Selasa, 05 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (3)

“Dalam sebuah kampanye, seorang politisi ditanya, 'Apa sih Feodalisme itu?' Maka, ia menyajikan ilustrasi tentang kepemilikan sapi. 'Katakanlah, Anda punya dua ekor sapi yang berkaitan dengan folat dan tak lekat dengan sulfat, maka majikan Anda mengambil susunya lebih dari tiga perempat.'
Terinspirasi oleh ucapan sang politisi, seorang jurnalis lalu mewawancarai seorang peternak sapi, disaksikan beberapa orang yang juga beternak sapi. Namun, entah lantaran kurang fasih, atau mungkin, terbatas literasi, hasilnya, di luar ekspektasi. Berikut, Q&A-nya:
Q: Berapa jumlah susu yang dihasilkan sapi Anda?—A: Yang mana, yang Hitam atau yang Putih?
Q: Yang Hitam—A: 2 liter per hari.
Q: Dan yang Putih?—A: 2 liter per hari.
Q: Dimana mereka tidur?—A: Yang Hitam atau yang Putih?
Q: Yang Hitam.—A: Di lumbung!
Q: Dan yang Putih?—A: Di lumbung!
Q: Sapi-sapi Anda tampak sehat. Anda beri makan apa?—A: Yang mana, Hitam atau Putih?
Q: Yang Hitam.—A: Rumput
Q: Dan yang Putih?—A: Rumput
Q [sang jurnalis rada nesu]: K'nape sih, Anda terus bertanya yang Hitam atau yang Putih, padahal kaan, jawabannya sama aja??—A: Karena yang Hitam itu, punyak saya.
Q: Dan yang Putiiih?—A [sang peternak diam sejenak, menarik nafas, lalu dengan agak ragu menjawab]: Punyak saayya! [diiringi tepuk-tangan peternak lain]"

"François Louis Ganshof, seorang pakar tentang abad pertengahan Belgia, berpendapat bahwa kata 'Feodalisme' (bahasa Jerman Lehnswesen atau Feudalismus; bahasa Prancis-nya, Feodalite) punya banyak makna yang berbeda, " lanjut Sansevieria. "Selama Revolusi Perancis, istilah ini diadopsi sebagai gambaran umum yang mencakup banyak pelanggaran yang dilakukan oleh 'Ancien Regime'. Feodalisme dapat dipahami sebagai suatu bentuk masyarakat yang berciri nyata dan tak sulit didefinisikan, kata Ganshof. Semuanya dapat diringkas sebagai berikut: perkembangan yang mendorong unsur ketergantungan pribadi dalam masyarakat secara ekstrem, dengan kelas militer yang terspesialisasi menempati tingkat yang lebih tinggi dalam skala sosial; pembagian ekstrim hak milik nyata; suatu sistem tingkatan hak atas tanah yang diciptakan oleh subdivisi ini dan secara garis besar sesuai dengan tingkatan ketergantungan pribadi yang telah disebutkan; dan penyebaran otoritas politik di antara hierarki orang-orang yang menjalankan kekuasaan, demi kepentingan mereka sendiri, yang biasanya diberikan kepada Negara dan seringkali, pada kenyataannya, berasal dari perpecahan negara.
David Herlihy, seorang sejarawan Amerika, berpendapat senada bahwa 'Feodal' adalah sebuah kata yang, selama berabad-abad, punya banyak corak makna dan telah digunakan dalam beragam cara oleh penulis yang berbeda. Istilah ini, atau nenek moyang terdekatnya, pertama kali muncul dalam piagam Burgundi sekitar tahun 881, dalam bentuk feos atau feus. Di situ, perkataan ini mengandung makna sejenis harta bergerak, mungkin ternak, yang dapat digunakan melakukan pembayaran. Para ahli filologi tak sepakat mengenai asal-usulnya, namun pendapat yang bereputasi baik, menetapkan bahwa akar-katanya berasal dari bahasa Franka (fehu), yang bermakna kepemilikan atau kepunyaan. Juga menurut pendapat yang bereputasi baik, perkataan tersebut serumpun dengan bahasa Jerman modern, Vieh, atau ternak sapi.
