Minggu, 24 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (11)

"Seorang CEO yang masa baktinya akan berakhir esok, sedang mengacak-acak ruang-kerjanya. Bingung, sekretarisnya bertanya, 'Punten bapak, ada apa ini?'
'Biarin ajah, supaya besok yang masuk ke ruangan ini yang benerin,' kata sang pemimpin perusahaan.
'Tapiii, ... nuwun sewu bapak, apa jadinya kalau ternyata putra bapak yang masuk ke sini?' kata sang sekretaris.
'Ide bagus,' jawab sang bos singkat, 'sa' lebih bebas membuat ruangan ini, amburadul!'"

"Why do people cheat? Yang aku maksudkan dengan berbuat curang itu, menabrak aturan agar bisa maju secara akademiskah, profesionalkah, atau finansial. Ada kecurangan yang melanggar hukum, ada yang tidak. Apa pun yang terjadi, sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang, secara menyeluruh, mengaku dirinya sebagai anggota masyarakat terpandang,” berkata Sansevieria sembari memegang kaca pembesar dan mengamati selembar potret buram. "Boleh jadi, sebagai orang Indonesia, dikau akan berkata, 'Curang? Tunggu dulu, itu wejangan dari jagat pewayangan. Tentang Pandawa yang kalah dalam permainan dadu lantaran Patih Sengkuni kerang-keroh. Sengkuni lihai dalam berjudi dan punya sepasang dadu yang, mau-maunya ngejalanin perintah si hidung bengkok. Peristiwa ini menunjukkan kepada kita tentang ketidakjujuran dan kita akan selalu merasa sangat nyaman tatkala kita dapat memandangnya sebagai isu moral. Itu bukan budaya kita. Budaya yang lebih agung menunjukkan penghinaan dan ketidaknyamanan terhadap ketidakjujuran. Maka, siapa pun yang main curang, mereka bukan kita, melainkan handai-taulan Duryudana, yang kebelet banget nguasain tahta Kerajaan Hastina. Dan kendati para Pandawa memenangkan perang Kurukshetra, anak-cucu dan kerabat mereka telah sirna, mereka berakhir pula dengan moksha. Ketidakjujuran menjadikan kesejatian sebuah bangsa, musnah.'
Namun bagaimanapun juga, menurut Mark Moore, ambivalensi budaya kita mengenai dusta dan ketidakjujuran, dibuktikan dengan keengganan penerimaan kita, bahwa politik melibatkan beberapa bentuk kepura-puraan. Dalam budaya populer, kata Moore, kita menatap dengan terpesona, antihero Hollywood semacam karakter pengecoh Paul Newman dan Robert Redford dalam The Sting, peran gadungan Leonardo DiCaprio dalam Catch Me If You Can, dan keahlian tipu-tipunya George Clooney dalam Ocean's Eleven. Bahkan, pahlawan-johan terhebat kita pun, seringkali menjalani kehidupan yang bermuka-dua, termasuk satria bahadur ikonik Amrik semisal Superman, Spiderman, dan Batman, seorang mata-mata seperti Jason Bourne dalam sekuel Bourne, dan Rick dari Casablanca. Dan kejahatan besar acapkali harus dilawan dengan tipudaya cerdik seperti yang dipamerkan oleh tokoh utama Schindler’s List.
Tapi, kekaguman masyarakat terhadap seni kecurangan tak terlihat lebih jelas daripada meningkatnya minat nasional terhadap judi online belakangan ini. Moore memberikan contoh di tahun 2003, pemain poker amatir Chris Moneymaker memenangkan World Series of Poker melawan profesional berpengalaman Sammy Farha. Yang membuat kemenangan Moneymaker begitu menakjubkan bukanlah gaya bermainnya yang ketat atau kemampuannya membaca pemain lain (hingga dapat dikatakan bahwa ia pemain yang terlalu intuitif); melainkan kerelaannya menggertak sambal para lawannya.
