Selasa, 30 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (9)

“Sang paman bertanya pada keponakannya, 'Kalo paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus dua lagi, dapat berapa kucingnya?'
'Tujuh,' jawab sang ponakan.
'Enggak, bukaan, coba dengerin ... Kalau paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus tambah lagi dua kucing, berapa banyak yang kamu punya?"
Sekali lagi, jawabannya, 'Tujuh.'
'Gini, gini, biar paman jelasin dengan cara yang beda,' imbuh sang paman, 'Kalau paman ngasih kamu dua apel, tambah dua apel lagi, trus, ngasih lagi dua apel, berapa banyak yang kamu punya?'
'Enam,' jawabannya sesuai ilmu metematika.
'Bagus,' jawab sang paman. 'Nah sekarang, kalo paman ngasih kamu dua kucing, tambah dua kucing lagi, trus dua lagi, berapa banyak kucing yang kamu punya?'
Tapi, tetep aja tanggapannya, 'Tujuh!'
'Aduh bere, darimana pulak kau dapat tujuh iituw?!' si tulang mulai kesal.
'Soalnya, kucing yang aku punya itu, kucing garong, tulang!' jawab sang kemenakan."

“Sejak Reformasi Indonesia tahun 1998, pemerintahan yang baik dan bersih menjadi cita-cita. Nampaknya, tema Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) membuka seruan perang. Definisi korupsi yang luas, dapat memasukkan kolusi dan nepotisme sebagai penyalahgunaan jabatan publik demi kepentingan pribadi. Nepotisme diharapkan bisa keluar, menurut Reformasi, akan tetapi belakangan ini, telah merangsek masuk lebih dalam,” lanjut Kenanga sembari memperhatikan sebuah potret yang disebut media 'Lagi Gemesy': kedua tangan Jenderal 08 memegang kedua lengan Abah. Ternyata oh ternyata, orang yang paling menggemaskan diantara yang paling menggemoykan itu, Abah tho!

"Dinara Safina menulis tentang Favoritisme dan Nepotisme dalam sebuah organisasi. Favoritisme, dari kata Latin 'favor' yang bermakna 'belas-kasihan', dirasakan sebagai perlindungan yang tak adil dan merugikan terhadap antek-antek yang menjabat hingga prasangka terhadap tujuan bersama. Favoritisme dalam kehidupan bernegara dan sosial, lebih sering muncul dalam bentuk patronase penuh semangat terhadap 'peliharaan' (favorit) dan penunjukan mereka pada posisi superior meskipun mereka tak berkemampuan atau pengalaman yang diperlukan bagi tugas tersebut. Oleh karenanya, orang yang difavoritkan ialah orang yang mendapat kepercayaan dari atasannya dan mempengaruhi keputusannya agar naik tangga karier berkat rasa keterpilihan.
Istilah 'favoritisme' berkaitan erat dengan gagasan seperti nepotisme (dari kata Latin 'nepos', 'nepotis', yang berarti 'cucu, keponakan') serta kronisme (misalnya, pekerjaan berdasarkan prinsip ikatan almamater) diberikan kepada kerabat atau teman, tanpa memandang nilai profesionalnya. Foreign Words Dictionary memuat Nepotisme sebagai perlindungan resmi terhadap kerabat dan orang yang tepat, yaitu Kronisme. Hal ini menyiratkan bahwa favoritisme dan nepotisme terjadi dalam kasus-kasus dimana patron yang diberi kekuasaan, mendorong sang favorit atau sang nepot agar naik jenjang kariernya, terlepas dari pengalaman, pengetahuan, layanan, dan kemajuannya.
Menurut Safina, akibat dari favoritisme dan nepotisme, dapat berupa: demotivasi personel; sikap apatis personel, hilangnya kepercayaan diri dan kemampuan; keterasingan sosial, perasaan tak berguna dalam organisasi; ketakutan yang terus-menerus dan pemikiran antisipatif yang negatif (takut diturunkan jabatan, rightizing, dan lain-lain); pemecatan terhadap rekan kerja berpotensi besar yang nekat menduduki jabatan yang diinginkan karena sudah ditempati oleh sang favorit; solusi kebijakan ketenagakerjaan yang tak efisien, misalnya. penugasan pada suatu posisi pegawai yang sama sekali tak pantas mendapatkannya menurut kriteria moral dan profesionalnya; pembatasan atau kurangnya persaingan mengenai proyek-proyek yang menjanjikan atau posisi senior di antara rekan kerja; perilaku tak bertanggungjawab dari kelompok favorit dan nepot karena adanya kepastian 'Gue gak bakalan di apa=apain, soalnya gua anak emas atau saudara'; perilaku sang favorit yang tak terkendali membahayakan keamanan ekonomi kegiatan organisasi; menghancurkan fondasi kerja sama tim; menciptakan budaya organisasi yang lemah ('tidak sehat') yang ditandai dengan intrik dan maraknya pengeroyokan, yaitu teror psikologis dan dalam beberapa kasus ekstrim secara fisik oleh sang favorit karena rasa impunitasnya; pengaruh negatif sang favorit terhadap pengambilan keputusan manajerial terlihat jelas dalam kenyataan bahwa sang favorit yang mengeluarkan kepentingannya memaksakan pertimbangannya kepada pemimpin tentang siapa yang harus dipekerjakan, dikontrak, menutup transaksi atau tidak, dll. Safina menilai, berkembangnya favoritisme dan nepotisme secara keseluruhan membahayakan perkembangan organisasi.
Favoritisme dan nepotisme menghambat persaingan yang efektif untuk mendapatkan posisi-posisi superior dan menghambat kemajuan karir para karyawan berkinerja tinggi, yang ternyata menjadi salah satu penyebab terjadinya 'brain drain' di suatu negara. Tentu saja, para ilmuwan berbakat, para profesional berketerampilan tinggi, dan wirausahawan meninggalkan negerinya, karena berbagai alasan, di antaranya lingkungan kelembagaan yang tak mendukung operasi bisnis, rendahnya upah tenaga kerja, peralatan yang tak memadai, keterbelakangan teknologi, dan lingkungan kerja yang tak mendukung. Favoritisme, dan khususnya kronisme, memfasilitasi korupsi. Oleh karenanya, harus ditarik kesimpulan bahwa favoritisme dan nepotisme berdampak buruk terhadap pembangunan organisasi dan ekonomi.