Tahun-tahun ketika kata tersebut pertama kali muncul, dan generasi-generasi berikutnya, bagi sebagian besar wilayah Eropa Barat, merupakan masa kekacauan yang sangat besar. Oula, merupakan periode yang berubah-ubah, dimana terminologi sumber-sumber tertulis, dan institusi serta kehidupan yang digambarkannya, selalu mengalami perubahan. Feos, dalam makna harta benda bergerak, menghilang dari piagam setelah dekade pertama abad kesepuluh. Pada saat yang sama, istilah tersebut memperoleh bentuk dan pengertian yang berbeda. Bentuknya adalah fevum, fevo, feo, dan lain-lain. Sejak akhir abad kesebelas, salah satu bentuk variannya, feodum atau feudum, mulai mendominasi yang lain dan akhirnya menjadi istilah standar Latin yang sekarang disebut fief. Kata feudum, fief, pada mulanya diartikan sebagai benda konkrit sebidang tanah, yang tak diserahkan secara mutlak melainkan dengan syarat-syarat yang melekat. Istilah ini, hampir tak menggambarkan keseluruhan sistem hukum, atau pemerintahan, atau hubungan sosial. Abad Pertengahan tak pernah mengetahui bahwa masyarakat atau pemerintahannya, pantas disebut 'feodal'.
Sejak akhir abad kesebelas, Eropa Barat menyaksikan kebangkitan budaya dan intelektual yang sesungguhnya. Manusia tampaknya terobsesi dengan hasrat akan ketertiban, dan pada Abad Pertengahan mereka mencarinya tak semata dalam keyakinan agama dan asumsi filosofis, namun pula dalam hukum dan adat istiadat yang mereka jalani. Para ahli hukum dan pengacara, misalnya, dengan tekun mempelajari monumen hukum dunia Romawi kuno. Kesadaran dan keterampilan baru mereka membantu Gereja mengembangkan sistem hukum kanonnya sendiri, dan konsep hukum Romawi, juga mempengaruhi konsepsi otoritas awam. Yurisprudensi baru mempengaruhi pula adat istiadat feodal.
Seorang ahli hukum Padua, Giacomo Alvarotto (1385-1453), menyebutkan dengan judul pendek De feudis, untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang mengatur hukum wilayah. Ia menggunakan istilah feudalis scientia, 'ilmu feodal', yang menyiratkan bahwa hukum adat di wilayah tersebut, secara logis konsisten dan sepenuhnya dapat dikaji secara ilmiah.
Nah, dari penjelasan kedua empu tersebut, kita bisa tahu bahwa kata 'Feodalisme' mengalami 'evolusi', dari semacam kepemilikan bersyarat hingga penetapan sejumlah adat istiadat dan tradisi penting yang umum, setidaknya dalam prinsip-prinsip dasar, di seluruh Eropa—begitulah cara berkembangnya makna 'feodal' pada akhir Abad Pertengahan.

Feodalisme dipraktikkan dengan berbagai cara, bergantung pada lokasi dan periode. Di Inggris, rupanya, penggunaan istilah 'feudal system' pertama kali ditemukan dalam The Wealth of Nations karya Adam Smith (1776). Yang dimaksud Smith bukanlah sistem hukum, melainkan sistem produksi. Di bawah 'sistem feodal', para pekerja tergerak untuk bekerja bukan karena insentif yang secara alamiah dihasilkan oleh pasar bebas, melainkan karena kekerasan dan paksaan, oleh kekuasaan tuan dan negara yang mendukungnya. Sistem seperti ini, menurutnya, sangat menghambat insentif dan melemahkan cara kerja hukum-hukum ekonomi yang alami dan bermanfaat sehingga tentu akan menyebabkan keengganan berusaha, produksi yang rendah, dan kesengsaraan umum bagi semua orang kecuali mereka yang amat tajir. 'Feodal', dengan demikian, mengidentifikasi perekonomian dan masyarakat yang ditandai dengan perbedaan besar antara kaya dan miskin; kaum tani yang sengsara dan tereksploitasi; dan perekonomian yang tak responsif dan tak produktif. Nuansa kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ini, selalu melekat pada kata 'feodal', setidaknya dalam penggunaan populer.