Kecurangan selalu terjadi. Kecurangan ada di mana-mana, kata David Callahan. Main curang bukanlah masalah baru di seluruh dunia. Ia telah ada di hampir setiap masyarakat manusia. Di era Tiongkok, kerap terjadi kecurangan agar dapat diterima menjadi pegawai negeri. Peserta ujian, menjahit saku dalam pakaian mereka guna menyimpan contekan dan tipu-daya kreatif lainnya. Masih adanya kecurangan dalam ujian pegawai negeri, sungguh membagongkan, mengingat hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang tertangkap: mati.
Di Yunani Kuno, Olimpiade penuh dengan kecurangan. Para atlet berbohong tentang status amatir mereka, kompetisi dicurangi, para wasit disuap. Mereka yang tertangkap, terpaksa membayar denda bagi dana istimewa yang digunakan mendirikan patung Zeus. Yunani berakhir dengan banyaknya patung Zeus.

Engkau telah tahu bahwa Yunani kuno, punya catatan yang hampir lengkap dan tertib tentang Demokrasi. Di Athena, demokrasi yang ada, kira-kira sejak pertengahan abad kelima, kata Kurt A. Raaflaub, merupakan sebuah sistem yang patut diperhitungkan, belum pernah terjadi sebelumnya, tak tertandingi dalam sejarah dunia, menggembirakan, mampu memobilisasi keperansertaan, antusiasme, dan prestasi warga negara yang ekstraordinari, amat produktif, dan pada saat yang sama, berpotensi sangat merusak. Kita mengetahui demokrasi ini dengan baik, pada bentuknya yang terjadi pada abad keempat, usai adanya revisi undang-undang secara komprehensif antara tahun 410 dan 399. Pada masa itu, demokrasi dapat dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari institusi-institusi yang ditentukan dengan cukup jelas dan beroperasi sesuai dengan aturan-aturan yang ditentukan secara hukum, yang mana sampai batas tertentu, mendekati 'konstitusi'. Bagian dari sistem ini, dijelaskan pada paruh kedua Aristotelian. Dengan menyebutkan unsur-unsur yang paling jelas saja, majelis (ekklesia) bertemu setidaknya empat puluh kali setahun. Bagi beberapa pertemuan ini, agenda telah ditentukan. Ketua majelis dan dewan dipilih melalui undian dan pada dasarnya tak dapat menjabat lebih dari satu hari. 'Dewan 500' demokratis (boule)—dibedakan dari dewan Areopagus yang terdiri dari mantan hakim (archon) yang menjadi anggota seumur hidup—dipilih melalui undian; lima ratus anggotanya, yang dibatasi masa kerjanya selama dua tahun (tidak berturut-turut), mewakili, menurut rumusan yang pelik, populasi berbagai distrik di Attica (demoi, demes, yang terdiri dari desa-desa dan bagian-bagian kota dan kota Athena). Dewan ini, secara luas mengawasi aparat administrasi, menangani soal kebijakan luar negeri, mendengarkan laporan para pejabat, dan mempertimbangkan agenda serta menyiapkan mosi untuk majelis. Dewan bebas menerima mosi tersebut, dengan atau tanpa amandemen, merujuk mereka kembali ke dewan guna dibahas lebih lanjut, atau menolak dan menggantinya dengan undang-undang yang berbeda. Majelis mengeluarkan keputusan (psephismata) mengenai isu-isu kebijakan tertentu, sedangkan undang-undang yang mempunyai keabsahan umum (nomoi) dirumuskan oleh dewan 'pemberi hukum' (nomothetai), yang disahkan pada tahun prosedur seperti persidangan, dan, jika diminta, diperiksa di pengadilan rakyat.
