Senin, 01 April 2024

Ramadan Mubarak (15)

"Seorang lelaki bertanya kepada rekannya, 'Loe pernah denger gak, soal orang yang ketangkep di bonbin karena ngasih makan burung dara?'
'Kagak. Emang salah kalo ngasih makan burung dara?' tanggap sang rekan.
'Doi ngasih makan burung daranya ke singa,' pungkas sang lelaki." 
“Islamofobia, seperti halnya anti-Semitisme, kata John L. Esposito, takkan bisa diberantas dengan mudah atau cepat. Islamofobia bukanlah semata masalah bagi umat Islam; ia merupakan masalah kita semua. Pemerintah, pembuat kebijakan, media, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan dan para pemimpin perusahaan, punya peran penting dalam mentransformasi dan mempengaruhi masyarakat kita, serta kebijakan-kebijakan kita guna membendung ujaran-ujaran kebencian dan teologi-teologi eksklusivis (baik dari kelompok agama militan maupun fundamentalis sekuler) jika kita ingin mendorong pemahaman dan perdamaian global,” lanjut Yasmin saat menyaksikan Menara Nabi Isa yang berada di sisi kiri Masjid Umayyah atau dikenal juga dengan Masjid Agung Damaskus. Masjid ini merupakan karya arsitektur monumental pertama dalam sejarah Islam dan, kemungkinan, akan menjadi tempat Nabi Isa bin Maryam (عليه السلام) turun kembali ke bumi menjelang akhir zaman. Tempat dimana masjid sekarang berdiri, pada awalnya sebuah kuil yang didedikasikan bagi berhala Hadad di era Armenia sekitar 3000 tahun yang lalu. Tatkala bangsa Romawi memerintah Damaskus, sebuah kuil dibangun untuk memuja Yupiter. Kemudian menjadi gereja Kristen yang didedikasikan bagi Yohanes Pembaptis, atau Nabi Yahya (عليه السلام), di era Bizantium menjelang akhir abad keempat. Usai perang Yarmouk pada tahun 636 M, Damaskus ditaklukkan oleh umat Islam di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid (رضي الله عنه). Umat Islam berbagi gedung gereja dengan umat Kristiani beribadah. Umat Islam shalat di sisi Timur bangunan dan umat Kristiani di bagian Barat.

"Nathan Lean mengungkapkan bahwa kini semakin mudah mengidentifikasi Islamofobia pada kelompok sayap kanan dalam spektrum politik. Di situ, manifestasinya, baik dalam retorika maupun tindakan, lebih kentara dan mencolok-mata. Partai-partai dan politisi sayap kanan, pemimpin agama konservatif, blogger radikal, dan aktivis yang sangat giat, semuanya telah membantu memperkuat prasangka anti-Islam dalam kategori umum 'kanan' dengan cara yang tak dipunyai oleh kelompok progresif 'kiri''. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, semakin jelas bahwa Islamofobia ditemukan pula di kalangan sayap kiri, dan kendati terselubung dalam pernyataan mengenai kebebasan berpendapat, liberalisme, atau bahkan dikemas dalam bahasa nilai-nilai progresif, ia paling tidak tetap ada dan memerlukan pengawasan. Hal ini terutama terjadi mengingat kaum liberal belakangan mengaitkan diri dengan isu ini dan menyelaraskan diri dengan suara-suara yang lebih kasar dan berbahaya, yang berasal dari industri Islamofobia.
Salah satu perbedaan utama antara Islamofobia di kelompok sayap kanan dan Islamofobia di kelompok kiri, bahwa Islamofobia di kelompok kiri biasanya ditampilkan dengan lapisan kebajikan, sedangkan Islamofobia di kelompok kanan cenderung lebih disengaja dan terang-terangan. Hal ini tak selalu terjadi, dan ada beberapa contoh kaum liberal yang terus-menerus menghina Muslim dan Islam. Namun, tampaknya, sebagian besar kaum liberal mengetahui bahwa kubu progresif dimana mereka mempertaruhkan kepemilikan politiknya, tak menoleransi pandangan yang terang-terangan bermusuhan terhadap kelompok minoritas, dan sikap 'progresif' memerlukan pemikiran ke depan yang tak hanya dicela oleh kelompok-kelompok prasangka yang mematikan, bahkan stereotip yang lebih lembut, yang mungkin termasuk dalam apa yang disebut Edward Said sebagai 'Orientalisme'.

