Kutipan & Rujukan:“Seorang remaja berkata kepada ayahnya, 'Ada masalah dengan mobilnya yah. Ada air di karburatornya.'Sang ayah tampak bingung dan berkata, 'Air di karburator? Ah yang benner.'Namun putranya tetep aja ngotot. 'Ada air di karburatornya.'Sang ayahnya mulai sedikit gelisah. 'Kamu kan gak ngerti apa itu karburator,' katanya. 'Coba ayah cek dulu. Mobilnya ada dimana?''Di dalam kolam.'""Dalam perspektif Islam, 'tafakkur', yakni 'kontemplasi', berbeda dengan 'meditasi'. Kendati kata 'kontemplasi' dan 'meditasi' sering digunakan bersinonim, kata 'meditasi' kemudian dikaitkan sangat erat dengan spiritualitas agama-agama Timur, dan bila digunakan untuk menjelaskan tafakkur, dapat menyesatkan,' lanjut Kenanga seraya mencermati El Patio de los Naranjos [Patio Pohon Jeruk], yang terletak di bagian Utara Masjid-Katedral Córdoba, yang secara gerejawi dikenal sebagai Katedral Our Lady of the Assumption dan populer sebagai Masjid, sebuah bangunan keagamaan dan sejarah monumental di kota Córdoba, sebuah kota dan munisipalitas Spanyol di Andalusia. El Patio de los Naranjos merupakan ruang taman terbuka Katedral Seville, warisan masjid Almohad. Bentuknya persegi panjang dan dimensinya 43 kali 81 meter. Bermuasal dari halaman wudhu masjid Abdul Rahman I, selain juga digunakan mengajar dan mengadakan persidangan, lalu diperluas dan direnovasi pada tahap konstruksi berikutnya. Konstruksinya dimulai pada tahun 1172 dan selesai pada tahun 1186. Sejak saat itu, dan hingga jatuhnya kota tersebut ke tangan umat Kristiani, beranda tersebut memenuhi seluruh fungsi tradisional umat Islam, seperti pemakaman, serta aula festival dan acara budaya."Jeremy Henzell-Thomas menulis bahwa meskipun praktik meditasi dalam agama-agama Timur cenderung mengabaikan pemikiran sadar memfasilitasi 'keadaan kesadaran yang berubah', tafakkur merupakan aktivitas spiritual kognitif, yang menyertakan akal-sehat, emosi, dan jiwa. Dengan demikian, walaupun bentuk 'kontemplasi meditatif' ini melibatkan 'pemikiran dan refleksi yang mendalam', bentuk ini 'memerlukan sifat spiritual'. Inilah bentuk ibadah Islam yang lembut, yang mencerminkan seruan yang terus-menerus dalam Al-Qur'an bagi manusia yang berpikir secara mendalam dan merenungkan 'tanda-tanda' (ayat) Keindahan dan Keagungan Ciptaan yang tampak dan 'Kitab Semesta yang terpampang', yang dapat diakses oleh persepsi manusia sebagai bukti keberadaan Tuhan dan dimensi tersembunyi dari yang 'Ghaib'. Henzell-Thomas menyebutkan salah satu ayat Al-Qur'an,سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ''Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itulah kebenaran [atau 'bahwa Dia, Subḥanahu wa Taʿala, adalah Kebenaran]. Tak cukupkah (bagimu) bahwa sesungguhnya Rabbmu menjadi saksi [yakni, selalu hadir menyaksikan dan mengetahui secara paripurna semua hal di bawah kekuasaan-Nya] atas segala sesuatu?' [QS. Fussilat (41):53).Oleh karenanya, kemampuan kognitif tafakkur yang lebih tinggi, dapat dipandang mencakup kemampuan seperti tadabbur (perenungan mendalam) dan tawassum (pengamatan dan pemahaman terhadap tanda-tanda alam) dan secara langsung terkait dengan pengembangan kemampuan persepsi wawasan yang lebih tinggi (albab), atau 'melihat dengan qalbu'. Dengan demikian, tafakkur jauh lebih mendalam dibanding proses logis dan analitis yang terlibat dalam 'berpikir kritis' (at-tafkir an-naqdi), sebab orientasi utamanya ialah pengembangan kesadaran spiritual atau ingatan dan taqwa.Henzell-Thomas menambahkan bahwa kontemplasi [menurut KBBI, kontemplasi ialah renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh; namun KBBI menyamakan bermeditasi—memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu—dengan bertafakkur] merupakan pengamalan yang indah dan tenteram, yang menyempurnakan persepsi spiritual, meningkatkan kesadaran akan kehadiran Ilahi dan menenangkan jiwa. Dengan melakukannya, akan menghasilkan pandangan damai, hormat dan kewarasan