Rabu, 13 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (6)

"Sepasang suami-istri, baru aja selesai membaca The Emperor's New Clothes-nya H.C. Andersen. Saat ia melihat suaminya berpose tanpa busana, sang isteri bertanya, 'Apaan sih Mas?'
'Bukan apa-apa sayang, ini kaan bajunya 'The Emperor's New Clothes'!' jawab sang suami.
'Owaalaah, apa ndak digosok dulu ta Maas?' tanggap sang isteri."

“Pada sesi sebelumnya, kita telah melihat tiga gaya perilaku berbicara: asertif, non-asertif, dan agresif. Lantas, bagaimana dengan mendengarkan? Ungkapan Prancis, 'tendre l’oreille,' secara harafiah bermakna ‘membuka telinga lebar-lebar’,” Sansevieria membuka lembaran di baliknya. “Laku ini, meniru secara internal mobilitas luar organ kita, di antara spesies satwa tertentu. Walau kita tak bergerak pun, kita mengalihkan perhatian kita, tehadap sesuatu yang perlu kita dengar. Ingglisy idiom ‘to lend an ear’, bila diterjemahkan, dapat berarti 'minjemin kuping', namun sesungguhnya bermakna sama, ‘meregangkan kuping sebesar-besarnya’. Akan tetapi, disini, mendengarkan, merupakan pula sebuah pinjaman, kata Peter Szendy. Pinna atau daun-kuping ini, kita warisi, kita terima, kita pinjam tanpa kita pilih. Kuping yang kita pinjam ini, tentu saja, dipinjamkan kepada kita. Dan jangan tanya, 'dari siyapah?' Hidup di muka Bumi ini, sebuah pinjaman.

Kita akan selalu mendengarkan, di satu sisi, suara hati kita, dan mendengarkan orang lain, di sisi lain. Douglas Bloch menuturkan bahwa lebih dari satu abad yang lalu, Ralph Waldo Emerson mengungkapkan, 'Terdapat tuntunan pada masing-masing kita, dan bila kita dengan kerendahan-hati, mendengarkannya, kita bakal mendengarkan kata-kata yang tepat.' Dan juga, Bloch memberitahu kita apa yang diucapkan Shakti Gawain, 'Sejauh mana pun engkau mendengarkan dan mengikuti intuisimu, engkau menjadi saluran kreatif bagi kekuatan yang lebih tinggi di alam semesta. Disaat engkau rela mengikuti kemana arah energi kreatifmu, kekuatan yang lebih tinggi mendatangimu untuk mewujudkan karya kreatifnya. Kala ini terjadi, engkau akan mendapati dirimu mengalir bersama energi, melakukan apa yang benar-benar hendak engkau lakukan, dan merasakan kekuatan alam semesta bergerak melewati guna memunculkan atau mengubah segala sesuatu di sekelilingmu.' Kita hidup di masa transformasi yang cepat. Aturan dan pedoman lama sudah tak berlaku lagi. Semuanya berubah terlalu cepat. Kita tak bisa lagi bergantung pada para suhu atau pengajar eksternal agar memberikan jawaban yang kita cari. Saat kita mendekati awal era baru, masing-masing kita, terpanggil mendengarkan dan dituntun oleh 'suara kecil' di dalam diri kita.
Ide mendengarkan suara dari dalam diri kita, amat sederhana secara teori, namun sulit dalam praktiknya. Hal ini lantaran, suara yang meninggi, bukanlah semata-mata suara yang butuh perhatian kita. Dalam diri kita, ada suara 'gadungan', yang juga dikenal sebagai suara ego. Kendati suara hati mengungkapkan siapa diri kita sebenarnya, suara gadungan berfokus pada apa yang kita sangka, berasal dari diri kita. Suara hati, mendukung sifat esensial kita; suara gadungan, menyangkalnya.
Masing-masing suara ini, disertai dengan sejumlah ciri yang jelas, kata Bloch. Kesan pertama yang muncul dari mendengarkan suara hati, ialah adanya kedamaian batin. Ciri kedua, yang menyertai suara hati, yakni sukacita. Salah satu cara utama agar dapat mengenali suara ego, menurut Bloch, ialah hadirnya perasaan takut. Terlebih lagi, kendati suara hati berkomitmen pada kebenaran, suara gadungan, mengajarkan ketidakjujuran.