Menurut Walter D. Mignolo, 'Orientalisme' seperti yang diajarkan filsuf Maroko Abdelkebir Khatibbi pada awal tahun tujuh puluhan dan dipopulerkan Edward Said pada akhir tahun tujuh puluhan, merupakan penemuan modernitas kedua yang didominasi oleh Inggris, Prancis, dan Jerman, baik dalam bidang ekonomi, politik. dan domain epistemik. Para Oriental—orang-orang Timur—mengambil tempatnya, bagi negara-negara imperium baru dan para intelektual Occidentals Spanyol dan Portugis—sebuah pengingat bahwa Amerika diberi nama Indias Occidentales dalam seluruh dokumen berbahasa Spanyol dan Portugis. Indias Occidentales merupakan negeri para budak India dan Afrika. Orient—nama lama bagi Asia, atau Timur. Di sinilah matahari terbit, dan tentu saja, akar kata Latin dari orient bermakna 'terbit', semisal terbitnya matahari—dapat bermakna Asia Timur adalah negeri orang Arab, India, Cina, Jepang, dan tentu saja, Muslim. Namun pada masa negara-bangsa sekuler (dimana Immanuel Kant dan George W. Friedrich Hegel membayangkan dunia kosmopolitan dan sejarah dunia), etnisitas (semisal Arab) lebih diutamakan daripada agama (contohnya, Islam).
Revolusi Industri membutuhkan 'sumber daya alam'. Kapitalisme pada saat itu, menambahkan produksi 'produk alami' (segala sesuatu yang berkaitan dengan pertanian bagi konsumsi manusia) ke dalam 'sumber daya alam' (segala sesuatu yang berkaitan dengan memberi makan mesin, hingga konsumsi mesin). Penemuan Timur Tengah merupakan sebuah operasi guna menandai suatu wilayah, dalam gambaran yang lebih luas tentang Timur Tengah, yang kaya akan sumber daya alam, khususnya minyak. Sejarah mulai dari penemuan minyak dan penemuan Timur Tengah hingga Perang Teluk dan invasi ke Irak telah dikisahkan berkali-kali dan diketahui secara umum perkembangannya. Seusai Perang Dunia II, tak lagi (semata) London, melainkan (terutama) Washington yang memimpin hubungan masyarakat dan perang dengan Timur Tengah. Keberadaan ini semakin diperumit dengan keberadaan Uni Soviet.

Menurut Green, Orientalisme itu, istilah yang awalnya dimunculkan guna menggambarkan studi ilmiah di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia; dalam pemikiran pascakolonial, istilah ini mengacu pada wacana kekuasaan yang memungkinkan imperium Barat memerintah dan berwenang atas Timur. Manakala negara-negara Eropa memperluas imperium mereka pada abad kesembilan belas, orang-orang Eropa mengembangkan minat yang lebih besar mempelajari bahasa, sejarah, budaya, dan agama masyarakat jajahan. Istilah Orientalisme masuk ke dalam bahasa-bahasa Eropa pada abad kesembilan belas guna menggambarkan studi ilmiah di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia.
Menelusuri asal-usul Orientalisme, terutama fokus para orientalis terhadap sejarah dan bahasa-bahasa Islam yang relevan, memerlukan penelusuran lebih jauh lagi. Perhatian serius terhadap studi akademis Islam dan khususnya bahasa Arab telah terjadi pada akhir abad keenam belas. Pelajaran reguler bahasa Arab dimulai di College de France di Paris pada tahun 1587. Pada tahun 1613, Universitas Leiden di Belanda mendirikan jurusan studi khusus bahasa Arab, diikuti oleh Cambridge dan Oxford di Inggris pada tahun 1632 dan 1634. Dengan didirikannya sekolah khusus studi bahasa-bahasa Oriental di Perancis pada tahun 1795, landasan bagi Orientalisme sebagai suatu disiplin akademis yang telah berdiri kokoh.

