Selasa, 09 April 2024

Ramadan Mubarak (19)

“Seorang lelaki membawa mobilnya kepada temannya yang bekerja sebagai dealer mobil dan berkata, 'Sewaktu gua beli ni mobil, loe ngejamin bahwa loe bakal benerin apa pun yang rusak.'
'Yap, itu betul,' jawab sang rekan.
'Kalo gitu, gua butuh garasi baru.'"

"Islam, yang pertama dan terpenting, merupakan pemahaman keagamaan tentang dunia dan kosmos, yang dimediasi oleh konsep-konsep Tauhid. Pemahaman Islam tentang dunia dan peran orang-orang di dalamnya, terikat erat dengan masyarakat yang menerima pemahaman ini, sebagai bagian dari penentuan dirinya," berkata Yasmin sambil mengamati bagaimana suara adzan tiada henti berkumandang mengelilingi dunia. Dimulai dari Indonesia, adzan Subuh bermula di Papua, lalu ke arah Barat, Maluku, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Dari Indonesia, lanjut ke Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, China, Rusia, Bangladesh, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Mekkah, Madinah, Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait. Satu jam kemudian ke Mesir, Sudan, Somalia, Turki, Libya, Afrika, dan seterusnya hingga mencapai pantai Timur Samudera Atlantik usai bergulir selama sembilan setengah jam. Sebelum adzan tiba di Samudera Atlantik, proses adzan Dhuhur telah dimulai di Indonesia bagian Timur.

“Masyarakat ini, atau Ummah, terbentuk sebagai respons terhadap wahyu yang diberikan kepada Rasulullah (ﷺ). Meskipun pemahaman Islam tentang umat didasarkan pada Al-Qur'an, sejarah awal Islam, yaitu periode Rasulullah (ﷺ) dan para Sahabat (رضي الله عنهم) selama masa hidup beliau (ﷺ), juga memainkan peran penting pada poin ini. 'Ummah' merupakan entitas sosial-spiritual yang keberadaannya tak bergantung pada sistem politik apa pun. Maka, kendati bangsa-bangsa sebelumnya didirikan sebagai 'negara', yaitu sistem politik-militer yang didirikan oleh para penakluk, Ummah membentuk sebelum akhirnya berkembang menjadi sistem politik yang sekarang kita sebut ‘negara’. Istilah ‘negara’ (daulah) sebagai istilah politik, tak muncul sebelum berhasilnya pemberontakan dinasti Abbasiyah, tatkala Bani Abbasiyah dan pendukungnya, mulai mengatakan bahwa itulah negara mereka, guna menunjukkan bahwa Amir telah berpindah ke tangan mereka dari Bani Umayyah. Lalu, kita mulai melihat para sejarawan berbicara tentang negara Bani Umayyah atau negara Abbasiyah, negara Mu'awiyah atau negara Harun al-Rasyid, Istilah-istilah ini, menunjukkan berpindahnya Amir dari satu dinasti ke dinasti lainnya, atau dari satu raja ke raja lainnya, istilah-istilah yang makna hakikatnya, ditemukan dalam ayat Al-Qur'an,
وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗ
'... Masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan Allah mengetahui orang-orang beriman (yang sejati) dan sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada ....' [QS. 'Ali Imran (3):140]
‘Fikih Politik’ relatif baru muncul khususnya pada masa al-Mawardi. Lutforahman Saeed mengemukakan bahwa banyak cendekiawan Islam meyakini bahwa makna harfiah dari fikih [fiqh] adalah 'pemahaman mutlak', baik persoalannya jelas atau rumit. Mereka menyatakan bahwa istilah fikih bermakna yang sama dengan ilmu. Mereka menerima bahwa istilah faqīh atau ʿālim bersinonim, dan tak ada perbedaan makna. Mereka mendasarkan penggunaan istilah ini dalam beberapa ayat Al-Qur'an, seperti
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ
'Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, yafqahu qauli (agar mereka mengerti perkataanku).' [QS. Ta-Ha (20):27-28]
Dalam ayat ini, istilah fikih digunakan dalam konteks memahami apa yang diucapkan oleh seorang nabi. Ayat berikutnya dalam Al-Qur'an menyatakan,

قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗ 

'Mereka berkata, “Wahai Syuʻaib, Kami tak banyak mengerti ((mā nafqahu) apa yang engkau katakan itu, sedangkan kami sesungguhnya memandang engkau sebagai seorang yang lemah di antara kami ....' [QS. Hud (11):91]
Sedangkan ayat lain mengatakan,
وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
'... Tiada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi engkau tak mengerti (lā tafqahūna) tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.' [QS. Al-Isra (17):44]
Dalam ayat tersebut, kata fikih bermakna pemahaman mutlak. Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa ia bermakna pemahaman yang mendalam dan akurat terhadap suatu konsep. Mereka menyatakan bahwa kata fikih dalam ayat Al-Quran ini, digunakan untuk mengartikan pemahaman yang mendalam dan akurat terhadap sebuah konsep, bukan sekedar pengetahuan kulit luar:
وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَّمُسْتَوْدَعٌ ۗقَدْ فَصَّلْنَا الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّفْقَهُوْنَ
'Dan Dialah Yang menciptakanmu dari diri yang satu (Adam), maka (bagimu) ada tempat menetap dan tempat menyimpan. Sungguh, Kami telah memerinci tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada kaum yang memahami (yafqahūn).' [QS. Al-An-'am (6):98]
Menelaah penggunaan kata fikih dalam Al-Qur'an dan teks-teks Arab lainnya, Saeed berpendapat bahwa terma ini telah digunakan dalam pemahaman mendalam tentang konsep-konsep verbal dan ideologis ketimbang isu-isu objektif. Istilah fikih mengacu pada pemahaman yang mendalam, bukan pemahaman umum terhadap suatu konsep. Dalam Al-Qur'an, terma 'Fiqh' telah digunakan untuk memahami topik konseptual dan teoritis yang terbatas hanya pada persoalan verbal dan tekstual; ia tak digunakan untuk memahami hal-hal fisik atau nyata. Secara umum, arti harfiah dari istilah fiqh merujuk pada pemahaman suatu konsep verbal secara mendalam dan akurat, bukan tingkat pemahaman yang dangkal. Dalam praktiknya, terma fiqh banyak digunakan di kalangan ulama. Perbedaan tersebut berasal dari periode yang berbeda dan penafsiran para ulama yang berbeda-beda. Perbedaannya juga dapat bergantung pada cakupan topik terkait yang dibahas dan cakupan permasalahan yang tercakup dalam terma ini.

Apa yang dimaksud dengan negara dan apa fungsi spesifiknya, telah menjadi pertanyaan sentral dalam teori politik. Terdapat beragam kontribusi ilmiah mengenai bentuk, struktur, dan fungsi negara. Dalam Islam, negara bukanlah tujuan akhir, melainkan semata sarana memfasilitasi penafsiran dan penerapan peraturan hukum, yakni menegakkan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan di antara semua orang. Allah-lah sumber utama otoritas pemerintahan dan hukum. Inti dari keyakinan ini, bahwa Allah tidak turun untuk memerintah, namun menurunkan hukum-Nya (syariah) bagi pemerintahan. Dengan kata lain, syariah merupakan tuntunan bagi landasan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemerintahan dalam Islam dirancang khusus guna pelaksanaaan hukum yaitu memerintah secara adil berdasarkan ketetapan hukum. Dalam sistem Islam, tiada tempat bagi pemerintahan sewenang-wenang oleh satu individu atau kelompok, sebab selalu ada ruang musyawarah (syura). Berdasarkan konsensus umat Islam, kedaulatan Allah akan terlaksana dengan melaksanakan hukum-Nya. Inilah yang disepakati umat Islam: Hikmah Allah tak memberi wewenang kepada siapa pun membuat undang-undang bagi masyarakat sesuai keinginannya atau memerintah mereka berdasarkan otoritasnya sendiri. Mengapa?
Ibnu Taimiyyah (رحمه الله) berkata, 'Orang yang ditaati dalam kemaksiatan kepada Allah atau orang yang ditaati dalam mengikuti selain petunjuk agama yang benar; dalam kedua soal tersebut, jika apa yang diperintahkannya kepada umat manusia bertentangan dengan perintah Allah, maka ia seorang Taghut. Oleh karenanya, kami menyebut orang-orang yang memerintah dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan sebutan ‘Taghut’.
Ibnu Al-Qayyim (رحمه الله) berkata, 'Jadi, Taghut mengacu pada semua orang yang memerintah selain aturan Allah atau Rasul-Nya. Hal ini juga berlaku jika orang-orang menyembahnya atau mereka mengikutinya dengan mengabaikan Allah atau mereka menaatinya ketika mereka tak yakin apakah mereka menaati Allah. Maka, inilah Tawaghit [jamak dari Taghut] dunia dan jika engkau memperhatikannya dan melihat kondisi orang-orang yang bersamanya, kalian akan melihat bahwa sebagian besar dari mereka telah beralih dari beribadah kepada Allah, menjadi menyembah Taghut; dari memerintah berdasarkan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, ke hukum Taghut, dan dari menaati Dia dan Rasul-Nya menjadi menaati Taghut dan mengikutinya.'
Oleh karenanya, konstitusi atau undang-undang dan aturan yang diotak-atik guna kepentingan seseorang dan atau sekelompok orang tertentu, dapat mengarah ke Taghut. Sebagaimana teori politik dalam Islam sepenuhnya didasarkan pada pengakuan iman atau kesaksian bahwa 'Tuhan itu Mahaesa', maka orang yang mengakui bahwa ketuhanan semata milik Allah, dengan demikian mengakui bahwa kedaulatan dalam kehidupan manusia hanya milik Allah. Allah menjalankan kedaulatan dalam kehidupan manusia, di satu sisi dengan secara langsung mengendalikan urusan manusia berdasarkan kehendak-Nya dan, di sisi lain, dengan menetapkan tatanan dasar kehidupan manusia, hak asasi manusia, tugas, hubungan, dan kewajiban bersama melalui hukum dan rencana-Nya. Penegasan ini bermakna bahwa tak seorang pun dapat dipersekutukan dengan Allah, baik dalam kehendak-Nya, maupun dalam hukum dan rencana-Nya. Prinsip-prinsip penting ini didasarkan pada banyak ayat Al-Qur'an.

