Rabu, 17 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (3)

“Seorang guru sains bertanya kepada salah seorang muridnya, 'Apa beda antara listrik dan petir?'
'Kita gak perlu 'mbayar petirnya,' jawab sang murid."

"Filsuf Prancis abad ke-16, René Descartes, mencetuskan ungkapan masyhurnya, 'dubito ergo cogito; cogito ergo sum' ('Daku ragu, karenanya diriku berpikir; diriku berpikir, karenanya daku ada'). Descartes menjalani proses mental yang meragukan keberadaan segala sesuatu, guna membuktikan keberadaan segala sesuatu itu. Melalui proses keragu-raguannya, Descartes membuktikan keberadaan dirinya di dunia. Meragukan sesuatu itu, suatu kemampuan mental yang ampuh, sebab kita bisa meragukan—kita ada! Namun, jika digunakan secara ekstrem, skeptisisme tidaklah produktif dan menghasilkan pemikiran yang tak kritis,” lanjut Kenanga.

"A. R. Codling berpendapat bahwa Universitas merupakan tempat penting guna melatih dan mengembangkan benak keingintahuan. Universitas adalah lembaga pembelajaran pendidikan tinggi yang diberikan kewenangan pemberian gelar oleh pemerintah. Kata 'universitas' berasal dari frasa Latin universitas magistorum et Scholarium (yang bermakna 'komunitas guru dan cendekiawan'). Di Eropa, HE didirikan pada abad ke-enam di sekolah-sekolah katedral Kristen, tempat para biarawan dan biarawati mengajar di kelas. Universitas-universitas pertama di Eropa ialah Universitas Bologna (Italia, 1088), Universitas Paris (Prancis, 1150), dan Universitas Oxford (Inggris, 1167). Di Inggris, usai perselisihan antara mahasiswa dan penduduk Oxford pada tahun 1209, beberapa akademisi menghindar dari kekerasan ke Cambridge, lalu mendirikan Universitas Cambridge (Cambridge, 1209); dengan demikian, Oxbridge didirikan.
Pendekatan Akademik dinamai dari universitas pertama yang didirikan Plato. Sarana utama pengajarannya ialah kuliah, sebuah kegiatan satu arah dimana para profesor secara lisan menyampaikan unsur-unsur keahlian mereka kepada audiens yang sepenuhnya pasif.

Dalam bahasa Arab modern, 'madrasah' atau 'madrasa' [berasal dari akar kata Semit triconsonantal د-ر-س D-R-S 'belajar, kajian', menggunakan bentuk atau templat morfologi مفعل(ة); mafʻal(ah), maknanya 'tempat dilakukannya sesuatu'. Dengan demikian, madrasah secara harafiah berarti 'tempat di mana belajar dan mengaji berlangsung' atau 'tempat belajar'] secara umum menunjukkan lembaga pendidikan apa pun, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, sehingga setiap sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atau sekolah menengah atas sekuler di tempat seperti Kairo, disebut madrasah. Oleh karenanya, kata benda 'madrasa' dapat pula bermakna sekolah modern, perguruan tinggi, atau akademi tempat pembelajaran dan kuliah tentang berbagai mata pelajaran yang ditujukan kepada para siswa.
Pada awal sejarah periode Islam, pengajaran pada umumnya dilakukan di masjid-masjid, bukan di lembaga-lembaga khusus yang terpisah. Masjid selain sebagai tempat ibadah, juga dimanfaatkan sebagai tempat transaksi bisnis masyarakat. Ia merupakan pusat dari sebagian besar kehidupan sosial dan budaya kota. Bersamaan dengan itu, terjadi pula pertukaran informasi dan pembelajaran. Karena masjid tempat permulaan wacana keagamaan di dunia Islam, maka madrasah-madrasah menjadi lebih umum.
Walau beberapa masjid besar awal seperti Masjid Agung Damaskus atau Masjid Amr bin al-As di Kairo beruangan terpisah, yang dikhususkan bagi pengajaran, perbedaan antara 'masjid' dan 'madrasah' tak terlalu terlihat. Khususnya, al-Qarawiyyin (Jāmiʻat al-Qarawīyīn), yang didirikan pada tahun 859 di kota Fes, sekarang Maroko, dipandang sebagai universitas tertua di dunia oleh beberapa ulama, meskipun penerapan istilah 'universitas' pada institusi dunia Islam abad pertengahan masih diperdebatkan. Menurut riwayatnya, masjid al-Qarawiyyin didirikan oleh Faṭimah al-Fihri, putri seorang saudagar kaya bernama Muḥammad al-Fihri. Ia lalu diikuti dengan pendirian Masjid al-Azhar pada masa Dinasti Fatimiyah pada tahun 969–970 di Kairo, awalnya sebagai pusat penyebaran ajaran Isma'ili, yang kemudian menjadi lembaga Sunni di bawah pemerintahan Ayyubiyah (sekarang Universitas Al-Azhar). Pada tahun 900an M, Madrasah tercatat telah menjadi sistem pendidikan tinggi yang sukses.