Penelitian selama puluhan tahun di bidang ilmu politik, ekonomi, dan antropologi, kata Jone L. Pearce, telah menunjukkan bahwa nepotisme dan kronisme berdampak buruk bagi kinerja organisasi. Nepotisme dan kronisme merusak jenis hubungan sosial yang menciptakan tempat kerja yang manusiawi dan dapat ditoleransi serta mendorong kinerja organisasi. Tak ada bukti bahwa nepotisme dan kronisme memfasilitasi jenis hubungan pribadi yang dicari oleh para psikolog I-O, dan terdapat bukti penelitian yang substansial (serta kesimpulan pribadi dari siapa pun yang pernah melihat nepotisme dan kronisme beroperasi di organisasi sebenarnya) bahwa nepotisme dan kronisme melemahkan organisasi dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Nepotisme dan kronisme buruk bagi karyawan yang dipaksa mempertimbangkan kewajiban yang bertentangan, buruk bagi rekan kerja yang kehilangan semangat ketika mereka mencurigai hal terburuk, dan buruk bagi kinerja organisasi.

Nepotisme dapat didefinisikan sebagai favoritisme terhadap kerabat, biasanya dalam bentuk menawarkan pekerjaan kepada mereka, tulis Rimvydas Ragauskas dan Ieva Valeškaitė. Di sektor publik, ia dipandang sebagai fenomena yang sangat beracun lantaran bertentangan dengan kepentingan publik: masyarakat pada umumnya berharap bahwa pegawai negeri berhak mendapatkan pekerjaan mereka, dan dipekerjakan sesuai dengan kriteria berdasarkan prestasi. Nepotisme memutus hubungan antara lapangan kerja dan meritokrasi, serta dapat membuka peluang eksploitasi negara. Dengan kata lain, nepotisme menimbulkan kerugian pada masyarakat, mulai dari persaingan tak sehat dalam mendapatkan kesempatan kerja, hingga penggelapan dana publik.
Nepotisme di sektor publik merupakan masalah yang menonjol, para peneliti telah memberikan sejumlah bukti mengenai dampak negatif nepotisme di sektor publik pada tingkat mikro dan makro. Pada tingkat mikro, terlihat bahwa menjadi kerabat politisi atau pegawai sektor publik, memberikan keuntungan yang cukup besar di pasar tenaga kerja. Kerabat dekat pegawai negeri dan politisi, cenderung bekerja di sektor publik, atau bahkan swasta, dan memperoleh gaji yang lebih tinggi. Nepotisme mencerminkan pula, tergerusnya meritokrasi, sebab individu yang kurang memenuhi syarat, terbukti paling diuntungkan dari praktik perekrutan dan peningkatan karier yang korup.
Para peneliti, juga telah menunjukkan bagaimana dampak nepotisme berpengaruh pada perekonomian yang lebih luas. Ia dapat mengganggu distribusi kekayaan dan status, yang dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan keresahan sosial. Selain itu, berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik. Ditambah lagi, menimbulkan pula dampak negatif terhadap kesejahteraan melalui pemborosan atau bahkan penggelapan dana publik secara langsung.