Dalam konteks ini, teori konstitusi modern, yang dianut oleh sebagian besar pemikir politik Islam, membagi tugas dan fungsi negara Islami ke dalam tiga kategori atau organ: (i) legislatif, (ii) eksekutif, dan (iii) yudikatif. Bentuk pembagian kekuasaan ini, tak wajib bagi umat Islam di segala masa, tempat, dan generasi. Banyak ulama yang memperluas ketiga organ tersebut menjadi empat dengan menambahkan satu organ lagi, yakni lembaga penyebar risalah. Ada pula yang mengintegrasikan tugas legislatif dan eksekutif. Sifat hubungan antara tugas badan-badan ini, berbeda-beda dan bergantung pada bentuk pemerintahan tertentu. Sulit juga menemukan dasar pembagian wewenang pada tahap awal umat.
Dalam terminologi teori Konstitusi modern, Khalifah pertama merupakan kepala eksekutif. Ia dipercaya mengurus urusan kemasyarakatan, politik, ekonomi, keamanan, dan lain-lain. Keadaan pada masa empat penerus pertama mengharuskan pembentukan dua institusi: (i) kepolisian untuk menjaga hukum dan ketertiban internal, dan (ii) tentara profesional untuk menjaga keamanan dari ancaman eksternal. Empat khalifah pertama menjalankan pula kekuasaan kehakiman, namun mereka berkonsultasi dengan orang-orang terpelajar. Seiring berjalannya waktu, para khalifah mendelegasikan fungsi peradilan mereka kepada hakim-hakim terkemuka, yang dihormati oleh para khalifah, dan biasanya bertindak independen. Singkatnya, tujuan utama lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif ialah memfasilitasi penerapan Hukum Islam sehingga dapat menegakkan keadilan dan kesetaraan sepenuhnya bagi semua orang, menjamin kebebasan dalam segala tipe dan bentuk, termasuk kebebasan beragama bagi semua orang, dan memastikan keamanan dari ancaman internal dan eksternal.

