Jumat, 19 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (4)

“Seorang lelaki yang lagi gabut, malesan-malesan jalan di trotoar saat melihat seorang penjaja apel di dekatnya. Ia mendatanginya dan bertanya, 'Berapa harga apelnya lae?' Sang pedagang menjawab, 'Kalo apelnya 10 rebu, tapi kalo bijinya doang, 20 rebu bosku.'
Bingung, sang lelaki bertanya, 'Kok harga bijinya lebih mahal lae?' Sang saudagar menjawab, 'Kata orang, biji apel bisa bikin bosku jauh lebih cerdas. Napa gak dicoba aja bosku.'
Agak ragu, sang lelaki menyerahkan 40 ribu dan membeli dua bebijian apel. Dikala ia berjalan agak jauh dan mulai mengunyahnya, ia tersadar bahwa kalau saja ia membeli sebuah apel, ia bakalan dapat bijinya dan boleh pulak memakannya. Bergegas balik ke saudagar apel tersebut, ia bertanya, 'Lae, apa lae gak tahu, kalo orang beli apelnya, bisa skalian makan bijinya, daripada beli bijinya aja?' Sang khoja tersenyum, dan berkata, 'Tuh kaan? Awak bilang juga apa, bosku jadi lebih pintar!'"

"Kedalaman kontemplasi bergantung, di atas segalanya, pada tingkat keimanan seseorang dan kedekatannya dengan Allah. Semakin kuat imannya, semakin mudah bagi mereka mengkontemplasikan wilayah kekuasaan Allah dan memunculkan perasaan cinta dan penghargaan yang sangat mulia kepada Penciptanya. Namun hal ini bersifat subyektif, yang semata diketahui oleh Allah dan orang-orang beriman itu sendiri," Kenanga meneruskan.
"Faktor kedua berkaitan dengan kepribadian orang beriman dan kemampuan bawaannya agar berkonsentrasi tanpa cepat lelah atau bosan. Kualitas ini, sebagian besar tergantung pada sifat sistem saraf yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
Beberapa penelitian psikologis dilakukan pada ekstrovert dan introvert, menunjukkan bahwa kekuatan konsentrasi memiliki dasar biologis dalam sistem saraf manusia dan terletak pada formasi retikuler dan sistem pengaktifan. Pada introvert, formasi retikuler memperbesar sinyal saraf yang dikirim oleh berbagai organ indera ke otak. Hasilnya, orang-orang ini, punya kemampuan berkonsentrasi yang lebih besar dan dapat melakukannya dalam jangka waktu yang lebih lama. Orang-orang seperti ini, merasa puas dengan rangsangan sensorik yang paling sedikit di lingkungannya; sehingga mereka cenderung lebih suka menyendiri dan mawas diri. Mereka umumnya tak tahan terhadap suara keras atau musik bernada tinggi, dan tak menyukai warna-warna cerah. Mereka lebih menyukai aktivitas yang tak mengharuskan mereka bergaul dengan orang lain dan berpartisipasi dalam aktivitas yang menyenangkan, seperti membaca sendirian, atau bekerja di taman, atau di perpustakaan. Mereka menikmati rutinitas pekerjaannya tanpa merasa bosan, dan cenderung berhati-hati dalam merencanakan urusan hidupnya. Dalam hubungan sosial, mereka pendiam, tak mengungkapkan rahasia mereka kecuali kepada segelintir teman terdekat mereka. Mereka jarang menunjukkan emosi yang meledak-ledak, atau bereaksi dengan sikap bermusuhan, marah, atau spontan. Hasil dari banyak percobaan telah mengkonfirmasi bahwa introvert dapat melakukan pekerjaan yang menuntut konsentrasi terus menerus dalam jangka waktu lama, dengan margin kesalahan yang kecil, yang disebabkan oleh hambatan dan kelelahan. Oleh sebab itu, kita dapat mengharapkan orang-orang seperti ini, mampu terlibat dalam aktivitas kognitif mendalam dalam jangka waktu yang relatif lama. Dan jika mereka juga orang yang beriman meditatif, mereka dapat melakukan kontemplasi mendalam terhadap ciptaan lebih lama dan lebih dalam dibanding orang lain.

