Minggu, 21 April 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (5)

“Seorang siswa sekolah diminta gurunya bercerita di depan kelas, ia pun berkata, 'Aku gak kiding lho. Tadinya sih, aku pingin nyeritain lelucon tentang time travel. Tapi, kalian semua, gak ada yang suka kaan!' lalu balik ke tempat duduknya."

“Perang, pada dasarnya, cenderung berlangsung relatif singkat. Perang menggunakan sumber-daya, menghabiskan tenaga-kerja, dan bangsa-bangsa yang turut-serta, jadi lemah,” berkata Kenanga sembari mengamati sebuah potret ikonik enam Marinir yang mengibarkan sebuah bendera di puncak Gunung Suribachi selama pertempuran Iwo Jima dalam Perang Dunia II, diambil oleh fotografer kombat Associated Press, Joe Rosenthal. Pengibaran bendera tersebut, juga direkam oleh Sersan Marinir Bill Genaust, seorang juru kamera film tempur. Ia mengabadikan peristiwanya memakai film berwarna, saat berdiri di samping Rosenthal. Rekaman Genaust menunjukkan bahwa pengibaran bendera kedua tak dilakukan. Pada tanggal 4 Maret 1945, Genaust dibunuh oleh Jepang usai memasuki sebuah gua di Iwo Jima dan jazadnya tak pernah ditemukan.
Saat pertama kali melihat potret itu, pematung Felix de Weldon membuat maketnya berdasarkan foto pada suatu akhir pekan di Pangkalan Udara Angkatan Laut Sungai Patuxent di Maryland, tempatnya bertugas di Angkatan Laut. Ia dan arsitek Horace W. Peaslee merancang sebuah tugu peringatan. Usulan mereka diajukan ke Kongres AS, namun pendanaan tak memungkinkan selama perang. Pada tahun 1947, sebuah yayasan federal didirikan guna pengumpulan dana. Monumen disetujui oleh Kongres AS dan komisi peringatan diberikan pada tahun 1951, setelah disetujui dan diterima oleh Liga Korps Marinir yang juga memilih De Weldon sebagai pematungnya. De Weldon menghabiskan tiga tahun membangun model master berukuran penuh terbuat dari plester, setinggi 32 kaki (9,8 m).

“Sebagian besar bamgsa, tak mampu berperang dalam jangka waktu yang panjang. Perang Dunia I berlangsung selama empat tahun, Perang Dunia II berlanjur selama enam tahun, dan kedua konflik tersebut, berakibat memporak-porandakan seluruh negara yang berperang. Walau demikian, selama apa yang dikenal sebagai the Age of Chivalry (Era Ksatria), serangkaian konflik antara dua negara terkuat di Eropa berlanjut hingga lima generasi raja dan selama lebih dari seratus tahun. Apa yang kemudian dikenal sebagai 'Perang Seratus Tahun' itu, merupakan konflik antara Wangsa Plantagenet, dinasti yang berkuasa di Inggris, dan Wangsa Valois, penguasa kerajaan Perancis. Perang ini, dimulai pada tahun 1337 dan baru berakhir pada tahun 1453. Perseteruan ini, kontak-senjata yang amat menonjol dan berlarut-larut pada Abad Pertengahan, dan memberikan kontribusi langsung terhadap pembuatan dan kemunculan identitas nasional Inggris dan Prancis modern.

