Senin, 08 April 2024

Ramadan Mubarak (18)

“Sepasang suami istri tiba di bandara tepat waktu sesuai jadwal penerbangan mereka ke Bahana buat liburan. 'Gua berharap bisa bawa pianonya,' kata sang suami.
'Nape lagi sih mesti bawa-bawa pianonya?' tanya sang istri.
'Gua ninggalin tiketnya di situ.'"

“Bisa dibilang, penyakit yang paling mematikan bagi sebuah bangsa atau negara adalah penyakit perselisihan dan perpecahan. Penyakit ini akan merasuki gagasan dan keyakinan, moral dan perilaku, serta cara berbicara dan berinteraksi. Ia bakal mempengaruhi tujuan dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Bagai siluman dalam kelam, akhirnya, ia bakalan menyelubungi jiwa manusia. Ia meracuni atmosfer dan membuat qalbu terasa tawar dan terkucilkan,” lanjut Yasmin saat memasuki Gua Hira di Jabal Nur, 'Gunung Bercahaya' atau 'Bukit Pencerahan', sebuah gunung dekat Mekah tempat Nabi kita tercinta (ﷺ) menerima wahyu pertama Al-Quran (ﷺ), yang terdiri dari lima ayat pertama Surah Al-Alaq dari malaikat Jibril (عليه السلام).

"Usai menekankan tugas penting memperkokoh penegasan Keesaan Allah, yakni Tauhid, baik Al-Qur'an maupun Sunnah menekankan satu hal di atas segalanya: persatuan Ummah. Tujuannya ialah mengobati dan membersihkan 'Ummah' dari segala perpecahan yang mengganggu kedamaian dan keharmonisan hubungan umat Islam dan merusak persaudaraan umat beriman. Boleh dikatakan bahwa setelah kezaliman mempersekutukan sesuatu dalam beribadah kepada Allah, tiada yang lebih memuakkan dalam ajaran Islam selain perpecahan dalam umat Islam. Perintah Allah dan Rasul-Nya (ﷺ) sangat jelas dalam menyerukan persatuan dan solidaritas Ummah, mendamaikan qalbu dan mengerahkan upaya mereka dalam satu tujuan
Karena umat Islam punya keimanan yang jernih dan menyembah semata kepada Alah, karena Nabi mereka, kitab suci mereka, arah shalat mereka, dan latarbelakang yang diakui atas keberadaan mereka, semuanya satu dan sama, maka mereka hendaknya berpadu dalam usaha bersama. Allah berfirman,
اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ
'Sesungguhnya (agama tauhid) ini, agamamu [yakni cara hidup atau perilaku kolektif yang diikuti oleh suatu umat], agama yang satu, dan Akulah Rabbmu. Maka, sembahlah Aku.' [QS. Al-Anbya (21):92]
Dan pula,
فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
''Berpegang-teguhlah engkau semuanya pada tali Allah [yakni merujuk baik pada perjanjian-Nya maupun Al-Qur'an], janganlah bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika engkau dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersahabatkan qalbu-qalbumu sehingga dengan karunia-Nya, engkau jadi bersaudara. (Ingatlah pula dikala) engkau berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar engkau mendapat petunjuk.' [QS. Al-Anbiya (21):92]
Dia, Subhanahu wa Ta'ala, juga berfirman,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
'... Dan tolong-menolonglah engkau dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.' [QS. Al-Anbiya (21):92]
Dalam hal ketidaksepakatan, Islam mengajarkan etikanya, atau paling tidak, adabnya, bagaimana kita bersikap [Etika dan Adab berbeda maknanya. Adab semata apa yang tampak dari luar, sedangkan Etika lebih mendekat kepada Akhlaq, moral yang tertata dengan baik 'dari dalam keluar']. Istilah adab mengandung gagasan tentang norma-norma yang baku dan juga berkonotasi dengan kedisiplinan, etiket yang pantas, tatakrama, dan pelatihan. Adab secara umum mengacu pada kedisiplinan yang muncul dari pengakuan tempat yang pantas dalam hubungannya dengan diri sendiri, anggota keluarga, dan orang lain dalam komunitas dan masyarakat. Ia mengacu pula pada etiket atau cara yang tepat dalam melakukan tindakan tertentu; semisal bila kita berbicara tentang adab salam, adab makan, adab membaca Al-Qur’an, atau adab menyikapi perbedaan pendapat. Sirnanya adab menyiratkan hilangnya perilaku dan kedisiplinan yang baik, serta ketidakmampuan bertindak secara adil. Kita akan membahas 'al-ikhtilaf fil Islam' ini pada sesi yang lain. Insya Allah.