Pada abad kesembilan belas, kaum sosialis meminjam konsepsi feodalisme ini (seperti yang banyak mereka lakukan terhadap yang lain, comot-sana comot-sini dan diaku miliknya) dari para ekonom liberal. Marx dan Engels, terutama menjadikannya bagian dari karakterisasi mereka mengenai tahap-tahap perkembangan manusia [Marx mengaku sebagai pengagum berat Charles Darwin]. Pada awalnya, terdapat 'primitive communism', miskin dan tak produktif; terjadilah perbudakan, yang menghasilkan kekayaan yang lebih besar dengan mengorbankan degradasi manusia; feodalisme muncul berikutnya, dan kemudian kapitalisme; akhirnya, komunisme kembali, kini kaya dan berjaya. Kata 'feodal' tersebar melalui Manifesto Komunis tahun 1848 ('feudal society', 'feudal property', 'feudal system of industry', dan sejenisnya). Tentu saja, hal ini dipandang sebagai hal yang tak menyenangkan, namun acapkali dianggap lebih baik ketimbang eksploitasi negara kaum borju, yang lebih kejam lagi.

Kini, banyak sejarawan, yang hendak menghindari pertikaian mengenai terminologi yang akan segera menjadi sia-sia, memilih tak memberikan definisi yang ketat tentang feodalisme, melainkan memberi gambaran tentang 'feudal society', dalam artian, membuat daftar karakteristik-karakteristik yang tampak penting di dalamnya. Hampir semua sejarawan saat ini, sepakat bahwa masyarakat feodal, tak dapat dianggap tetap dan tak berubah sepanjang sejarahnya. Sebaliknya, pemahaman yang akurat terhadap sifat tatanan feodal, mengharuskan para sejarawan mengakui setidaknya dua zaman feodal. Periode pembagiannya terjadi kira-kira pada periode 1050 hingga 1100, namun terjadi pada waktu yang berbeda-beda di berbagai belahan Eropa.
'Zaman feodal pertama' (istilah kepunyaan Marc Bloch) menunjukkan pembentukan spontan institusi-institusi dasar dan praktik-praktik feodalisme: ikatan pribadi antara manusia dengan manusia yang dikenal sebagai 'vassalage' [para pemilik tanah berdasarkan kepemilikan feodal dengan syarat penghormatan dan kesetiaan]; obligasi properti yang dimunculkan melalui pemberian tanah fief [di zaman kolonial Belanda dikenal sebagai perdikan: orang (daerah) yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah]; dan distribusi kekuasaan pemerintahan di antara banyak juragan kecil. Lembaga-lembaga ini, tak dibuatkan secara sadar oleh pembuat undang-undang, melainkan hasil dari pertumbuhan yang spontan. Semuanya berakar pada praktik dan budaya masyarakat Barat awal abad pertengahan.
