Rabu, 20 Desember 2023

Cerita Sansevieria: Evolusi Pemikiran Politik (9)

"Pakar ilmu politik asal negeri 'Paman Sam', sedang mengamati jalannya debat kandidat di Indonesia, dan ditanya tentang perbedaan antara Demokrasi dan Kediktatoran, berikut Q&A-nya:
Q: Pak, apa sih Demokrasi itu?
A: Bayangkan, Anda punya anak-anak, tetangga jauh Anda punya anak-anak, tetangga dekat Anda punya anak-anak, semuanya berencana jualan pisang. Anak-anak Anda, anak-anak tetangga jauh dan dekat Anda, boleh teriak dan nawarin pisangnya kepada siapa pun dan siapa saja.
Q: Trus, kalau Diktator?
A: Bayangkan, Anda punya anak-anak, tetangga jauh Anda punya anak-anak, tetangga dekat Anda punya anak-anak, semuanya berencana jualan pisang. Anak-anak tetangga jauh dan dekat Anda, jangankan jualan, mereka gak berani ngomong. Takut dipenjara dan dagangannya disita.
Anak-anak Anda, leluasa ngomong sesuka-hati dan nawarin pisangnya kepada siapa pun dan siapa saja, gak perlu takut dipenjara dan disita. Akan tetapi, mereka gak bisa terhindar dari 'kepleset kulit pisang'." 
“Mengapa ‘term limits' yang ditemukan dalam sistem presidensial dan semi-presidensial, menunjukkan kepada kita bahwa mereka dibatasi oleh masa jabatan tertentu, atau dengan kata lain, mereka—dan juga kita—hidup dalam dunia jangka pendek?" ucap Sansevieria sembari memasang beberapa gambar di dinding. Lalu ia menunjuk pada sebuah gambar dan berkata, "Potret karya Michael Julius Motta ini, bercerita pada kita bahwa para menungso, akan selalu jadi pemikir dan pelaku jangka pendek. Dan itu, hal yang baik. Jika manusia terdahulu tak mengajukan pertanyaan seperti 'Sesudah ini, aku makan dimana yaq?' atau 'Dimana diriku, tidur malam ini?', spesies kita, takkan bertahan lama. Manusia purwa, merupakan manusia jangka pendek, sebab mereka tak punya pilihan.
Namun, kita, yang dikata Darwin 'kethek kekinian', punya pilihan. Kita kadang tak mau bersibuk-ria dengan kelangsungan hidup sehari-hari. Sebaliknya, kita rela menyibukkan diri dengan hal-hal yang terjadi dari tahun ke tarikh dan dari dekade ke dasawarsa. Namun, hanya sedikit dari kita, yang melakukannya. Hampir semua orang yang kita kenal, punya cita-cita yang ingin mereka capai 'nanti deh loe liat, kalo gue dah punya lebih banyak waktu.'
Kenyataan yang menyedihkan mengenai keadaan manusia: Kebanyakan orang, meninggal dengan menyesalkan hal-hal yang mereka kira, akan mereka lakukan, namun sebenarnya, tak pernah mereka lakukan. Kebenaran menyedihkan lainnya: Masing-masing dari kita, menganggap diri kita, pengecualian.
Masyarakat menilai seseorang bukan berdasarkan upaya jangka panjangnya guna mencapai tujuan yang bersifat pribadi, melainkan berdasarkan upaya jangka pendek untuk mencapai tujuan yang lebih dapat diterima oleh masyarakat. Dunia mengharapkan kita, melakukan hal-hal jangka pendek, dan mereka terperangah kala kita tak melakukannya. Disaat kita bertindak dalam jangka panjang, kita mendapat tatapan aneh dan berjuta sinyal lain dari masyarakat, yang mengisyaratkan bahwa kita menjalani hidup yang keliru.