Abad kesembilan belas dan kedua puluh mempersaksikan berkembangnya sains, sastra, dan seni Eropa yang berfokus pada Timur. Penting ditekankan bahwa beberapa orientalis sangat mengagumi dan menghormati Timur dan Islam. Misalnya, Thomas Carlyle, seorang penulis terkemuka Inggris abad kesembilan belas, menyampaikan ceramah kondang pada tahun 1840 tentang Rasulullah (ﷺ). Bertentangan dengan kisah-kisah Kristen abad pertengahan tentang Rasulullah (ﷺ) sebagai seorang penipu dan nabi palsu, Carlyle menegaskan bahwa Rasulullah (ﷺ) merupakan pribadi yang bervisi besar, yang menanamkan harapan pada jutaan orang dan yang pengaruhnya membuat beliau (ﷺ) memenuhi syarat mendapat tempat terhormat. bersama tokoh transformatif lainnya dalam sejarah, termasuk Martin Luther, Shakespeare, dan Frederick Agung. Namun, banyak orientalis yang mengembangkan gambaran tentang masyarakat Muslim dan Arab yang melanggengkan stereotip abad pertengahan atau mencerminkan asumsi-asumsi yang lebih kontemporer, yang terkadang didukung oleh daya tarik terhadap sains, tentang superioritas budaya dan bahkan ras yang intrinsik dari orang Eropa atas Muslim. Contoh pemikiran yang terakhir dapat ditemukan dalam karya Ernest Renan, seorang filolog dan pakar agama Perancis.
Stereotip dan kekhawatiran pramodern juga masuk ke dalam Orientalisme, walaupun para orientalis mengemasnya kembali agar mencerminkan kepentingan zaman. Salah satu contoh yang menonjol ialah mengenai buruknya status perempuan dalam Islam. Kecenderungan mengkonstruksi orang Islam sebagai 'orang lain' yang esensial dibanding orang-orang Eropa, seringkali dengan asumsi bahwa orang-orang Eropa lebih superior dalam budaya dan peradaban, menyatukan banyak keilmuan, sastra, dan seni Orientalis. Tentu saja, konstruksi Eropa mengenai Muslim sebagai 'orang lain' yang utama sudah ada sejak Abad Pertengahan. Namun, umat Kristen abad pertengahan tak serta merta memandang Islam sebagai peradaban inferior yang lebih tertinggal dari pencapaian Eropa. Sebaliknya, seperti disebutkan dalam bab sebelumnya, Eropa abad pertengahan, mendapat inspirasi dari pencapaian peradaban Islam di berbagai bidang termasuk filsafat, sains, dan musik.

