Senin, 22 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (6)

"Di persidangan, hakim bertanya kepada terdakwa, 'Anda mengatakan bahwa Anda benar-benar menodongkan pistol ke arahnya, namun Anda tidak menembak. Kenapa?'
'Begini Yang Mulia,' jawab tertuduh, 'sewaktu saya menodongkan pistol ke arahnya, ia bilang, 'Mau gak, pestol loe itu gua beli?'
Sekarang, saya bertanya kepada Yang Mulia, bolehkah saya membunuh seseorang, yang lagi nawarin bisnis?'"

“Mendefinisikan perang itu, kurang lebih tentang apa yang dikecualikan dan apa yang termasuk di dalamnya. Perang merupakan salah satu bentuk kekerasan, namun ada banyak bentuk kekerasan yang tak lazim digolongkan sebagai perang. Perang adalah bentuk kekerasan spesifik, yang terutama ditentukan berdasarkan sifat politiknya. Ia dapat menjadi tantangan nyata bagi komunitas politik, meskipun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang berperang atau mengarahkan upaya perang,” Kenanga meneruskan sambil menatap Senja di ufuk, waktu antara siang dan malam. Usai matahari terbenam, ada masa dimana langit berangsur-angsur gelap.

"Perang terjadi ketika ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata terhadap lawan ditanggapi dengan respons bersenjata. Ia merupakan aktivitas yang disepakati secara sosial, meskipun alasan untuk melakukan perang, telah berubah seiring berjalannya waktu dan diterima (setidaknya oleh mereka yang mengobarkannya) sebagai kegiatan yang legal, kendati banyak hal yang dilakukan dalam perang, melanggar norma-norma sosial di masa damai. Perang biasanya dibedakan dari kehidupan sehari-hari–masa damai– meskipun apa yang membedakan keduanya telah berubah seiring sejarah, serta ia memerlukan sosialisasi kordinasi yang penting dalam hal pengorganisasian dan perencanaan, walaupun keraguan dan disorganisasi telah menjadi ciri khas konflik sepanjang sejarah.
Perang itu, pembunuhan massal, kata Ian Morris, namun mungkin, dalam paradoks terbesar dalam sejarah, perang tetap menjadi musuh terburuk bagi pengurus pemakaman. Perang bukanlah kawan bagi pengurus jenazah. Perang bermanfaat: dalam jangka panjang, perang telah membuat umat manusia lebih aman dan kaya. Perang itu, neraka, namun—sekali lagi, dalam jangka panjang—alternatifnya akan lebih buruk. Kedengarannya seperti klaim yang kontroversial, namun Morris menjelaskan.

Dengan berperang, masyarakat telah membangun masyarakat yang lebih besar dan terorganisir sehingga mengurangi risiko kematian akibat kekerasan di antara anggotanya. Pengamatan ini bertumpu pada salah satu temuan utama para arkeolog dan antropolog selama satu abad terakhir, bahwa masyarakat Zaman Batu, pada umumnya berukuran kecil. Terutama karena tantangan dalam mencari makanan, orang-orang menetap dalam kelompok yang terdiri dari beberapa lusin orang, desa yang terdiri dari beberapa ratus orang, atau (sangat jarang) kota yang berpenduduk beberapa ribu orang. Komunitas-komunitas ini, tak memerlukan banyak organisasi internal dan cenderung hidup dalam kecurigaan atau bahkan permusuhan dengan pihak luar.
Masyarakat pada umumnya menyelesaikan perbedaan mereka dengan damai, namun jika seseorang memutuskan menggunakan kekerasan, maka hambatan terhadap dirinya, jauh lebih sedikit dibanding yang biasa dialami oleh warga negara modern. Sebagian besar pembunuhan terjadi dalam skala kecil, karena balas dendam dan penggerebekan yang tiada henti, meskipun kadangkala kekerasan bisa sangat mengganggu seluruh kelompok atau desa, sehingga penyakit dan kelaparan memusnahkan seluruh anggotanya. Akan tetapi, lantaran populasinya juga kecil, kekerasan tingkat rendah yang terus menerus, menimbulkan korban yang sangat besar. Berdasarkan perkiraan, sebagian besar, 10 hingga 20 persen dari seluruh orang yang hidup dalam masyarakat Zaman Batu, mati di tangan manusia lain.