Sebelum melanjutkan pembicaraan kita, barangkali—dalam konteks 'perang'—dirimu dan diriku kepo, trus ngajuin kalimat galau, 'Kenapa sih kita berantem?' atau 'Buat apa sih perang?'
'Ini bukanlah pertanyaan yang gue harepin buat ditanya atau dijawab', kata Christopher Blattman. 'Tapi, begitu ellu menyaksikan betapa kejamnya kekerasan yang berlebihan, sulit mempedulikan hal lain. Bahkan pun jika dilihat dari posisi jarak jauh tertentu yang aman. Segala sesuatu yang lain, jadi semakin penting.'
'Gue mempelajari bahwa keberhasilan sebuah masyarakat, bukan semata soal memperluas kekayaannya,” imbuh Blattman. 'Ini tentang kelompok pemberontak yang tak memperbudak anak gadis loe yang berusia sebelas tahun sebagai istri. Ini tentang duduk di depan rumah loe tanpa rasa takut akan tembakan saat berkendara dan peluru nyasar. Ini tentang kemampuan menemui petugas polisi, pengadilan, atau walikota dan mendapatkan keadilan. Ini tentang pemerintah yang tak diperbolehkan mengusir loe dari lahan milikmu dan masukin loe ke dalam kamp konsentrasi. Ekonom lainnya, Amartya Sen, menyebutnya sebagai 'development as freedom'. Sulit membayangkan sesuatu yang lebih penting agar terbebas dari kekerasan. Ternyata, baik berantem—maupun dalam skala besar, perang—itu, bikin kita miskin. Gak ada sesuatu yang dapat menghancurkan kemajuan semisal konflik—meluluhlantakkan perekonomian, melumatkan infrastruktur, atau membunuh, melukai, dan memundurkan seluruh generasi. Perang melemahkan pula pertumbuhan ekonomi secara tak langsung.

Kebanyakan orang dan dunia usaha, gak bakalan melakukan hal-hal mendasar yang mengarah pada pembangunan manakala mereka memperkirakan akan adanya pemboman, pembersihan etnis, atau kesewenang-wenangan terhadap keadilan; mereka gak akan berspesialisasi dalam tugas-tugasnya, berdagang, menginvestasikan kekayaannya, atau mengembangkan teknik dan ide baru. Banyak literatur yang menunjukkan bagaimana perang mengoyak-ngoyak perekonomian. Ambil contoh perang saudara, yang terjadi di Uganda. Paruh kedua abad ke-20 menyaksikan lebih banyak konflik internal ketimbang yang pernah tercatat. Dampaknya sangat buruk, menyebabkan pendapatan anjlok seperlimanya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana perang mempengaruhi kesehatan, pendidikan, dan hasil lainnya, dengan memperhatikan bentangan negara dan perang, Mueller dan ekonom lainnya, menunjukkan bahwa setiap tahun perang mungkin dikaitkan dengan penurunan pendapatan nasional sebesar 2 atau 3 persen terhadap perekonomian di Amrik, namun hanya didasarkan pada jumlah orang yang tampaknya bersedia membayar harga di dalam negeri untuk menghindari kekerasan.

Ekonom dan filsuf moral Adam Smith memprediksi hal yang sama lebih dari dua setengah abad yang lalu, 'Tiada hal lain yang diperlukan agar membawa suatu negara ke tingkat kemewahan tertinggi dari barbarisme terendah,' tulisnya pada tahun 1755, 'melainkan perdamaian, pajak yang ringan, dan administrasi peradilan yang dapat ditoleransi.' Jelasnya, kalau gue peduli pada kemakmuran, persamaan hak, dan keadilan, gue kudu peduli pada perang,' kata Blattman.
'Perang' dalam pandangan Blattman, bukan saja berarti negara-negara yang saling 'tukaran'. Yang ia maksudkan, yalah segala jenis upaya yang berkepanjangan dan penuh kekerasan antar kelompok. Itu mencakup desa, klan, geng, kelompok etnis, sekte agama, faksi politik, dan negara. Meski sangat berbeda, asal-usulnya punya banyak kesamaan. Kita akan melihat hal ini terjadi pada kelompok fanatik Irlandia Utara, kartel Kolombia, tiran Eropa, pemberontak Liberia, oligarki Yunani, geng Chicago, gerombolan India, genosida Rwanda, hooligan sepak bola Inggris, dan, menurut Blattman, penjajah Amerika.