Boleh jadi, ciri utama perdagangan pada awal Abad Pertengahan adalah sifatnya yang tak konstan dan tak reliabel. Masyarakat lokal tak dapat bergantung pada perdagangan reguler guna memenuhi sebagian besar kebutuhan pokoknya. Dalam situasi perdagangan yang sporadis ini, swasembada dalam arti ekonomi, merupakan kebijakan yang tepat bagi masyarakat terpencil, meskipun otonomi ekonomi sepenuhnya takkan pernah tercapai. Selain itu, karena sedikitnya pertukaran, uang masih relatif langka dalam perekonomian, dan pemerintah tak dapat berharap mengumpulkan pendapatan moneter dalam jumlah besar atau menggunakan pembayaran uang untuk menyewa tentara dan menyokong birokrasi. Dalam keadaan seperti ini, para pemegang hak, paling baik, bila didukung melalui hibah tanah, yang mendekatkan konsumen dan produsen dan menghilangkan kebutuhan akan uang. Kekhasan pemukiman dan pertukaran komersial, mempengaruhi pula pertukaran informasi. Juru tulis monastik lebih sering dekat dengan kejadian-kejadian di daerah yang jauh dari rumahnya—di Roma, misalnya, atau istana kekaisaran—tetapi kurang mengetahui tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan terdekatnya. Sekali lagi, pertukaran informasi tak dapat diandalkan, namun seringkali dalam ruang hampa semacam ini, berita bisa menyebar luas. Masyarakat awal abad pertengahan menghadirkan keseimbangan khusus antara lokalisme yang kuat, ditambah dengan kesadaran keanggotaan dalam komunitas universal Gereja dan kekaisaran. Terlebih lagi, pemukiman pada awal Abad Pertengahan menghadapi masalah ketidakamanan dan kekerasan, yang hampir terus menerus. Negara Karoling [sebuah dinasti Franka yang memerintah Eropa Barat sekitar tahun 750-987], selama sekitar seratus tahun, mempertahankan kesatuan dan keamanan di Eropa, namun sejak pertengahan abad kesembilan, kesatuan dan kekuatannya runth, baik oleh pertikaian internal maupun invasi baru. Para penyerang—Viking dari Utara, Magyar atau Hongaria dari Timur, dan Saracen dari Selatan—sangat aktif pada dekade-dekade terakhir abad kesembilan dan dekade-dekade awal abad kesepuluh. Sekali lagi, masyarakat yang berada di komunitas-komunitas ini, harus mengatasi masalah ini dengan sumber daya mereka sendiri, sebab mereka tak dapat mengandalkan reaksi cepat dan perlindungan efektif dari pemerintah pusat.
Institusi-institusi feodal, tak hanya berkembang secara spontan, lantaran bersifat 'domestik', karena institusi-institusi tersebut pada mulanya tak menyangkut raja dan orang-orang besar di kerajaan itu, melainkan orang-orang merdeka yang bersahaja, yang dalam kekosongan kekuasaan pemerintahan, harus mengatur sendiri perlindungan, keamanan, dan dukungan mereka.
Hagiografi, kehidupan orang-orang suci, memberi kita gambaran yang amat jelas, jika mungkin bukan yang paling tepat, tentang kehidupan Eropa pada zaman feodal pertama. Pada saat itu, sekelompok besar orang Saracen yang tinggi-kekar, buas, dan amat kejam, berlayar dari wilayah Spanyol ke perbatasan Italia dan Provence. Di kedua kerajaan tersebut, mereka membantai orang-orang baik yang berstatus rohaniwan maupun awam, dari segala usia dan gender. Mereka menghancurkan biara-biara dan menghancurkan kota, desa, dan perkebunan. Dalam serangan cepat, mereka menyerang Pegunungan Alpen Julian sampai ke Apennines. Di sana, dengan melampiaskan kebejatannya, mereka menindas penganut agama Kristen dengan penjarahan dan aniaya. Dengan membunuh, memperbudak, merampas harta milik orang lain, mereka memuaskan hasrat dursilanya, dengan tindakan kriminal.
Pada zaman feodal kedua, sebagai bagian dari kebangkitan intelektual Barat, terlihat jelas adanya peningkatan kesadaran akan alam sebagai suatu kekuatan swatantra, yang sebagian besar bersifat mandiri, yang digerakkan oleh aktivitas penciptaan, namun sejak saat itu, dibebaskan oleh Tuhan agar bekerja sesuai dengan kehendaknya sendiri. Tentu saja, mentalitas baru ini, sangat jelas terlihat di kalangan intelektual, semisal di sekolah-sekolah katedral dan universitas-universitas yang berkembang sejak abad kesebelas dan kedua belas.