Nepotisme lebih banyak terjadi manakala gaji sektor publik ditetapkan di atas tingkat optimal dan keputusan perekrutan berada di tangan individu, bukan di tangan komite perekrutan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Geys (2017) menunjukkan bahwa para pemilih memprioritaskan meritokrasi dibanding menjadi anggota dinasti politik, sementara politisi cenderung lebih memilih anggota keluarga—meskipun jika kurang memenuhi syarat—saat mengambil keputusan perekrutan.
Di sisi lain, literatur yang lebih luas mengenai patronase memberikan beberapa petunjuk mengenai kemungkinan faktor penentu nepotisme. Para peneliti telah menunjukkan bahwa lapangan kerja publik seringkali lebih tinggi di daerah-daerah yang kurang berkembang. Pekerjaan publik kemudian dapat dilihat sebagai kebijakan redistributif, yang menyebabkan terjadinya kelebihan lapangan kerja di sektor publik tapi dapat mengurangi masalah pengangguran dan ketidakamanan ekonomi di daerah-daerah yang kurang berkembang. Penjelasan lain menunjukkan bahwa lapangan kerja publik yang berlebihan bukanlah kebijakan yang dimaksudkan agar memaksimalkan kesejahteraan sosial, melainkan sebuah alat menarik rente yang digunakan sebagai respons terhadap tuntutan kelompok-kelompok penekan. Tekanan menciptakan lapangan kerja publik lebih tinggi ketika kesempatan kerja lain langka.

Maraknya nepotisme memunculkan narasi alternatif, yang menunjukkan bahwa membengkaknya sektor publik mungkin disebabkan oleh birokrat yang memanfaatkan posisi mereka guna mengambil keuntungan. Dalam skenario ini, pegawai negeri yang sudah mendapat manfaat dari pembayar pajak memperoleh manfaat tambahan dengan membagikan pekerjaan kepada kerabat dekat mereka. Ada argumen yang menyatakan bahwa kelebihan lapangan kerja publik mungkin disebabkan oleh perilaku oportunistik para politisi dan birokrat yang tak bereaksi terhadap kebutuhan publik, atau tekanan dari kelompok lobi, namun hanya melayani kepentingan sempit mereka sendiri. Di kota-kota dimana kesempatan kerja sangat langka, kerabat pegawai negeri mempunyai lebih sedikit alternatif mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, dan birokrat merasakan tekanan yang lebih besar mempekerjakan mereka.
Para peneliti telah menunjukkan bahwa patronase menyebabkan kelebihan staf; rendahnya kualitas pelayanan publik; dan bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi yang disebabkab pengalihan sumber daya yang tak berguna bagi investasi produktif. Penelitian tentang nepotisme menunjukkan pula bahwa nepotisme menyebabkan alokasi pekerjaan di sektor publik, menjadi tak optimal dan menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan karena rendahnya kualitas layanan publik, pemborosan, atau sekadar fraud.