Di sisi lain, ekstrovert mempunyai sistem saraf yang, formasi retikulernya, menghambat atau melemahkan sinyal saraf dan rangsangan, yang menuju ke pusat otak bagian atas. Karenanya, dan berbeda dengan tipe sebelumnya, orang-orang seperti ini, membutuhkan pengalaman yang intens dan mengasyikkan di lingkungan mereka guna menggantikan penghambatan pembentukan retikuler saraf mereka—setidaknya inilah yang diklaim oleh para pendukung teori ini. Mereka menyukai pertemuan publik, dan senang punya banyak teman, lantaran mereka sangat membutuhkan stimulan, perubahan suasana, dan percakapan terus-menerus. Mereka tak menyukai kesenyapan, enggan membaca, dan tak sabar dengan aktivitas rutin. Mereka sering berpindah rumah, berganti pekerjaan, makanan, teman, dan bahkan pasangan. Mereka tak menyembunyikan perasaannya, dan mereka bisa melakukan kekerasan. Mereka cepat marah, tapi cepat memaafkan, dan mereka lebih menyukai pekerjaan yang tak menuntut konsentrasi terus-menerus, atau berulang-ulang. Eksperimen laboratorium menunjukkan pula bahwa ekstrovert berbuat lebih banyak kesalahan dan mereka kurang berkonsentrasi dibanding introvert dalam berbagai aktivitas mental dan fisik. Jika hal ini benar, berdasarkan kondisi saraf mereka, orang-orang ini, mungkin kurang sabar dibandingkan orang lain dalam hal pemikiran dan aktivitas kognitif yang mendalam dan panjang, kendati keyakinan dan komitmen mereka mungkin sama. Namun meskipun kita menerima kenyataan bahwa introvert berada pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan ekstrovert dalam hal kontemplasi, hal ini tak secara otomatis berarti bahwa ekstrovert berderajat yang lebih rendah. Sesungguhnya, berdasarkan sistem saraf dan psikologisnya, mereka mungkin melampaui kaum introvert dalam upaya Islam yang menuntut bergaul dengan orang lain dan berteman atau berbicara di depan umum. Bagaimanapun juga, kebanyakan orang berada di antara introvert dan ekstrovert, dan jumlahnya secara bertahap menurun ke arah ekstrem.

Faktor ketiga yang mempengaruhi kedalaman kontemplasi adalah faktor psikologis. Sesungguhnya, kontemplasi membutuhkan ketenangan pikiran dan ketenteraman, serta kesehatan psikis dan fisik. Kesehatan fisik tak diragukan lagi penting bagi meningkatkan kedalaman kontemplasi. Memang benar bahwa orang sakit, orang gemuk yang makan berlebihan, atau orang yang menderita kecanduan narkoba, tak dapat meningkatkan status rohaninya ke tingkat kontemplasi yang tinggi.
Faktor keempat, pengaruh lingkungan terhadap orang beriman dan menyangkut bagaimana mereka menghadapi kebutuhan dan permasalahan hidup sehari-hari, serta sejauh mana kebutuhan tersebut dapat menghambat atau meningkatkan kemampuan mereka berkontemplasi.
Orang beriman yang dilanda kecemasan, depresi, obsesi, hipokondria, atau gangguan psikologis lainnya, tak dapat diharapkan berkontemplasi dengan konsentrasi tinggi. Neurotik mungkin dapat bermeditasi pada tingkat rendah, namun mereka yang menderita psikosis, gangguan mental, keterbelakangan mental yang akut, atau pikun, bahkan mungkin tak mampu melakukan hal tersebut. Maka, antara keadaan normal yang tenang dan psikosis yang kronis, terdapat derajat keadaan psikologis dan emosional, yang mempengaruhi kemampuan berkontemplasi sebanding dengan tingkat kelajatan setiap kasus.
Tiada keraguan bahwa bagi orang beriman yang kontemplatif, penyakit psikologis lebih merupakan beban daripada penyakit fisik. Banyak orang menyambut baik penyakit fisik karena mereka mengklaim bahwa penyakit tersebut dapat menjadi kesempatan merenung dan berkontemplasi lebih dalam, serta ibadah dan zikir yang lebih bermotivasi spiritual. Di sisi lain, kekhawatiran, kegelisahan, depresi, dan susah-hati, merupakan musuh bagi ketenangan, yang dibutuhkan oleh orang-orang beriman dalam kontemplasi: oleh karenanya, doa Rasulullah (ﷺ) dimana beliau (ﷺ) memohon perlindungan kepada Allah dari kecemasan, kesedihan, kelemahan dan kemalasan. Dalam praktik psikologi psikiatris dan klinis, kita akan temukan bahwa keadaan emosi ketika Rasulullah (ﷺ) meminta Allah melindungi beliau (ﷺ), bertujuan untuk menunjukkan gejala utama dari keadaan kecemasan dan depresi.