Di sisi lain, kita acapkali ingin mendengar sesuatu dari orang lain, tentang apa pun, terutama tentang apa yang orang lain ucapkan tentang diri kita. Namun seringkali, kita merasakan bahwa sebagian besar orang, lebih tertarik bercerita tentang diri mereka, dibanding, mendengarkan kisah kita. Dan jujur, kita lebih tertarik berkisah tentang diri kita, ketimbang, mendengarkan cerita mereka. Andai pun kita menikmati momen dimana orang lain berusaha memahami kisah kita, namun kita akan lebih menilai persahabatan, bilamana terjadi, pemahaman dua arah.
Menurut Jim Petersen, saat kita meluangkan waktu agar memahami orang lain, hal itu tak semata bermanfaat bagi mereka, melainkan pula, bermanfaat buat kita. Kita semakin bisa menerima lebih banyak orang dan menikmati sebagian besar hal yang tak mungkin dan tak mereka sukai. Tak mendengarkan dengan baik, menyebabkan banyak kebimbangan dan rasa-sakit yang tak perlu. Pengalaman memberitahu kita bahwa, orang yang mau berusaha mendengarkan dengan lebih baik, dapat meningkatkan hubungan mereka secara menyeluruh. Meskipun keterampilan komunikasi yang lebih baik memang melekatkan pertalian, itu bukanlah gambaran keseluruhan. Ingin menang dan menempatkan diri kita di atas orang lain dalam keterhubungan, menyebabkan lebih banyak masalah dibanding komunikasi yang buruk. Jika kita belajar mengenali kecenderungan ini, kita berkesempatan untuk mengesampingkannya, dan menjalin pertalian yang lebih bermakna dengan keluarga, teman, dan rekan-kerja.

Kita sering mendengar atau terbiasa mendengar bahwa para insan, tak hidup saling harmonis secara sempurna. Sebaliknya, konflik terus-menerus muncul di antara mereka. Dan sumber konfliknya selalu sama: 'scarcity'. Sejak umat manusia meninggalkan Taman Suarga, 'kelangkaan' telah terjadi dan akan selalu berlangsung di sekitar kita.
Jika tiada keselarasan yang sempurna antara semua kepentingan manusia dan mengingat kondisi kelangkaan manusia yang permanen, maka konflik antarpribadi akan menjadi bagian yang tak dapat dihindari dalam kehidupan manusia dan merupakan ancaman terus-menerus terhadap perdamaian, kata Hans-Hermann Hoppe.
Dihadapkan pada konflik-konflik mengenai barang-barang yang langka, namun juga dikaruniai akal-budi, atau lebih tepatnya, kemampuan saling berkomunikasi, bertukar-pikiran dan berdebat, sebagai wujud nalar manusia, maka umat manusia telah dan selamanya akan dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana cara menghindari konflik semacam itu, dan bagaimana menyelesaikannya secara damai jika konflik tersebut terjadi.