Mentalitas baru ini, juga berdampak pada pemerintahan. Lembaga-lembaga tradisional feodalisme yang berkembang, sebenarnya merupakan produk kebudayaan rakyat Barat awal abad pertengahan. Namun para pangeran yang berniat memperkuat otoritas mereka sendiri, seperti pengrajin yang baik, dapat mengadopsi bahan-bahan yang diberikan masa lalu kepada mereka, memanipulasi dan memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Dalam kekayaan dan keterampilan baru yang tumbuh di masyarakat mereka, para pangeran punya sumber daya yang tak dimiliki para pendahulunya. Mereka dan para penasihatnya, memperoleh pula kesadaran baru, kesadaran akan keadaan mereka sendiri, dan kemauan menggunakan lembaga-lembaga tradisional demi kepentingan mencapai tingkat tatanan sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, kesadaran yang tinggi dan kepercayaan diri yang baru, merupakan salah satu perbedaan sangat tajam, yang membedakan kedua zaman feodal tersebut.
Pada zaman feodal kedua, meningkatnya perdagangan dan meluasnya harta-benda komersial, memunculkan kelas baru warga kota yang mampu, dengan kekuatan uang, menantang dominasi tradisional para ksatria. Para ksatria itu sendiri, sepertinya bereaksi terhadap persaingan baru ini dengan menekankan superioritas moral dan budaya mereka atas para pengeruk uang di kota. Mereka berusaha pula menutup barisan terhadap pendatang baru dengan menegaskan bahwa kelahiran dan darah, merupakan prasyarat menjadi ksatria dan bangsawan.
Sebagai gambaran, jika seorang lelaki dari kelas menengah mencintai seorang wanita dari kalangan bangsawan yang lebih tinggi, ia harus berkarakter terbaik, sebab agar seorang lelaki dari kelas ini terbukti patut beroleh cinta dari seorang wanita dari bangsawan berderajat lebih tinggi, ia harus menjadi orang yang punya kebajikan yang tak terhitung banyaknya, seseorang yang disanjung karena perbuatan baiknya, yang tak terhitung jumlahnya. Akan tampak sangat memalukan dan menimbulkan celaan bagi seorang wanita bangsawan bila melewati peringkat atas dan menengah, lalu mengambil kekasih dari kelas bawah kecuali jika karakter yang baik dalam jumlah besar, dapat menutupi kekurangannya sebagai bangsawan. Lantaran tampak tak masuk akal bagi orang berakal mana pun bahwa seseorang dapat menemukan di kelas terendah lelaki yang baik dan ulung, yang layak mendapatkan cinta dari seorang wanita yang berpangkat tinggi, sementara di dua kelas atas tiada lelaki yang pantas, yang dapat ditemukan, melainkan semuanya haruslah ditolak oleh kualitas inferiornya.

Di tengah invasi dari luar dan kekacauan di dalam, dengan pembusukan dan hampir hilangnya pemerintahan yang efektif, masyarakat di awal Abad Pertengahan menghadapi masalah kritis dalam memenuhi kebutuhan dasar sosial mereka—makanan, perlindungan, dan persahabatan. Dalam kondisi berbahaya seperti ini, unit sosial terdekat yang dapat memberikan dukungan dan perlindungan kepada individu yang mengalami pelecehan adalah keluarga. Apa sifat keluarga pada masyarakat awal abad pertengahan?