Faktor keempat adalah pengaruh lingkungan terhadap orang beriman dan menyangkut bagaimana mereka menghadapi kebutuhan dan permasalahan hidup sehari-hari, serta sejauh mana kebutuhan tersebut dapat menghambat atau meningkatkan kemampuan mereka berkontemplasi. Contoh, seorang Muslim yang beristri baik-hati dan berbakti, yang mengajar tafsir Al-Qur'an di universitas beberapa jam dalam seminggu, dan yang tinggal di negara yang menyediakan semua kebutuhan hidup nyaman, akan menemukan bahwa segala sesuatu di lingkungannya, mendorong ketekunan dalam kontemplasi dan perenungan. Sebaliknya, seorang mukmin yang harus bekerja berjam-jam lamanya di perusahaan swasta, menghabiskan sebagian besar waktunya di bidang akuntansi komersial dan tender pemerintah, kemudian menyelesaikan pekerjaannya yang melelahkan dengan mengantri panjang di depan toko roti dan pompa bensin untuk menyediakan kebutuhan. hidup bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang tak puas, pastilah takkan menemukan waktu atau ketenangan berkontemplasi yang mendalam—walaupun ia mungkin setara dengan orang lain dalam keyakinannya, dan serupa dengannya dalam kegelisahan dan watak psikologisnya.

Kelima, praktik mengasuh anak di beberapa kebudayaan, baik secara Islami maupun bukan, menanamkan dalam diri masyarakatnya, sejak usia dini, kecintaan dan penghargaan terhadap keindahan seni alam dan buatan. Orang dewasa yang tumbuh dalam budaya seperti ini, kemudian menghabiskan sebagian besar waktu dan uang mereka, menikmati dan merenungkan panorama yang indah atau membeli lukisan yang indah. Di sisi lain, terdapat budaya yang membesarkan masyarakatnya agar tertarik pada hal-hal atraktif selain kecantikan fisik wanita, dan boleh jadi, apresiasi terhadap puisi dan seni lokal.
Sayangnya, banyak masyarakat Muslim kita yang termasuk dalam kategori kedua. Dalam budaya seperti itu, beberapa orang berbakat yang menghargai keindahan alam dan dapat meluangkan waktu merenungkannya, mungkin kerap terlihat agak eksentrik di mata rekan-rekannya. Diharapkan bagi orang-orang yang berasal dari budaya yang mendorong apresiasi terhadap keindahan alam, akan menjadi kontemplator yang lebih baik dibanding mereka yang berasal dari budaya yang tak mendidik anak-anaknya agar mengagumi aspek estetika kehidupan. Kelompok terakhir inilah yang disinggung Al-Qur’an saat berbicara tentang keindahan ciptaan Allah dan perbedaan warna pada manusia, margasatwa, dan bebatuan.