Abad ke-20 menunjukkan perbedaan yang tajam. Terjadi dua perang dunia, serangkaian genosida, dan kelaparan yang disebabkan oleh pemerintah, yang menewaskan antara 100 juta dan 200 juta orang. Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki menewaskan lebih dari 150.000 orang—mungkin lebih banyak daripada jumlah orang yang hidup di seluruh dunia pada tahun 50.000 SM. Namun pada tahun 1945, terdapat sekitar 2,5 miliar orang di bumi, dan selama abad ke-20, terdapat sekitar 10 miliar nyawa yang hidup—yang berarti bahwa 100-200 juta kematian akibat perang pada abad ini hanya menambah 1 hingga 2 persen dari populasi planet kita. Jika engkau cukup beruntung dilahirkan di abad ke-20, yang merupakan negara industri maju, maka rata-rata, dirimu sepuluh kali lebih kecil kemungkinan meninggal karena kekerasan (atau akibat kekerasan) dibanding jika dikau dilahirkan dalam masyarakat Zaman Batu.
Mungkin statistik ini, mengejutkan, namun penjelasannya lebih membagongkan. Apa yang membuat dunia jauh lebih aman ialah perang itu sendiri. Dimulai sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu di beberapa bagian dunia, kemudian menyebar ke seluruh dunia, para pemenang perang memasukkan pihak yang kalah ke dalam masyarakat yang lebih besar. Satu-satunya cara agar masyarakat yang lebih besar ini dapat berfungsi adalah dengan membuat para penguasanya mengembangkan pemerintahan yang lebih kuat, dan salah satu hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan tersebut, jika hendak tetap berkuasa, ialah dengan membenamkan kekerasan ke dalam masyarakat.
Orang-orang yang menjalankan pemerintahan ini, hampir tak pernah menerapkan kebijakan perdamaian semata-mata karena kebaikan hati mereka. Mereka menindak pembunuhan karena rakyat yang berkelakuan baik lebih mudah diatur dan dikenai pajak ketimbang rakyat yang pemarah dan suka membunuh. Namun, akibat yang tak diharapkan adalah angka kematian akibat kekerasan turun sebesar 90 persen antara zaman Batu dan abad ke-20.
Prosesnya gak cakep. Entah itu orang Romawi di Inggris atau orang Inggris di India, para pembawa perdamaian bisa sama brutalnya dengan kebiadaban yang mereka basmi. Prosesnya juga gak mulus: dalam waktu singkat di tempat-tempat tertentu, kematian akibat kekerasan dapat melonjak hingga ke tingkat Zaman Batu. Antara tahun 1914 dan 1918, misalnya, hampir satu dari enam orang Serbia meninggal karena kekerasan, penyakit, atau kelaparan. Dan, tentu saja, tak semua pemerintahan berkemampuan yang sama dalam mewujudkan perdamaian. Demokrasi mungkin berantakan, tapi mereka jarang menelantarkan anak-anak mereka; pemerintahan diktator menyelesaikan segala sesuatunya, namun mereka cenderung menembak, membuat kelaparan, dan membasmi dengan gas pada banyak orang. Namun terlepas dari semua variasi, kualifikasi, dan pengecualian, dalam jangka waktu sepuluh ribu tahun, perang memunculkan negara, dan negara membangun perdamaian.