Keluarga pada awal Abad Pertengahan berperan sebagai inti masyarakat. Ikatan antar saudara tetap kuat dan menuntut. Namun dengan jagat yang penuh emosi tinggi ini, tetap terbatas dan rapuh. Keluarga besar atau kelompok kekerabatan tak meninggalkan bukti kohesi dan solidaritas yang luar biasa. Sepertinya jarang sekali lembaga ini mampu merangkul sejumlah besar orang di bawah payung dukungan dan perlindungan. Para anggota berpencar, dan emosi menjadi dingin. Keluarga besar atau klan terlihat berfungsi paling baik dan dapat bertahan hidup paling baik di wilayah dimana pertanian ekstensif, peternakan, dan peternakan domba mempunyai kepentingan tertentu, seperti wilayah yang didominasi dataran tinggi dan didominasi Celtic di Brittany, Cornwall, Wales, Skotlandia, dan Irlandia. Pengelolaan dan pertahanan ternak dalam jumlah besa,r mengundang dan menghargai kerja sama yang berkelanjutan di antara ahli waris dan kerabat, dan menjadikan wilayah tersebut, secara sosial dan mungkin budaya, termasuk wilayah paling konservatif di Eropa. Di sisi lain, sistem pertanian menetap dan intensif menghadapkan kelompok kekerabatan pada permasalahan yang sulit dan mengganggu, tentang pewarisan, wewenang, perkawinan, serta pembagian fungsi dan manfaat. Bagi petani atau tuan tanah yang menetap, kerjasama dengan tetangga kemungkinan besar menjadi lebih penting daripada kerjasama dengan kerabat jauh, dan ikatan yang dibentuk oleh alasan kepentingan pribadi cenderung menyaingi dan melampaui kekuatan ikatan sentimental di antara kerabat yang menghuni rumah tangga biasa.

Ikatan antara manusia dengan manusia, yang merupakan ciri paling khas dari masyarakat feodal, pada mulanya tampak didasarkan pada pertimbangan manusia, dan bukan pada harta benda.
Ikatan pribadi menyatukan para ksatria, tetapi status sosialnya berbeda. Yang satu lebih tua berdasarkan usia, bakat, pengalaman, prestasi, atau kekayaan; ia pemimpin, atau bendoro. Rekannya berasal dari status sosial yang lebih rendah tetapi masih orang bebas, masih mempunyai hak yang harus dihormati. Ikatan pribadi semacam ini, sepertinya merupakan hal yang lumrah, baik dalam masyarakat barbar maupun Romawi. Dalam sistem feodal yang matang, ksatria senior disebut 'lord', dan pengikut bebasnya disebut vassus (istilah ini berasal dari kata Celtic bagi anak lelaki atau pelayan) atau sekadar 'lelaki' (homo). Upacara dimana seseorang secara terbuka menyatakan bahwa ia ingin menjadi pengikut orang lain, dan diterima olehnya, disebut penghormatan khusus. Ini mencakup, dalam bentuknya yang paling rumit, setidaknya tiga isyarat simbolis yang terpisah. Pengikut akan meletakkan tangannya di tangan tuannya (immixio manuum); mereka akan saling bertukar ciuman damai; dan sumpah akan diambil oleh bawahan agar mematuhi komitmennya. Dari semua hal tersebut, 'tangan yang manyatu' merupakan hal yang tampak paling umum dan sangat penting.

Dalam memandang landasan kelembagaan masyarakat feodal, tak dapat dilupakan bahwa lembaga-lembaga yang jauh lebih tua dari sistem feodalisme tetap berfungsi. Yang terpenting dari lembaga-lembaga ini adalah kekuasaan para raja. Raja-raja Eropa, sangat ingin memanfaatkan lembaga-lembaga feodal dan konsepsi feodal demi memperkuat otoritas mereka dan dalam memaksakan kewajiban-kewajiban yang tegas kepada rakyatnya. Namun raja abad pertengahan selalu lebih dari sekadar tuan feodal. Gereja secara khusus mengutarakan visi kedudukan sebagai raja yang menjadikannya sebagai jabatan suci.
Mungkin ciri paling khas dari keadilan feodal adalah pelaksanaan suatu bentuk yurisdiksi atas orang-orang yang tinggal di atasnya oleh majikan yang menguasai lahan. Hal ini secara tradisional disebut, namun kurang tepat, sebagai 'peradilan pribadi'.