Salah satu kekeliruan paling umum yang dilakukan orang ialah salah mengartikan dalil mengapa persaingan menjadi sengit dan penuh permusuhan dengan argumen mengapa persaingan berubah menjadi kekerasan. Soalnya, persaingan sengit merupakan hal yang wajar, namun kekerasan antar kelompok yang berkepanjangan, bukanlah hal yang wajar. Perang seharusnya tak terjadi, dan seringkali, memang hal itu tak terjadi. Faktanya, bahkan musuh yang paling sengit sekalipun lebih memilih saling tak menyukai dalam situasi yang damai. Hal tersebut mudah dilupakan. Perhatian kita tertuju pada perang yang terjadi. Laporan berita dan buku sejarah melakukan pula hal yang sama—mereka fokus pada konflik-konflik kekerasan yang terjadi. Hanya sedikit orang yang menulis buku tentang seberapa banyak konflik yang dapat dihindari. Namun kita tak bisa cuma melihat permusuhan yang terjadi seperti seorang mahasiswa kedokteran yang hanya mempelajari orang-orang yang sakit parah dan lupa akan banyaknya orang yang sehat.
Para ilmuwan politik, kata Blattman, telah menghitung semua kelompok etnis dan sektarian di negara-negara seperti Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Afrika, dimana kerusuhan dan pembersihan dianggap mewabah. Mereka menghitung jumlah pasangan yang cukup dekat saling bersaing, dan kemudian mereka melihat jumlah pasangan yang benar-benar berseteru. Di Afrika, mereka menghitung sekitar satu kasus besar kekerasan etnis per tahun dari dua ribu kemungkinan kasus kekerasan etnis. Di India, mereka menemukan kurang dari satu kerusuhan per sepuluh juta orang per tahun, dan tingkat kematian paling banyak enam belas per sepuluh juta orang. Kita juga melihat hal ini di tingkat internasional. Terjadi konfrontasi panjang antara Amerika dan Soviet, yang berhasil membagi Eropa (bahkan dunia) menjadi dua bagian tanpa saling menuklir.
Namun, entah bagaimana, kita cenderung melupakan peristiwa-peristiwa ini. Kita menulis buku tebal tentang perang besar dan mengabaikan perdamaian yang adem. Kita menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa berdarah, peristiwa-peristiwa yang amat menonjol. Sementara itu, momen-momen kompromi yang lebih tenang hilang dari ingatan. Fokus pada kegagalan inilah semacam bias seleksi, sebuah kesalahan logis yang rentan terjadi pada kita semua. Kekeliruan ini, punya dua konsekuensi penting. Salah satunya yalah kita melebih-lebihkan seberapa sering kita berantem. Dikau mulai mendengar hal-hal seperti 'dunia ini penuh dengan konflik,' atau 'keadaan alami umat manusia itu, perang,' atau 'konfrontasi bersenjata antara [dengan memasukkan kekuatan-kekuatan besar di sini] tak terdihindarkan.' Akan tetapi, tak satu pun dari pernyataan tersebut, kata Blattman, yang bener.