Kini kita beralih ke topik Hamas. Kita mulai dengan pertanyaan: Gerakan pembebasan nasional atau gerakan keagamaankah Hamas itu? Mempelajari belum tentu mendukung kaan? Hamas tak semata menawarkan sebuah masalah yang menarik dipelajari, namun yang lebih penting yalah, sebuah persoalan mengenai munculnya pemain kunci yang mampu mempengaruhi arah dan hasil konflik Palestina-Israel. Karena terombang-ambing antara landasan agama yang kuat dan agenda politik nasionalis, Hamas berusaha menjaga keseimbangan antara visi utamanya dan kenyataan yang mendesak.

Tareq Baconi mengisahkan kepada kita bahwa pada tanggal 8 Desember 1987, sebuah kendaraan tentara Israel menabrak barisan mobil yang membawa pekerja harian Palestina, yang kembali dari pekerjaannya di Israel, pulang ke rumah mereka di Jalur Gaza. Kecelakaan itu menewaskan empat lelaki Palestina, tiga di antaranya berasal dari kamp pengungsi Jabalia. Juga terletak di bagian Utara Jalur Gaza, kamp Jabalia, yang dikenal sebagai 'kamp revolusi', merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar di wilayah Palestina dan salah satu area terpadat di dunia. Dalam beberapa jam setelah peristiwa itu, wilayah pendudukan Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur, serta wilayah-wilayah di Israel sendiri, dibanjiri dengan protes, demonstrasi, dan tindakan pembangkangan sipil. Menyebar dari pusat kamp Jabalia, Intifada atau pemberontakan Palestina Pertama, telah dimulai.
Intifada adalah pergolakan massal yang terjadi secara spontan dan tanpa pemimpin. Hampir dalam semalam, warga Palestina bersama-sama turun ke jalan memprotes kehadiran penjajah Israel di negeri mereka. Pendudukan Israel telah dimulai dua puluh tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1967. Meskipun rakyat Palestina telah menikmati masa-masa yang relatif makmur selama masa ini, pendudukan itu sendiri didasarkan pada penaklukan ekonomi atas wilayah-wilayah tersebut dan penolakan terhadap hak-hak politik orang-orang Palestina. Selama dua dekade, Israel telah mengambil alih negeri Arab; memperluas usaha permukiman ilegal yang memecah-belah wilayah Palestina; dan mempertahankan pendudukan militer yang represif, yang rutin melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Palestina di bawah pemerintahannya, termasuk penangkapan, deportasi, pembongkaran rumah, penahanan tanpa batas waktu, jam malam, dan pembunuhan. Dengan intifada, rakyat Palestina bangkit melepaskan diri dari kekuasaan militer. Mereka memboikot barang-barang Israel dan menolak mematuhi proses administratif yang mendasari penindasan mereka, termasuk prosedur seperti penerbitan kartu identitas dan pengumpulan pajak oleh otoritas Israel.

Gambaran pemuda Palestina yang melemparkan batu ke arah tank Israel, imbuh Tareq, menunjukkan semangat periode ini. Selama empat tahun, Intifada menyerupai perjuangan anti-kolonial. Para pengunjuk rasa bentrok dengan tentara Israel menggunakan batu, tongkat, dan terkadang bom molotov manakala militer Israel berupaya menghentikan pemberontakan, yang sebagian besar merupakan pemberontakan sipil. Di seluruh wilayah, komite rakyat yang terdesentralisasi, muncul mengorganisir aksi massa dan melindungi identitas para pemimpin lokal, lantaran takut akan pembalasan. Demonstrasi segera dikoordinasikan secara sembunyi-sembunyi. Seruan melakukan pemogokan dan instruksi melakukan tindakan pembangkangan sipil muncul secara diam-diam dalam selebaran yang menempel di kaca depan mobil dan coretan yang disemprotkan pada jendela toko. Memo-memo ini, seringkali memuat stempel Persatuan Kepemimpinan Pemberontakan Nasional, sebuah koalisi faksi yang dibentuk pada awal intifada guna mengoordinasikan kegiatan di berbagai kota dan desa di wilayah pendudukan. Selebaran intifada mengartikulasikan tujuan politik pemberontakan tersebut: mencapai kemerdekaan dari pendudukan Israel dan mendirikan negara Palestina.

