Senin, 29 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (8)

"Seorang lelaki sedang mengunjungi sahabatnya yang bekerja di luar negeri sebagai tukang kebun di rumah seorang yang amat kaya. Mereka diperbolehkan berkeliling melihat-lihat rumah dan akhirnya sampai di sebuah sudut ruangan dimana terdapat sebuah timbangan badan.
'Apapun yang terjadi,' kata sang rekan kepadanya, 'tolong jangan berdiri di atasnya!'
'Emang k'napa?' tanya sang lelaki.
'Soalnya, setiap kali nyonya majikan gue bediri di situ, doi langsung njerit!'”

“Kita semua mengalami momen-momen yang menentukan—pengalaman bermakna yang selalu melekat dalam ingatan kita. Momen-momen ini, sepertinya merupakan hasil dari takdir, keberuntungan, atau mungkin campur tangan kekuatan yang lebih tinggi, yang tak mampu kita kendalikan. Hidup kita diukur dalam momen-momen, dan momen-momen menentukan itu, momen-momen yang bertahan dalam kenangan kita. Ketika kita menghargai momen-momen indah itu, kita mungkin duduk di pantai sambil merasakan sinar matahari menyinari kulit kita. Atau duduk di beranda memandangi bintang dan bulan," berkata Kenanga sambil memperhatikan tiga buku yang tertumpuk di atas meja. Buku pertama bertajuk 'Perjuangan Kita' karya Sutan Sjahrir, salah seorang founding fathers Indonesia. Buku kedua, 'Madilog', ditulis oleh Tan Malaka, seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dan buku ketiga, 'Catatan Seorang Demonstran', sebuah buku harian aktivis Tionghoa Indonesia, Soe Hok Gie. Kemudian Kenanga membuka Surat Keputusan lima hakim yang menyatakan tidak ada nepotisme—walaupun semuanya tahu bahwa ada yang masuk lewat pintu belakang, tidak ada politik 'pork barrel'—biarpun semua orang tahu itu terjadi, seluruh lembaga terkait telah menjalankan tugasnya dengan baik—kendati semua orang telah tahu bahwa 'it was all set', dan menurut mereka, semuanya baik-baik saja—dan semua orang pun tahu bahwa thaghut akan membahayakan demokrasi. Hal ini membuktikan pula keprihatinan Levitsky dan Ziblatt bahwa 'demokrasi terkikis perlahan-lahan, dalam langkah-langkah yang nyaris tak terlihat.'
Kalau saja ketiga penulis buku tersebut membacanya, dikau takkan habis pikir. Tan Malaka bakalan membanting Madilog-nya dan angkat bicara, 'Buruk dan baik itu, ialah buruk dan baik buat masyarakat itu sendiri. Asalnya masyarakat itu sendiri, dari pergaulan antara manusia dan manusia dalam masyarakat itu sendiri. Perbuatan yang baik mendatangkan akibat yang baik. Perbuatan yang buruk menimbulkan akibat yang buruk pula buat masyarakat itu sendiri. Hukum buruk dan baik, boleh dipetik dan dibentuk dari sejarahnya segala bangsa dan Negara yang dulu dan sekarang. Tak perlu lagi Hantu atau Dewa sebagai awal dan akhirnya manusia dan moralnya. Malah Hantu dan Dewa itu menemui akhirnya pada manusia dan moralnya yang nyata, yang berdasarkan masyarakat. Ingatlah bahwa dari alam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.'
Sutan Sjahrir akan berkata, 'Negara Republik Indonesia yang kita perjuangkan sebagai alat di dalam revolusi kerakyatan kita mendapat harga yang penuh, jika kita isi dengan kerakyatan yang tulen. Bagi kita, kemenangan yang berarti itu ialah kemenangan yang berisi, bukan kemenangan nama dan kehormatan semata saja. Pedoman yang sebenarnya untuk perjuangan politik kita harus ditujukan kepada isi itu. Perjuangan kebangsaan pada umumnya, tak luput dari bahaya terlalu terpengaruh oleh nama dan rupa. Oleh karena itu, kerapkali apa yang dinamakan kemenangan kebangsaan itu, terbukti kosong untuk rakyat banyak. Jika kita hargakan Indonesia Merdeka kita dengan harga demokrasi yang tulen, maka di dalam perjuangan politik kita terhadap dunia isinya itu yang dipertarungkan. Negara Republik Indonesia hanya nama yang kita berikan pada isi yang kita maksudkan dan kehendakkan itu.'
Lalu, bagaimana dengan Soe Hok Gie? Apa yang akan dilakukannya? Tampaknya ia takkan ngomong apa-apa, melainkan langsung bergabung dengan para demonstran untuk kali ketiga.
Orang berkecenderungan alami menolak tatkala mereka merasa dipaksa. Disaat paksaan dan renggutan yang reaktif dihentikan dan dicari cara agar memanfaatkan kekuatan kita, serta membiarkan orang lain melakukan hal yang sama, aliran energi dan solusi yang saling menguntungkan akan tercapai. Berkapasitas atau berkemampuan mengarahkan atau mempengaruhi perilaku orang lain, atau jalannya peristiwa, sebagaimana ketiga orang yang disebutkan tadi, melakukannya, itulah kekuasaan. Setiap orang punya kendali atas kekuasaannya—bila tidak, ia bakal jadi pecundang.