Sejarah kemudian berkisah: Sang raja, pahlawan pertama di kedaton. Ia membela kerajaanya dari musuh eksternal dan internal, serta siap menegakkan hukum yang dibuatnya, dengan paksa. Tepat di bawahnya, terdapat sekelompok orang, yang menikmati kedermawanannya dan berutang budi pada kecakapan mereka dalam berperang. Mereka disebut 'para ksatria'. Tahta sang raja menganugerahkan mereka lahan, yang ditanami oleh kaum tani yang sebagian besar, gak gratis. Tetesan keringat mereka, menanggung para ksatria; olehnya, para ksatria punya waktu luang agar berlatih perang dan membayarkan kuda, baju besi, pedang, dan tombaknya.
Sejak masa kanak-kanak, seorang ksatria menguasai pemanfaatan kuda dan senjata, membiasakan diri dengan baju besi yang berat dan tak nyaman, dan belajar bagaimana mengendalikan selongsong yang panas, yang bobot, kekuatan, dan keganasannya, telah dibiakkan. Stamina dan pelatihan, menjadikan para ksatria, penguasa medan perang; mereka juga tampil bersanding dengan seorang bangsawan.

Dalam Politeia, Plato berpendapat bahwa orang-orang terbaik ialah mereka yang amat terampil dalam mengidentifikasi dan mengejar kepentingan bersama. Merekalah yang disebut ‘para pembela’, penguasa dan pemimpin profesional. Dengan demikian, mereka menerima pelatihan yang panjang dan cermat, serta tak menikmati kekayaan besar, yang dapat mendorong mereka mengejar kepentingan pribadi dibanding kepentingan publik. Hal ini, sebagian besar merupakan kritik tersirat terhadap cara pemerintahan negara-kota di era Plato. Namun 'Republik'-nya Plato, tak dianggap praktis oleh cantrik ternamanya; Aristoteles lebih menyukai deskripsi ketimbang preskripsi, dan ia mengajukan aristokrasi sebagai definisi berdasarkan observasi.