Seseorang yang secara aktif menolak tarikan gravitasi dunia jangka pendek dan mengambil tindakan strategis guna mencapai tujuan jangka panjang, dan yang melakukannya secara konsisten, menurut Motta, adalah manusia jangka panjang ('a long term person').
Tentu saja, kita tak bisa meninggalkan dunia yang bersifat jangka pendek, dan kita juga tak berkeinginan meninggalkannya. Sebagian besar dunia dalam jangka pendek, amat fantastis. Kemampuan bersikap spontan dan hidup pada saat ini, merupakan bagian-bagian terbaik dari pengalaman manusia. Hidup seringkali menuntut kita agar bersifat jangka pendek. Kita harus menyediakan makanan di atas meja malam ini, bukan tahun depan kaan.
Manusia jangka panjang, memupuk dan mengembangkan tiga ciri berikut ini. Disiplin: Mengerjakan pekerjaan jangka panjang setiap hari. Nyari akal, bukan nyari alesan; Istiqamah: Mempertahankan fokus jangka panjang walau disaat masyarakat menuntut kepatuhan; Kesadaran diri: Disiplin dan istiqamah tanpa kesadaran diri, berisiko membuat kita jadi orang yang salah arah dalam jangka panjang. Kita hendaknya mengenal diri kita sendiri dan apa yang kita kehendaki dari dunia ini, sebelum kita bisa keluar dan meraihnya.
Intinya ialah: Siapa kita dalam jangka pendek adalah siapa kita dalam jangka panjang. Jika kita tak menyelaraskan tindakan kita dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, dengan menjadi orang yang kita kehendaki, maka, dari datum ke datum, dari warsa ke warsa, kita takkan pernah bisa menjadi orang tersebut. Jika dikau tak dapat melakukannya hari ini, dirimu takkan bisa melakukannya esok, dan jika engkau tak bisa melakukannya besok, engkau takkan pernah bisa melakukannya. Manusia jangka panjang dimulai hari ini. Manusia jangka panjang dimulai sekarang.
Guna mencapai tujuan yang engkau kehendaki, pertama-tama dikau hendaklah menimbang-nimbang ke arah mana tujuanmu saat ini. Aksi jangka pendekmu saat ini, membawa dirimu ke arah jangka panjang. Jika engkau tak dapat mengenali arah tersebut, engkau tak dapat mengubahnya. Kebanyakan orang, punya banyak cita-cita, ada yang terbuka, ada yang belum terucap, banyak yang tersembunyi di alam bawah sadar.
Diri kita dalam jangka panjang terlayani dengan baik dengan menggabungkan rutinitas yang meningkatkan kesehatan mental dan fisik. Sekalipun tiada yang terkait langsung dengan pencapaian suatu tujuan tertentu, hal tersebut akan memaksimalkan sumber daya kita dan meningkatkan efektivitas sistem kita. Engkau tak perlu mempelajari fisika kuantum, lari maraton, atau jadi pertapa, namun langkah sederhana, dapat memperkuat kemampuan substansialmu.
Saat kita menyelesaikan tugas terpenting kita, dunia jangka pendek tetap berjalan. Ia tak melupakan kita. Kita seyogyanya menghadapi kenyataan bahwa kita tak punya pilihan selain tetap mempertahankan tujuan jangka panjang dan jangka pendek kita. Kita akan punya atau bersama pasangan, menjadi orangtua, dan teman yang baik. Kita tetap akan mengganti oli dan membalas email ini dan whatsapp itu. Dan kita tetap meluangkan waktu untuk proyek-proyek yang kita sukai.

Potret oleh Roman Krznaric memberi kita perspektif lain tentang dunia jangka panjang-pendek. Matto memberi tahu kita tentang cara melihat diri sendiri, sementara Krznaric, menyarankan kita tentang cara berpikir jangka panjang dalam dunia jangka pendek.
Barangkali, saat kita berambisi untuk ‘memberi bantuan kepada umat manusia’ dan mewariskan legacy positif bagi generasi mendatang, kita meluruskan niat dengan bertanya: ‘Sudahkah kita menjadi para 'ancestor' atau leluhur, atau kakek dan nenek moyang, atau karuhun, atau datuk, atau cikal-bakal, yang baik?’
Kitalah pewaris anugerah dari masa lalu. Bayangkan, warisan besar yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita: mereka yang menabur benih pertama di Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, yang membuka lahan, membangun saluran air dan mendirikan kota-kota dimana kita tinggal sekarang, yang membuat penemuan-penemuan ilmiah, memenangkan perjuangan politik dan menciptakan karya seni besar yang telah diwariskan kepada kita. Sebagai orang Indonesia, kita tentu sepakat bahwa para 'founding parents' kita, telah mewariskan hal-hal baik kepada kita, meski hampir seluruh nama mereka telah dilupakan oleh sejarah. Kita jarang berhenti memikirkan bagaimana mereka telah mengubah hidup kita.