Menurut Khaled Hroub, seorang akademisi Palestina dan peneliti senior di Pusat Studi Islam, Hamas merupakan perpaduan antara gerakan pembebasan nasional dan kelompok agama Islam. Dengan sifat seperti itu, kekuatan pendorongnya bertemperamen ganda, fungsi sehari-harinya berwatak biaksial, dan tujuan akhirnya bersemangat bifokal, dimana masing-masing sisi biner saling membilang.
Ada dua latarbelakang yang mendorong orang-orang Palestina bergabung dengan Hamas, yakni secara aktif turut-serta dalam ‘pembebasan Palestina’ dengan melawan pendudukan Israel 'dan' apa pun yang mungkin terjadi, dan mengabdi pada Islam dan menyebarkan ajarannya. Kata 'dan' sangat penting di sini dan tak dapat digantikan dengan kata 'atau', meskipun keseimbangan antara kedua motif tersebut tak harus sepadan atau sama pada setiap orang. Hamas memandang bahwa kekuatannya dapat ditemukan dalam kaitan ini, perpaduan yang kuat dari dua rangkaian aktivisme politik Palestina yang berbeda: gerakan pembebasan sekuler nasional yang telah menghadapi Israel, dan gerakan keagamaan Islam yang sebagian besar belum menghadapinya. Pemikiran yang dikehendakinya, bahwa dalam memperjuangkan pembebasan Palestina, seseorang mengabdi pada Islam, dan dalam memperkuat dakwah Islam, individu tersebut mengabdi pada perjuangan pembebasan.

Didirikan pada akhir tahun 1980-an, kata Khaled, Hamas muncul sebagai gerakan pembebasan religius-nasionalis yang secara damai menyebarkan seruan agama Islam sembari secara harmonis menganut strategi perjuangan bersenjata melawan pendudukan Israel. Para pengkritiknya, menganggap Hamas seolah memulai perjuangannya usai Organisasi Pembebasan Palestina [atau PLO-Palestine Liberation Organization, Bahasa Arabnya: منظمة التحرير الفلسطينية Munazzamat at-Tahrir al-Filastiniyyah] berhenti. Para pendukungnya merasa bahwa Hamas datang pada saat yang tepat menyelamatkan perjuangan nasional Palestina dari penyerahan total kepada Israel. Di arena, Hamas mengambil jalur yang hampir berlawanan dengan jalur damai, yang kemudian diambil oleh PLO dan negara-negara Arab lainnya, yang telah membuat perjanjian damai dengan Israel, yaitu Mesir dan Yordania. Mereka menolak berada di bawah PLO sebagai payung perjuangan nasionalis Palestina dan mengadopsi seruan ‘lama’ bagi ‘pembebasan Palestina’ seperti yang telah diabadikan oleh para pendiri PLO pada pertengahan tahun 1960an. Hamas menolak gagasan membuat perjanjian damai dengan Israel yang mensyaratkan pengakuan penuh Palestina atas hak keberadaan Israel.
Dengan tiadanya terobosan serius mencapai hak-hak warga Palestina pada tingkat minimum, Hamas terus mengalami peningkatan sejak awal berdirinya. Setelah perjuangan yang gigih selama bertahun-tahun, mereka telah menjadi pemain kunci, baik dalam parameter konflik Arab dan Palestina-Israel maupun dalam arena politik Islam di wilayah tersebut. Di tingkat Palestina, ia terus menunjukkan daya tarik populer. Dengan menggunakan berbagai strategi yang saling berkaitan, yang mencakup serangan militer, pendidikan, sosial, dan kegiatan amal selain dakwah, mereka telah berhasil mempopulerkan diri di seluruh konstituen Palestina di dalam dan di luar Palestina. Dengan terkikisnya legitimasi dan popularitas PLO secara bertahap, kekuatan Hamas telah terwujud dalam kemenangan telak dalam pemilu kota, pemilu serikat mahasiswa, perkongsian, dan pemilu lainnya, yang diadakan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Dalam bidang Islam politik dan berbagai pendekatannya terhadap politik, Hamas menawarkan sebuah kasus kontemporer yang unik mengenai gerakan Islam, yang berperan dalam perjuangan pembebasan melawan pendudukan asing. Gerakan-gerakan Islam didorong oleh berbagai sebab, yang sebagian besar terfokus pada rezim korup di negara mereka sendiri. Aliran gerakan lainnya, ‘Jihadis global’, telah memperluas ‘kampanye keramat’ mereka melintasi garis geopolitik, memajukan gagasan pan-Islam yang menolak gagasan negara-bangsa Muslim secara individu. Bertentangan dengan kedua hal tersebut, Hamas tetap berbasis pada negara-bangsa, membatasi perjuangannya hanya pada perjuangan untuk dan di dalam wilayah Palestina, dan tak memerangi rezim lokal, melainkan penjajah asing. Pembedaan ini penting karena terpapar pandangan dangkal (kebanyakan dari Barat) yang memandang remeh penggabungan seluruh gerakan Islam ke dalam satu kategori, ‘teroris’.