yang sangat dibutuhkan di masa-masa yang semakin hiruk-pikuk dan sulit ini.Psikologi Barat telah berkembang selama beberapa dekade sehingga memungkinkan menganalisis kondisi manusia, terutama mengenai pengaruh pengalaman masa kanak-kanak terhadap keberlanjutan hidupnya. Namun, ilmu tentang jiwa manusia ini, sebagian besar masih merupakan produk dari lingkungan budaya historisnya, yaitu visi humanis sekuler yang lebih memilih melihat pikiran lebih sebagai mesin yang dapat 'dipahami' dan bahkan dapat ditiru oleh algoritma Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan) di komputer. Pikiran lebih dari sekedar ‘jumlah dari bagian-bagiannya’, belum tentu merupakan sesuatu yang misterius, namun lebih berhubungan dengan qalbu dan ‘jiwa’, yang potensi dan cara kerjanya lebih besar dalam tubuh manusia, memerlukan kajian lebih lanjut.Pemahaman pikiran yang dapat diukur seperti mesin dipandang sebagai wilayah yang aman, sedangkan pemahaman yang tak dapat diukur dapat menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang mempelajari metode ilmiah sebagaimana diterapkan pada bidang psikologi. Dalam tradisi psikologi Barat, harapannya selalu tinggi, bahwa seiring berjalannya waktu, teka-teki sifat manusia akan terpecahkan. Upaya yang baik telah dilakukan oleh beberapa ilmuwan besar dalam memajukan pemahaman pikiran, namun banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mengingat meningkatnya angka gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, ketakutan, dan bunuh diri, di seluruh dunia, dengan tren yang memperkirakan hal-hal buruk akan terjadi di masa depan, sangat jelas bahwa diperlukan lebih banyak kajian guna memahami sifat manusia. Bagi mereka yang menderita gangguan psikologis, dukungan dan terapi yang lebih efektif, perlu dikembangkan guna menyembuhkan mereka yang menderita. Dalam psikologi tradisional Barat, pemahaman pikiran yang seperti mesin, telah mengabaikan dimensi 'spiritual' sifat manusia, akan tetapi, beberapa psikolog Barat mulai mengenali apa yang selalu diyakini oleh umat Islam dan orang-orang beriman mengenai 'roh' manusia dan signifikansinya bagi kehidupan manusia. Hal ini menandai awal dari bidang studi yang sangat merangsang yang dapat memberikan harapan bagi banyak orang—tak semata mereka yang menderita gangguan psikologis—melainkan pula, membantu orang lain memahami apa maknanya menjadi manusia, baik pada saat-saat terbaik maupun pada saat-saat terkelam.Malik Badri, dalam studinya, berupaya mengatasi pengabaian dimensi spiritual dalam psikologi Barat, dan berpendapat bahwa dalam gagasan dan praktik kontemplasi (tafakkur) kita memiliki sarana yang ampuh, yang menghubungkan pikiran dengan qalbu dan ‘jiwa’. Melalui kontemplasi, khususnya dalam refleksi terhadap Tuhan, kita dapat menjangkau jauh ke dalam jiwa agar memberikan penghiburan dan penyembuhan terhadap gangguan psikologis yang menimpa umat manusia, yang semata dianggap sebagai 'penyakit jiwa'. Badri menampilkan banyak elemen kontemplasi, termasuk kesirnaan historisnya, perubahan dalam tradisi Timur, dan bahkan kembalinya aspek filosofis ini ke dalam psikologi modern. Namun dalam tradisi Islam, kontemplasi menjadi tafakkur. Maknanya, keadaannya berubah menjadi lebih banyak lagi, jalan menuju pengetahuan diri yang menjadi pencarian penyembuhan melalui visi batin tentang Tuhan sebagai objek pencarian dan pengabdian kita, ketimbang penyembuhan melalui pembungkaman hal-hal negatif, dan fokus pada pemahaman konseptual dan tempat kita di alam semesta, yang lebih luas.Selalu ada bahaya bahwa keterampilan ‘berpikir’ yang seharusnya ditingkatkan, baik yang didefinisikan sebagai ‘kritis’ maupun ‘kreatif', jika tak dikaitkan dengan visi yang lebih tinggi mengenai kapasitas intelektual dan spiritual manusia, semata digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan materialistis.Sesungguhnya, tanpa pemahaman tentang keseluruhan kemampuan intelektual manusia, dan tanpa kesadaran