Menurut William Doyle, Aristokrasi [aristokratíā] merupakan kata yang tercetak di masa Yunani kuno. Kata ‘aristokrasi’, menghilang dari penggunaan rutin selama sekitar seribu tahun. Ketika istilah ini muncul kembali pada abad ke-15, ia masih bermakna suatu bentuk pemerintahan, namun sebagian besar digunakan untuk menggambarkan negara yang diperintah oleh kaum bangsawan. Mulanya, yang dimaksud bukanlah sekelompok orang, melainkan suatu bentuk pemerintahan: 'rule by the best'. Bentuk pemerintahan 'dimana lebih dari satu, tapi cuman segelintir, yang memerintah … dan disebut demikian, karena para penguasa merupakan orang-orang terbaik, atau lantaran mereka berkepentingan terbaik bagi negara dan bangsanya'.
Parkinson, dalam mengkaji evolusi politik, mengelompokkan 'aristokrasi'—serta Feodalisme dan Teokrasi Komunis—ke dalam bahasan Oligarki. Aristokrasi merupakan pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang yang bajik, kata Doyle, namun dengan mudah diselewengkan menjadi Oligarki belaka ‘jika semata menimbang kepentingan orang-orang kaya’. Dalam oligarki ekstrem, kelas penguasa ‘memegang jabatan di tangan mereka sendiri, dan hukum menetapkan bahwa anak lelaki akan menggantikan ayahnya’. Namun Aristoteles bersikap realistis: kekayaan amat penting guna menunjang kenyamanan dan kurangnya godaan, yang diperlukan bagi pemegang jabatan publik, sehingga dalam aristokrasi, para pejabat dipilih 'berdasarkan aset dan merit'. Dan jika ‘prinsip aristokrasi adalah kebajikan’, kualitas ini lebih mungkin ditemukan di antara orang-orang yang punya ‘keterlahiran dan keterdidikan’, sebab di zaman baheula, ‘harta dan kebajikan’ dipandang sebagai 'keterlahiran yang baik.'
Parkinson berpendapat bahwa lebih mudah bagi aristokrasi membangun kekuasaannya di dalam negara yang telah terbentuk, di dalam batas-batas yang telah ditentukan, dan melalui lembaga-lembaga yang telah ada. Monarki juga belum tentu hilang. Monarki Mesir, yang sejarahnya paling awal diketahui, sebagian besar dibayangi oleh kaum bangsawan pada dinasti kelima (2750-2250 SM) dan lebih banyak lagi pada dinasti keenam, namun monarki, dalam bentuknya, tetap ada. Hal serupa juga terjadi di Tiongkok pada masa Dinasti Han. Di Sparta, negara yang mayoritas penduduknya aristokrat, kedudukan raja ganda bertahan dan punya pengaruh yang sama. Di Athena, monarki secara diam-diam digantikan oleh aristokrasi pada abad kedelapan. Sebaliknya, di Roma, raja-raja dicopot dari takhtanya, sekitar tahun 509 SM, oleh kaum bangsawan, dan jabatan raja hanya bertahan dalam bentuk Rex Sacrorum, sebuah jabatan pengorbanan yang tak terlalu penting. Roma mungkin merupakan contoh awal terbaik dari aristokrasi dalam bentuk republiknya.
Bagi Montesquieu, dalam De l'esprit des lois, ada tiga tipe dasar: republik, monarki, dan despotisme. Aristokrasi hanyalah salah satu jenis republik, dimana segelintir orang memerintah dan bukan banyak orang. Ia mengidentifikasi minoritas yang berkuasa ini, sebagai bangsawan, tapi sebenarnya, nasib para bangsawan ini, bagi Montesquieu, terletak pada monarki. Disanalah mereka memainkan peran penting sebagai kekuatan perantara antara raja dan rakyatnya, menegakkan hukum dan mencegah degenerasi negara menjadi despotisme. Ungkapan mendasarnya adalah 'no monarch no nobility; no nobility no monarch’.
Ketika, hanya tiga dekade setelah Montesquieu menulis, kaum revolusioner Amerika berhasil meninggalkan kesetiaan kepada George III dan mendirikan sebuah republik, mereka menyatakan bahwa segala bentuk kebangsawanan tak sesuai dengan negara baru mereka. Mereka juga mulai berbicara tentang bahaya ‘aristokrasi’ yang dilakukan oleh orang kaya, yang merampas kekuasaan–sehingga menghilangkan perbedaan yang cermat antara Aristoteles dan Oligarki. Dan sekitar tahun 1780, ketika permasalahan di Amerika masih belum terselesaikan, para reformis di Republik Belanda mulai mengecam oligarki mereka sendiri sebagai para 'Aristokrat'–sebuah kata yang sebelumnya tak dikenal. Dalam beberapa tahun, kaum revolusioner Perancis menggunakan istilah ini untuk menggambarkan lawan mereka sendiri. Penggunaan ini, berasal dari fakta bahwa Revolusi dimulai sebagai perjuangan untuk meruntuhkan hak-hak istimewa dan kekuasaan bangsawan Perancis. Aristokrasi, kini jelas bermakna lebih dari sekedar bentuk pemerintahan. Artinya, kekuatan kelompok sosial tertentu dan pendukungnya. Pula, ia bermakna mengelompokkan dirinya sendiri secara lebih umum. Aristokrasi dan kebangsawanan, akhirnya dapat dipertukarkan sebagai istilah deskriptif.
Sejak saat itu, ia telah menjadi penggunaan umum. Beberapa analis atau komentator menggunakan kata ‘aristokrasi’ guna pembedaan di kalangan bangsawan yang lebih luas, dan membatasi istilah tersebut hanya pada kelompok minoritas kaya yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka atau rekan-rekan mereka yang berpengaruh. Hal ini dapat berguna untuk jenis analisis tertentu, namun dalam istilah yang lebih umum, deskripsi ‘aristokratis’, atau kata benda ‘aristokrat’ atau ‘aristokrasi’, secara luas (walaupun tak tepat) dipahami punya arti yang hampir sama dengan bangsawan atau kebangsawanan.