Dipimpin oleh Syekh Ahmad Yassin, menurut Tareq, para pendiri Hamas memandang Intifada sebagai waktu yang tepat guna memanfaatkan segala persiapan yang telah dilakukan secara sembunyi-sembunyi selama bertahun-tahun untuk membangun sebuah organisasi yang didedikasikan 'mengibarkan panji Tuhan di setiap inci Palestina. ' Selebaran mereka ditandatangani secara tak tetap pada awalnya, tatkala para pemimpin bereksperimen dengan apa yang disebut sebagai organisasi mereka yang baru lahir. Nama-nama seperti 'Fraksi Islam', 'Jalan Islam', dan 'Pertahanan Islam' dicoba dan diuji. Pada bulan Januari 1988, beberapa minggu setelah Intifada dimulai, nama HAMAS akhirnya dipilih. Pembentukan Hamas dibangun di atas dasar kelembagaan yang kuat yang telah dikembangkan, terutama di Jalur Gaza, selama beberapa dekade. Gerakan baru ini ditetapkan sebagai 'mata rantai terbaru dalam rantai panjang Jihad melawan pendudukan Zionis'. Agar memperkuat posisi Hamas, para pendiri Hamas kembali ke pergantian abad dan membangun garis keturunan yang kaya, yang dapat ditelusuri hingga masa-masa awal proyek Zionis.

Di masa lampau, secara militer, Hamas mengadopsi taktik kontroversial 'bom bunuh diri', yang namanya telah melekat di Barat dan seluruh dunia. Penggunaan taktik ini, pertama kali terjadi pada tahun 1994, sebagai pembalasan atas pembantaian warga Palestina yang sedang shalat di sebuah masjid di kota Hebron, Palestina. Seorang pemukim Yahudi yang fanatik melepaskan tembakan senapan mesin ke arah jamaah, menewaskan 29 orang dan melukai lebih banyak lagi. Hamas bersumpah membalas pembunuhan ini, dan memang terjadi. Sejak saat itu, semua serangan keji Hamas terhadap warga sipil Israel terkait langsung dengan kekejaman khusus Israel terhadap warga sipil Palestina.
Tareq kemudian bercerita bahwa pada tanggal 25 Februari 1994, seorang pemukim Yahudi Amerika bernama Baruch Goldstein masuk ke Masjid Ibrahimi di kota Hebron, Tepi Barat, saat waktu shalat. Berdiri di belakang barisan sosok yang berlutut di depannya, Goldstein melepaskan tembakan. Dalam hitungan menit, dua puluh sembilan jamaah Muslim terbunuh dan hampir seratus orang terluka. Kekejaman ini, mengejutkan perundingan bilateral Israel-Palestina yang baru dimulai setelah Intifada Pertama, yang dipicu oleh pengalihan strategis PLO pada tahun 1988. Kurang dari enam bulan sebelum serangan Hebron, pada bulan September 1993, ketua PLO Yasser Arafat dan Israel Perdana Menteri Yitzhak Rabin dengan canggung berjabat tangan dalam sebuah acara yang dipublikasikan secara luas di beranda Selatan Gedung Putih. Para pemimpin telah berkumpul di ibukota Amerika guna menandatangani 'the Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements' (Deklarasi Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan Sendiri Sementara), yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo, mengacu pada ibukota tempat perundingan rahasia yang mengarah pada perjanjian tersebut berlangsung.