Faktor keenam tergantung sejauh mana orang mengenal dan berpengetahuan terhadap objek perenungannya, sebab mereka akan lebih mudah memilih dan menghayati objek kontemplasi di lingkungan yang diketahuinya. Misal, jika dikau melihat ke langit dan merenungkan keindahannya yang mempesona, bentangannya, dan kerlap-kerlip bintangnya, orang beriman yang pakar dalam astronomi, akan melihat ke langit dan merenungkan apa yang dapat dan tak dapat dilihat oleh matanya. Mereka melihat di dalam gemerlap bintang-bintang yang tersebar, miliaran yang melontarkan bara-apinya di kedalaman antariksa; mereka melihat jutaan konstelasi yang berjarak jutaan tahun cahaya, bergerak saling menjauh dengan kecepatan dahsyat hingga 40.000 mil per detik. Ilmuwan seperti ini, melihat ke langit dan benar-benar menyadari bahwa alam semesta amatlah luas, dan dengan demikian mereka dapat memahami ayat Al-Qur’an,
وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ
'Langit Kami bangun 'biaidin' [secara harfiah berarti dengan 'tangan-tangan', dalam konteks ini dimaknai sebagai 'dengan kekuatan'], dan sesungguhnya, Kami benar-benar meluaskan(nya).' [QS. Az-Zariyat (51):47].
Mereka juga merasakan Keesaan Allah dalam kesatuan ciptaan-Nya. Mereka melihat kesatuan ini dalam elektron, proton, dan partikel sub-atom lainnya, yang membentuk unsur penyusun segala sesuatu di alam semesta ini.

Faktor lain yang mempengaruhi kedalaman kontemplasi adalah pertemanan. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
'Seseorang mengikuti dien khalilnya [teman akrab, sahabat, orang yang dipercaya]; maka, setiap orang hendaknya mempertimbangkan siapa yang dijadikan khalilnya.' [Sunan Abi Daud; Hasan menurut Al-Albani]
Teladan yang buruk merupakan cacat yang besar, teladan dan pertemanan yang baik, menjadikan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kedalaman kontemplasi orang beriman. Oleh karenanya, seorang murid dapat memperoleh banyak manfaat dari pergaulan dan identifikasinya dengan seseorang yang telah mencapai tingkat jiwa tenteram (an-nafsul mutma’innah) dalam pribadi pembimbing spiritualnya.

Faktor kedelapan yang mempengaruhi kedalaman perenungan ialah sifat objek perenungan dan meditasi. Kemudahan bagi manusia merenungkan penciptaan alam, semisal gunung, sungai, dan hutan, dengan memikirkan penemuan-penemuan manusia dan menghubungkannya dengan karunia Allah. Hal ini karena penemuan membutuhkan tingkat abstraksi yang lebih besar dibandingkan hal-hal alami. Terlebih lagi, beberapa fenomena alam langsung menstimulasi pemikiran dan perasaan yang kuat, mengguncang aspek psikologis dan spiritual hingga ke inti, dan membebankan diri pada qalbu dan pikirannya. Contoh, kilatan petir yang menyilaukan, gemuruh guruh yang memekakkan telinga, hujan lebat, atau deru angin—semuanya berdampak yang pasti pada jiwa manusia dan dapat dengan mudah mengarah pada perenungan tanpa usaha yang berhubungan dengan rasa takut kepada Allah. dan mengharapkan rahmat-Nya.

Saat dikau mengkontemplasikan alam-raya ini, engkau akan menemukan bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta ini dan segala yang ada di dalamnya termasuk ruang dan waktu. Setiap hari dalam sebulan dan setiap bulan dalam setahun, diciptakan-Nya berdasarkan Hikmah-Nya yang tak terbatas. Setiap menit dalam hidup seseorang, merupakan anugerah Ilahi yang patut dimanfaatkan untuk beroleh ridha Allah dan menjadikannya sebagai awalan menuju kehidupan yang lebih baik kelak di akhirat. Dari sudut pandang ini, semua hari dan bulan itu, sama. Tiada yang tak berguna, pembawa sial, atau sama sekali tak berkesucian.
Akan tetapi, Allah telah memberikan kekeramatan khusus pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu dalam artian bahwa ada aturan-aturan khusus yang ditetapkan agar ditaati, atau pahala amal shalih ditambahkan pada hari-hari atau bulan-bulan tersebut. Oleh karenanya, setiap Muslim berkewajiban mengetahui aturan-aturan tertentu, yang ditentukan bagi hari-hari dan bulan-bulan istimewa ini, dan keutamaan khas, yang terkait dengannya.