Selain membuat masyarakat lebih aman, menurut Morris, masyarakat yang lebih luas yang tercipta akibat perang—sekali lagi, dalam jangka panjang—juga membuat kita semakin kaya. Perdamaian membangun kondisi untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup. Proses ini juga berantakan dan tak seimbang: para pemenang perang sering melakukan pemerkosaan dan penjarahan, menjual ribuan orang yang selamat sebagai budak dan menggarong lahan mereka. Pihak yang dirugikan, mungkin akan menjadi miskin selama beberapa generasi. Bisnis inilah yang buruk dan mengerikan. Namun, seiring berjalannya waktu—mungkin berpuluh-puluh tahun, mungkin berabad-abad—terbangunnya masyarakat yang lebih besar, cenderung membuat semua orang, baik keturunan pemenang maupun yang kalah, menjadi lebih baik. Pola jangka panjangnya, sekali lagi tak salah. Dengan membuat masyarakat yang lebih besar, pemerintahan yang lebih kuat, dan keamanan yang lebih baik, perang telah memperkaya dunia.
Jadi, perang telah menghasilkan, kata Morris, masyarakat yang lebih besar, yang dipimpin oleh pemerintahan yang lebih kuat, yang memaksakan perdamaian dan menimbulkan prasyarat bagi kemakmuran. Sepuluh ribu tahun yang lalu, hanya ada sekitar enam juta orang di bumi. Rata-rata, mereka hidup sekitar tiga puluh tahun dan menghidupi diri mereka sendiri dengan penghasilan kurang dari dua dolar Amerika modern per hari. Saat ini, jumlah penduduk kita seribu kali lebih banyak (bahkan tujuh miliar), yang hidup dua kali lebih lama (rata-rata global adalah enam puluh tujuh tahun) dan berpenghasilan belasan kali lebih banyak (saat ini rata-rata global adalah $25 per hari).

Morris menambahkan bahwa perang memang membawa dampak baik—saking baiknya sehingga perang kini membuat dirinya gulung-tikar. Selama ribuan tahun, perang (dalam jangka panjang) telah membangun perdamaian, dan kehancuran telah membuat kekayaan, namun di zaman kita ini, umat manusia telah amat mahir dalam berperang—senjata kita sangat merusak, organisasi kita sangat efisien—sehingga perang mulai memperburuk keadaan. perang seperti ini, mustahil terjadi.
Kita manusia telah terbukti sangat baik dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Kita pernah berperang dalam jumlah yang tak terhitung jumlahnya di masa lalu, sebab peperangan membuahkan hasil, namun pada abad ke-20, ketika dampak kekerasan menurun, kita menemukan cara menyelesaikan permasalahan kita tanpa menimbulkan Armageddon. Tentu saja, tiada jaminan, menurut Morris, namun ada kecenderungan menghargai perilaku paradoks dan mengalahkan tindakan logis, sehingga berbuah hasil yang ironis.
Segala sesuatu tentang perang bersifat paradoks. Dalam perang, paradoks semakin berlanjut. Menurut Basil Liddell Hart, salah satu pendiri taktik tank abad ke-20, intinya ialah 'perang selalu berarti melakukan kejahatan dengan harapan akan menghasilkan kebaikan.' Dari perang muncullah perdamaian; dari kerugian, ada keuntungan. Perang membawa kita melewati kaca pembesar, ke dalam dunia yang kacau-balau dan jungkir-balik, dimana segala sesuatunya tak seperti apa yang terlihat. Morris menggunakan proposisi 'the lesser-evil' dalam argumennya, salah satu bentuk paradoks klasik. Sangat mudah membuat daftar semua dampak buruk perang, dengan pembunuhan berada di urutan teratas. Namun perang, dalam pandangan Morris, tetap menjadi 'the lesser evil', sebab sejarah menunjukkan bahwa perang tak seburuk alternatif lain—kekerasan yang terus-menerus terjadi setiap hari seperti Zaman Batu, yang merenggut banyak nyawa dan membawa kita ke alam kefakiran.

Menurut Francis Bacon, ada tiga hal baru yang membawa modernitas: bubuk mesiu, navigasi laut, dan mesin cetak. Dan jika faktor pertama berhubungan langsung dengan perang, maka dua faktor lainnya, berdampak yang sama besarnya. Sejarawan teknologi dan ekonomi, kata Azar Gat, telah mengungkapkan kemajuan yang terus-menerus dalam teknik pertanian, pemanfaatan kuda, pekerjaan besi, dan pertambangan, munculnya dan penyebaran kincir air dan kincir angin, kompas, dan layar segitiga, serta kemajuan dalam bidang teknologi pembendungan air dan pembangunan kanal—semuanya menghasilkan pertumbuhan produktivitas dan populasi yang berkelanjutan di seluruh daratan.
Kekuatan militer merupakan komponen kunci kekuasaan negara. Namun terlepas dari semua perhatian yang diberikan negarawan, tentara, dan cendekiawan terhadap kekuatan militer, konsep ini masih tetap longgar, kata John A. Gentry. Suatu aktor mempunyai kekuatan militer jika aktor tersebut, pertama, secara akurat mengidentifikasi kerentanan yang dapat dieksploitasi pada musuh, sasaran dalam dimensi apa pun, dan kedua, berhasil mengeksploitasi satu atau lebih kerentanan kritis target, yang menyebabkan kekalahan fisik militer atau gangguan kekuatan proses produksi, yang mengarah pada keputusan tak melakukan atau menghentikan pertempuran, sehingga menimbulkan perdebatan.