Usai penandatanganan, negosiasi antara Israel dan PLO dalam bentuk 'proses perdamaian', diluncurkan. Serangan Goldstein menjadi pengingat akan tantangan berdarah yang dihadapi proses ini. Empat puluh satu hari setelah penembakan, selepas waktu berkabung umat Islam telah dipenuhi, seorang anggota Hamas mendekati halte bus di Afula, sebuah kota di Israel Utara. Berdiri di samping sesama penumpang, orang itu meledakkan rompi bunuh diri, menewaskan tujuh warga Israel. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 6 April 1994, hari yang menandai bom bunuh diri mematikan pertama yang dilakukan Hamas di Israel. Dengan keterlibatan PLO dalam diplomasi dan meningkatnya perlawanan bersenjata Hamas, perbedaan jalan perjuangan Palestina dapat dijelaskan. Satu minggu kemudian, pembom bunuh diri Hamas lainnya meledakkan bahan peledaknya di halte bus di Hadera, lagi-lagi di Israel utara, menewaskan lima warga Israel.
Bom-bom ini dirakit oleh 'Sang Insinyur', sebutan bagi inventornya, Yehya Ayyash. Ayyash, pembuat bom pertama Hamas, lahir di Tepi Barat dan telah menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang kelistrikan dan mekanik di masa kecilnya. Sehabis menyelesaikan studinya, ia bergabung dengan Brigade Qassam, sayap militer Hamas yang dipimpin oleh Salah Shehadeh. Ayyash punya pengaruh yang kuat terhadap taktik militer al-Qassam dan pada akhirnya bertanggungjawab atas penerapan bom bunuh diri yang dilakukan gerakan tersebut, yang oleh Hamas disebut sebagai operasi 'trademark' atau 'signature' mereka. Seperti yang dilakukan pejuang Izz al-Din al-Qassam lebih dari setengah abad sebelumnya, Hamas memperluas legitimasi agama pada taktik militernya, dalam hal ini bom bunuh diri, dan meningkatkan diperbolehkannya taktik tersebut di kalangan warga Palestina. Alih-alih menyebut serangan-serangan ini sebagai serangan bunuh diri, yang merupakan dosa dalam Islam, Hamas menyebut serangan-serangan tersebut sebagai operasi syahid dan merayakannya sebagai pengorbanan diri yang heroik. Pengagungan Hamas terhadap bom bunuh diri menumbuhkan lingkungan dimana tindakan mereka sangat dihormati, memastikan pasokan sukarelawan dan peningkatan pelaksanaan operasi. Tak lama kemudian, prinsip-prinsip tersebut diadopsi oleh gerakan-gerakan non-Islam, termasuk Fatah, partai utama di PLO, yang seolah-olah 'meninggalkan terorisme' pada tahun 1988.

Kendati tak sebrutal dari apa yang telah dilakukan Israel terhadap warga Palestina selama beberapa dekade, serangan bunuh diri tersebut telah merusak reputasi Hamas dan Palestina di seluruh dunia. Pembenaran Hamas melakukan operasi semacam ini, punya banyak latarbelakang. Pertama, dikatakan bahwa operasi ini merupakan pengecualian terhadap aturan tersebut dan hanya didorong oleh kebutuhan membalas. Inilah 'an eye for an eye policy’ sebagai respons terhadap pembunuhan terus-menerus terhadap warga sipil Palestina oleh tentara Israel. Kedua, Hamas mengatakan bahwa mereka tak hentinya memberi tawaran kepada Israel, yang mana warga sipil di kedua belah pihak akan terhindar dari sasaran, namun Israel tak pernah menerima tawaran ini. Ketiga, para pemimpin Hamas mengatakan bahwa orang-orang Israel secara keseluruhan harus menanggung akibat dari pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, sama seperti masyarakat Palestina yang menanggung akibat dari pendudukan tersebut: ketakutan dan penderitaan harus dirasakan oleh kedua belah pihak.
Pada tingkat sosio-kultural, nasib Hamas beragam. Pekerjaan sosial akar rumput yang dilakukannya dalam membantu masyarakat miskin dan mendukung ratusan ribu warga Palestina, telah dikagumi dan dipuji. Kerja yang berkesinambungan ini, yang ditandai dengan kompetensi dan ketulusan, yang berdedikasi, telah memberikan popularitas yang tinggi pada gerakan ini. Pada masa pemilu, ia telah membuahkan hasil yang besar. Dikombinasikan dengan tindakan militer dan konfrontatif terhadap Israel, Hamas telah berfungsi di beberapa bidang pada saat yang sama, dan berhasil meinggalkan kesan baik bagi warga Palestina. Namun, banyak warga Palestina yang sekuler, khawatir bahwa Hamas secara tak langsung, atau secara bertahap, telah mengubah tatanan budaya dan sosial masyarakat Palestina. Banyak warga Palestina yang mendukung gerakan nasionalis/liberasionis dan sosial Hamas, namun tak mendukung cita-cita keagamaan Hamas. Hamas sengaja mengabaikan fakta ini dan malah menganggap setiap pemungutan suara bagi agenda politiknya sama dengan pemungutan suara terhadap agenda keagamaan.