Kalender Islam merupakan kalender lunar yang terdiri dari 12 bulan lunar dalam satu tahun berisi 354 atau 355 hari. Kalender ini menyebutkan era Hijriah yang masanya ditetapkan sebagai Tahun Baru Islam pada tahun 622 Masehi. Kalender Hijriah dipandang sebagai perkembangan yang membawa dampak budaya besar. Orang pertama yang memperkenalkan sistem ini adalah 'Umar bin al-Khattab (رضي الله عنه). Ada beberapa riwayat yang membicarakan tentang latar belakangnya.
Dr. 'Ali Muhammad as-Sallabi menulis bahwa Maimun bin Mahh menuturkan, 'Sebuah dokumen bertanggalkan bulan Syaban dibawah ke 'Umar, dan ia berkata, 'Apakah ini Syaban tahun lalu, atau Syaban tahun yang akan datang, atau Syaban di masa kita sekarang?' Lalu ia (رضي الله عنه), mengumpulkan para Sahabat dan berkata kepada mereka, 'Siapkanlah sesuatu bagi orang-orang yang dapat mereka rujuk.'
Kebebasan dilindungi dan dijamin pada masa Khulafaur Rasyidin, namun kebebasan juga punya batasan dan larangan. Lantaran itulah masyarakat dapat berkembang dan maju. Kebebasan merupakan hak dasar bagi individu dan masyarakat, yang melaluinya, mereka sadar-diri dan memenuhi potensinya. Jika kebebasan dirampas dari suatu masyarakat, maka hal-hal mendasar yang teramat penting, terenggut, dan mereka seolah telah mati.
Kebebasan dalam Islam memancarkan pancaran cahaya yang menyadarkan manusia akan hubungannya dengan Allah, dan melalui hubungan tersebut, manusia dapat naik ke tingkat keluhuran-budi. Ia termotivasi dalam beramal-shalih dan bersegera mencari keridhaan Rabb langit dan bumi. Kebebasan merupakan salah satu fondasi masyarakat Muslim yang diwujudkan pada masa Khulafaur Rasyidin dalam bentuk yang amat mulia, sebuah teladan cemerlang, yang tercermin sepanjang sejarah.
Maka, ada yang menyarankan agar menggunakan kalender Bizantium (Romawi), tetapi disebutkan bahwa kalender tersebut terlalu jauh karena berasal dari zaman Alexander III dari Makedonia. Yang lain menyarankan memakai kalender Persia, namun mereka mengatakan bahwa setiap kali ada raja baru yang bertakhta, ia menghapuskan kalender yang sudah ada sebelumnya. Lalu mereka sepakat menelaah berapa lama Rasulullah (ﷺ) menetap di Madinah, dan mereka mengetahui bahwa beliau (ﷺ) telah tinggal di sana selama sepuluh tahun, maka mereka mendasarkan kalendernya pada Hijrah Rasulullah (ﷺ).

Diriwayatkan bahwa 'Utsman bin 'Ubaidullah' berkata bahwa ia mendengar Sa'id bin al-Musayyib berkata, ''Umar bin al-Khattab mengumpulkan kaum Muhajirin dan Ansar, lalu berkata, 'Dari kapan kita harus menentukan tanggal sejarah kita?' 'Ali bin Abi Thalib (رضي الله عنه) berkata kepadanya, 'Sejak Rasulullah (ﷺ) keluar dari negeri syirik' yaitu, sejak hari beliau hijrah. Maka 'Umar mengambil tanggal tersebut sebagai permulaan kalender.'
Dan diriwayatkan bahwa Sa'id bin al-Musayyib berkata, 'Orang pertama yang menetapkan kalender adalah 'Umar bin al-Khattab, dua setengah tahun setelah masa kekhalifahannya. Ia sampai pada keputusan itu melalui konsultasi dengan 'Ali bin Abi Thalib'.
Abu az-Zanad berkata, ''Umar bermusyawarah dengan yang lain mengenai kalender, dan mereka menyepakati Hijrah.'