Kekayaan biasanya diperlukan untuk menopang kekuatan militer, dan kekuatan militer biasanya diperlukan memperoleh dan melindungi kekayaan, kata Paul Kennedy. Namun, jika terlalu banyak sumber daya negara yang dialihkan memperoleh kekayaan dan dialokasikan bagi keperluan militer, maka kemungkinan besar akan menyebabkan melemahnya kekuatan nasional dalam jangka panjang. Dengan cara yang sama, jika suatu negara melakukan ekspansi strategis secara berlebihan—misalnya dengan penaklukan wilayah yang luas atau melancarkan perang yang memakan banyak biaya—hal ini akan menimbulkan risiko bahwa manfaat potensial dari ekspansi eksternal mungkin tak sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan ekspansi tersebut—sebuah dilema yang menjadi akut jika negara yang bersangkutan telah memasuki masa relatif kemunduran ekonomi. Sejarah kebangkitan dan kemudian kejatuhan negara-negara utama dalam sistem Kekuatan Besar sejak kemajuan Eropa Barat pada abad keenam belas—yakni negara-negara seperti Spanyol, Belanda, Perancis, Kerajaan Inggris, dan saat ini Amerika Serikat Negara—menunjukkan korelasi yang sangat signifikan dalam jangka panjang, antara kapasitas produktif dan peningkatan pendapatan di satu sisi, dan kekuatan militer di sisi lain.
Menurut Kennedy, kekuatan relatif negara-negara terkemuka dalam urusan dunia, tak pernah tetap, terutama oleh tingkat pertumbuhan yang tak merata di antara masyarakat yang berbeda, dan oleh terobosan teknologi dan organisasi yang membawa keuntungan lebih besar bagi suatu masyarakat dibanding masyarakat lainnya. Misalnya, kedatangan kapal layar bersenjata jarak jauh dan kebangkitan perdagangan Atlantik setelah tahun 1500, tak memberikan manfaat yang sama bagi semua negara di Eropa—justru memberikan keuntungan yang lebih besar bagi beberapa negara dibandingkan negara lainnya. Dengan cara yang sama, perkembangan tenaga uap serta sumber daya batubara dan logam, yang menjadi andalan negara tersebut secara besar-besaran meningkatkan kekuatan relatif suatu negara, dan dengan demikian menurunkan kekuatan relatif negara-negara lain. Tatkala kapasitas produktifnya ditingkatkan, negara-negara biasanya akan merasa lebih mudah menanggung beban pembayaran persenjataan skala besar di masa damai dan mempertahankan serta memasok pasukan dan armada dalam jumlah besar di masa perang.

KIta cukupkan dulu percakapan kita tentang perang, pada episode berikut, kita lanjutkan dengan topik Kalender Islam, bi 'idznillah."

Lalu, Kenanga bersenandung,

Oh! There is fire in the air that I'm breathing
[Duhai! Ada nyala-api di udara yang kuhirup]
There is blood where the battles rage
[Ada darah dimana pertempuran berkecamuk]
These are faces I will not remember
[Inilah rupa-wajah yang takkan kuingat]
Will I fight for the Queen or the Slave? *)
[Akankah kuberjuang demi sang Rani atau sang Kawula?]
A treacherous part to play with our heart of courage *)
[Bagian berbahaya bila dimainkan dengan keberanian hati kita]
Kutipan & Rujukan:
- Azar Gat, War In Human Civilization, 2006, Oxford University Press
- John A. Gentry, How Wars Are Won and Lost: Vulnerability and Military Power, 2012, Praeger
- Paul Kennedy, The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500 to 2000, 1989, Vintage Books
- Ian Morris, War: What Is It Good For?, 2014, Profile Books
*) "Battleborne" karya Nick Phoenix & Thomas Bergersen