Pada bulan Januari 2006 Hamas mengejutkan dunia dengan memenangkan pemilihan demokratis untuk Dewan Legislatif Palestina dari Otoritas Palestina terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Membawa Hamas menjadi pusat perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya, kemenangan ini mengejutkan banyak warga Palestina, Israel, Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Arab. Hal ini juga membuat gerakan Fatah Palestina yang kalah, saingan utama Hamas yang telah memimpin gerakan nasional Palestina selama lebih dari 40 tahun, benar-benar kacau-balau.
Alasan di balik kemenangan Hamas pada pemilu Dewan Legislatif Palestina tahun 2006, dan pentingnya kemenangan ini, perlu dikaji lebih dekat. Hamas menang karena sejumlah alasan. Pertama, gerakan ini memang telah menuai manfaat dari kerja keras dan popularitasnya selama bertahun-tahun di kalangan masyarakat Palestina. Setidaknya, separuh pemilih mendukung Hamas atas program dan tujuan yang dinyatakannya; juga atas kehangatan dan uluran tangan mereka yang selalu dekat dengan masyarakat miskin dan yang membutuhkan. Separuh pemilih Hamas lainnya, didorong oleh kekuatan lain. Kegagalan proses perdamaian, ditambah dengan semakin meningkatnya kebrutalan pendudukan Israel, membuat masyarakat Palestina tak percaya pada pilihan merundingkan penyelesaian damai dengan Israel.
Faktor utama lainnya, yang membantu Hamas memenangkan pemilu tersebut adalah kegagalan Otoritas Palestina pimpinan Fatah di hampir seluruh aspek. Mereka gagal tak hanya secara eksternal, dalam hal perundingan damai dengan Israel, namun oula, secara internal, dalam pengelolaan pelayanan sehari-hari kepada rakyat Palestina. Salah urus, korupsi dan pencurian merupakan ‘atribut’ yang menandai para pemimpin tertinggi, menteri, dan staf tingkat tinggi Fatah. Ketika pengangguran dan kemiskinan mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, gaya hidup mewah para pejabat senior Palestina membuat marah rakyat. Pemilu memberikan kesempatan kepada rakyat menghukum para pejabat tersebut. Ayam balik kandang buat bertengger, dan Hamas menjadi penerima manfaatnya. Oleh karenanya, sulit dikatakan bahwa rakyat Palestina memilih Hamas terutama karena alasan keagamaan.

Kita mungkin kepo, populerkah Hamas saat kemenangannya di tahun 2006 itu? Menurut Khaled, popularitas Hamas sebanding di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebagai indikator tak langsung, banyak warga Palestina yang diduga pendukung Hamas, umumnya memilih Ikhwanul Muslimin Yordania, yang rata-rata perolehan kursi di Parlemen Yordania berkisar antara 30 dan 35 persen. Isu Palestina dan dukungan terhadap perjuangan Palestina melawan Israel biasanya menjadi prioritas utama dalam platform pemilu kelompok Islamis Yordania.
Sebaliknya, warga Palestina yang tinggal di Amerika Serikat, Eropa, dan tempat lain, yang jauh dari Palestina, relatif kurang mendukung Hamas. Sekali lagi, tiada bukti nyata yang dapat digunakan mengidentifikasi tren umum sejauh mana orang-orang Palestina mendukung Hamas, atau Fatah. Banyak warga Palestina telah tinggal di wilayah ini, jauh sebelum berdirinya Hamas, dengan gaya hidup sekuler dan non-religius. Dapat dikatakan bahwa ketaatan terhadap ajaran agama, yang merupakan indikasi mendukung Hamas, kurang terlihat di kalangan warga Palestina di Eropa dan AS dibanding dengan di antara mereka yang tinggal di Palestina atau negara-negara Arab.
Lantas, berapa duit yang dibutuhkan buat mengoperasikan Hamas? Menurut Matthew Levitt, sulit mengatakannya dengan pasti. Hamas bukanlah perusahaan publik yang tunduk pada kewajiban akuntansi yang transparan, audit independen, dan pengawasan pemerintah. Ia sebuah organisasi yang terlibat dalam aktivitas rahasia yang dirancang menggagalkan analisis semacam itu. Informasi yang ada tentang keuangan Hamas merupakan hasil investigasi yang terkadang bergantung pada sumber yang tak kooperatif.