Para aristokrat meyakini bahwa mereka telah ada sejak dahulu kala. Mereka melihat diri mereka sebagai manifestasi dan penerima manfaat dari kecenderungan alami manusia guna menyongsong kepemimpinan elit yang telah terbukti superioritasnya. Tatkala para aristokrat berbicara tentang diri mereka, seperti yang sering mereka lakukan, sebagai bangsawan atau senator, mereka menyiratkan bahwa merekalah orang-orang yang sama dengan para penguasa Romawi kuno. Ada yang bahkan mengaku sebagai keturunan langsung dari setidaknya, ordo senator pada zaman kuno akhir. Namun sebagian besar aristokrasi modern menelusuri identitas kolektif mereka tak lebih jauh dari masa pergolakan invasi barbar di awal Abad Pertengahan. Ada yang memandang diri mereka sebagai keturunan para penakluk, dengan penaklukan sebagai bukti utama dan pembenaran superioritas mereka.

'Noblesse oblige', bukanlah ungkapan usang. Sepertinya, pertama kali digunakan oleh Duke de Lévis Perancis pada tahun 1808, ketika 20 tahun kesengsaraan bagi para Aristokrat tampak akan berakhir dengan penciptaan hierarki baru oleh Napoleon. Ia berkata: Keningratan punya kewajiban. Para aristokrat, oleh hukum, tak boleh melakukan sesuatu, dan oleh keyakinan mereka tentang diri mereka sendiri, tak boleh mengerjakan hal lain. Sejak memudarnya feodalisme, tak banyak undang-undang yang memberlakukan kewajiban yang lebih positif, namun semua orang tahu bahwa, bangsawan sejati diharapkan berperilaku dengan cara yang memperkuat klaim mereka atas perbedaan sosial dan kekuasaan, ‘hidup dalam kemuliaan’.

Bentuk antara monarki dan aristokrasi ialah teokrasi. Kerajaan Dunia Kuno biasanya diperintah oleh seorang raja yang juga seorang dewa. Dengan adanya imamat untuk mendukung keilahiannya, terdapat unsur teokrasi di kerajaan-kerajaan tertua. Namun teokrasi, yang pemerintahannya dilakukan oleh seorang pendeta, hanyalah salah satu bentuk monarki atau aristokrasi dan tak punya kepentingan politik yang besar. Sulit membedakan antara fungsi keagamaan dan politik monarki kuno; dan dalam kasus-kasus (seperti di antara orang-orang Yahudi) dimana para pendeta menggantikan raja-raja, maka kekuasaan politik dan agama setidaknya, berkekuatan yang sama luasnya. Masyarakatnya, menganut satu agama dan mereka tak menunjukkan keinginan khusus untuk memberikan manfaat kepada orang lain.