Sistem politik dalam Islam dapat dipahami sebagai aturan musyawarah, yaitu aturan dengan syura. Musyawarah-mufakat merupakan prinsip dasar dalam segala bidang sistem politik dan sosial Islam. Ia juga penting bagi berfungsinya organ-organ negara, keseluruhan aktivitasnya, dan identitas Islami. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam mengambil keputusan setelah bermusyawarah, baik dalam urusan publik maupun masalah lainnya. Hal ini membuat musyawarah menjadi wajib karena merupakan subjek dari perintah langsung Al-Qur’an yang spesifik, semisal perintah wajib shalat dan zakat. Syariah tak membatasi musyawarah pada bidang keagamaan, juga tak memberikan bentuk spesifik atau prosedur rinci musyawarah. Syariah memberikan pintu terbuka bagi umat Islam memilih metode yang paling sesuai dengan keadaan mereka, dalam waktu dan tempat.
Perlu dicatat, gagasan mengenai ‘kedaulatan itu milik Allah’ bermakna bahwa Allah-lah penata negara dalam perspektif Islam. Hal ini karena 'kedaulatan' bukan pada 'Allah', melainkan pada hukum dalam genggaman Allah. Negara, dalam pandangan Islam, dibatasi oleh dan bagi hukum. Oleh karenanya, kedaulatan negara dalam Islam, secara praktis merupakan kedaulatan hukum dan hukum membatasi kekuasaan pemerintahan, serta mengatur fungsinya. Membatasi kekuasaan pemerintahan pada hukum bukan berarti otokrasi, namun menyiratkan demokrasi dalam makna luas, sebab hukum memerlukan musyawarah. Dengan demikian, gagasan bahwa ‘kedaulatan itu milik Allah’ tak menjadikan teori politik dalam Islam, berbeda dengan teori politik demokrasi, namun meningkatkan unsur kesamaan dan kompatibilitas antara kedua sistem tersebut.
Syariah tak merinci segala hal dalam kehidupan ini, namun diam mengenai beberapa persoalan, termasuk metode musyawarah dan hal-hal lain yang menjadi inti struktur dan fungsi negara, dan antara negara dan subyeknya, antara subyek itu sendiri, dan antara negara dan negara lain dalam masyarakat dunia. Diamnya Syariah mengenai permasalahan ini, menunjukkan perlunya legislasi temporal yang berkelanjutan. Umat Islam diperbolehkan membuat undang-undang bagi urusan-urusan yang tak diatur dalam Syariah, serta urusan-urusan yang Syariah hanya memberikan prinsip-prinsip dasar yang luas tanpa hukum yang rinci. Ini bermakna, pertama-tama, bahwa peraturan perundang-undangan manusia bersifat temporal dan interpretatif, serta tak mutlak. Kedua, dalam Islam, rakyat membuat undang-undang bagi rakyat, sebagaimana rakyat membuat undang-undang bagi rakyat dalam demokrasi. Apa pun persoalannya, manusia akan menggunakan bakat dan keahliannya, membuat undang-undang sesuai dengan keadaan mereka. Di sini yang membedakan hanyalah masyarakat Islam akan membuat undang-undang berdasarkan semangat Syariah, sedangkan masyarakat demokrasi akan membuat undang-undang berdasarkan semangat kemanusiaan (bahkan boleh jadi, tanpa berdasarkan agama sama sekali). Semangat Syariah ini, tak bertentangan dengan semangat atau sifat kemanusiaan, malah selaras dengannya. Syariah dengan ruhnya, telah menyentuh akal-budi manusia dan berkomunikasi dengan intelek manusia dan semangat kemanusiaan. Singkatnya, peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada semangat Syariah atau atas dasar semangat kemanusiaan bukan berarti bahwa Islam dan demokrasi adalah dua hal yang bertentangan, dan tak menjadikan satu sistem jadi saling bertentangan, melainkan menambah kekuatan dan ketajaman unsur-unsur kesamaan antara kedua sistem. Akan tetapi, transendensi absolut kedaulatan Ilahi dan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan Syariah, secara radikal merelatifkan perundang-undangan manusia dibandingkan dengan semata memberikan wewenang kepada individu.