Menjadi leluhur yang baik, bukanlah pekerjaan yang mudah. Peluang kita melakukannya, akan ditentukan oleh hasil perjuangan pemikiran manusia yang saat ini terjadi dalam skala global antara kekuatan pemikiran jangka pendek dan jangka panjang yang bertentangan.
Pada saat ini dalam sejarah, kekuatan dominannya, jelas: kita hidup di zaman yang bersifat jangka pendek dan patologis. Politisi hampir tak bisa melihat apa pun selain pemilu berikutnya, atau jajak pendapat, atau tweet terbaru. Dunia usaha menjadi budak laporan triwulanan berikutnya dan tuntutan yang terus-menerus agar meningkatkan nilai sahamnya. Pasar melonjak lalu jatuh dalam gelembung spekulatif yang didorong oleh algoritma berkecepatan milidetik. Negara-negara bertelingkah di meja konferensi internasional, fokus pada kepentingan jangka pendek mereka, sementara bumi terbakar dan spesies punah. Budaya kepuasan instan menjadikan kita, overdosis pada makanan cepat saji, tembakan beruntun whatsapp, dan tombol 'Buy Now'. ’Ironi terbesar di zaman kita,’ tulis antropolog Mary Catherine Bateson, ’kendati kita hidup lebih lama, kita malah berpikir lebih pendek.’ Zaman inilah era tirani masa kini.

Lantas, bagaimana masyarakat di masa depan, akan mengingat kita? Sebagian besar kita berharap bahwa tindakan dan pengaruh kita, akan berdampak pada tahun-tahun mendatang, memastikan bahwa api kehidupan kita terus menyala melampaui kematian yang tak terhindarkan. Hanya sedikit orang yang benar-benar mau dilupakan selamanya.
Namun kita memilih mengekspresikan 'legacy' kita, dengan cara yang amat berbeda. Beberapa di antara kita, hendak meninggalkan bentuk legacy yang egosentris, berharap dikenang dan dimuliakan atas pencapaian pribadinya. Pendekatan seperti ini, ancangan Alexander Agung, yang membangun patung dirinya di seluruh kekaisarannya, termasuk di situs suci Yunani, Olympia. Legacy yang hendak ditinggalkannya, bertujuan agar dihormati selamanya, terhadap tindakan heroik dan penaklukannya yang brilian, dan agar dikenang seperti dewa—tak mengherankan bagi seseorang yang mengaku sebagai keturunan langsung Zeus. Perusahaan-perusahaan oligarki masa kini, yang menggunakan dana filantropis mereka untuk membangun gedung, stadion sepak bola, dan sayap museum yang diberi nama sesuai nama mereka, juga berambisi serupa.
Aspirasi yang lebih umum lagi, meninggalkan sebuah 'familial legacy', biasanya dalam bentuk warisan yang ditulis dalam surat wasiat buat anak, mantu, cucu, atau keluarga besar, mulai dari uang dan harta benda hingga pusaka keluarga yang berharga. Jenis warisan inilah, yang dihargai oleh para aristokrat yang hendak mempertahankan lahan miliknya, dalam garis keturunan keluarga, dengan harapan meninggalkan cukup uang agar anak-anak mereka, punya lebih banyak peluang dalam hidup dibanding diri mereka. Bagi banyak orang, meninggalkan harta benda, tak sepenting mewariskan 'values' dan 'culture', baik dalam bentuk keyakinan agama, bahasa ibu, atau tradisi keluarga.

Jika kita benar-benar hendak menjadi ancestors yang baik, kita perlu memperluas konsep kita tentang legacy dan menganggapnya tak semata sebagai jalan menuju kejayaan pribadi atau sebagai warisan bagi keturunan kita, namun sebagai praktik kehidupan sehari-hari, yang bermanfaat bagi semua orang di masa depan. Kita perlu lebih baik dalam membayangkan diri kita, saat kita telah jauh lebih tua, dan dapat menjadi batu loncatan untuk peduli terhadap generasi mendatang.
Legacy bukanlah sesuatu yang kita tinggalkan, melainkan sesuatu yang kita tanam sepanjang hidup kita. Bukan sekedar wasiat yang dituangkan dalam surat wasiat, melainkan amalan sehari-hari. Kita menumbuhkan legacy kita sebagai orangtua dan teman, sebagai pekerja dan warga negara, sebagai kreator dan aktivis, serta sebagai anggota komunitas. Ia tentang menyadari konsekuensi dari tindakan kita di masa depan, baik melalui cara kita berbelanja atau cara kita memilih. Ia tentang mewariskan dunia yang sesuai bagi tumbuh-kembangnya kehidupan. Ia tentang menanam benih pohon oak di lahan atas nama mereka yang akan datang.