Seiring dengan berkembangnya Orientalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, semakin banyak cendekiawan, penulis, dan seniman yang yakin bahwa umat Islam berasal dari peradaban yang dulunya besar, namun kini terpisah dan secara intrinsik inferior, yang semata tak punya kompleksitas dan keberagaman, namun pula, tak memberikan banyak manfaat pada peradaban Barat. Fakta bahwa kecenderungan melakukan esensialisasi terhadap umat Islam dengan cara seperti ini, muncul pada masa ekspansi kolonial Eropa yang sangat berarti, menunjukkan bahwa Orientalisme bukanlah upaya tanpa pamrih atau pencarian obyektif terhadap pengetahuan tentang budaya dan agama non-Barat. Tentu saja, tak semua orientalis secara sadar membenarkan proyek kolonial Eropa, dan tak semua orientalis mendukung imperialisme. Namun konteks politik dan sejarah dimana Orientalisme abad kesembilan belas terbentuk, memang menimbulkan pertanyaan: hubungan seperti apa yang ada antara kolonialisme Eropa dan Orientalisme?
Upaya sangat menonjol di akhir abad kedua puluh guna menggambarkan hubungan antara kolonialisme dan Orientalisme muncul dalam karya Edward Said, seorang tokoh pendiri studi pascakolonial. Edward Said menulis bahwa Orientalisme merupakan cara berdamai dengan Timur yang didasarkan pada 'Orient special base' dalam pengalaman Eropa Barat. Dunia Timur tak cuma berbatasan dengan Eropa; wilayah ini merupakan pula tempat koloni terkaya dan tertua di Eropa, sumber peradaban dan bahasa, kontestan budayanya, dan salah satu gambaran terdalam dan paling sering muncul tentang 'orang lain' [atau 'mereka' bukan kita]. Selain itu, Timur telah membantu mendefinisikan Eropa (atau Barat) sebagai citra, gagasan, dan pengalaman pribadi yang kontras. Namun tak satu pun dari Timur ini, yang sekadar imajinatif. Timur merupakan bagian integral dari peradaban dan budaya material Eropa. Orientalisme mengekspresikan dan merepresentasikan bagian tersebut secara kultural, bahkan ideologis, sebagai mode wacana dengan institusi pendukung, kosa kata, keilmuan, pencitraan, doktrin, serta birokrasi kolonial dan gaya kolonial. Sebaliknya, pemahaman Amerika mengenai Timur akan tampak kurang padat, meskipun petualangan kita di Jepang, Korea, dan Indochina baru-baru ini, seharusnya membangun kesadaran 'Oriental' yang lebih mawas-diri dan realistis. Selain itu, peran politik dan ekonomi Amerika yang semakin luas di Timur Dekat (Timur Tengah) memberikan pengaruh besar terhadap pemahaman kita tentang Orient atau Timur tersebut.

Pilihan 'Oriental' bersifat kanonik; ia telah digunakan oleh Chaucer dan Mandeville, oleh Shakespeare, Dryden, Pope, dan Byron. Ia menunjuk pada Asia atau Timur, secara geografis, moral, dan budaya. Di Eropa, seseorang dapat berbicara tentang kepribadian Oriental, suasana Oriental, kisah Oriental, despotisme Oriental, atau cara produksi Oriental, dan dapat dipahami. Marx dan Balfour juga menggunakannya.
Orang-orang Timur atau Arab digambarkan mudah tertipu, 'tak punya energi dan inisiatif,' banyak menyukai 'sanjungan yang berlebihan,' intrik, kelicikan, dan sikap tak ramah terhadap binatang; Orang-orang Timur tak bisa berjalan di jalan raya atau trotoar (pikiran mereka yang kacau tak mampu memahami apa yang langsung dipahami oleh orang-orang Eropa yang cerdas, bahwa jalan raya dan trotoar dibuat bagi pejalan kaki); Orang-orang Timur itu, pembohong yang lazim, mereka 'lamban dan suka curiga', dan dalam segala hal, menentang kejelasan, keterusterangan, dan kemuliaan ras Anglo-Saxon.

Sejak pertengahan abad kedelapan belas, terdapat dua elemen utama dalam hubungan antara Timur dan Barat. Salah satunya ialah berkembangnya pengetahuan sistematis di Eropa tentang Timur, pengetahuan yang diperkuat oleh pengalaman kolonial serta meluasnya minat terhadap hal-hal asing dan tak lazim, yang dieksploitasi oleh berkembangnya ilmu-ilmu etnologi, anatomi komparatif, filologi, dan sejarah; lebih jauh lagi, pada pengetahuan sistematis ini, ditambahkan sejumlah besar literatur yang dihasilkan oleh novelis, penyair, penerjemah, dan para pelancong. Ciri lain dari hubungan Timur-Eropa bahwa Eropa selalu berada dalam posisi yang kuat, bila tak ingin mengatakan mendominasi. 
Banyak istilah yang digunakan untuk mengungkapkan hubungan tersebut: orang Timur itu tak rasional, bejat, kekanak-kanakan, 'berbeda'; dengan demikian orang Eropa adalah orang yang rasional, baik-hati, dewasa, 'normal'. Namun cara meramaikan hubungan ini ialah dengan menekankan fakta bahwa masyarakat Timur hidup dalam dunianya sendiri, yang berbeda namun terorganisir secara menyeluruh, sebuah dunia dengan batas-batas nasional, budaya, dan epistemologis serta prinsip-prinsip koherensi internalnya sendiri. Namun apa yang membuat dunia Timur dapat dipahami dan menjadi identitasnya, bukanlah hasil usahanya sendiri, melainkan serangkaian manipulasi pengetahuan yang kompleks, yang dengannya dunia Timur diidentifikasikan oleh Barat. Dengan demikian, kedua ciri hubungan budaya menjadi satu. Pengetahuan tentang Timur, karena dihasilkan dari kekuatan, dalam makna menjadikan Timur, Oriental, dan dunianya. Oriental dicitrakan sebagai sesuatu yang dihakimi (seperti di pengadilan), sesuatu yang dipelajari dan digambarkan (seperti dalam kurikulum), sesuatu yang didisiplinkan (seperti di sekolah atau penjara), sesuatu yang mengilustrasikannya (seperti dalam manual zoologi). Intinya bahwa dalam masing-masing kasus tersebut, pihak Oriental terkandung dan terwakili oleh kerangka kerja yang mendominasi.