Di dunia Islam abad pertengahan, sekolah dasar (bagi anak-anak atau mereka yang belajar membaca) dikenal sebagai 'kuttāb' atau maktab, sepertinya sudah tersebar luas pada awal periode Abbasiyah (abad ke-8-9). Ibnu Sina menulis bahwa anak-anak seyogyanya disekolahkan di sekolah maktab sejak usia 6 tahun dan diajari pendidikan dasar sampai mereka mencapai usia 14 tahun. Selama itu, tulisnya, mereka hendaknya diajari Al-Qur'an, metafisika Islam, bahasa Arab, sastra, etika Islam, dan keterampilan manual (yang dapat merujuk pada berbagai keterampilan praktis).
Ibnu Sina mengacu pada tahap pendidikan menengah sekolah maktab sebagai periode spesialisasi disaat siswa harus mulai memperoleh keterampilan manual, terlepas dari status sosial mereka. Ia menuliskan bahwa anak-anak setelah usia 14 tahun, hendaklah dibolehkan memilih dan mengambil spesialisasi dalam mata pelajaran yang mereka minati, baik itu membaca, keterampilan manual, sastra, khotbah, kedokteran, geometri, pertukaran dan perdagangan, keahlian, maupun mata pelajaran lainnya, atau profesi yang hendak mereka kejar bagi karier masa depan.
Ijazatul tadras wal-iftaʼ ('izin mengajar dan mengeluarkan pendapat hukum') dalam sistem pendidikan hukum Islam abad pertengahan, bermula pada abad kesembilan usai terbentuknya madzahib (mazhab yurisprudensi). George Makdisi memandang ijazah sebagai asal-muasal gelar doktor Eropa. Terma Arab ijazatul tadris diberikan kepada ulama Islam yang memenuhi syarat mengajar. Menurut Makdisi, gelar Latin licentia docendi, 'lisensi mengajar', di universitas Eropa, beoleh jadi merupakan terjemahan dari bahasa Arab, namun konsep dasarnya sangat berbeda. Perbedaan signifikan antara ijazatul tadris dan licentia docendi ialah bahwa ijatul tadris diberikan oleh masing-masing guru-ilmuwan, sedangkan ijazatul tadris diberikan oleh pimpinan universitas, yang mewakili fakultas kolektif, dan bukan oleh masing-masing guru-ulama.

Dalam budaya Islam yang berbeda, kata Ebrahim Moosa, di desa-desa dan kota-kota di Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika Utara, anak-anak kecil mengikuti pelajaran agama di madrasah agar belajar membaca Al-Qur'an dalam bahasa Arab dan menerima instruksi dasar tentang masalah iman. Mereka mungkin hadir setiap hari atau hanya pada hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa siswa mungkin mencurahkan pula waktu menghafal Al-Qur'an secara penuh waktu atau paruh waktu bersamaan dengan mengejar pendidikan sekuler.
Taqi ‘Usmani, seorang tokoh hierarki madrasah di Pakistan dan mantan hakim pengadilan syariat, berpendapat bahwa tujuan madrasah itu, tujuan yang mulia. 'Pendidikan', katanya, 'untuk mengubah cara berpikir masyarakat,' dan pendidikan tak dapat direduksi menjadi sekedar sarana menjamin bahwa lulusannya mendapatkan pekerjaan yang layak. Hanya sedikit orang yang tak setuju dengannya. Salah satu dari sekian banyak tujuan mulia pendidikan ialah memantapkan jati-diri, menginternalisasikan sifat-sifat manusia yang unggul, dan mewujudkan potensi diri. 'Kebajikan-kebajikan ini,' kata 'Usmani, membuat 'setiap individu tak semata mengabdi pada negara dan komunitasnya sendiri, melainkan seluruh umat manusia.'