Apa pentingnya gue peduli dengan generasi mendatang? Apa pernah mereka lakukan sesuatu buat gue? Kita kini dihadapkan pada salah satu pertanyaan sosial paling mendesak di abad kedua puluh satu: kewajiban dan tanggungjawab apa yang kita miliki, terhadap generasi penerus kita? Jika saat ini, kita berkewajiban untuk tak memasang bom di kereta yang dapat membahayakan anak-anak, maka kita juga punya kewajiban yang sama agar tak melakukannya, jika bom tersebut akan meledak dalam waktu sepuluh menit, atau sepuluh hari, atau bahkan sepuluh tahun dari sekarang.
Jika kita mengingat kembali kakek dan nenek moyang kita, ada banyak hal yang kita harap tak pernah diwariskan kepada kita, mulai dari warisan feodalisme era kolonial dan sikap patriark yang masih melekat di banyak negara, hingga dampak lingkungan hidup lantaran sistem industri berbasis bahan bakar fosil. Jika kita berharap 'nenek moyang kita yang buruk' tak mewariskan warisan seperti itu, apa dasar yang kita miliki untuk mewariskan warisan negatif serupa di masa depan, baik dalam bentuk kerusakan ekologis yang penyebabnya diri kita sendiri, potensi risiko teknologi baru? Atau pembuangan limbah nuklir secara sembarangan? Lagian, kita sendiri, takkan mau menerima warisan seperti itu. Tongkat-estafet memastikan bahwa kita sadar akan konsekuensi tindakan kita, dan merupakan salah satu panduan terbaik agar menjadi ancestor yang baik. Kita juga bisa memikirkannya dalam kaitannya dengan tindakan positif, maka kita pastikan mewariskan institusi kesehatan masyarakat atau karya seni dan sastra agung, yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya.
Kendati kita tak dapat mengubah jalur ketergantungan dunia dalam jangka pendek, kita dapat mengubah jalur ketergantungan dalam kehidupan jangka panjang kita. Kita bisa menjadi pihak yang memanfaatkan peningkatan ketersediaan sumber daya. Kita dapat mengubah waktu perjalanan menjadi proyek sampingan. Kita dapat melakukan pertemuan virtual dengan rekan kerja dari kenyamanan kantor rumah kita. Kita dapat menggunakan Amazon Alexa, Apple Siri, dan siapa pun yang datang, guna membantu kita menjadi versi jangka panjang dari diri kita sendiri. Tapi, kita harus mulai dari sekarang. Semakin lama kita menunda, ketergantungannya akan semakin mengakar. Sebelum dikau menyadarinya, dirimu akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang berada di pinggir lapangan, berharap mereka bermain. Atau lebih buruk lagi, dirimu akan menjadi salah satu dari sekian banyak orang, yang terbaring di tempat tidur terakhirnya, berharap mereka masih hidup. Dikala engkau mengejar kepentingan jangka panjang, dirimu menjadi diri-sejatimu. Menjadi manusia jangka panjang, tak lebih dari menjadi dirimu sendiri.

