Sabtu, 02 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (2)

"Di sebuah kantor urusan publik, terpampang pengumuman dalam huruf besar:
 
'SANG LALAT GAK MAU DEBAT
DOI DIUPAYAKAN SELAMAT
NO DEBAT'"

"Nilai-nilai lokal semisal 'musyawarah', 'gotong-royong', 'kenduren', maupun 'slametan', tujuannya akan sulit tercapai bila masyarakat tak turut berperan aktif. Pengambilan keputusan dalam 'musyawarah', bakalan muskil bila tiada jaminan bahwa 'the rules of the game'-nya, 'fair and clear', sehingga kita semua dapat turut serta dalam mencari kebaikan bersama. Nah, dalam sebuah masyarakat yang telah sepakat menganut Demokrasi, jika tanpa peran aktif rakyatnya, demokrasi semacam itu, bukan demokrasi namanya," lanjut Sansevieria, membuka catatan-catatan para intelijen.
“Bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, belajar dari tindakan kita, butuh partisipasi dalam segala bidang kehidupan kita, dan pula, untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan merupakan proses kebijakan dalam memilih di antara berbagai pilihan, agar bertindak atau berpikir, kata Austin J. Freeley dan David L. Steinberg. Pengambilan keputusan tersebut, untuk memastikan pilihan. Hidup menuntut pengambilan keputusan. Kita membuat keputusan individu yang tak terhitung jumlahnya, setiap saat, setiap hari. Guna mengambil beberapa keputusan itu, kita bekerja keras menerapkan kehati-hatian dan pertimbangan; dimana hal-hal lain tampak terjadi begitu saja. Pasangan, keluarga, sekelompok teman, dan rekan kerja, berkumpul demi memastikan pilihan. Setiap profesi memerlukan pengambilan keputusan yang efektif dan beretika, demikian pula di sekolah dan kampus, paguyuban dan komunitas, serta institusi dan organisasi sosial kita. Dalam konteks ini, Etika merupakan seperangkat konstruksi yang memandu pengambilan keputusan kita, dengan memberikan standar perilaku, memberitahu kita, bagaimana seyogyanya kita bertindak.
Lebih lanjut, Freeley dan Steinberg mengemukakan bahwa setiap hari, kita semua membuat banyak keputusan. Merenovasi atau menjual rumah, membeli SUV berperforma tinggi atau mobil hybrid yang ekonomis, jurusan apa yang hendaknya dipilih, mau makan-malam apa, kandidat mana yang semestinya dipilih, kertas ataukah plastik, semuanya memberi kita pilihan. Haruskah pak Presiden mengatasi krisis internasional melalui invasi militer atau diplomasi atau sekedar menjinjing sebuah iPad? Bersalahkah terdakwa seperti yang dituduhkan? Melihat sinetronkah, atau nonton 'balbalan'? Dan informasi apa, yang seharusnya kuandalkan guna mengambil keputusan?
Tentulah, ada keputusan yang lebih penting dibanding keputusan lainnya. Semaksimal mungkin, kita mencari kajian dan data sebagai informasi pengambilan keputusan kita. Namun, pilihan informasi mana yang hendaknya diperhatikan pun, memerlukan pula pengambilan keputusan. Sebuah majalah menamaimu 'A New Hope'. Selamat! Pemilihannya didasarkan pada partisipasi 'A No Hope' dalam pembentukan sejarah. Melalui blog, jaringan online, YouTube, Facebook, MySpace, Wikipedia, dan banyak 'wiki-wiki' lainnya, 'knowledge and truth' dimunculkan dari bawah ke atas, melewati kontrol otoriter para editor dan publisher. Kita punya akses terhadap informasi dalam jumlah tak terbatas, namun bagaimanakah memilah dan memilih informasi terbaik bagi kebutuhan kita?