Madrasah sebagian besar berpusat pada studi fikih (yurisprudensi Islam). Secara kiasan, fikih bermakna ilmu tentang hukum Islam dari sumbernya. Fikih kerap digambarkan sebagai pemahaman dan pengamalan manusia terhadap Syariah, yaitu pemahaman manusia terhadap hukum Keilahian dalam Islam, yang diwahyukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Fikih memperluas dan mengembangkan Syariah melalui penafsiran (ijtihad) Al-Qur'an dan Sunnah oleh para ahli hukum Islam dan dilaksanakan lewat keputusan (fatwa) para ahli hukum atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Oleh karenanya, bila Syariah dipandang oleh umat Islam, tak dapat diubah dan tak keliru, fikih dianggap bisa keliru dan dapat diubah.

Hukum, secara umum, merupakan perekat masyarakat, kata Glanville Williams. Pembelajarannya di universitas memungkinkanmu mengeksplorasi bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi. Kesalahpahaman yang umum terjadi, bahwa studi hukum semata melibatkan pembelajaran hafalan terhadap aturan-aturan hukum. Berkenalan lebih dekat dengannya, akan menunjukkan bahwa ia jauh lebih kompleks dan menantang. Hukum merupakan profesi yang populer dan menjadi subjek studi di universitas. Ia pokok bahasan yang membentuk dan mencerminkan aturan, norma, dan nilai-nilai masyarakat. Pengacara dikatakan sebagai ‘penjaga gerbang institusi hukum’ dan dituntut agar berkemampuan menjelaskan permasalahan kompleks kepada klien secara ringkas (baik dalam bentuk tertulis maupun lisan), guna menyelesaikan masalah dan bekerja dengan baik sebagai tim. Codling berkata bahwa gelar sarjana hukum, merupakan aset besar yang hendaknya dimiliki bagi profesi apa pun dan merupakan topik yang beragam dan menarik dipelajari di universitas (mata pelajarannya mulai dari sejarah hukum hingga hukum pidana, hukum luar angkasa, dan belakangan muncul topik Hukum dan Ekonomi. Ilmu ekonomi memiliki teori-teori yang tepat secara matematis (teori harga dan teori permainan) dan metode-metode yang masuk-akal secara empiris (statistik dan ekonometrika) guna menganalisis dampak harga implisit yang melekatkan hukum terhadap perilaku).

Menurut Cadling, penting berpikir kritis dalam konteks hukum. Kita ada karena kita bisa berpikir. Pikiran adalah 'segala sesuatu yang membersit dalam benak, yang 'melintas di kepala kita'. Pada tingkat dasar, kita mengatur atau mengatur pikiran kita guna melindungi diri kita dari bahaya (misalnya mengetahui bahwa api itu panas dan akan membakar kita) atau mendapatkan apa yang kita butuhkan agar dapat bertahan hidup (semisal mencari makanan dan air). Ada orang membayangkan pikiran mereka bagaikan awan di langit; ada yang berat, ada yang ringan, ada yang mengancam, namun semuanya tetap bergerak dan berubah. Terkadang kita mengarahkan perhatian kita pada pikiran kita untuk menenangkannya (melalui latihan kewaspadaan atau meditasi, misalnya). Di lain waktu, kita menggunakan pikiran kita 'mencari tahu suatu keadaan, memecahkan suatu masalah, menjawab beberapa pertanyaan, menyelesaikan sebuah persoalan'. Berpikirmu mengendalikan setiap bagian kehidupanmu, tapi, apakah dirimu mengendalikan berpikirmu?
Bagian pemikiran yang ‘kritis’ menandakan ‘komponen evaluatif’. Bagi sebagian orang, berpikir kritis berkonotasi negatif: memerlukan kritik. Namun, berpikir kritis terhadap hukum hendaknya dibedakan dari ‘mengkritik’, yang umumnya mengacu pada ketidaksetujuan. Sebaliknya, berpikir kritis memerlukan analisis atribut positif dan negatif (atau mempertimbangkan pro dan kontra) dari sesuatu, dan dalil mengapa hal ini terjadi, harus disediakan. Berpikir kritis memberimu alat guna menggunakan skeptisisme dan keraguan secara konstruktif sehingga engkau dapat menganalisis apa yang ada di hadapanmu’. Dengan kata lain, berpikir kritis merupakan cara konstruktif mempertimbangkan beragam hal pada tingkat yang lebih dalam dengan mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa? Bagaimana? Di mana? Lalu apa? Berpikir kritis memerlukan konsentrasi.