akan dimensi moral dan spiritual yang menjiwai visi otentik tentang kesempurnaan manusia, pendidikan keterampilan berpikir, jarang dapat melampaui reduksionisme yang hanya berfokus pada penajaman kemampuan berpikir fungsi intelektual yang lebih rendah—tingkat penalaran, argumentasi, dan analisis logis, yang telah begitu produktif di bidang kemajuan sains dan teknologi, namun tak dapat mencakup kebutuhan sukma dan batin manusia yang terdalam.Muhammad Asad mengingatkan kita bahwa semangat Al-Qur'an sendirilah yang menjadi sumber utama kebangkitan dinamis budaya pengkajian di Eropa, 'Melalui penekanannya pada kesadaran dan pengetahuan, hal ini melahirkan semangat intelektual di kalangan para pengikutnya. rasa ingin tahu dan kajian mandiri, yang pada akhirnya menghasilkan era pembelajaran dan penelitian ilmiah yang menakjubkan, yang membedakan dunia Islam pada puncak kekuatan budayanya; dan kebudayaan yang dipupuk oleh Al-Qur'an dengan cara yang tak terhitung banyaknya meresap ke dalam pikiran Eropa abad pertengahan dan memunculkan kebangkitan kebudayaan Barat yang kita sebut Renaisans, dan dengan demikian, dalam perjalanan waktu menjadi penyebab utama terjadinya lahirnya apa yang digambarkan sebagai 'age of science': era kekinian yang kita jalani.'Mari kita selalu menyadari bahwa proses dinamis pembelajaran dan pengkajian yang dimunculkan oleh semangat Al-Qur’an, tak terbatas pada konsep ‘pencerahan’ yang ‘rasional’ atau ‘ilmiah’ saja. Terlebih lagi, ia tak terbatas pada fokus yang hampir eksklusif pada teknik penalaran dan pemikiran analitis dalam model pendidikan 'keterampilan berpikir' Barat kontemporer, walau jika model terbaik dari pendidikan ini, berusaha memasukkan dimensi moral yang mencakup apa yang dikemukakan oleh psikolog Barry Schwartz dan pendidik Robert Fisher menggambarkannya sebagai sejumlah 'intellectual virtues' yang dimiliki oleh para pemikir kritis ideal. Ia mencakup integritas dalam mencari kebenaran, kejujuran intelektual, komitmen untuk menggali bukti tanpa bias konfirmasi [kecenderungan seseorang memproses informasi dengan mencari, atau menafsirkan, informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka], menghormati martabat dan nilai orang lain, dan mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap pandangan-pandangan alternatif. Dari sudut pandang umat Islam, prinsip bahwa perselisihan masuk ke dalam wacana plural dimana beragam pendapat dapat diungkapkan secara legal, diabadikan dalam etika dan etiket Islam yang tepat (adab al-ihktilaf), terlibat dalam perdebatan dan perselisihan yang saling menghormati di dunia majemuk dan Islam yang plural, meskipun saat ini, terdapat kebutuhan mendesak bagi pendalaman dan penerapannya secara lebih luas.Penting dicatat bahwa dalam tradisi Islam, kemampuan akal ('aql) tak terbatas pada kemampuan deliberatif [berkaitan dengan nalar] atau rasional berbasis bahasa yang memungkinkan kita berpikir, mengkaji, menganalisis, mendefinisikan, membedakan, berkonsep, berteori, dan berargumentasi. Hal ini tentu saja bukan berarti menyangkal pentingnya dimensi 'aql ini. Bagaimanapun, Al-Qur’an mengumumkan bahwa Allah ‘mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya’ [QS. Al-Baqarah (2):31]. Muhammad Asad memaknai ilmu nama-nama sebagai kemampuan definisi logis yang memberi umat manusia kemampuan unik agar sampai pada konsep-konsep yang tepat dan berbeda, dan kekuatan konseptualisasi independen inilah yang mengangkat Adam (عليه السلام) dan ahli warisnya ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dari para malaikat. Namun pada saat yang sama, kemampuan 'aql mencakup lebih dari sekedar pemikiran diskursif dan spekulatif atau intelektualisasi, namun juga mencakup fungsi yang lebih tinggi, yaitu intelektual atau kecerdasan spiritual, dimana kemampuan rasional yang lebih rendah hendaknya dimasukkan secara hierarkis. Karim Crow telah menunjukkan bahwa salah satu komponen kunci dari konsep 