Karena negara Islami bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sarana yang memfasilitasi penegakan hukum dan mengatur urusan rakyat, maka jelaslah bahwa orang yang berkualifikasi dan terampil untuk melaksanakan tanggungjawab tersebut, dapat dipercayakan memegang kekuasaan kepala negara. Syarat kelayakan juga berimplikasi pada pengertian pemilu dan demokrasi. Metode dan prosedur diserahkan kepada rakyat guna merancang dan memilih yang terbaik bagi mereka. Kepala eksekutif kemudian dapat dipilih oleh perwakilan dan kemudian dipresentasikan kepada rakyat. Apakah kepala eksekutif harus dipilih oleh wakil-wakilnya (sejumlah orang, atau satu atau dua majelis—majelis tinggi dan rendah), atau oleh seluruh masyarakat, keputusan ada di tangan rakyat. Baik dalam model maupun metodenya, rakyatlah yang seyogyanya mengambil keputusan akhir. Hal yang perlu pula ditekankan di sini, bahwa rakyat tak terikat oleh kehendak petahana, atau pendahulunya, dan jabatan tersebut tak boleh diwariskan.
Kepala eksekutif tak berdaulat dan kedaulatan sama sekali bukan miliknya. Ia hanyalah salah seorang di antara rakyat, dipilih oleh rakyat dan diwajibkan oleh hukum meminta nasihat dari penasihat hukum dalam segala urusan penting negara. Kepala eksekutif hendaknya memfasilitasi penerapan prinsip-prinsip Islam, untuk menemukan solusi rasional dan sistematis terhadap masalah-masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya, menegakkan keadilan dan kesetaraan antara semua orang, dan melindungi urusan negara dari ancaman internal dan eksternal. Kesetiaan atau ketaatan kepada pemerintah dalam Islam, syaratnya adalah ketaatan pemerintah terhadap Syariat Islam. Kepala eksekutif seyogyanya ditaati hanya sejauh keputusannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berkaitan dengan kepentingan publik. Karena prinsip ini sangat penting bagi identitas negara, pemerintahan mana pun yang tak berdasarkan prinsip ini, tidak dapat disebut Islami, meskipun pemerintahan tersebut dijalankan oleh badan keagamaan resmi. Ketaatan rakyat diberikan hanya jika, dan selama, kepala eksekutif mengakui bahwa kedaulatan hanya milik Allah dan kemudian menerapkan prinsip-prinsip Islam tanpa kualifikasi apapun selain kebebasan, keadilan dan kesetaraan antara seluruh rakyat.
Hasil pemilu tak dipandang memberikan wewenang kepada kepala eksekutif agar mengadopsi undang-undang yang tak berlegitimasikan prinsip-prinsip Islam atau bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jika pemerintah menyimpang dari undang-undang, maka kewenangan pemerintah tersebut tidak sah dan harus diberhentikan dari jabatannya. Rakyat melalui cara-cara konstitusional yang disepakati, berhak penuh menggugat keputusan-keputusan pimpinan eksekutif apabila keputusan-keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Hasil pemilu memberikan mandat kepada kepala eksekutif terpilih untuk memerintah rakyatnya sesuai dengan hukum. Menerima mandat tersebut, menyiratkan bahwa kepala eksekutif terpilih telah menandatangani ‘kontrak’ dengan rakyat yang mengatur pemerintahan berdasarkan hukum.

Makna Syariah, tak terbatas pada prinsip-prinsip pemerintahan dan hukum-hukumnya saja, melainkan meliputi segala sesuatu yang ditetapkan Allah guna mengatur kehidupan manusia. Ini mencakup dasar-dasar keyakinan, pemerintahan, perilaku, ilmu, keputusan legislatif, dan prinsip-prinsip etika dengan memberikan nilai-nilai dan standar yang mengatur masyarakat dan dengan mana orang, benda, dan peristiwa, dievaluasi. Kemudian ia mengambil bentuk ilmu dalam segala aspeknya dan segala prinsip dasar aktivitas intelektual dan artistik.
Batasan yang ditetapkan oleh Syariah terhadap pemerintahan Islam, pada dasarnya menghalangi potensi kediktatoran, despotisme, otokrasi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang sejenis. Dalam perspektif bernegara dalam Islam, keadilan bersumber dari hukum itu sendiri. Agar hukum ini dapat diterapkan dengan benar, Islam bergantung pada aturan-aturannya yang jelas, bashirah dan hati-nurani para hakim, dan pengamatan masyarakat terhadap perintah-perintahnya. Setiap umat wajib mencegah kezaliman, menegur penguasa bila melampaui batas, dan menasihati hakim bilamana berbuat salah. Dalam Islam, seseorang berdosa jika ia tak bersaksi atau membiarkan kemungkaran, atau setidaknya, tak menarik perhatian ketika ia menyadarinya. Syariah memberikan perlindungan melalui sejumlah saluran seperti jaminan keamanan, jaminan kebutuhan material, keseimbangan sosial, dan keyakinan pada hukum. Hal ini memperhitungkan bahwa masyarakat dapat berfungsi secara efektif ketika semua anggotanya merasa aman dan tenteram. Jaminan keamanan merupakan bagian penting dari Hukum Islam. Misalnya, Syariah menjamin kelestarian kehidupan setiap manusia tanpa memandang ras, warna kulit atau agama. Ia memberikan jaminan kehormatan dan kepemilikan. Jaminan kehormatan tersirat dalam hukuman bagi pelaku zina, berbuat cabul, dan fitnah. Adapun mengenai harta benda yang diperoleh secara sah, jaminan tersirat dalam hukuman bagi pencurian yang tak disengaja. Ia menjamin bahwa tempat-tinggal tak boleh diganggu gugat. Tak seorang pun berhak memasuki rumah orang lain tanpa izin. Ia memberikan jaminan privasi. Memata-matai dilarang. Ia memberikan jaminan terhadap fitnah dan sumpah palsu. Individu seyogyanya dilindungi dari dakwaan, keputusan dan bukti palsu. Agar mencapai tujuan ini, Syariah memberikan aturan dan prosedur yang sangat mudah dilakukan. Dengan menerapkan Syariah, seluruh jaminan pribadi dan sosial atas hak asasi manusia terhadap kehidupan, kehormatan, harta benda dan keadilan, dijamin bagi individu oleh masyarakatnya.