Apakah berpikir kritis itu, tentang berpikir seperti seorang 'sofis'? ‘Sofisme’ menggunakan argumen yang cerdas namun keliru, dengan maksud memperdaya. Ibarat sebuah permainan, tujuan dari pemikiran canggih ini, untuk menang. Pemikir sofistik berbeda dari pemikir kritis, sebab kaum sofis menggunakan keterampilan retorika atau argumentasi tingkat rendah, yang dengannya mereka menjadikan pikiran tak masuk-akal sepertinya masuk-akal, dan pikiran masuk akal terlihat tak masuk-akal. Bentuk pemikiran seperti ini, terlihat jelas dalam argumen para pengacara dan politisi tak beretika, yang lebih mementingkan kemenangan ketimbang bersikap sepatutnya, dan menggunakan emosi dan tipu-daya, dengan cara yang terampil secara intelektual.
Berpikir mandirikah, berpikir kritis itu? Berpikir kritis yang merupakan proses mengembangkan pemikiran mandiri, merupakan pertanyaan yang menarik direnungkan. Di satu sisi, ia ‘sebuah proses berpikir yang didisiplinkan secara intelektual dimana engkau mengembangkan opini atau argumen hukummu sendiri mengenai suatu isu tertentu’. Karl Popper menyatakan bahwa non-critical thinking (berpikir 'non-kritis)' itu, bermasalah, karena jika kita tidak kritis, kita akan selalu menemukan apa yang kita inginkan: kita akan melihat dan menemukan konfirmasi, dan kita akan berpaling, dan tak melihat, apa pun yang mungkin berbahaya terhadap hal-hal istimewa dan penting bagi kita. Oleh karenanya, berpikir non-kritis itu, 'ngelantur', tak terarah, automatic thinking (berpikir otomatis), informasi yang cuma dihafalkan, atau tak mampu mempertimbangkan bukti yang mungkin mendukung kesimpulan yang tak dikau sukai.