Majelis tersebut, dibantu oleh boule dan pengadilan (dikasteria), memutuskan kebijakan-kebijakan, mengawasi setiap langkah pelaksanaannya, dan melakukan kontrol ketat terhadap para pejabat yang bertugas mewujudkannya. Personil profesional (baik di bidang administrasi, agama, atau pemeliharaan ketertiban umum) sangat minim, sebagian besar terdiri dari beberapa ratus budak milik negara yang menjalankan fungsi tertentu di berbagai pejabat atau sebagai pasukan polisi yang belum sempurna. Sebenarnya, seluruh urusan administrasi berada di tangan berbagai komite dengan berbagai ukuran (berjumlah sekitar tujuh ratus anggota), yang membantu, dan pada gilirannya diawasi oleh, boule dan berbagai pejabat. (Pada abad ke-5, ratusan pejabat lainnya menjalankan berbagai fungsi di seluruh kekaisaran). Sebagian kecil dari pejabat tersebut, terutama mereka yang memegang tanggungjawab keuangan dan militer yang besar, dipilih; yang lainnya diseleksi melalui undian, begitu pula dengan hakim kepala, dan ribuan hakim warga (di jaman cendekiawan modern, biasanya disebut para juror atau juri), yang pada setiap hari pengadilan mempekerjakan berbagai juri besar (atau, lebih tepatnya, majelis hakim) yang mengadili beberapa kasus secara bersamaan di berbagai lokasi. Para juri ini, dipilih melalui prosedur mekanis yang canggih (dengan mesin penjatahan, kleroterion) yang menghilangkan gangguan dan membuat penyuapan hampir tak mungkin dilakukan. Pengadilan hukum sendiri, merupakan bagian penting dari kehidupan dan prosedur demokrasi: banyak urusan politik dilakukan di sana, bisa dikatakan, sebagai kelanjutan dari politik dengan cara yang berbeda.
Oleh karenamya, beberapa ribu warga negara, aktif secara politik setiap tahun dan banyak dari mereka cukup aktif selama bertahun-tahun—dari populasi warga negara lelaki dewasa, yang pada abad keempat berjumlah hampir 30.000 orang. Yang amat mengesankan, 'lebih dari sepertiga warga negara yang berusia di atas delapan belas tahun, dan sekitar dua pertiga dari seluruh warga negara yang berusia di atas empat puluh tahun' pernah bertugas di dewan yang beranggotakan 500 orang, setidaknya selama satu tahun dalam hidup mereka, sebuah jabatan yang sangat menyita waktu. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi ini, tak semata bersifat 'langsung' dalam makna bahwa keputusan dibuat oleh rakyat yang berkumpul, namun pula 'paling langsung' yang dapat dibayangkan dalam artian bahwa rakyat melalui majelis, dewan, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik, dan bahwa, sejumlah besar warga negara, terus-menerus turut dalam urusan publik. Selain itu, sistem rotasi jabatan, memastikan bahwa mereka yang tak berperan pada waktu tertentu, akan menjabat pada kedudukan lain (jika mereka menginginkannya) dan bahwa masyarakat melalui keterlibatan mereka di berbagai jabatan dan fungsi, mencapai tingkat pemahaman yang tinggi mengenai administrasi komunitas mereka dan kebijakannya. Selain itu, warga negara tersebut, juga secara teratur bertugas di pasukan infanteri polis mereka atau membantu mendayung armadanya, meskipun tentara bayaran memainkan peran yang lebih penting dalam peperangan abad keempat dibandingkan sebelumnya.
Jadi, Yunani di masa itu, seluruh masyarakat berperan aktif, tak semata dalam pemilihan para pemimpin, melainkan di seluruh bidang kehidupan. Bukan cuma joget-joget, uang-sangu dan makan siang gratis—dan sesungguhnya gak ada makan siang gratis; such things are free, actually are not free—kemudian pasrah bongkokan kepada para politisi. Sesungguhnya, Demokrasi terbentuk melalui institusi, praktik-praktik, mentalitas, dan, pada akhirnya, ideologi. Di Yunani, berbagai komponen demokrasi ini mencapai masa jayanya pada abad kelima dan keempat. Jika demokrasi bermakna bahwa seluruh warga negara, seluruh demo, menentukan kebijakan dan menjalankan kendali melalui majelis, dewan, dan pengadilan, dan bahwa para pemimpin politik, yang berusaha membentuk opini publik, berada di bawah demo, maka demokrasi pertama yang dapat kita identifikasi dengan pasti adalah Athena pada tahun 460an, yang muncul sebagai akibat dari faktor-faktor historis yang spesifik dan bahkan bersifat kontingen.