Nah sekarang, kita beralih ke tampilan foto Alexander Baturo. Potret tersebut mengulas pertanyaan kita di awal sesi ini, tentang 'term limits' atau 'batasan masa jabatan'. Antara tahun 1960 dan 2010, dari Amerika Latin hingga Eurasia pasca-Soviet, dari dua ratus presiden yang telah menjalani masa jabatannya, lebih dari seperempatnya berhasil memperpanjang masa jabatan mereka, melampaui masa jabatan yang diamanatkan oleh konstitusi, dengan satu atau lain cara. Banyak presiden yang ambisius di seluruh dunia, berusaha untuk meningkatkan kekuasaan mereka dan mengendalikan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di negaranya, dan untuk menguasai lembaga penegak hukum yang memungkinkan perluasan kewenangan para pemimpin ini, ke seluruh penjuru kehidupan publik dan pribadi. Namun, jika para pemimpin ini, harus menyerahkan semua kekuasaannya dan mengundurkan diri, sebagaimana ditentukan oleh batasan masa jabatan presiden–sebuah lembaga yang menentukan jangka waktu maksimum masa jabatan seorang presiden–maka mereka bukanlah seorang diktator, jadi batasan masa jabatannya, tidaklah kompatibel dengan kekuasaan absolut.
Memang benar, seperti digarisbawahi oleh pakar demokrasi terkemuka Juan Linz, salah satu ciri khas demokrasi adalah pemerintahannya bersifat pro tempore, dan otoritarianisme bersifat 'selamanya'. Selama Arab Spring tahun 2011 di Mesir, salah satu tuntutan utama para pengunjuk rasa pro-demokrasi, yang ingin meninggalkan pemerintahan satu orang selama beberapa dekade, adalah memberlakukan batasan masa jabatan wajib bagi presiden masa depan. Namun, dalam siklus sejarah yang terus berulang, ketika para penguasa lama di Afrika Utara mulai menghilang, para pemimpin nasional lainnya—Hugo Chavez, Vladimir Putin, Daniel Ortega—menerapkan rancangan pribadi, dalam upaya mereka mencari keabadian politik.

Batasan masa jabatan, punya sejarah yang panjang, seperti halnya berbagai upaya untuk menghindarinya, dan tetap menjadi pusat pemahaman kita tentang seberapa banyak rezim politik di seluruh dunia berfungsi. Nama-nama Napoleon III dari Perancis, Porfirio Díaz dari Meksiko, atau Juan Perón dari Argentina, yang dipilih untuk jangka waktu terbatas, menjadi 'sangat diperlukan', kemudian membatalkan batasan durasi mandat mereka.
Banyak presiden yang berusaha memerintah melalui dekrit, mengurangi kekuasaan parlemen atau mengganti hakim mahkamah konstitusi dengan 'pendukung mereka sendiri' [baca: ipar sendiri], dan mereka pasti menghadapi kritik dan tentangan yang keras. Namun, tiada perubahan kelembagaan lain yang memicu perdebatan dan pertentangan selain campur tangan dalam batasan masa jabatan. Pertimbangkan upaya yang gagal memperpanjang masa kekuasaannya oleh Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo (1999–2007). Tawaran presiden tersebut, didukung oleh para pendukung yang menginginkannya, menyelesaikan reformasi ekonominya dan juga, diduga, oleh sekelompok pengusaha yang punya hubungan dekat dengan sang presiden, yang beroleh cuan dari rent-seeking [praktik memanipulasi kebijakan publik atau kondisi perekonomian sebagai strategi untuk meningkatkan keuntungan].
Motif keuangan dan pribadi agar tetap menjabat—nilai memegang jabatan politik bagi masing-masing presiden—bergantung pada kapasitas yang menghasilkan pendapatan dari jabatan tersebut, berbeda dengan potensi pendapatan setelah berhenti, serta pada kekhawatiran pribadi mengenai kekebalan dan status di masa depan. Semakin besarnya keuntungan yang diperoleh dari jabatan politik dan semakin rendahnya kemungkinan mempertahankan keuntungan dan kekebalan tersebut, setelah keluar dari jabatannya, semakin besar kemungkinan bahwa seorang presiden akan berusaha mempersonalisasikan rezimnya dan memperpanjang masa jabatannya. Risiko kehilangan jabatan bagi presiden di negara miskin dan korup, jauh lebih tinggi dibandingkan presiden di negara demokrasi industri.

Pada sesi berikutnya, kita akan melihat bahwa Presiden yang dapat memperpanjang masa jabatannya, biasanya punya kendali pribadi atas partai presiden itu sendiri, jumlah partai legislatif yang efektif lebih banyak, oposisi legislatif yang lebih lemah, dan sistem peradilan yang tak independen dari campur tangan pemerintah. Bi 'idznillah."

Sembari menuggu sesi mendatang, Sansevieria berdendang,

Kita bicara dalam bahasa cinta
tanpa suara, tanpa sepatah kata
Pelukan asmara mengungkapkan semua
tanpa suara, tanpa kata-kata *)
Kutipan & Rujukan:
- Michael Julius Motta Ph.D., How to be a Long Term Person in a Short Term World, 2017, Amazon-Kindle Edition
- Roman Krznaric, The Good Ancestor: How to Think Long Term in a Short-Term World, 2020, Pinguin Random House
*) "Bahasa Cinta" karya Oddie Agam