Menurut Freeley dan Steinberg, kemampuan setiap pengambil keputusan dalam mengambil keputusan yang baik, berargumen dan beretika, sangat bergantung pada kemampuan berpikir kritisnya. Berpikir kritis memungkinkan seseorang memecah argumen menjadi bagian-bagian komponennya guna mengevaluasi validitas dan kekuatan relatifnya. Pemikir kritis itu, pengguna informasi yang lebih andal, dan juga, pengacara yang lebih tangkas.
Akademi dan universitas mengharapkan para mahasiswanya mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka, dan boleh jadi, mengharuskan mereka mengambil studi yang ditentukan, agar mencapai tujuan tersebut. Makna penting dan 'values' dari studi tersebut, diakui secara luas.
Kompetensi dalam berpikir kritis merupakan prasyarat dalam berpartisipasi secara efektif dalam urusan kemanusiaan, mengejar pendidikan tinggi, serta keberhasilan dalam dunia bisnis dan profesi yang amat kompetitif. Michael Scriven dan Richard Paul berpendapat bahwa pemikir kritis yang efektif adalah: yang mengajukan pertanyaan dan persoalan penting, merumuskannya dengan jelas dan tepat; mengumpulkan dan menilai informasi yang relevan, menggunakan ide-ide abstrak untuk menafsirkannya secara efektif; mengambil kesimpulan dan solusi yang masuk akal, mengujinya berdasarkan kriteria dan standar yang relevan; berpikir secara terbuka dalam sistem pemikiran alternatif, mengakui dan menilai, jika diperlukan, asumsi, implikasi, dan konsekuensi praktisnya; dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, dalam mencari solusi terhadap masalah yang kompleks. Scriven dan Paul juga mengamati bahwa berpikir kritis 'mencakup kemampuan berkomunikasi dan pemecahan masalah yang efektif, serta berkomitmen mengatasi egosentrisme dan sosiosentrisme yang kita alami.'

Debat dalam kelas, merupakan latihan dan cara berpikir, serta perilaku unik, yang mendorong pengembangan masing-masing rangkaian keterampilan ini. Debat publik—kata 'publik' merujuk pada masyarakat pada umumnya, dan bermakna terhubung dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kebalikan dari menjadi individu dan pribadi—dalam Demokrasi, ialah sebuah proses agar mentransformasi masyarakat menjadi partisipan yang lebih aktif, dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendapat, kepentingan dan harapan masyarakat, diungkapkan dalam Debat Publik mengenai suatu isu yang menjadi perhatian seluruh atau sebagian masyarakat. Landasan yang kuat agar memahami warganegara yang efisien dan demokrasi yang berfungsi, sehingga menjadi demokrasi yang powerful, muncul melalui partisipasi aktif. Maka, jaminan hukum dan konstitusi yang memungkinkan terjadinya debat publik yang bebas, maupun masyarakat yang bertenggang-rasa dan menghormati perbedaan, juga diperlukan agar memenuhi semua fungsi ini. Jika Demokrasi, dalam benak masyarakat, dipandang sebagai 'hanya' serangkaian teknik yang terdiri dari pemilihan para administrator, itu berarti bahwa individu dianggap sebagai 'warga demokrasi yang pasif' dan bukan 'aktor sebenarnya'.