Nepotisme merupakan mekanisme perekrutan yang umum terjadi di perusahaan (keluarga) dimana keluarga menggunakan kendali mereka mempekerjakan anggota keluarga—sehingga melanggengkan keterlibatan keluarga dari waktu ke waktu dan lintas generasi. Oleh karenanya, praktik nepotismelah yang memfasilitasi tujuan umum keluarga mewariskan kepemimpinan yang kuat kepada generasi berikutnya. Namun, karena nepotisme mendiskriminasi orang yang bukan anggota keluarga, maka nepotisme dipandang merugikan masyarakat. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa nepotisme dapat merugikan perusahaan itu sendiri.
Peter Jaskiewicz [dkk] mengemukakan bahwa berdasarkan kondisi keluarga yang menunjukkan jenis hubungan pertukaran sosial antar anggota keluarga, jenis nepotisme dapat dibedakan. Perekrutan yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan tanpa mempertimbangkan kondisi keluarga, disebut dengan entitlement nepotism. Entitlement nepotism (nepotisme pemberian hak) dapat terjadi, stabil dan didukung oleh pihak lain berdasarkan tradisi keluarga atau budaya. Karena nepotisme ini tertanam begitu dalam, maka nepotisme jenis ini, juga dapat menimbulkan disfungsi, berbahaya, dan merugikan perusahaan. Entitlement nepotism mencerminkan model manusia yang mendasari literatur altruisme asimetris, teori keagenan, dan ekonomi biaya transaksi dalam bisnis keluarga. Asumsi yang mendasarinya ialah bahwa hubungan agen antara anggota keluarga dapat melibatkan tujuan egosentris, asimetri informasi, rendahnya tingkat kepercayaan, dan akhirnya eksploitasi mitra perdagangan. Sang nepot yang diberikan hak, lebih besar kemungkinannya mengeksploitasi sumber daya perusahaan keluarga demi keuntungan pribadi ketimbang menggunakannya bagi keuntungan kolektif pemilik perusahaan keluarga saat ini dan di masa depan.
Nepotisme yang dikaitkan dengan kondisi keluarga yang saling ketergantungan, interaksi sebelumnya, dan norma budaya yang mendukung kewajiban terhadap anggota keluarga, disebut sebagai nepotisme timbal-balik (reciprocal nepotism). Nepotisme timbal-balik memperluas perspektif yang telah ada sebelumnya mengenai dampak nepotisme dan membantu menjelaskan potensi kinerja unggul dari perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan pertukaran umum di antara anggota keluarga dalam kebijakan ketenagakerjaan mereka. Meskipun hubungan pertukaran keluarga sangat bervariasi, hubungan tersebut berpotensi yang lebih besar dibandingkan hubungan non-keluarga terhadap hubungan pertukaran sosial jangka panjang, stabil, dan umum serta timbal-balik tak langsung. Tindakan nepotisme dapat memilih anggota keluarga yang berbagi pertukaran umum dengan pengambil keputusan keluarga. Dalam kasus seperti ini, sang nepot akan merasa berhutang budi kepada anggota keluarga yang telah mempekerjakannya.

Carol L. Vinton memaparkan bahwa Nepotisme merupakan praktik sumber daya manusia yang mempengaruhi segala jenis organisasi keluarga dan non-keluarga. Nepotisme berdampak pada beberapa permasalahan manajerial.
Menurut Alma Shehu Lokaj, nepotisme adalah suatu bentuk diskriminasi dimana anggota keluarga atau teman, dipekerjakan bukan karena bakat, atau pengalamannya, melainkan semata karena mereka itu kerabat pemilik atau eksekutif perusahaan. Nepotisme merupakan masalah umum di hampir semua organisasi dan mempengaruhi moral, budaya, dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Nepotisme dianggap sebagai bentuk korupsi dan tindakan harus diambil agar memberantas fenomena ini, walaupun masyarakat mengatakan tak mungkin memberantas nepotisme.

Pada episode selanjutnya, kita akan perbincangkan kembali topik Safar. Bi 'idznillah."

Kenanga kemudian berdendang,

Dimana oh dimana, cinta yang sejati?
Kucari, kucari, telah lama kucari
Ternyata oh ternyata, tak perlu mencari
Karena, karena, kamulah orangnya *)
Kutipan & Rujukan:
- Fiona Robertson-Snape, Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia, The New Politics of Corruption, Third World Quarterly Vol. 20, No. 3, 1999, Taylor & Francis, Ltd.
- Dinara Safina, Favouritism and Nepotism in an Organization: Causes and Effects, Procedia Economics and Finance, 23, 2015, Elsevier
- Jone L. Pearce, Cronyism and Nepotism Are Bad for Everyone: The Research Evidence, Industrial and Organizational Psychology Volume 8 Issue 01 pp 41 - 44, March 2015, Cambridge Journals
- Rimvydas Ragauskas & Ieva Valeškaitė, Nepotism, Political Competition and Overemployment, Political Research Exchange Volume 2; Issue 1, 2020, Informa
- Peter Jaskiewicz, Klaus Uhlenbruck, David B. Balkin and Trish Reay, Is Nepotism Good or Bad? Types of Nepotism and Implications for Knowledge Management, Family Business Review, 24 January 2013, SAGE
- Karen L. Vinton, Nepotism: An Interdisciplinary Model, Family Business Review Volume 11; Issue 4, 1998, John Wiley and Sons
- Alma Shehu Lokaj, Nepotism as a Negative Factor in Organization Performance, Academic Journal of Interdisciplinary Studies Vol 4 No 2 S1, August 2015, MCSER Publishing
*) "Kamulah Orangnya (Sendiri)" dibawakan oleh Indra Oktiana