Hukum diilustrasikan sebagai pertanyaan ‘besar’ (mendasar atau esensial) lantaran mendefinisikan hakikat hukum atau sistem hukum. Pertanyaan tentang: apa itu 'hukum'? telah direnungkan oleh para cendekiawan dan filsuf selama berabad-abad. ‘Hukum’ fisika dan matematika sangat berbeda dengan hukum yang mengatur ‘hukum alam’ atau ‘tatanan sosial’ (sistem institusi masyarakat yang mengatur perilaku manusia).
H.L.A. Hart menulis bahwa hanya sedikit pertanyaan mengenai masyarakat manusia yang telah diajukan dengan sangat persisten dan dijawab oleh para pemikir kritis dengan cara yang beragam, aneh, dan bahkan paradoks seperti pertanyaan 'Apa itu hukum?' Bahkan jika kita membatasi perhatian kita pada teori hukum selama 150 tahun terakhir dan mengabaikan spekulasi klasik dan abad pertengahan tentang 'sifat' hukum, kita akan menemukan keadaan yang tiada bandingannya dengan subjek lain yang dipelajari secara sistematis sebagai disiplin akademis yang terpisah. Tak banyak literatur yang didedikasikan guna menjawab pertanyaan 'Apa itu kimia?' atau 'Apa itu obat?', seperti halnya pertanyaan 'Apa itu hukum?' Cuma beberapa baris di halaman pembuka buku teks sekolah dasar yang siswanya menimbang ilmu-ilmu ini, dan jawaban yang diberikan kepadanya sangat berbeda dengan jawaban yang diberikan kepada mahasiswa hukum. Tak seorang pun berpikir bahwa menegaskan ilmu kedokteran itu adalah 'apa yang dilakukan dokter terhadap penyakit', atau 'prediksi tentang apa yang akan dilakukan dokter', merupakan sesuatu yang mencerahkan atau penting, atau menyatakan bahwa apa yang biasanya diakui sebagai karakteristik, bagian sentral dari ilmu kimia, katakanlah studi tentang asam, sebenarnya bukan bagian dari kimia sama sekali. Namun, dalam persoalan hukum, hal-hal yang pada pandangan pertama tampak aneh seperti ini, kerapkali diungkapkan, dan tak semata diucapkan, melainkan didesak dengan fasih dan penuh semangat, seolah-olah hal-hal tersebut merupakan pengungkapan kebenaran tentang hukum, yang telah lama dikaburkan oleh penafsiran yang keliru tentang sifat esensialnya.
Hart menambahkan, tak dapat dibantah bahwa perkembangan hukum, di segala ruang dan waktu, pada kenyataannya sangat dipengaruhi baik oleh moralitas konvensional dan cita-cita kelompok sosial tertentu maupun oleh bentuk-bentuk kritik moral yang didorong oleh individu-individu, yang cakrawala moral telah melampaui moralitas yang diterima saat ini. Namun kita bisa saja menganggap kebenaran ini secara tidak sah, sebagai jaminan bagi proposisi yang berbeda: yaitu bahwa suatu sistem hukum harus menunjukkan kesesuaian tertentu dengan moralitas atau keadilan, atau harus bertumpu pada keyakinan yang tersebar luas bahwa ada kewajiban moral mematuhinya.

Margaret Davies memberikan definisi sebagai berikut: 'Hukum mengatur perilaku manusia, dan hubungan antar anggota masyarakat. Selain itu, ia mungkin berupaya mengabadikan cita-cita tertentu, semisal kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.'
Yurisprudensi pada dasarnya merupakan 'studi teoritis atau filosofis tentang hukum'. Sebagai seorang pengacara, dikau seyogyanya mempelajari yurisprudensi sebagai persoalan sederhana mengenai harga-diri intelektual, tulis James E. Penner dan Emmanuel Melissaris. Frasa ini, digunakan secara bergantian dengan terma lain seperti ‘filosofi hukum’ dan ‘teori hukum’. Namun, ‘yurisprudensi’ berfokus pada analisis teoritis hukum, sedangkan ‘filosofi hukum’ berkaitan dengan penyediaan argumen filosofis, dan ‘teori hukum’ sering digunakan menunjukkan kajian teoritis tentang hukum.

Menumbuhkan keingintahuan dalam benak (yakni banyak bertanya) saat belajar hukum, merupakan elemen penting mencapai karir profesional apa pun, kata Cadling. Penting juga bagi masyarakat agar berpikir kritis, karena setiap generasi dihadapkan pada tantangannya masing-masing, mulai dari memburu gajah mamut berbulu, hingga mencegah bom nuklir dan menghentikan pemanasan global. Tantangan-tantangan ini, pada dasarnya sama (semuanya mengancam keberadaan manusia), namun situasi dan wajah yang dihadapi berbeda. Beberapa tantangan utama saat ini termasuk meningkatnya propaganda media dan politik, kesadaran akan berita bohong, dan tantangan hukum yang akan datang setelah Brexit. Karena tantangan-tantangan tersebut, selalu ada kebutuhan bagi kita agar berpikir kreatif dan merefleksikan diri terhadap tantangan-tantangan hukum modern: berpikir kritis tentang hukum.
Berpikir kritis terhadap hukum ini, merupakan bagian dari kontemplasi. Dalam kontemplasi Islam, kontemplasi terhadap ciptaan Allah merupakan salah satu bentuk ibadah teragung. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika banyak ayat Al-Qur’an mendorong kegiatan ini dan melakukannya dengan menggunakan berbagai metode menarik setiap temperamen dan keadaan spiritual. Tujuannya agar mengalihkan manusia dari akal yang tumpul, kebiasaan-kebiasaan buruk, dan keakraban yang monoton, serta mendorong mereka agar menyaksikan tanda-tanda Rabb mereka di alam semesta dengan wawasan dan qalbu yang peka. Perenungan Islam yang sejati semata dapat muncul dari qalbu yang beriman kepada Allah dan pikiran yang berserah diri kepada-Nya, serta sifat-sifat Kemahamuliaan-Nya. Al-Qur’an berupaya melunakkan qalbu manusia dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menyebutkan rahmat dan nikmat Allah. Perenungan terhadap hal-hal ini dapat menumbuhkan rasa kasih-sayang dan cinta-kasih.