Agar menemukan akar konflik yang sebenarnya, atau untuk menjawab 'mengapa kita berantem?', kita perlu memperhatikan upaya-upaya damai. Jika menyangkut perang, kita cenderung mengalami pilihan yang berlawanan—kita terlalu memperhatikan saat gagalnya perdamaian. Seakan seperti para insinyur militer AS cuma melihat pada pesawat pengebom yang jatuh. Pesawat-pesawat itu, dipenuhi tembakan dari moncong hingga ekor. Disaat kita melakukannya, sulit mengetahui tembakan mana yang berakibat fatal sebab kita tak membandingkannya dengan pesawat yang selamat. Hal yang sama terjadi dikala engkau mengkaji sebuah perang dan menelusurinya sampai ke akar-akarnya. Setiap sejarah persaingan, penuh dengan rentetan peluru, bagaikan keluhan kemiskinan dan senjata. Namun mereka yang dirugikan jarang memberontak, para pemuda pemberontak yang miskin, sebagian besar tak melakukan perlawanan
Namun, mengabaikan seluruh konflik yang terjadi, akan menimbulkan kerugian kedua dan lebih besar; kita keliru memahami akar perang dan jalan menuju perdamaian. Itu bukan berarti bahagia dan harmonis. Persaingan bisa bersifat bermusuhan dan kontroversial. Kelompok-kelompok boleh jadi terpolarisasi. Mereka seringkali bersenjata lengkap. Mereka saling meremehkan dan mengancam, dan mereka dengan terang-terangan mengacungkan senjatanya. Itu semua normal. Tapi, pertumpahan darah dan pengrusakan, tak boleh terjadi.
Ketika orang memusatkan perhatian pada saat-saat gagalnya perdamaian dan menelusuri kembali keadaan dan peristiwa yang terjadi guna menemukan penyebabnya, mereka kerapkali menemukan serangkaian hal yang lazim: para pemimpin yang tak layak, ketidakadilan sejarah, kemiskinan yang parah, para pemuda yang murka, senjata-senjata murahan, dan peristiwa-peristiwa bencana besar. Perang sepertinya menjadi akibat yang tak bisa dihindari.

Dari sudut pandang Jack McDonald's, apa yang menjadi ciri perang saat ini, merupakan ketegangan antara keseragaman dan keberagaman. Di satu sisi, perang kontemporer terjadi dalam sistem internasional yang lebih seragam dibanding sebelumnya. Sistem tersebut terdiri dari negara-negara teritorial berdaulat yang saling mengakui dan melegitimasi sebagai unit politik utama dalam politik internasional dan mereka juga memiliki seperangkat aturan yang sama—hukum internasional—yang memberikan standar global mengatur perang dan peperangan. Di sisi lain, terdapat lebih banyak keragaman dalam perang kontemporer ketimbang sebelumnya: negara-negara harus berjuang melawan gerakan pemberontak transnasional yang memanfaatkan Internet bagi keuntungan mereka. Perang dilancarkan dengan teknologi, mulai dari senjata api dasar hingga jet tempur siluman yang menggunakan rudal yang dipandu satelit. Cara-cara perang lama seperti membunuh, meneror, dan membuat warga sipil kelaparan demi mendapatkan efek strategis hidup berdampingan dengan cara-cara perang Barat, yang memanfaatkan senjata presisi untuk meminimalkan kerugian warga sipil, dan dalam banyak peristiwa, menghilangkan kemungkinan bahaya terhadap kombatan mereka sendiri, dengan menggunakan drone yang dikendalikan dari jarak jauh.
Perang dan peperangan telah menyebabkan kematian dan kehancuran sepanjang sejarah manusia, kata McDonald. Perang berkisar dari penyerangan pemukiman prasejarah hingga pembantaian industri pada Perang Dunia Kedua, serta pembunuhan selektif dengan senjata berpemandu presisi di masa kini. Perang memusnahkan manusia, harta benda, dan lingkungan hidup, karena biasanya, tak mungkin membatasi dampak perang terhadap pihak-pihak yang bersenjata. Potensi terjadinya kematian, kerusakan, dan eskalasi inilah yang menjadi dalil mengapa kemungkinan terjadinya perang sangat membebani pikiran para pemimpin politik dan masyarakat sipil.