"Siklus matahari, bulan, dan bintang tetap ada, terlepas dari apakah manusia yang menghuni planet kita, merasa tertantang atau tidak menggunakan siklus tersebut untuk mengukur waktu. Namun jika mereka melakukannya, seperti yang biasa terjadi, penataan waktu yang dapat diamati masyarakat akan dan didasarkan pada hal-hal tentang astronomi: rangkaian siang dan malam yang diselingi oleh terbit dan terbenamnya bulan, pergerakan matahari dan ritme musim atau kombinasi keduanya. Selebihnya, manipulasi, penjabaran konstruksi mental yang bersifat abstrak.
Manusia paling awal di planet ini, pasti mengenali siklus gerakan astronomi paling dasar. Matahari dan Bulan terbit dan terbenam setiap hari, dan bergerak melintasi angkasa dengan pola yang dapat diprediksi, dan iklim mengikuti siklus yang berkaitan dengan pergerakan Matahari terhadap bintang-bintang. Satuan hari, bulan, dan tahun mengikuti secara alami. Dengan pengamatan lebih lanjut, mereka yang mengamati langit dapat memvisualisasikan pola bintang dan membedakan komet dan 'bintang' yang 'berkeliaran' di antara yang lain.
Peristiwa dramatis seperti terlihatnya gerhana matahari dan bulan, dan, dalam beberapa kejadian, dicatat dan diprediksi, serta 'maknanya' ditafsirkan. Pengamatan dan pengukuran siklus ini penting bagi kehidupan sehari-hari, praktik keagamaan, dan pertanian, dan menjadi dasar ketepatan waktu dan kalender.
Perkembangan kalender bervariasi, sangat bergantung pada agama, budaya, politik, dan ekonomi. Praktik keagamaan dan hari raya serta siklus pertanian telah didefinisikan dalam istilah penampakan bulan, pergerakan matahari, dan kemunculan bintang-bintang di langit. Oleh sebab itu, kalender didasarkan pada pergerakan bulan atau matahari, atau kombinasi keduanya. Sayangnya, tahun, bulan, dan hari bukanlah kelipatan integral satu sama lain, dan hal ini menyebabkan kerumitan dalam pembuatan kalender.