Demokrasi berjaya bila pemerintah, dalam makna yang luas, mewakili kehendak rakyat. Keterwakilan demokratis dapat terjamin jika warga negara yang punya informasi, secara bebas memilih pemimpinnya, dan para pemimpin tersebut mencalonkan diri kembali dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, warga negara, yang memilih pemimpin yang paling mewakili pandangan mereka, dan meminta pertanggungjawaban para pemimpin tersebut (atau partai politiknya) atas kinerjanya pada pemilu berikutnya, akan membuat demokrasi berjalan baik. Setidaknya, teorinya begicu. Tentu saja, pemungutan suara merupakan topik yang cukup menarik perhatian dalam ilmu politik, dan penelitian klasik tentang perilaku politik semuanya berfokus, dalam satu atau lain cara, pada keputusan pemungutan suara.
Kampanye presiden pada dasarnya, merupakan peristiwa dinamis, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu. Permulaannya jelas, saat para kandidat angkat topi, dan juga akhir yang jelas–Hari Pemilu. Sepanjang musim kampanye, warga dibanjiri informasi tentang para kandidat, baik bagi mereka yang menaruh perhatian pada politik maupun tidak. Bahkan ada yang tak mau baca koran atau majalah, tak nonton televisi dan tak mau mendengarkan radio, dan tak melakukan kontak dengan orang lain, demi menghindari memperoleh setidaknya sedikit informasi tentang kandidat yang mencalonkan diri sebagai presiden.
Namun, jumlah informasi yang tersedia selama kampanye, bervariasi, bergantung pada siklus kampanye itu sendiri. Teks-teks klasik teori demokrasi, berasumsi bahwa agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik, warga negara hendaknya menaruh perhatian, beranimo, berbincang-bincang, dan berpartisipasi aktif dalam politik. Perhatian dan diskusi memberikan informasi tentang urusan politik, yang memungkinkan warga negara mengambil keputusan politik (yakni nyoblos) berdasarkan prinsip-prinsip yang dipertimbangkan secara cermat, yang mencerminkan kepentingan pribadi dan kebaikan bersama. Seluruh warga negara, mungkin tak mampu memenuhi standar-standar ini–boleh jadi, ada yang tak terlalu tertarik, atau kurang informasi, atau kurang terampil memahami politik, dan sebagai konsekuensinya, memilih karena kebiasaan atau prasangka sempit, atau tak memilih sama sekali—namun selama mayoritas warga negara benar-benar memenuhi standar-standar ini, maka kemenangan akan berpihak pada kearifan kolektif masyarakat. Perbedaan di antara para pemilih—kemajuan politik mereka secara umum, kecenderungan politiknya, dan pendidikan, gender, dan usia mereka—mempengaruhi pemrosesan informasi dan strategi pilihan. Semua karakteristik ini, merupakan hal-hal yang dibawa oleh para pemilih, dikala mereka menjalani kampanye politik yang sebenarnya.

Dalam pemilu, potensi kecurangan membayangi pemilu di negara-negara penyelenggara pemilu. Investigasi yang dilakukan para jurnalis, akademisi, pengacara, partai politik, pengamat resmi non-partisan, dan warga negara yang berkepentingan, telah menarik perhatian pada kasus-kasus kecurangan pemilu yang nyata-nyata terjadi di banyak negara di dunia.