Ibnu Hajar menuturkan alasan mengapa mereka memilih Muharram sebagai awal penanggalan dan bukan Rabiul Awal, bulan dimana Rasulullah (ﷺ) sebenarnya hijrah: Para Sahabat yang menasihati 'Umar, menyarankan empat peristiwa yang dapat dijadikan sebagai titik awal bulan kalender: kelahiran Rasulullah (ﷺ), awal perutusan beliau (ﷺ), hijrah beliau (ﷺ), dan wafat beliau (ﷺ). Namun mereka menemukan adanya perselisihan mengenai tahun kelahirannya dan awal perutusannya, dan mereka meninggalkan gagasan menentukan penanggalan kalender terhitung mulai kematian beliau sebab hal itu akan menimbulkan duka dan kesedihan di kalangan umat Islam. Maka, tiada pilihan lain selain hijrah. Dan mereka mengembalikannya dari Rabiul Awal ke Muharram karena tekad awal hijrah datang pada bulan Muharram. Ikrar al-'Aqabah yang kedua, yang merupakan pendahulu Hijrah, terjadi di Dzulhijjah; Bulan baru pertama yang dimulai setelah ikrar dan tekad hijrah itu adalah Muharram, sehingga sangat tepat bila bulan ini dipilih sebagai permulaan penanggalan. Kemudian Ibnu Hajar berkata, ‘Inilah peristiwa yang amat tepat bila dianggap sebagai permulaan, yang terjadi pada bulan Muharram.

Melalui peristiwa administratif penting tersebut, 'Umar punya andil dalam terwujudnya persatuan di seluruh Jazirah Arab, berdasarkan persatuan agama, persatuan bangsa tanpa adanya pembedaan kelas, dan satunya tujuan dengan adanya satu penanggalan.
‘Umar-lah orang pertama yang diberi gelar Amirul Mukminin. Dikala Abu Bakar (رضي الله عنه), yang selama ini dikenal sebagai Khalifah Rasulullah (Penerus Rasulullah) mangkat, umat Islam berkata, 'Siapa pun yang datang setelah 'Umar, maka ia akan dikenal sebagai Penerus Rasulullah (ﷺ), dan itu akan terlalu bertele-tele; marilah kita menyepakati sebuah gelar yang dapat diberikan kepada khalifah, yang dengannya khalifah-khalifah berikutnya dapat disapa.' Beberapa sahabat berkata, 'Kita adalah orang-orang yang beriman (al-Mu'minin) dan 'Umar itu pemimpin kita (Amir).' Maka, dengan bermusyawarah, para Sahabatlah yang memberi gelar tersebut.
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa 'Umar bin 'Abdul Aziz bertanya kepada Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Khaithamah, 'Mengapa Abu Bakar sering menulis, 'Dari Abu Bakar, Penerus Rasulullah (ﷺ),' sedangkan 'Umar (&) kerap menulis, 'Dari 'Umar bin al-Khattab, Penerus Abu Bakar? Siapakah orang pertama yang menulis "Dari Amirul Mukminin?' Ia berkata, 'Nenekku Asy-Syifa', yang merupakan salah satu wanita pertama yang berhijrah, dan ketika 'Umar pergi ke pasar, ia pernah mengunjunginya, menceritakan kepadaku bahwa 'Umar bin al-Khattab menulis surat kepada seorang gubernur di Irak. berkata, 'Kirimkan kepadaku dua orang terhormat dan kuat agar aku dapat bertanya kepada mereka tentang Irak dan rakyatnya.' Gubernur Irak mengutus Labid bin Rabi'ah dan 'Adiy bin Hatim. Mereka datang ke Madinah dan turun dari kudanya di halaman masjid, kemudian mereka memasuki masjid, di sana mereka menemukan 'Amr bin al-As (رضي الله عنه). Mereka berkata kepadanya, 'Duhai Amr, mohon ijin bagi kami masuk dan menemui Amirul Mukminin.' 'Amr masuk dan berkata, 'Salam sejahtera bagimu, wahai Amirul Mukminin.' 'Umar berkata kepadanya, 'Mengapa engkau memanggilku dengan nama itu, wahai putra al-'As? Sampaikan padaku darimana engkau mendapatkan kata-kata itu.' Ia berkata, 'Labid bin Rabi'ah dan 'Adiy bin Hatim datang dan berkata, 'Mintalah izin bagi kami masuk dan bertemu dengan Amirul Mukminin,' dan aku berkata, 'Demi Allah, nama yang engkau bawakan itu benar, karena ia pemimpin dan kita orang-orang yang beriman.' Dan sejak hari itu, nama ini digunakan dalam seluruh surat-menyurat.' Menurut riwayat lain, 'Umar berkata, 'Kalian orang-orang beriman dan aku pemimpin kalian,' maka ia memberikan gelar ini pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab orang pertama yang disebut Amirul Mukminin, dan sebelum dirinya, tiada seorang pun yang melakukannya. Jika para peneliti mempelajari perkataan para Sahabat (رضي الله عنهم), maka ia akan melihat bahwa mereka semua bersepakat atas gelar ini, sehingga gelar ini menjadi masyhur di seluruh wilayah pada masa pemerintahannya.