Terdapat variasi historis dan kontekstual yang amat besar di antara kalender, kata Barbara Freyer Stowasser, yang mungkin tak terlalu mengejutkan dibanding kesamaan yang juga bisa terjadi di antara sistem kalender peradaban yang sangat berbeda (seperti fakta bahwa kalender peradaban Maya, Aztec, Sumeria, Babilonia, Mesir, India dan China pada suatu waktu, berakar pada sistem angka seksagesimal). Ada paralelisme kalender dan kesamaan antar peradaban terjadi secara kebetulan, sementara yang lain menunjukkan adanya pengaruh budaya yang seringkali bersifat jangka panjang namun sering kali tak jelas.
Menurut Stowasser, 'Waktu' selalu disusun untuk suatu tujuan, dan biasanya lebih dari satu tujuan. Secara historis, hal-hal tersebut merupakan campuran dari aspek ekonomi, politik, dan, dalam makna yang lebih luas, ideologis. Yang disebut terakhir, terutama menyertakan agama; sebagian besar kalender sepertinya berkembang dari dorongan keagamaan, sementara beberapa kalender sekuler modern (seperti kalender Perancis pasca-revolusi) dirancang dengan cara anti-agama yang agresif dan biasanya berumur simpan yang pendek. (Kalender revolusioner Perancis, yang diperkenalkan pada tahun 1793, memiliki zaman, atau titik awalnya, ditetapkan pada tanggal 22 September 1792, hari proklamasi republik dan tanggal ekuinoks musim gugur; 13 tahun kemudian, semuanya selesai, tatkala Napoleon menerapkan kembali kalender Gregorian, mulai 1 Januari 1806).
Dengan latar belakang ini, kalender lunisolar Arab pra-Islam (yang dimulai dan berakhir pada musim gugur) dihapuskan. Metode interkalasi pagan secara berkala menyelipkan satu bulan tambahan di antara dua bulan suci Dzulhijjah dan Muharram, sehingga mengganggu urutan empat bulan suci musim semi (Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram , dan Rajab) pada tahun lunisolar.

Faktor sains dan Kalender Islam, berkaitan-erat. Pengukuran waktu memegang tempat yang menonjol di antara aturan dan regulasi ritual umat Islam. Tugas-tugasnya dapat dicapai tanpa ilmu astronomi dan teknologi canggih. Tapi, pentingnya memprediksi dan menentukan siklus bulan dan waktu shalat harian (dan pula menghitung kiblat setempat yang benar, arah shalat menuju Ka'bah di Mekah) menjadikan astronomi sebagai ilmu Islam yang bermanfaat secara praktis. Kecanggihan ilmu dan penemuan astronomi dan matematika, bahkan pada awal sejarah Islam, sebagian berasal dari hubungan erat dengan agama yang seringkali menjamin pendanaan pekerjaan-pekerjaan ilmiah, yang diberkahi untuk kebaikan moral dan spiritual masyarakat. Hal ini juga berasal dari fakta bahwa wilayah Islam, melalui penaklukan dan perluasan, merupakan warisan dari beberapa peradaban yang jauh lebih tua, yang bertradisi keilmuan panjang dalam bidang teori dan ilmu terapan. Di antara alasan-alasan untuk menerima warisan kuno dan asing ini, motif keagamaan juga berlaku bagi banyak atau sebagian besar ilmuwan Muslim, yang bermakna bahwa motivasinya berakar yang lebih dalam ketimbang sekedar kegunaan praktis. Para astronom melihat studi mereka sebagai cara memahami rencana Allah bagi dunia dan mengagungkan-Nya dengan meninggikan ciptaan-Nya. Bagi yang lain, manfaat utama dari ilmu astronomi, barangkali keterampilan yang diberikannya kepada ahli astrologi. Mungkin dorongan yang paling konstan dan penting mempelajari astronomi atau sains lainnya di dunia Islam pada saat itu, ialahh cita-cita sains itu sendiri. Sejak awal, budaya Islam Arab sudah menjadi budaya ilmiah, dan perpindahan sumber-sumber India, Persia, dan Helenistik ke dalam bahasa Arab, lebih merupakan konsekuensi dan bukan sumber dari ketertarikan ini.
Sistem waktu ‘terbesar’, kronografi Islam, mendapat perhatian paling sedikit dalam literatur Islam dan waktu. Kalender tahun Islam ditetapkan dengan lajak dan lebih dini, serta dengan cepat menjadi sebuah fakta sejarah, dan bahwa hal ini memang seharusnya terjadi, sungguh luar biasa dan amat penting . Seketika setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ), wilayah Islam meluas hingga mencakup seluruh Kekaisaran Persia, sebagian besar provinsi Kekaisaran Bizantium di Utara dan Selatan Laut Mediterania, dan sebagian besar Semenanjung Iberia, sebuah negara baru yang berfokus pada Islam. Peradaban terbentuk di wilayah luas yang mengutamakan agama Islam dan bahasa Arab ketimbang kesetiaan budaya asli dan warisan linguistik yang lebih tua.

