenduduk padat, termasuk Jawa, yang berpenduduk 135 juta orang (termasuk kota Jakarta) dan Bali yang kecil dengan 3,3 juta orang [Drakeley menggunakan data tahun 2005]. Di satu sisi, jumlah penduduknya sangat sedikit. Kepadatan penduduk di Papua hanya 6 orang per kilometer persegi dibandingkan dengan 951 orang per kilometer persegi di Pulau Jawa pada tingkat ekstrim lainnya.
Alasan terjadinya perbedaan yang besar ini, sangat berkaitan dengan kondisi medan dan kualitas tanah. Pulau Jawa dan Bali, berlahan vulkanik yang subur dan curah hujan yang melimpah, sehingga cocok untuk menanam banyak tanaman, termasuk beras dalam jumlah besar, yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar Pulau Sumatera, sesuai untuk tanaman perkebunan, namun sebagian besar pulau ini, bergunung-gunung atau berawa dan tanahnya tidak subur. Hal yang sama, terjadi pula di Kalimantan dan Papua, sementara sebagian besar wilayah Indonesia bagian Timur, kering dan tanahnya relatif kurang subur.
Dengan Samudera Pasifik di sebelah Timur dan Samudera Hindia di sebelah Barat, lokasi Indonesia sangat strategis, sebuah hal yang penting karena menjadi negara terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi luas daratan maupun jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa (pada tahun 2005; 270 juta berdasarkan sensus tahun 2020, dan pada kuartal II tahun 2023 diperkirakan berjumlah lebih dari 279 juta), Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat). Secara budaya dan politik, negara ini, juga merupakan salah satu negara yang paling ruwet di dunia, dengan lebih dari seribu kelompok etnis dan subetnis [1.300 kelompok etnis] yang berbicara dalam ratusan bahasa dan dialek [lebih dari 700 bahasa yang masih ada]. Baru belakangan ini, masyarakat Indonesia terkurung dalam sebuah kerangka politik, yang disatukan melalui pengembangan kerajaan kolonial Belanda, Hindia Belanda. Sepanjang sebagian besar sejarah, penduduk Indonesia terpecah secara politik dalam beragam cara [Ichsanuddin Noorsy mengekspresikannya lebih mendalam dengan karyanya 'Bangsa Terbelah' (2019)], lantaran selama berabad-abad, banyak kerajaan dan imperium yang bermunculan dan runtuh di wilayah tersebut. Memang, dulu, sebagian wilayah Indonesia bersatu dengan wilayah dan masyarakat yang kini termasuk dalam negara tetangga Malaysia dan Singapura. Oleh karenanya, salah satu dari banyak tantangan yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun 1945 adalah menyatukan pembangunan identitas nasional, mengingat kurangnya pengalaman sejarah bersama.

Akan kita teruskan eksposisi Drakeley ini, pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Lalu, bunga matahari pun bersenandung,

Please come with me, see what I see
[Plizz, ikutlah denganku, lihatlah apa yang kulihat]
Touch the stars for time will not flee
[Sentuhlah bintang-bintang karena waktu takkan berlalu]
Time will not flee, can't you see? *)
[Waktu takkan berlalu, tak bisakah dikau melihatnya?]
Kutipan & Rujukan:
- Georges Jean, Writing: The Story of Alphabets and Scripts, 1992, Harry N. Abrams
- Steven Drakeley, The History of Indonesia, 2005, Greenwood Press
*) "Ordinary Day" karya Vanessa Carlton
[Sesi 3]
[Sesi 1]