Studi Said berfokus terutama pada Orientalisme Inggris dan Prancis dari abad kesembilan belas hingga Perang Dunia II. Di akhir bukunya, ia membahas satu bagian tentang Orientalisme di Amerika Serikat sejak Perang Dunia II. Bagi Said, perubahan besar terjadi pasca perang. Imperium Perancis dan Inggris mulai surut, dan Amerika Serikat muncul sebagai imperium besar. Ia menganalisis karya para Orientalis Amerika beberapa dekade sebelum bukunya diterbitkan. Salah satu target utamanya ialah Bernard Lewis, seorang profesor studi Timur Tengah di Universitas Princeton.
Musuh bebuyutan Said tak hilang begitu saja akibat orientalisme. Lewis malah menjadi semakin berpengaruh di bidang politik tertentu. Kemampuannya mempopulerkan dan mengemas kembali gagasan-gagasan Orientalis pada dekade-dekade terakhir abad ke-20, memberinya kredibilitas yang kuat dalam lingkaran kebijakan luar negeri Amerika mengingat tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh dunia Arab terhadap kepentingan politik dan ekonomi AS. Dengan menyatakan bahwa Islam dan Barat ikut-serta dalam 'a clash of civilizations' [benturan peradaban]—keyakinan bahwa konflik global setelah Perang Dingin akan diakibatkan oleh perbedaan budaya dan peradaban, termasuk perbedaan agama, dan bukan perbedaan ekonomi dan ideologi; frasa ini sering digunakan untuk mencerminkan keyakinan bahwa Islam dan Barat pasti akan berkonflik, lantaran nilai-nilai budaya dan agama yang tak dapat didamaikan, Lewis tak semata menginspirasi Samuel P. Huntington, seorang profesor pemerintahan di Universitas Harvard, mengembangkan tesis benturan peradaban dalam skala yang lebih besar, melainkan pula, membantu Politisi Amerika dan Barat mengalihkan fokus mereka ke musuh 'baru', Islam, lantaran musuh lama, Uni Soviet, sedang mengalami perpecahan. Faktanya, teori benturan peradaban yang dikemukakan Lewis dan Huntington telah menjadi sangat penting dalam menentukan kebijakan luar negeri dan dalam negeri Barat terhadap umat Islam, khususnya sejak 9/11, sehingga perlu memberikan perhatian pada kontur teori tersebut, termasuk asumsi-asumsi orientalis yang mendasarinya.