Jeffrey A. Winters punya cerita lain tentang Oligarki, suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik berada di tangan kaum minoritas kecil, yakni para oligark. Kata ini berasal dari kata Yunani oligarkhia (pemerintahan segelintir orang), yang terdiri dari oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah). Winters memberitahu kita bahwa semua oligarki dapat dikategorikan berdasarkan empat karakteristik utama: sejauh manakah keterlibatan langsung para oligark menyumbang pemaksaan, yang mendasari klaim atau hak mereka atas kepemilikan dan harta-benda; terlibat langsungkah para oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; bersifat terfragmentasi atau kolektifkah keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasaan tersebut; dan terakhir, liar atau jinakkah para oligark itu (dijinakan secara eksternal lebih umum dan lebih stabil dibanding jinak sendiri). Ada garis demarkasi historis yang amat nampak di kalangan para oligark yang memisahkannya, sebelum dan sesudah terbangunnya negara-bangsa modern.
Oligarki dalam pandangan Joel Kotkin, merupakan salah satu faktor penyebab kembalinya Feodalisme yang ia sebut sebagai 'Neo-Feodalisme'. Penggunaan istilah ‘feodalisme’ terkadang memberitahu kita lebih banyak tentang persepsi orang, pada periode yang menggunakan istilah ini daripada menyampaikan tentang masyarakat abad pertengahan, kata David Crouch. Seperti yang kini diketahui, kedok pertama 'feodalisme' sebagai konstruksi sosial—bukan sebagai konstruksi hukum—ialah penggunaan frasa 'le gouvernement féodal' oleh Charles Louis de Secondat, Baron Montesquieu (1689–1755), pada tahun 1748, dalam karyanya L'Esprit des Lois. Namun gagasan bahwa Abad Pertengahan di Eropa bersifat ‘feodal’ telah lama ada. Pakar hukum dan ahli jaman antik asal Inggris, Sir Henry Spelman (c.1564–1641) menyimpulkan bahwa kepemilikan lahan dan hukum feodal merupakan dasar bagi masyarakat abad pertengahan di Barat, dan memang merupakan ciri khas mereka.
Wilayah kekuasaan dan hukum feodal diyakini khusus untuk Abad Pertengahan. Namun, bahkan sebelum Spelman pun, para ahli hukum Prancis pada abad ke-16, telah menghasilkan teori tentang asal usul wilayah kekuasaan setelah runtuhnya kekaisaran Romawi, dan menghubungkan penemuan mereka dengan nenek moyang kaum Franka. Mereka meyakini bahwa wilayah kekuasaan dan hukum feodal tak lebih dari peninggalan jaman baheula, jauh sebelum zaman mereka. Orang-orang Prancis sezaman dengan Spelman, juga secara mandiri sampai pada kesimpulan yang telah dicapainya, bahwa Abad Pertengahan tak dapat dihindari dan bersifat ‘feodal’. Pangeran Boulainvilliers membangun tradisi kedua negara ketika ia menulis bahwa 'féodalité' muncul dari reruntuhan Kekaisaran Roma. Tak mengherankan, mengingat bahwa pemikiran ensiklopedik Pencerahan pada akhirnya akan memutuskan bahwa dunia abad pertengahan bersifat feodal, dan mau tak mau, berusaha menetapkannya sesuai dengan label yang telah ditempelkan padanya.
Montesquieu-lah penulis pertama yang menggunakan kata sifat 'féodal' dalam konteks negara sosial. Ia menggunakannya untuk menggambarkan keadaan dimana monarki telah merosot hingga terpaksa berbagi kekuasaan dengan aristokrasi militer, yang basis kekuasaannya adalah para ksatria mereka, yang didirikan di wilayah kekuasaan turun-temurun.
Mengapa dan apa latar belakang Neo-Feodalisme Kotkin, akan kita bicarakan pada sesi selanjutnya. Bi'idznillah."

Kemudian, sebelum lanjut ke sesi berikutnya, Sansevieria melantunkan Bohemian Rhapsody-nya Queen,

Is this the real life? Is this just fantasy?
[Kehidupan nyatakah ini? Semata lamunankah ini?]
Caught in a landslide, no escape from reality
[Terperangkap dalam tanah longsor, tak bisa lari dari kenyataan]
Open your eyes, look up to the skies and see *)
[Buka matamu, tengadah ke langit dan pandanglah]
Kutipan & Rujukan:
- Peter Szendy, Listen: A History of Our Ears, 2008, Fordham University Press
- Douglas Bloch, Listening to Your Inner Voice: Discover the Truth Within You and Let It Guide Your Way, 1995, Hazelden Publishing
- Jim Petersen, Why Don’t We Listen Better? - Communicating & Connecting in Relationships, 2015, Petersen Publications
- William Doyle, Aristocracy: A Very Short Introduction, 2010, Oxford University Press
- Lawrence James, Aristocrat - Power, Grace, and Decadence: Britain’s Great Ruling Classes from 1066 to the Present, 2009, St. Martin’s Press
- David Crouch, The Birth of Nobility: Constructing Aristocracy in England and France 900–1300, 2014, Routledge
*) "Bohemian Rhapsody", karya Freddie Mercury