Salah satu institusi mendasar yang membantu peradaban baru ini dalam membangun kesatuan budaya dalam jarak yang belum pernah terjadi sebelumnya, ialah kewajiban ritual bagi setiap Muslim dewasa yang bebas, jika mampu, melakukan setidaknya sekali dalam seumur hidupnya, berhaji ke Rumah Allah di Mekkah. Mobilitas yang diamanatkan oleh agama ini, membagun dan memfasilitasi terpeliharanya kontak teratur antara populasi Muslim yang terpisah jauh dan menumbuhkan rasa identitas peradaban dalam jarak geografis yang luas.
Institusi lain yang menyatukan dunia Islam adalah kalender Islam. Salah satu keuntungan terbesarnya mungkin ialah perawatannya yang sangat rendah. Dengan mengadopsi sistem lunar yang ketat, awal (dan akhir) dari 12 bulan dalam satu tahun, dan juga tahun secara keseluruhan, dapat ditentukan secara empiris, dimana saja, dengan cara melihat bulan baru yang menandakan tanggal awal. Hal ini menghasilkan bulan-bulan yang panjangnya tak merata dalam setahun.
Dengan memilih menggunakan kalender lunar, kalender resmi Islam, tentu saja dipisahkan dari musim. Hal ini memunculkan masalah administratif dan, khususnya, perpajakan, yang sejak awal ingin diselesaikan oleh negara-negara Islam dengan mengadopsi semacam kalender sekunder, yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, yang biasanya berasal dari zaman pra-Islam atau di luar Islam. Namun manfaat terbesar dari kesederhanaan sistem kalender lunar Islam–kendati berubah-ubahnya kalender lunar–bahwa kalender ini, menghilangkan kebutuhan akan aturan penyesuaian kalender yang rumit, seperti yang terjadi pada semua kalender solar.

Di Mesir kuno, hari baru dimulai saat fajar. Bagi orang Babilonia, dimulai saat senja. Meskipun hari alami mereka dimulai saat matahari terbit dan berakhir saat matahari terbenam, dan jamnya bersifat musiman, orang-orang Romawi memulai hari sipil mereka pada tengah malam, yang merupakan perhitungan yang mendasari kalender Julian dan sekarang kalender Gregorian. Sejak tahun 1925, para astronom secara universal menghitung hari dari tengah malam. Ketika pada tahun 1972 stasiun-stasiun radio di seluruh dunia mulai menyiarkan waktu mereka dalam terma 'Coordinated Universal Time' yang didasarkan pada waktu rata-rata Greenwich, sudah menjadi praktik global memulai hari ‘resmi’ pada tengah malam.
Karena hari Islam dimulai saat matahari terbenam, maka malam (lail) merupakan bagian pertama dari yaum ('sehari penuh') (kecuali bahwa yaum juga dapat berarti 'siang hari', yaitu bagian siang hari dari 24 jam, 'sehari penuh'). Konvensi yang menggunakan datangnya malam sebagai garis tanggal sangat sesuai dengan keunggulan siklus bulan dalam kalender Islam secara keseluruhan, karena 12 bulan dalam tahun Islam, dan juga tahun itu sendiri, dihitung dalam bentuk siklus bulan.
Visi Al-Qur'an tentang waktu berpusat pada Allah. Waktu adalah ciptaan Allah. Tak mungkin ada waktu yang abstrak karena Allah, Penguasa alam semesta yang melampaui waktu, merupakan Rabb sepanjang zaman dari awal hingga akhir Penciptaan. Meskipun waktu adalah fungsi dari Kemahakuasaan Allah, maka pengukurannya juga merupakan karunia ilahi yang diciptakan Allah untuk kemaslahatan umat manusia. Al-Qur'an menyajikan contoh-contoh yang dirancang dengan kaya yang membuktikan suratan Allah atas seluruh gerakan langit dan kegunaannya bagi umat manusia sebagai alat pengukur (tetapi bukan untuk mengendalikan) waktu. Malam dan siang dan 12 bulan lunar dalam setahun, merupakan ‘waktu yang ditentukan bagi orang-orang beriman’. Membaca langit untuk shalat sehari-hari dan 12 bulan dalam setahun merupakan pengingat akan Kekuasaan dan Ketetapan Allah.