Pada hakikatnya, Demokrasi adalah sebuah metode tentang oleh siapa, bagaimana, dan dengan cara apa, suatu negara dan masyarakat akan diatur. Louis XIV boleh ngomong, 'L’état, c’est moi,' tapi ia tahu, apa itu negara: badan hukum, bukan badan fisik. Otoritas negara yang mencakup segalanya itulah, kata Alan Ryan, yang sang monarki wujudkan dalam pribadi agungnya. Atas nama negara, ia terobsesi dengan kebutuhan mengetahui apa pun yang bisa diketahui tentang sumber daya kerajaannya dan kehidupan rakyatnya, sehingga ia dapat mengelola kehidupan dan sumber dayanya, dengan lebih baik demi kesejahteraannya sendiri.
Monarki merupakan salah satu entitas politik tertua dan paling bertahan lama. Ia telah ada dalam berbagai bentuk dan permutasian di seluruh belahan dunia dan dengan banyak nama dan samaran, termasuk ari'i rahi dan ariki Polinesia, Yang Dipertuan di Malaysia, Sapu dari Inca, Oba di Afrika Barat, dan berlangsung dari zaman kuno hingga raja konstitusional saat ini. Meskipun ada pihak-pihak yang berupaya mengakhiri monarki, sebagai 'institusi yang sudah ketinggalan zaman' atau bahkan menyebutnya sebagai 'mumbo-jumbo', seperti yang dilakukan Jeremy Paxman, tiada keraguan mengenai makna penting monarki dalam kaitannya dengan studi akademis, sebagai elemen sentral peradaban di seluruh dunia, mulai dari masyarakat paling awal hingga saat ini, kata Elena Woodacre.
Kekuasaan, hukum dan agama, merupakan aspek fundamental dari pemerintahan yang menentukan peran raja. Monarki terletak di dalam dinasti, istana, dan wilayahnya. Seremoni, representasi, dan citra, adalah sarana yang digunakan penguasa untuk menunjukkan atau menegaskan perannya dalam aspek kekuasaan, hukum, dan agama terhadap dinasti, istana, dan wilayah. Hubungan di tengah tempat mahkota berada, mewakili lokus intens tempat semua elemen bertemu. Dalam monarki, penguasa biasanya kaum lelaki dan monarki pada dasarnya institusi patriarki dimana kaum lelaki semata yang dapat mengakses dan menjalankan kekuasaan. Namun, kendati penguasanya kaum pria, kita tak boleh berasumsi bahwa merekalah satu-satunya pusat kekuasaan. Dalam bentuknya yang paling mendasar, penguasa dapat diartikan sebagai seseorang yang mengakui otoritas atas sekelompok orang dan wilayahnya.
Walau ada asumsi bahwa jabatan penguasa secara otomatis memberikan kekuasaan yang besar kepada pemegangnya, kita juga dapat dengan mudah membayangkan raja yang, sebenarnya tak berdaya, semisal monarki konstitusional yang ada saat ini. Di sisi ekstrim lain, ada kekuasaan yang hampir tak terbatas dimiliki oleh raja-raja seperti Tsar Rusia; Catherine II dari Rusia (memerintah 1762–96) menyatakan bahwa 'Yang Berdaulat itu, mutlak; sebab tiada otoritas lain selain otoritas yang berpusat pada Pribadi tunggalnya’. Meskipun Catherine membela perlunya kekuasaan absolut Tsar dan kegunaan monarki sebagai sarana memerintah wilayahnya yang luas, para ahli teori politik dari dunia kuno hingga era modern, memperdebatkan sejauh mana kekuasaan yang dapat dijalankan oleh seorang penguasa dan batasannya dari hak prerogatif kerajaan.