'kecerdasan' yang diungkapkan dengan istilah 'aql adalah 'etika-spiritual, mengajarkan bagaimana memperbaiki integritas seseorang dan menyebabkan dorongan manusiawi, kemampuan dan kekuatan terpendamnya berkembang, dengan emosi yang dijernihkan, mendorong bekerjanya kecerdasan yang lebih tinggi'. Menurut Crow, kombinasi ilmu dan pemahaman, serta kecerdasan emosional, sosial dan moral, juga secara tradisional disarankan dengan istilah 'hikmah' dan diwujudkan dalam 'integritas pribadi, hati nurani, dan perilaku efektif'. Titus Burckhardt menekankan bahwa kata 'aql dalam praktiknya diterapkan pada lebih dari satu tingkatan: pada tingkat tertinggi, kata ini dapat menunjuk pada 'prinsip universal dari segala kecerdasan, sebuah prinsip yang melampaui kondisi-kondisi yang membatasi pikiran melalui refleksi langsung dari intelek universal'. Cyril Glassé menunjukkan pula bahwa 'dalam pengertian tertinggi dan metafisik, seperti yang digunakan dalam filsafat Islam', al-'aql merupakan kecerdasan transenden yang sesuai dengan akal, sebagaimana dipahami dalam Platonisme dan Neoplatonisme, dan melaluinya, manusia mampu mengakui Realitas'. Inilah kemampuan yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ar-Ruh (‘roh’), dan 'memungkinkan pengetahuan langsung', atau 'tajali di bidang mikrokosmos'.Ada sejumlah ayat dalam Al-Qur’an yang mendorong kita agar memanfaatkan kemampuan 'pendengaran, penglihatan dan intelek' yang telah kita miliki guna memperoleh ilmu tentang Allah dan ciptaan-Nya. Allah berfirman,وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ'Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagimu as-sam'a (pendengaran), al-absar (penglihatan), dan al-af'idah (intelek) agar engkau bersyukur..' [QS. AN-Nahl (16):78]Pula,قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ'Katakanlah, 'Dialah Zat Yang menciptakanmu dan menjadikan bagimu as-sam'a (pendengaran), al-absar (penglihatan), dan al-af'idah (intelek). (Akan tetapi,) sedikit sekali engkau bersyukur.' [QS. Al-Mulk (67):23]Kemampuan-kemampuan ini, ada pada berbagai tingkatan: indera eksternal utama, pendengaran dan penglihatan, agar berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar melalui persepsi dan pengamatan langsung, dan kemampuan batin berupa kognisi, pemahaman, dan wawasan yang diperlambangkan dengan istilah af'idah [jamak dari fu 'ad yakni potensi qalbu yang berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia. Fu'ad bertanggungjawab intelektual yang andal pada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk pada objektivitas, kejujuran dan jauh dari dusta]. Muhammad Asad menjelaskan bahwa kata benda fu’ad menunjukkan gabungan kemampuan 'benak-qalbu' [hati-nurani], dan ia sendiri memberikan berbagai terjemahan terma tersebut dalam ayat-ayat yang berbeda sebagai 'benak', 'intelek' dan 'qalbu yang berilmu'. Dengan cara yang sama, Yusuf Ali terkadang menerjemahkan istilah ini sebagai 'qalbu dan intelek'. 'Qalbu' di sini lebih dari sekedar sentimen dan emosi hati, namun mencakup kemampuan kognitif dan perseptif yang lebih tinggi berupa wawasan, imajinasi, intuisi, dan refleksi kontemplatif.Dalam berkontemplasi, ada beberapa batasan yang hendaknya diperhatikan. Kita akan percakapkan pada episode berikut sebelum masuk ke topik kita tentang tentang bulan-bulan dan keutamaannya dalam Kalender Islam—yang tentunya berbeda dengan Kalender lunisolar Arab. Bi 'idznillah."Lalu, Kenanga pun bersenandung,All of time cannot erase[Seluruh waktu tak dapat menghapuskan]What our hearts remember stays forever[Apa yang dikenang hati kita menetap selamanya]On a song we play *)[Pada sebuah tembang yang kita mainkan]
- Malik Badri, Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study, translated from the Arabic by Abdul-Wahid Lu'lu'a, 2018, IIIT
- Muḥammad Asad, The Message of the Qur'an: Translated and Explain, 2005, The Book Foundation
*) "Star Sky" karya Thomas Bergersen
[Episode 3]
[Episode 1]