Sejak abad kesebelas, banyak pangeran di Eropa Barat—bangsawan, adipati, dan raja—menunjukkan upaya, energi, dan keberhasilan baru dalam memperkuat otoritas mereka sendiri dan mengatur ulang kerajaan-kerajaan mereka. Dalam upaya rekonstruksi ini, yang merupakan bagian dari perubahan yang lebih luas, yang terjadi dalam kehidupan Eropa, institusi-institusi feodal menjadi pusat perhatian. Vassalage dan wilayah kekuasaan, tentu saja, telah berkembang secara spontan, sebagian besar tanpa rancangan atau arah yang dipaksakan secara sadar, dalam lingkungan yang didominasi oleh kekacauan. Namun semua itu tetap mengakar kuat dalam kesadaran dan perilaku masyarakat, dan mereka menawarkan para penguasa yang sadar diri ini, sebuah cara untuk mendefinisikan ulang dan secara lebih ketat menegakkan kewajiban-kewajiban yang, menurut mereka, merupakan kewajiban rakyatnya. Lembaga-lembaga feodal, yang pada satu sisi merupakan produk disintegrasi negara, kemudian menjadi instrumen yang memperkuat negara.

Masyarakat feodal mewariskan kepada generasi berikutnya, tak semata konsepsi dan institusi pemerintahan tertentu yang khas, melainkan cita-cita sosial mengenai perilaku yang pantas dari para ksatria, pejuang, dan manusia. Inilah kekesatriaan, yang secara harafiah bermakna seni menguasai atau mengelola caballi, kuda. Hal ini memberikan gambaran yang tinggi tentang pejuang sempurna yang, jika jarang dicapai dan sering diabaikan, masih memberikan pengaruh yang bertahan lama terhadap perilaku dan moral orang Barat.
Mungkin semua masyarakat, dan terutama masyarakat yang terlibat dalam peperangan yang hampir terus-menerus, telah membentuk gambaran mereka sendiri tentang sang pahlawan. Ksatria Abad Pertengahan sendiri, mewarisi dan menyerap tradisi kepahlawanan yang lebih tua, yang tak hanya datang dari dunia barbar, tapi juga dari dunia Yunani-Romawi. Seperti Beowulf, paradigma pahlawan Jerman, sang ksatria diharapkan menjadi pejuang yang hebat dan berani, ahli senjata yang ia gunakan. Secara moral, ia tak boleh gentar menghadapi banyak rintangan yang menghadang dirinya sendiri dan kepastian kematiannya; ia semestinya tak mementingkan diri sendiri, bersedia menggunakan keterampilan dan kekuatannya demi melindungi rakyatnya, teman-temannya, dan semua yang membutuhkannya. Ia harus berperang melawan kekuatan jahat, yang mengganggu dan membahayakan umat manusia. Kisah-kisah pahlawan klasik dan pahlawan dalam Alkitab—Alexander Agung atau Yudas Maccabeus—pula, meskipun lebih jauh, mempengaruhi konsepsi kepahlawanan abad pertengahan. Legenda St. George dan sang naga, misalnya, punya kemiripan yang erat dengan kisah Perseus dan monster dalam mitologi klasik. Namun jika ksatria mempertahankan tradisi kepahlawanan dan kejantanan yang lebih tua, ia masih memiliki dua kualitas unik. Yang pertama, asumsi bahwa berperang, bahkan membunuh, merupakan tindakan yang diberkahi dan bernilai agama. Yang kedua, keyakinan bahwa di antara keutamaan yang menghiasi kesatria merupakan seni berbuat santuan, berperilaku baik, tak hanya di medan perang, melainkan pula di ruang tamu; tak semata di kalangan pejuang, pula, di kalangan wanita.