Lantas, dari manakah datangnya kekuasaan para penguasa ini? Parkinson mengemukakan bahwa ciri-ciri dasar manusia, dilihat dari sudut pandang politik, manusia selalu (sejak dikenali sebagai manusia) hidup bergerombol, kelompok keluarga atau paguyuban suku. Anak-anak dari keluarga manusia (yang sebagian besar lahir sendiri, bukan dalam satu tandu) tak berdaya dalam jangka waktu yang sangat lama, membutuhkan perlindungan dan perawatan selama bertahun-tahun, dan tentu saja, menjadi dewasa dengan sangat lambat. Otoritas usia menyatu dengan otoritas orang tua. Kendati masyarakat primitif sering tak bisa mengenali asalnya, masyarakat berkembang melihat bahwa hal ini meningkatkan otoritas usia dalam hubungan khusus antara ayah dan anak. Hubungan inilah yang memberi kita gagasan dasar tentang otoritas dan disiplin. Hampir semua istilah umum untuk menghormati asal-dirinya. Karenanya, kita mempunyai kosa-kata 'kanjeng, gusti, bendoro' atau di Barat sana 'Sir' atau 'Monsieur.' Para psikolog membagi gagasan rasa-hormat menjadi tiga elemen, yaitu rasa-ingintahu, rasa kasih-sayang, dan rasa-takut. Oleh sebab itu, sang anak merasa heran terhadap ayahnya atas kemampuan orang yang lebih tua, melakukan apa yang tak dapat dilakukan oleh seorang anak; rasa sayang terhadap orang yang lebih tua, yang setidaknya bertujuan menjamin kelangsungan hidup anak tersebut; dan beberapa orang takut terhadap orang yang lebih tua, yang mungkin akan menghukum anak tersebut, dengan memukul kepalanya.
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa cara yang dapat dikatakan sebagai landasan kekuasaan monarki, yang kesemuanya dapat ditelusuri kembali ke hukum, misalnya menjadi ahli waris yang sah berdasarkan hukum suksesi, atau agama, seumpama seseorang yang telah menjadi pewaris sah raja, dipilih secara ilahi untuk memerintah, atau keduanya. Unsur-unsur hukum dan agama ini, merupakan prinsip penting yang memberikan legitimasi kepada penguasa dan menjadi landasan kekuasaan dan otoritasnya.
Salah satu elemen yang terkait dengan kekuasaan monarki ialah karisma, kata Woodacre, yang dihubungkan dengan pemerintahan kaisar Romawi, mulai dari Agustus dan seterusnya. Namun karisma punya kaitan jelas dengan keilahian. Max Weber mendefinisikan karisma sebagai 'kualitas tertentu dari kepribadian individu, yang membedakannya dari manusia biasa dan diperlakukan sebagai orang yang diberkahi dengan kekuatan atau kualitas supernatural, manusia super, atau setidaknya kekuatan atau kualitas khusus yang hebat. Hal-hal ini, tak mampu diakses oleh orang biasa, melainkan dianggap berasal dari Tuhan atau sebagai teladan, dan berdasarkan hal-hal tersebut, individu yang bersangkutan, diperlakukan sebagai seorang pemimpin'.
Berasal dari sifat sakral monarki–perasaan bahwa penguasa berkaitan dengan keilahian, terdapat spektrum di antara para penguasa: dari mereka yang 'dipandang sebagai dewa' atau 'dewa yang hidup', seperti firaun Mesir, hingga keterkaitan religius, yang tak perlu menandai kedaulatan sebagai sesuatu yang ilahi atau kesakralan, seperti peran Elizabeth II dari Inggris Raya dan Irlandia Utara sebagai pemimpin tituler Gereja Inggris. Batasan antara keilahian dan kemanusiaan bagi para penguasa, bisa saja menjadi kabur. Di Asia Selatan, misalnya, meskipun aspek keilhaian monarki di beberapa wilayah, diperkuat oleh asosiasi dengan dewa Rama dan pemujaan terhadap Devaraja, Morrison mencatat bahwa ‘jarang ada penguasa yang benar-benar didewakan’. Namun, Kershaw mencatat bahwa di Kamboja, ada gagasan bahwa penguasa itu ‘makhluk yang menjadi dirinya sendiri, atau pada akhirnya bisa menjadi, dewa’.
Penguasa dapat pula dianggap diberkahi oleh para dewa dengan kemampuan supernatural atau sihir, khususnya di Afrika, contohnya ratu Lovedu yang merepresentasikan Bumi dan berkemampuan mistik dalam mengendalikan hujan. Hal serupa juga terjadi pada penguasa Jepang kuno, yang dianggap punya kemampuan ‘memohon kekuatan supernatural’ untuk menjamin keberhasilan panen padi.