Norman G. Finkelstein menulis bahwa pada bulan April 2009, 'Presiden UN Human Rights Council' (Dewan Hak Asasi Manusia PBB) menunjuk 'Fact-Finding Mission' (Misi Pencari Fakta) untuk 'menyelidiki semua pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan internasional' selama Operasi Cast Lead. Richard Goldstone, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dan mantan jaksa Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda, ditunjuk sebagai ketua Misi. Mandat awalnya hanya untuk meneliti pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel selama Cast Lead, namun Goldstone mengkondisikan penerimaannya terhadap tugas memperluas mandat mencakup pelanggaran di segala sisi. Ketua dewan mengundang Goldstone menulis sendiri mandatnya, yang kemudian ia lakukan, dan arkian, diterima oleh presiden.
Laporan Goldstone menemukan bahwa sebagian besar kehancuran yang ditimbulkan Israel selama Cast Lead telah direncanakan sebelumnya. Laporan tersebut juga menemukan bahwa operasi tersebut didasarkan pada doktrin militer yang 'memandang kehancuran tak proporsional dan memunculkan gangguan maksimal terhadap kehidupan banyak orang sebagai cara yang sah mencapai tujuan militer dan politik,' dan bahwa operasi tersebut 'dirancang untuk menimbulkan konsekuensi yang sangat mengerikan bagi non-kombatan di Gaza.' 'Penghancuran dan kekerasan yang tak proporsional terhadap warga sipil' muncul dari 'kebijakan yang disengaja', begitu pula 'penghinaan dan dehumanisasi terhadap penduduk Palestina'. Meskipun Israel membenarkan serangan tersebut dengan alasan membela diri terhadap serangan roket Hamas, Laporan tersebut menunjukkan motif yang berbeda. 'Tujuan utama' dari blokade Israel ialah 'menimbulkan situasi dimana penduduk sipil akan merasa kehidupannya sangat tak dapat ditoleransi sehingga mereka akan meninggalkan (jika memungkinkan) atau memecat Hamas dari jabatannya, serta secara kolektif menghukum orang-orang yang melakukan tindakan penduduk sipil,' sedangkan Cast Lead sendiri 'bertujuan menghukum penduduk Gaza karena ketangguhannya dan atas dukungan nyata mereka terhadap Hamas, dan mungkin dengan maksud memaksa perubahan dalam dukungan itu.' Laporan tersebut menyimpulkan bahwa serangan Israel merupakan 'serangan tak proporsional yang disengaja dan dirancang menghukum, mempermalukan dan meneror penduduk sipil, secara radikal mengurangi kapasitas ekonomi lokal bekerja dan menafkahi dirinya sendiri, serta memaksakan rasa ketergantungan dan kerentanan yang semakin meningkat.' Hal ini juga memberikan penghormatan kepada 'ketahanan dan martabat' rakyat Gaza 'dalam menghadapi keadaan yang menakutkan.'
Dalam penentuan hukumnya, Laporan Goldstone menemukan bahwa Israel telah melakukan banyak pelanggaran terhadap hukum kebiasaan dan konvensional internasional. Laporan ini juga menandai sejumlah besar kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel, termasuk 'pembunuhan yang disengaja, penyiksaan atau perlakuan tak manusiawi,' 'dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera yang gawat terhadap tubuh atau kesehatan,' 'penghancuran harta benda secara luas, yang tak dapat dibenarkan oleh keperluan militer. dan dilakukan secara tidak legal dan tak bertanggungjawab,' dan 'penggunaan perisai manusia.' Pernyataan tersebut lebih lanjut menetapkan bahwa tindakan Israel yang 'merampas sumber makanan, pekerjaan, perumahan dan air bagi warga Palestina di Jalur Gaza, yang menghilangkan kebebasan bergerak dan hak mereka meninggalkan dan memasuki negara mereka sendiri, yang membatasi akses mereka terhadap pengadilan dan upaya hukum yang efektif ... mungkin membenarkan temuan pengadilan yang kompeten bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan.'