Para akademisi dan praktisi memakai beragam istilah guna menentukan kualifikasi pemilu secara normatif, termasuk antara lain bebas dan adil, bersih, berpotensi kecurangan, korup, dan dimanipulasi. Demikian pula, aksi yang menjadikan pemilu tak dapat diterima dipotretkan sebagai election fraud (kecurangan pemilu), electoral corruption (korupsi pemilu), electoral manipulation (manipulasi pemilu), electoral malfeasance (penyimpangan pemilu), patronage [kekuasaan untuk mengontrol pengangkatan jabatan atau hak atas hak istimewa], dan clientelism [tatanan sosial yang bergantung pada hubungan patronase; khususnya, pendekatan politik yang menekankan atau mengeksploitasi hubungan tersebut].
Schedler menjabarkan 'rantai pilihan demokratis' berdasarkan karya klasik Robert Dahl tentang teori demokrasi, sehingga pemilu dianggap dapat diterima ('demokratis' dalam bahasa yang digunakan Schedler) jika dan hanya jika, tujuh mata rantai dalam sebuah rantai tetap 'utuh dan tak terputus'. Kaitan dalam rantai pilihan demokratis dapat diringkas sebagai berikut: Empowerment: jabatan yang diisi melalui pemilu harus mempunyai kekuasaan yang nyata; Free supply: kandidat yang dapat dipilih dalam jumlah yang cukup luas, selain kandidat yang disponsori negara, harus tersedia; Free demand: pemilih harus bebas menentukan pilihannya, yang antara lain berarti bahwa sumber informasi publik yang majemuk tentang para kandidat, harus tersedia; Inclusion: amggaran-dasarnya harus bersifat universal; Insulation: pemungutan suara harus bebas dari suap dan paksaan; Integrity: suara harus dihitung secara jujur dan ditimbang berdasarkan prinsip 'satu orang, satu suara'. Irreversibility: pemenang harus dapat mengakses jabatan, menjalankan kekuasaan, dan menyelesaikan masa jabatannya.
​Kecurangan pemilu–mengisi kotak suara, merusak penghitungan suara, dan melakukan pemungutan suara ganda, misalnya–merupakan pelanggaran terhadap mata rantai keenam dalam rantai pemilu, yaitu integrity. Jual-beli suara dan intimidasi pemilih melanggar mata rantai kelima, yaitu insulation. Schedler juga berpendapat bahwa mata rantai kelima mencakup kerahasiaan surat suara. Hambatan sewenang-wenang terhadap pendaftaran pemilih melanggar mata rantai keempat, inclusion. Pembatasan media yang mendukung kandidat yang disponsori pemerintah, serta beberapa pelanggaran dana kampanye, bertentangan dengan mata rantai ketiga, free demand. Larangan terhadap partai atau kandidat oposisi, seperti yang terjadi di Iran atau di Mesir pada masa pemerintahan Mubarak, melanggar mata rantai kedua, yakni free supply.
Alberto Simpser berpendapat bahwa manipulasi pemilu dapat mempengaruhi perilaku berbagai aktor politik–seperti birokrat, pemilih, dan pemimpin partai–yang berpotensi memberikan keuntungan bagi pelaku yang tak hanya mencakup pemilu, melainkan pula, periode pasca pemilu, pemilu berikutnya, dan wilayah di luar pemilu. Misalnya, manipulasi pemilu yang terang-terangan dilakukan sebelum pemilu, seperti pembelian suara oleh petahana, dapat membuat pendukung oposisi enggan memilih. Sebagai contoh lain, margin yang besar juga dapat memperkuat posisi tawar pemenang pasca pemilu sehubungan dengan serikat pekerja, organisasi bisnis, dan aktor-aktor lain, dengan menunjukkan bahwa tiada satu aktor pun yang sangat diperlukan dalam koalisi pemenang.