‘Dinasti dan suksesi’ jelas mengacu pada dinasti, istana, dan wilayah, dengan pertimbangan khusus tentang bagaimana seorang penguasa ditarik dari dinastinya untuk memerintah. Geevers dan Marini berargumentasi bahwa dinasti ini lebih dari sekedar kelompok keluarga atau kerabat, dengan mengemukakan konsep menarik tentang dinasti sebagai gunung es di mana ‘sebagian kecil anggota keluarga yang masih hidup terlihat, sementara sejumlah anggota keluarga yang sudah meninggal dan belum lahir tetap tersembunyi’. Konsep ini cukup bermanfaat dalam mempertimbangkan aspek kekekalan sebuah dinasti—yaitu lebih dari sekedar anggotanya saat ini atau penguasa yang bertakhta, yang dalam hal ini, dapat dilihat hanya sebagai penjaga kekayaan dan gelar dinasti. Dinasti merupakan benteng utama dukungan bagi monarki, namun persaingan intradinasti, dapat pula menyebabkan kehancuran keluarga, sehingga memungkinkan dinasti lain, merebut posisi mereka. Persaingan ini, berasal dari anggapan bahwa banyak, atau semua, anggota dinasti juga berpotensi menjadi penuntut takhta, sehingga dapat meningkatkan ketegangan dalam kelompok kekerabatan. Hal ini juga terkait dengan gagasan tentang bagaimana sebuah dinasti menentukan dirinya sendiri, siapa yang dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut, dan siapa yang dianggap memenuhi syarat naik takhta. Terlepas dari layakkah kaum perempuan menjadi penerus takhta atau tidak, mereka selalu memainkan peran penting dalam pembentukan dinasti.

Dalam memunculkan kaum bangsawan, para monarki mempersiapkan jalan bagi kejatuhan mereka sendiri. Prosesnya juga tak dapat dihindari. Anak-anak dan cucu-cucu mereka sendiri, membentuk basis kaum bangsawan, para jenderal dan penasihat mereka sendiri, membentuk pertambahan berturut-turut, penaklukan mereka sendiri, mempercepat pertumbuhannya. Dengan terwujudnya kaum bangsawan, monarki dihadapkan pada saingan potensial memperoleh kekuasaan. Jika ia menyebarkan mereka ke provinsi-provinsi yang jauh, maka mereka akan berusaha memperoleh kemerdekaan. Jika ia tetap menjaga mereka, mereka akan berkomplot melawannya, padahal sebenarnya, mereka tak saling cek-cok. Tak dapat dipungkiri, suatu saat, garis keturunan raja akan terpecah oleh suksesi seorang anak, orang suci, maupun, boleh jadi, menurut seorang filsuf, seorang dungu atau plonga-plongo. Tatkala momen itu tiba, para bangsawan akan berusaha merebut kekuasaan. Jika mereka tak berhasil melakukannya secara kolektif, maka akibatnya, muncullah Feodalisme."

"Oh ya, mohon maaf, waktu sesi ini sudah habis, akan kita lanjut pada sesi berikut yaq, bi 'idznillah!" kata Sansevieria saat diberi tanda bahwa sesi ini akan diteruskan. Dan sambil menunggu sambungannya, ia pun bersenandung,

Jelas bedo yen dibandingke
[Jelas beda bila dibandingkan]
Ora ono sing tak pamerke
[Gak ada yang aku pamerkan]
Aku ra iso yen kon gawe-gawe
[Aku gak bisa walau dikau buat-buat]
Jujur, sak onone *)
[Jujur, apa adanya]
Kutipan & Rujukan:
- Austin J. Freeley and David L. Steinberg, Argumentation and Debate: Critical Thinking for Reasoned Decision Making, 2009, Wadsworth Cengage Learning
- Reyhan Sunay, The Importance of Public Debate in Democratic Regimes, 2012, European Scientific Journal
- Alan Ryan, On Politics: A History of Political Thought from Herodotus to the Present, 2012, Liveright Publishing Corporation
- Elena Woodacre, Lucinda H.S. Dean, Chris Jones, Russell E. Martin and Zita Eva Rohr (Ed.), The Routledge History of Monarchy, 2019, Routledge
*) "Ojo Dibandingke" karya Abah Ala