Meskipun Lewis berjasa memperkenalkan kerangka benturan peradaban ke dalam wacana politik, Huntington-lah pakar yang mengembangkan dan mempopulerkan tesis benturan peradaban. Pada tahun 1993, artikel Huntington, 'The Clash of Civilizations?', diterbitkan oleh Foreign Affairs, sebuah jurnal berpengaruh di lembaga kebijakan luar negeri AS. Pentingnya artikel Huntington tak boleh dipandang remeh. Tesis the clash of civilizations yang dikembangkannya dalam artikel tersebut, dan kemudian dalam sebuah buku dengan judul yang sama (tanpa tanda tanya), memberikan kerangka penting bagi banyak kalangan politik memahami dan menghadapi umat Islam dan wilayah mayoritas Islam pada masa Era Perang Dingin. Didorong oleh perbedaan ideologi (kapitalisme Amerika dan demokrasi versus komunisme Soviet), konflik tersebut tak melibatkan peperangan konvensional langsung antara kedua negara, namun menampilkan perang proksi dan perlombaan senjata nuklir. Pada saat peristiwa 9/11 terjadi, pemerintahan Bush dan sekutu-sekutunya di Eropa telah berteori yang dapat dipahami dan lugas menjelaskan serangan terhadap Amerika Serikat dan membenarkan Perang melawan Teror.
Huntington berpendapat bahwa kita sedang memasuki fase baru dalam politik global mengenai sifat konflik. Di masa lalu, konflik awalnya terjadi antar pangeran, lalu antar negara, dan akhirnya antar ideologi seperti komunisme dan demokrasi liberal. Dengan berakhirnya Perang Dingin, sumber konflik baru pun muncul: 'Hipotesisku bahwa sumber konflik yang mendasar di dunia baru ini, bukan berasal dari ideologi atau ekonomi. Perpecahan besar di antara umat manusia dan sumber konflik yang mendominasi adalah budaya. Negara-bangsa akan tetap menjadi aktor yang sangat berkuasa dalam urusan dunia, namun konflik-konflik utama dalam politik global akan terjadi antara negara-negara dan kelompok-kelompok dari peradaban yang berbeda. Benturan peradaban akan mendominasi politik global. Garis patahan antar peradaban akan menjadi garis pertempuran di masa depan.'

Huntington mendefinisikan peradaban sebagai budaya berbeda yang punya 'common objective elements', termasuk agama, adat istiadat, institusi, bahasa, dan sejarah. Ia mengakui bahwa kendati batas-batas yang memisahkan peradaban dapat dan memang berubah, identitas peradaban tetap merupakan sumber identitas mendasar bagi orang-orang di seluruh dunia, dan kepentingannya di masa depan, hanya akan meningkat sebagai akibat dari interaksi antara tujuh atau delapan peradaban besar: Barat, Amerika Latin, Islam, Slavia-Ortodoks, Hindu, Konghucu, Jepang, dan 'kemungkinan peradaban Afrika.'
Dari peradaban-peradaban tersebut, Huntington meyakini sumber konflik terbesar adalah antara peradaban Barat dan Islam. Konflik ini, tentu saja, konflik yang sudah lama terjadi, dimulai sejak penaklukan Islam pertama di Spanyol, berlanjut selama periode ekspansi Eropa ke Timur Tengah dan Afrika Utara, dan belakangan terjadi pada kebangkitan fundamentalisme Islam dan Arab. nasionalisme. Bentrokan peradaban antara Islam dan Barat kemungkinan akan terus berlanjut, kata Huntington, terutama karena Islam rentan terhadap kekerasan dan pertumpahan darah. Huntington menunjukkan bahwa, kemana pun engkau menatap, umat Islam mengakar dalam konflik kekerasan dengan masyarakat lain, mulai dari Ortodoks Serbia di Balkan, Yahudi di Israel, hingga Buddha di Burma. Sederhananya, 'Islam memiliki batas-batas yang penuh darah.'