Jadi, teroriskah Hamas itu? Menurut Bjorn Brenner, sejalan dengan isu Islamisme yang banyak diperdebatkan dan kesesuaiannya dengan demokrasi liberal, nilai-nilai inti Hamas sendiri juga menjadi bahan perdebatan besar. Pada tahun 2016—yang masih berupa gerakan bersenjata, yang menegaskan haknya melakukan perlawanan dengan kekerasan terhadap Israel dan pelaku bom bunuh diri di masa lalu—ada yang berpendapat bahwa Hamas berpandangan fundamentalis, pada dasarnya penuh kekerasan, dan tak mampu melakukan perubahan. Namun ada juga yang menyatakan bahwa Hamas mampu melakukan perubahan dan pragmatisme seperti gerakan politik lainnya.
Ciri keagamaan yang ditampilkan pemerintahan Hamas tak bertujuan mendirikan negara Islam secara langsung. Mereka malah menjadi bagian dari upaya yang lebih terpisah, meski cukup aktif, dalam upaya menegakkan norma-norma dan nilai-nilai Islam. Tiada bukti bahwa pemerintah Hamas berupaya mereformasi lembaga-lembaga negara secara formal dimana, misalnya, lembaga-lembaga keagamaan yang tak melalui proses pemilihan akan lebih diutamakan daripada lembaga-lembaga yang melalui proses pemilihan umum. Namun hal ini memberikan peran semi-formal kepada asosiasi cendekiawan Muslim di Gaza agar mereka dapat meningkatkan pengaruhnya terhadap masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukkan bahwa gaya pemerintahan Hamas tak sepenuhnya sesuai dengan tipe Teokratis Islam. Karena bersifat religius—namun hanya sampai batas tertentu—dan otoriter—namun tetap menunjukkan ciri-ciri demokratis tertentu—gaya pemerintahan Hamas seyogyanya ditempatkan di tengah-tengah antara gaya Islam-Teokratis dan Demo-Islam.
Kendati pada tahun 2006 Hamas sendiri telah menyatakan keinginannya menghormati prinsip-prinsip demokrasi, kata Brenner, namun mereka mengalami tekanan politik yang ekstrim, baik dari kekuatan internasional maupun dalam negeri. Hal yang menarik perhatian di sini, selain klaim mereka agar memerintah secara demokratis, Hamas menekankan pada identitas Islamnya. Pemerintahan baru menyatakan bahwa nilai-nilai Islam akan mendasari segala tindakan politiknya. Hamas lebih lanjut berpendapat bahwa nilai-nilai Islam dan demokrasi dapat hidup berdampingan dalam kerangka yang sama, dan mengumumkan bahwa mereka akan membangun ‘demokrasi Islam’ di Palestina.
Mengingat bukti nyata kemampuannya—mematuhi prosedur demokrasi pada pemilu tahun 2006; menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pernyataan publiknya; dan menegaskan dalam manifesto pemerintahannya bahwa Islam dan demokrasi merupakan hal yang selaras—Hamas, sebagai kasus pertama kelompok Islam yang mencapai kekuasaan melalui cara-cara demokratis di dunia Arab, merupakan sebuah eksperimen dan sebuah pameran tentang bagaimana pemerintahan Islam dapat terwujud dalam praktiknya.

Kita cukupkan dulu topik kita tentang Hamas, dan pada fragmen berikut, kita lanjut dengan tema lainnya, bi 'idznillah."

Lalu, Yasmin pun bersenandung,

We will not go down
[Kami takkan tersungkur]
In the night without a fight
[Di senja tanpa perlagaan]
You can burn up our mosques and our homes and our schools
[Engkau boleh memberangus masjid dan tempat-tinggal serta sekolah kami]
But our spirit will never die
[Namun sukma kami takkan pernah binasa]
We will not go down
[Kami takkan tersungkur]
In Gaza tonight *)
[Di Gaza malam ini]
Kutipan & Rujukan:
- Tareq Baconi, Hamas Contained: The Rise and Pacification of Palestinian Resistance, 2018, Stanford University Press
- Norman G. Finkelstein, Gaza: An Inquest Into Its Martyrdom, 2018, University of California Press
- Bjorn Brenner, Gaza Under Hamas: From Islamic Democracy to Islamist Governance, 2017, I.B.Tauris & Co. Ltd
- Khaled Hroub, Hamas: A Beginner’s Guide, 2006, Pluto Press
- Matthew Levitt, Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad, 2006, The Washington Institute for Near East Policy
*) "We Will Not Go Down" karya Michael Heart