Lebih lanjut Simpser berargumen bahwa kecurangan pemilu, dimaksudkan agar mungkin hanya sekedar menang dan atau lebih dari sekedar menang. Ketika rezim otoriter kalah dalam pemilu, kekuasaan tak secara otomatis berpindah. Rezim-rezim ini, melakukan suatu bentuk manipulasi seusai hari pencoblosan jika mereka tak sukses menerima hasil pemilu dan mempertahankan kekuasaan melalui cara lain. Presiden Filipina Ferdinand Marcos terlibat dalam kecurangan yang terdokumentasi dengan baik pada pemilu presiden tahun 1986, yang melibatkan kecurangan ritel (penyuapan dan intimidasi) dan kecurangan grosir pasca pemilu (memanipulasi penghitungan suara). Hal serupa, juga terjadi pada Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, yang secara sistematis, terbawa-bawa dalam kekerasan dan intimidasi guna memastikan bahwa oposisi melemah, dan ia pun memenangkan pemilu. Tentu saja, tak semua pemerintahan otoriter melakukan fraud demi mempertahankan kekuasaan; Partai Sandinista di Nikaragua, menyerahkan kekuasaan kepada pihak oposisi saat mereka kalah dalam pemilu tahun 1990. Demikian pula, banyak negara yang memiliki sejarah panjang pemerintahan demokratis, telah menyelenggarakan pemilu dimana ketidakberesan dan masalah administratif menimbulkan pertanyaan mengenai integritas pemilu, dimana pemerintah yang ada, telah berupaya mempertahankan kekuasaan, seperti pada pemilihan parlemen tahun 2006 di Italia.
Jelas terlihat bahwa pemahaman mengenai Kecurangan Pemilu berakar pada lingkungan budaya dan politik masing-masing negara. Misalnya saja, tuduhan kecurangan dalam pemilihan presiden Meksiko tahun 2006. Beberapa dakwaan berpusat pada penggunaan kampanye dari pintu ke pintu yang dilakukan oleh salah satu partai politik dan apakah kampanye tersebut merupakan tekanan partisan yang tak semestinya terhadap pemilih. Demikian pula, keputusan Presiden Vicente Fox mengendors salah satu kandidat yang mencalonkan diri agar menggantikannya [hayoo, mirip siapaa], di Meksiko, dipandang sebagai tekanan yang tak sah terhadap pemilih dan penggunaan dana negara yang tidak adil untuk mempromosikan salah-satu kandidat.

Manusia bukanlah sekadar makhluk dari lingkungan ekonomi dan hukumnya. Kita tak memutuskan akankah mengambil jalan pintas semata berdasarkan perhitungan rasional mengenai potensi keuntungan dan kerugian. Kita menyaring keputusan-keputusan ini melalui sistem nilai kita. Dan walaupun banyak dari kita yang berbuat keliru dalam sistem yang menganggap kecurangan sebagai hal yang normal atau diperlukan bagi kelangsungan hidup atau demi mendapatkan cuan besar, sebagian dari kita akan bersikeras bertindak dengan integritas, walau tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi kita. Inilah salah satu ciri yang membedakan Homo sapiens yang berdaging dan berdarah dengan aktor teori akademis yang selalu rasional, Homo economicus.
Stephen Carter menyarankan bahwa integritas memerlukan tiga langkah: membedakan apa yang benar dan salah, bertindak berdasarkan apa yang telah dikau pahami, dan mengatakan secara terbuka bahwa engkau bertindak berdasarkan pemahamanmu tentang benar dan salah. Tentu saja, guna menunjukkan integritas, dirimu perlu mengetahui perbedaan antara benar dan salah—hal ini lebih mudah diucapkan daripada kini dilakukan.
Gagasan tentang benar dan salah, tak hanya dibentuk oleh keluarga dan teman-teman kita dan oleh lingkungan kerja atau akademis, tapi juga oleh budaya yang lebih luas. Saat kita menjalani hidup, nilai-nilai budaya yang berlaku, atau norma-norma sosial, membentuk gagasan kita tentang apa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik, seberapa keras kita semestinya bekerja dan untuk tujuan apa, bagaimana kita seyogyanya berpakaian dan berdandan, dan banyak lagi. Beberapa dari kita, mungkin muncul di masa dewasa awal dengan pandangan etis mengagumkan yang diambil dari pendidikan agama, atau, boleh jadi, dari orang tua dan guru yang jarang mengartikulasikan gagasan tentang karakter dan etika.