Sama halnya Lewis, Huntington banyak mengangkat tema klasik Orientalis. Ia berasumsi bahwa Barat merupakan peradaban yang berbeda dan unggul. Ia menetapkan masyarakat non-Barat sebagian besar dalam istilah agama atau etnis (Konfusianisme bukan Cina, Islam bukan Mesir, dan sebagainya). Ia menggalakkan kepentingan imperium Barat dengan mengorbankan wilayah Arab dan umat Islam. Ia mencirikan Islam sebagai Islam yang penuh kekerasan dan rentan terhadap agresi. Pada poin terakhir ini, pengamatannya bahwa 'Islam memiliki batas-batas yang penuh darah' merupakan sebuah pernyataan yang tak terlalu lembut bahwa umat Islam bertanggungjawab atas semua konflik yang mereka alami, termasuk bentrokan dengan kekuatan Barat.
Baik Lewis maupun Huntington telah mendapat tantangan dari banyak kalangan, terutama kalangan akademis, sebab mereka mempromosikan tesis benturan peradaban. Tak mengherankan, boleh jadi, kritikus yang paling vokal terhadap tesis ini, Edward Said. Kritik-kritiknya cukup mewakili kekhawatiran yang dikemukakan oleh banyak ilmuwan lain mengenai karya Lewis dan Huntington, sehingga perbincangan seperti ini, layak untuk diakhiri dengan tanggapan Said terhadap keduanya, '... Tapi, yang ingin kutekankan ialah, pertama, bagaimana Huntington mengambil gagasan dari Lewis bahwa peradaban itu monolitik dan homogen dan, kedua, bagaimana—sekali lagi dari Lewis—ia mengasumsikan karakter dualitas yang tak berubah antara ' kita' dan 'mereka.'
Dunia tak sesederhana yang dikehendaki Lewis dan Huntington. Mereka sangat ingin mempertahankan dunia dimana perbedaan antara 'kita' dan 'mereka' terlihat jelas. Apa yang mereka abaikan, kata Said, bahwa identitas peradaban tidaklah tetap, melainkan cair. Semua peradaban dan budaya, termasuk apa yang disebut sebagai peradaban Barat, memiliki perdebatan internal yang intens dan acapkali kontroversial mengenai bagaimana mendefinisikan diri mereka sendiri. Peradaban juga dibentuk dan diubah oleh segala macam migrasi dan pergerakan antar masyarakat yang berbeda budaya. Yang terakhir, sulit membayangkan suatu kebudayaan saat ini yang, di masa lalu atau masa kini, telah memisahkan diri dari kebudayaan lain. Setiap budaya telah dan terus berperan dalam pertukaran transformatif, kontak, dan percakapan dengan budaya lain.

Bangkitnya Orientalisme di era kolonial dan pelestarian ide-ide Orientalis di era pasca-Perang Dingin turut berkontribusi terhadap berkembangnya Islamofobia di Barat. Namun orientalisme dan Islamofobia bukanlah konsep yang identik. Kita hendaknya ingat bahwa beberapa pakar Orientalis sangat mengagumi dan menghormati bahasa, sejarah, dan keyakinan agama masyarakat Islam. Seorang orientalis pada dasarnya bukanlah seseorang yang takut pada, atau membenci, Islam, meskipun banyak orientalis yang berperasaan seperti itu. Terlebih lagi, banyak orientalis yang merupakan akademisi yang mempelajari Islam secara profesional. Pemikiran orientalis tak hanya terbatas pada akademi saja. Seniman, pejabat pemerintah, dan pelancong ke Timur, juga berkontribusi terhadap Orientalisme. Akan tetapi, sulit memahami Orientalisme terlepas dari keterkaitannya dengan dunia akademis. Sebaliknya, Islamofobia bukanlah sesuatu yang muncul terutama dari studi ilmiah tentang Islam atau masyarakat Arab.
Oleh karenanya, orientalisme dan Islamofobia, lebih baik dipahami sebagai fenomena yang saling tumpang tindih, secara historis maupun konseptual. Namun di era pasca-Perang Dingin, dan terutama setelah peristiwa mengerikan 9/11, konsep Islamofobia—ketakutan, ketidaksukaan, atau kebencian terhadap umat Islam—merupakan hal yang paling tepat melukiskan prasangka terhadap Muslim dan Islam di Barat.

Di episode berikut, kita akan lanjut dengan bahasan Konflik-Israel Palestina, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Nathan Lean, The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Hatred of Muslims, 2017, Pluto Press
- Walter D. Mignolo, Islamophobia and Hispanophobia: How They Came Together in the  Euro-American Imagination, Arches Quarterly, Volume 4, Edition 7, 2010, the Cordoba Foundation
- Edward W. Said, Orientalism, 2003, Penguin Classic
- Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, 2011, Simon & Schuster