Mengkontemplasikan penciptaan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang termasuk di dalamnya, amalan yang tak dapat dihalangi oleh perubahan waktu, ruang, atau sifat segala sesuatu. Ia merupakan bentuk ibadah yang bebas dan tak dibatasi. Ia merupakan pula proses kognitif dan emosional yang menghidupkan qalbu dan mencerahkan persepsi saat pikiran naik dari merenungkan tanda-tanda Allah di alam semesta menuju Pencipta dan Rabb-nya. Inilah makna sebenarnya dari kontemplasi. Perlu diperhatikan di sini bahwa segala bentuk kontemplasi terhadap keindahan dan kemegahan langit dan bumi akan dianggap kesyirikan jika yang berkontemplasi tak mengenali, apalagi memuliakan dan bersyukur kepada Sang Pencipta.
Mengenai pembebasan kontemplasi dari batas waktu dan tempat, Al-Qur’an menganjurkan praktik kontemplasi awal mula penciptaan. Allah berfirman,
قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ بَدَاَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللّٰهُ يُنْشِئُ النَّشْاَةَ الْاٰخِرَةَ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
'Katakanlah, 'Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.' [QS. Al-'Ankabut (29):20]
Selain mendorong orang-orang beriman mengkontemplasikan masa kini, Al-Qur’an juga mengajak mereka merenungkan nasib bangsa-bangsa yang telah punah. Allah berfirman,
اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَانُوْٓا اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاَثَارُوا الْاَرْضَ وَعَمَرُوْهَآ اَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوْهَا وَجَاۤءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِۗ فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَۗ
'Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka [yakni orang-orang Mekkah pada waktu itu] dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Allah sama sekali tak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya sendiri.' [QS. Ar-Rum (30):9]
Selain memerintahkan orang-orang beriman mengkontemplasikan dunia ini, Al-Qur'an juga menyerukan agar memikirkan akhirat. Sebab, kontemplasi yang terbatas pada dunia fana, tak lain semata gambaran alam semesta yang tak lengkap dan konsep realitas eksistensi manusia yang terdistorsi. Allah berfirman,
كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ
'... Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar engkau berkontemplasi tentang dunia dan akhirat ....' [QS. Al-Baqarah (2):219-220]
Oleh karenanya, orang beriman diperintahkan merenungkan ciptaan Allah dari awal hingga hari Akhir.

Dari sudut pandang Islam, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedalaman kontemplasi, dan akan kita telaah pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Kenanga lalu bersenandung,

If you're going to San Francisco
[Bila dikau hendak ke San Fransisco]
Be sure to wear some flowers in your hair
[Pastikan mengenakan kembang-kembang di rambutmu]
If you're going to San Francisco
[Jika dikau berangkat ke San Fransisco]
You're gonna meet some gentle people there *)
[Dikau kan jumpa orang-orang santun di sana]
Kutipan & Rujukan:
- A. R. Codling, Thinking Critically About Law: A Student’s Guide, 2018, Routledge
- H. L. A. Hart, The Concept of Law, 1994, Clarendon Press
- Robert J. Beck (Ed.), Law and Disciplinarity: Thinking Beyond Borders, 2013, Palgrave
- Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa?, 2015, Edinburg University Press
*) "San Francisco (Be Sure To Wear Flowers In Your Hair)" karya John Edmund Andrew Phillips