Nilai-nilai suatu kebudayaan sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan besar yang mengubah masyarakat: perang atau perdamaian, booming dan resesi, pergeseran demografis dan perubahan teknologi. Values juga dapat dibentuk oleh gerakan sosial, kebangkitan agama, aktivisme intelektual, dan tren yang didorong oleh selebriti—oleh 'orang-orang berpengaruh' yang menyuarakan cara hidup tertentu. Media massa kini semakin memudahkan nilai-nilai masyarakat, berubah dengan cepat.

Dan terakhir, banyak para kolektor kepo, bagaimana cara membunuhku. Perlu engkau ketahui bahwa bangsaku, punya beragam wujud: tombak, samurai, kipas, pentungan bisbol, payung, puting-beliung, tanduk rusa, sirip ikan paus dan masih banyak lagi, namun semuanya dikenal hanya sebagai satu bangsa, bangsa Sansevieria. Bahasa kami pun satu, melawan para polutan. Nah bagaimana cara membunuhku? Engkau tak dapat membunuhku dengan mencabut tubuhku dari muka bumi, atau memotong akarku—akarku dapat tumbuh kembali, atau memotong daunku—daunku dapat menumbuhkan akar dan menghasilkan anakan. Membenamkan diriku ke dalam air? Gak juga tuh. Mengubur daku hidup-hidup? Inget dong prinsip akar dan daun: akar mendapat makanan dari bumi dan daun mencari asupan cahaya dari sinar matahari, singkatnya, akar ke bawah dan daun ke atas, maka, aku dapat tiba-tiba muncul di permukaan bumi.
Lha trus, gimana dong? Daku bisa mati karena kesalahanku sendiri, rakus akan air—dan bisa lebih cepat bila dicampur dengan pupuk NPK-nya orang Rusia. Ya, bila diriku terlalu banyak mengkonsumsi air, daunku akan bengkak, akarku membusuk dan aku bakalan mati pelan-pelan. Seperti halnya dikau manusia, terlalu banyak mengkonsumsi gula, tubuhmu akan membengkak dan membusuk, kena diabet kaan? Too much love will kill you, 'cause you love too much sugar to consume. Jadi, kita semua mati oleh ketamakan kita sendiri. Wallahu a'lam."

Dan sebagai penutup, Sansevieria melantunkan tembangnya the Beatles,

Michelle, ma belle,
[Mishel, syantikku]
sont les mots qui vont tres bien ensemble
[segala kata-kata ini, sungguh bersetala,]
tres bien ensemble
[amat sangat bersenada]
And I will say the only words I know
[Dan kan kuungkapkan kata-kata yang kutahu]
that you'll understand, my Michelle *)
[bakal dikau maklumi kamsudnya, Mishel-ku]
Kutipan & Rujukan:
- Salman Akhtar & Henri Parens (Ed.), Lying, Cheating, and Carrying On, 2009, Jason Aronson
- David Callahan, The Cheating Culture, 2004, Harcourt Inc.
- Kurt A. Raaflaub, Josiah Ober, and Robert W. Wallace, Origins of Democracy in Ancient Greece, 2007, University of California Press
- Richard R. Lau and David P. Redlawsk, How Voters Decide: Information Processing during Election Campaigns, 2006, Cambridge University Press
- R. Michael Alvarez, Thad E. Hall, Susan D. Hyde, (Ed.), Election Fraud : Detecting and Deterring Electoral Manipulation, 2008, The Brooking Intitutions Press
- Alberto Simpser, Why Goverments and Parties Manipulate Elections: Theory, Practice, and Implications, 2013, Cambridge University Press
*) "Michelle" karya John Lennon & Paul McCartney