Mengenai kebutuhan hidup, Syariah menghargai pentingnya kebutuhan material namun tak terlalu menekankan perannya dalam kesejahteraan manusia secara keseluruhan, karena dalam Islam, manusia adalah makhluk fisik dan spiritual. Pengakuan akan kebutuhan spiritual yang harus dipenuhi membedakan Islam dari doktrin materialistis. Syari'ah cukup menyadari bahwa hukum dan jaminan takkan efektif jika seseorang tak dapat memenuhi kebutuhannya. Syariah menjamin setiap orang bertaraf hidup yang layak guna menjamin keseimbangan sosial dalam masyarakat. Dalam Islam, sarana pertama yang memampukan manusia dan memberi penghidupan ialah dengan bekerja. Secara keseluruhan, Hukum Islam memberikan jaminan sosial. Keseimbangan sosial mudah dilihat dalam sistem politik Islam, dalam perundang-undangannya, dalam struktur peradilannya, dan dalam sistem jaminan sosialnya.
Oleh sebab itu, penguasa tak punya hak yang tak dimiliki oleh seorang Muslim kecuali ketaatan terhadap perintah, nasehat, dan bantuannya dalam menegakkan Syariah. Penguasa tak mempunyai hak hukum atau finansial selain hak-hak umat Islam pada umumnya, begitu pula keluarganya. Dalam sistem Islam, struktur keluarga dan hak individu bagi seluruh warga negara, juga diatur oleh Syariah. Syariah berfungsi sebagai tameng pelindung dalam membela hak dan kebebasan warga negara terhadap kekuasaan sewenang-wenang.

Sebagai kesimpulan, kita dapat melihat bahwa pemerintahan dalam Islam, sebagaimana dalam seluruh aspek kehidupan lainnya, pertama-tama memerlukan ketertundukan rakyat dan yang memerintah mereka, pada kedaulatan tertinggi hukum yang kerangka penting bagi kehidupannya, telah digariskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Namun hal ini bukan berarti bahwa pemerintahan dalam Islam mengambil bentuk teokrasi, sebab mereka yang memerintah tak dipisahkan secara Ilahiah dan tetap berada di bawah pengawasan rakyat, yang dapat memberhentikannya jika membuat undang-undang atau berperilaku bertentangan dengan hukum. Peran musyawarah amat penting dalam pemerintahan Islam, dan sangat penting baik dalam penunjukan pemimpin maupun dalam pelaksanaan urusan negara. Di antara semua hal tersebut, terdapat ciri-ciri pemerintahan Islam yang menyerupai bentuk demokrasi Barat dan ciri-ciri lain yang memberikan sistem tersebut, identitas Islami. Wallahu a'lam.”

"Masih banyak topik yang baik untuk dibincangkan seperti partisipasi masyarakat, hak-hak asasi manusia, perbedaan pendapat, dll., namun perkenankan daku mengakhiri episode ini. Rekanku, Kenanga, akan melanjutkan perbincangan kita insya Allah di bulan Syawal. Akhirul kalam bolehkan daku mengucapkan, SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM, TAQABBAL, YAA KARIIM."
Kutipan & Rujukan:
- Lutforahman Saeed, Islam, Custom and Human Rights: A Legal and Empirical Study of Criminal Cases in Afghanistan After the 2004 Constitution, 2022, Springer
- Abdullah Al-Ahsan, Ummah or Nation?: Identity Crisis in Contemporary Muslim Society, 1992, The Islamic Foundation
- Edmund Burke, III & Ira M. Lapidus (Eds.), Islam, Politics, and Social Movements, 1988, University of California Press
- Gerhard Bowering, The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought, 2013, Princeton University Press
- John L. Esposito (Ed.), The Oxford Dictionary of Islam, 2003, Oxford University Press