Gereja, dan khususnya para reformis abad kesebelas, terutama bertanggungjawab memberikan aura keagamaan pada peperangan. Kekerasan merupakan wabah yang besar dan telah dikenal di masyarakat Barat, dan gereja serta anggota gereja merupakan korban yang paling sering terjadi. Untuk mereformasi Gereja, diperlukan stabilisasi dan pengamanan masyarakat. Dimulai pada akhir abad kesepuluh, dewan-dewan di selatan Perancis berusaha membatasi pertempuran, membatasinya pada orang-orang tertentu dan hanya membolehkannya pada waktu-waktu tertentu. Pasifisme selektif ini, mencakup gerakan-gerakan yang dikenal sebagai 'the Truce of God' dan 'the Peace of God'.

Di sepanjang pembicaraan kita, memberi kesan bahwa Feodalisme hanya ada di Barat, tapi bagaimana dengan belahan bumi lainnya? Parkinson mencatat, di era Tiongkok terdapat Negara Feodal menjelang akhir Dinasti Chou (sebelum 500 SM) dan dikuasai hingga sekitar 250 SM oleh bangsawan keturunan dengan pangkat yang setara dengan Duke, Marquis, Count dan Baron. Mereka itu, pada gilirannya punya bawahannya sendiri, penasihat dan pejabatnya sendiri, serta pelatihan khusus mereka sendiri. Proses serupa juga terjadi dalam sejarah Jepang ketika pemerintahan yang berbudaya dan canggih, kehilangan kendali atas provinsi-provinsi dan jatuh ke tangan bangsawan setempat, yang persaingannya segera menghancurkan persatuan atau tatanan.
Meskipun kita dapat menemukan contoh Feodalisme di India, China, dan Jepang, kata Parkinson, Eropa Abad Pertengahan memberikan latar belakang klasik bagi Chivalry (Ksatria). Chivalry, atau Chevalerie, yang berasal dari bahasa Arab, merupakan konsep dasar dan pada dasarnya bermakna kode etik di antara para penunggang kuda.
Parkinson lebih jauh mengemukakan bahwa Feodalisme dapat menunjukkan bahwa kaum bangsawan diperlukan untuk mengendalikan raja dan bahwa hanya seorang tiran yang akan menggunakan siapa pun kecuali penasihat turun-temurunnya. Feodalisme, dalam kondisi terburuknya, dapat meruntuhkan Kerajaan. Hal ini dapat dilakukan terutama melalui penguasa pemberontak yang mencari bantuan dari luar perbatasan terdekat. Hal ini bisa terjadi dengan cara yang berbeda jika tuan tanah feodal berupaya menggantikan raja melalui sebuah komite yang terdiri dari orang-orang mereka sendiri, karena mereka saling tak percaya. Pada akhirnya, keadaan ini dapat terwujud jika terjadi sengketa suksesi dengan pihak-pihak berbeda yang mendukung kandidat takhta yang berbeda. Jika dilihat secara terpisah, feodalisme lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Lantas, bagaimana dengan Feodalisme di Indonesia? Karya Marah Roesli, Siti Nurbaya, yang terbit tahun 1922, dapat dikatakan representasi dari masyarakat Feodal pada masanya. Dan kini, slogan 'Nderek bapak mawon,' masih mengusung mentalitas Feodalisme. Bhumi Pertiwi malar-malar mengidap virus 'the lord and his vassals'.

Dalam sesi selanjutnya, kita akan bincang tentang 'Aristokrasi', topik sekuel dari Monarki, bi 'idznillah."

Mengambil rehat, Sansevieria bersenandung,

Dan bangunkanlah aku
dari mimpi indahku
Terengah-engah 'ku berlari
dari rasa yang harus kubatasi *)
Kutipan & Rujukan:
- F. L. Ganshof, Feudalism [translated by Philip Grierson, from the French of the 2nd Edition of 'Qu'est-ce que la feodalite?'], 1952, Longman
- David Herlihy (Ed.), The History of Feudalism, 1970, Palgrave Macmillan
- R.J. Holton, The Transition from Feudalism to Capitalism, 1985, Macmillan Education
*) "Sebenarnya Cinta" karya Sabrang Mowo Damar Panuluh