'Kalender Arab', kata F.A. Shamsi, adalah kalender lunisolar, yang merupakan kalender embolismik umat Islam sampai tahun 8 H/630 M dan tetap populer di kalangan kaum pagan secara resmi sampai tahun 8 H/631 M dan bahwa tanggal-tanggal beberapa peristiwa dalam kehidupan Rasulullah (ﷺ) sebagaimana dicatat oleh para cendekiawan Muslim awal termasuk dalam kalender lunisolar dan bukan kalender lunar yang digunakan di kalangan umat Islam (yaitu kalender Hijriah). Namun apa sebenarnya sifat kalender itu, kita tak mengetahui tingkat kepastiannya. Satu-satunya penulis awal yang kompeten yang diketahui pernah membahas topik ini adalah Abul Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (362/973-ca. 443/1051). Kalender Arab ini, tak sama dengan Kalender Hijriah
Muharram adalah bulan dimana umat Islam memulai Kalender Hijriah lunar mereka. Rasulullah (ﷺ) dalam khotbah beliau (ﷺ) pada kesempatan haji terakhirnya, telah menyatakan,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
'Zaman berputar seperti hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari 12 bulan, di antaranya 4 bulan Haram, tiga bulan berurutan, Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram. Adapun Rajab yang juga merupakan bulannya kaum Mudhr, berada di antara Jumadil Akhir dan Syaban." [Sahih Al-Bukhari]
Penyebutan empat bulan tersebut secara spesifik bukan berarti bulan lainnya tiada kesuciannya, karena memang bulan Ramadhan adalah bulan yang tersuci dalam setahun. Namun empat bulan ini, secara khusus disebut sebagai bulan haram karena alasan sederhana bahwa kekeramatannya diterima bahkan oleh orang-orang kafir di Makkah. Tujuan dari tradisi tersebut adalah agar pera pelaksana Haji, pedagang, dan lainnya dapat pergi ke pasar atau tempat ibadah dan kembali ke rumah dengan selamat. Sepanjang empat bulan dalam kalender Islam itu, perang dianggap terlarang kecuali sebagai respons terhadap agresi.

Sebelum lanjut dengan bulan Muharram dan bulan-bulan berikutnya, topik 'Perang' akan jadi perbincangan kita pada episode selanjutnya, bi idznillah."

Kenanga seketika bersenandung,

Di sudut sana, banyak orang kehilangan
Sudut lainnya, bayi bertanya bimbang,
'Mama, kapan Ayah pulang?'
'Mama, sebab apa Perang?
Mayat-mayat bergeletakan, tak terkubur dengan layak
Dan burung-burung bangkai menatap liar
Dan burung-burung bangkai berdansa senang *)
Kutipan & Rujukan:
- Al-Hafiz Ibn Rajab al-Hanbali, rahimahullah, The Islamic Months: A Detailed Treatise on the Merits, Virtues and Practices for the Months of the Islamic Year, Translated by Mahomed Mahomedy, 1971, Dap Al-Kotob Al-Ilmiyah Beirut
- Dr. 'Ali Muhammad as-Sallabi, 'Umar Ibn Al-Khattab: His Life & Times, Volume One, translated by Nasiruddin Al-Khattab, 20019, International Islamic Publishing House (IIPH)
- F. A. Shamsi, Perceval's Reconstruction of The Pre-Islamic Arab Calendar, Islamic Studies, Vol. 37, No. 3 (Autumn 1998), pp. 353-369, International Islamic University Islamabad
*) "Puing" karya Virgiawan Listanto
[Episode 5]
[Episode 3]