Waktu bukanlah kekuatan abstrak. Konsep 'dahr' pra-Islam, bahwa kematian terikat oleh waktu, merupakan sebuah kekeliruan masyarakat jahiliyyah. Allah berfirman,
وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
''Mereka berkata, 'Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia, kita mati dan kita hidup [yaitu, ada yang mati dan yang lain hidup, menggantikan mereka], dan tiada yang membinasakan kita selain waktu.' Padahal, mereka tak mempunyai ilmu (sama sekali) tentangnya. Mereka cuma berasumsi.' [QS. Al-Jasiyah (45):24]
Perhitungan hari, bulan, dan tahun berakar pada kehendak Allah. Dia, Subhanahu wa Ta'ala, berfirman,
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
''Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan yang tepat, dan tetumbuhan dan pepohonan tunduk (kepada-Nya) [mereka tunduk dengan patuh pada hukum-hukum Allah].' [QS. Ar-Rahman (55):5-6]
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاۤبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۗ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ
'Tidakkah engkau melihat [yakni mengetahu] bahwa bersujud kepada Allah siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi, juga matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, hewan melata, dan kebanyakan manusia? Akan tetapi, banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab [dan karenanya ditakdirkan]. Siapa yang dihinakan Allah tak seorang pun yang akan memuliakannya. Sesungguhnya, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.' [QS. Al-Hajj (22):18]
Ummah ​​akan selalu memperhatikan waktu, dan Allah memberi mereka arahan,
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
'Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar engkau mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui.' [QS. Yunus (10):5]
Dan pula,
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
'Mereka bertanya kepadamu (duhai Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu mawaqit (penunjuk waktu) bagi manusia dan (ibadah) haji.' Dan bukanlah al-birr (kebajikan) memasuki rumah dari belakangnya, melainkan al-birr itu, orang yang bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar engkau beruntung.' [QS. Al-Baqarah (2):189]
Safar adalah bulan kedua dalam kalender lunar Islam, dalam bahasa Arab bermakna bepergian, bersafar, atau bermigrasi. Bepergian dapat bermakna seseorang meninggalkan rumahnya dengan niat menyelesaikan suatu urusan, dan setelah urusannya usai, maka segera pulang ke rumah. Bepergian dapat pula bermakna seseorang meninggalkan rumah tanpa pembatasan waktu, namun begitu urusannya selesai, ia segera pulang ke rumah. Bepergian dapat juga berarti bahwa seseorang meninggalkan rumah dan kampung halamannya, untuk selamanya, dan menetap di kota atau negara lain.
Dalam perspektif Islam, bepergian dapat menjadi wajib bila seseorang melakukan perjalanan dengan maksud berhaji, menuntut ilmu, atau mengunjungi orangtua. Dianjurkan atau Sunnah, bila melakukan amalan seperti mengunjungi kerabat dan sahabat, umroh dan menolong sesama. Dibolehkan atau Mubah, jika hendak berekreasi atau sejenisnya. Tak disukai atau Makruh, bila diniatkan semata untuk memperbanyak harta dan kesenangan duniawi. Dan Haram apabila ditujukan untuk bermaksiat. Maka, keutamaan bepergian tergantung pada niat dan tujuannya.
Bepergian punya beberapa manfaat, Imam Syafi'i (رحمه الله) berkata, 'Berkelanalah dari kampungmu untuk mencari keutamaan. Lakukanlah safar karena di dalamnya ada lima faedah: menghilangkan kesumpekan dan mengais rezeki, memperoleh ilmu, adab, dan teman yang baik.' Karenya, Fikih juga mengatur tatacara ibadah selama bepergian.

Kita teruskan lagi perbincangan kita pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Lalu, Kenanga pun bersenandung:

Everybody knows the deal is rotten
[Semua orang tahu kesekapakatannya bangsai]
Old Black Joe's still picking cotton
[Si hitam tua Joe tetap saja memetik kapas]
For your ribbons and bows
[Untuk pita dan busur-panahmu]
And everybody knows *)
[Semua orang juga tahu]
Kutipan & Rujukan:
- Sutan Sjahrir, Perjuangan Kita, 1991, Rumah Syahrir
- Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika dan Logika (1943), 1951, Widjaya
- Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1989, LP3ES
Barbara Freyer Stowasser, The Day Begins at Sunset: Perceptions of Time in the Islamic World, 2014, I.B.Tauris
- Dennis D. McCarthy & P. Kenneth Seidelmann, Time: From Earth Rotation to Atomic Physics, 2018, Cambridge University Press
*) "Everybody Knows" karya Leonard Cohen