Perang bertujuan politik, sebab dalam beberapa keadaan, kekuatan militer punya kegunaan politik bagi para pemimpin negara atau kelompok bersenjata. Prajurit Prusia dan ahli teori militer abad kesembilan belas, Carl von Clausewitz, mendefinisikan perang sebagai ‘tindakan kekerasan untuk memaksa musuh menuruti keinginan kita’. Perang dalam sejarah, berkisar dari kegiatan yang sangat ritual antara kelompok-kelompok politik yang serupa hingga pembantaian tanpa batas antara kelompok-kelompok yang berusaha saling melenyapkan. Clausewitz menjelaskan bahwa berperang itu, sama dengan berduel, meskipun dalam skala besar, yang mencerminkan fakta bahwa perang pada dasarnya bersifat permusuhan: perang melibatkan lawan yang mengancam akan melakukan kekerasan fisik. Hal ini juga bersifat strategis, dalam artian bahwa pemerintah pada akhirnya, tak dapat mendikte atau mengendalikan tindakan lawannya. Mengingat bahwa perang acapkali melibatkan lebih dari dua pihak yang bertikai, McDonald mendefinisikan perang sebagai ‘penggunaan kekuatan bersenjata terorganisir antara dua pihak atau lebih demi tujuan politik’, dengan menekankan kriteria penting mengenai kekerasan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok sosial.
Tujuan politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai, tak sepenuhnya menjelaskan dampak perang yang sebenarnya. Minimal, kita juga perlu mempertimbangkan jenis entitas yang menjadi pihak-pihaknya—baik kelompok bersenjata negara atau non-negara ['kelompok bersenjata non-negara’ mengacu pada berbagai kelompok sosial yang menimbulkan ancaman militer dalam politik internasional dan yang secara formal bukan merupakan bagian dari angkatan bersenjata sebuah negara. Jumlah mereka beragam, mulai dari milisi kecil hingga angkatan bersenjata terorganisir yang mampu melakukan operasi militer canggih. Pentingnya kelompok bersenjata non-negara ialah bahwa, kendati mereka kurang mendapat pengakuan formal dan legitimasi di mata negara, mereka menggunakan kekerasan fisik yang terorganisir sehingga harus ditanggapi dengan serius oleh lawan-lawan negara mereka. Seringkali kelompok bersenjata non-negara saling berkonflik atau membentuk aliansi dengan negara-negara yang ikut campur dalam perang saudara]—serta kemampuan sosial mereka melakukan kekerasan, dan tingkat pengendalian yang dapat dilakukan oleh elit politik dan pemimpin militer. Oleh alasan terakhir inilah, hubungan pihak-pihak yang berseberangan dalam perang, sebagian menentukan keganasan dan batas-batas konflik. Perang saudara, yang mengakibatkan masyarakat terpecah oleh dua atau lebih faksi yang bertikai, kerap sangat brutal, sebab tak semata memecah-belah masyarakat berdasarkan etnis dan agama, melainkan pula, menimbulkan kondisi yang menguntungkan kelompok bersenjata yang tak terorganisir.

Perang di alam kekinian, sangat bervariasi dalam hal cakupan dan konsekuensinya. Coba bayangin, perang Nagorno-Karabakh tahun 2020 antara Armenia dan Azerbaijan yang mengakibatkan kematian lebih dari lima ribu personel militer. Bandingkan dengan perang Tigray (2020–2022) di Ethiopia utara, yang telah menewaskan hingga setengah juta orang—kebanyakan warga sipil—akibat pertempuran, kelaparan, dan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, atau dengan perang Rusia yang terjadi pada tahun 2022. Perang Ukraina telah mengakibatkan lebih dari 5,6 juta pengungsi Ukraina dan membuat 7,1 juta orang jadi pengungsi internal.
Perang masa kini juga sangat bervariasi dalam hal siapa yang berperang dan bagaimana caranya. Konflik yang berlangsung lama dan berintensitas rendah, seperti berbagai konflik yang sedang berlangsung di wilayah Sahel, terjadi bersamaan dengan perang saudara yang memusnahkan, seperti yang terjadi di Suriah, Libya, dan Myanmar. Beragamnya cara dan metode peperangan berkontribusi pada beragamnya karakter peperangan kontemporer. Beberapa konflik melibatkan negara-negara yang saling menyerang secara langsung; yang lain melibatkan serangan tak langsung melalui proxy.

'Perang bermain dalam dunia kontemporer', mungkin bisa menjadi jawaban atas bahasa galau kita, 'Buat apa sih perang?' Secara khusus, kata McDonald, inilah alasan mengapa perang masih bermanfaat bagi banyak pemerintahan dan kelompok bersenjata non-negara. Kendati ada batasan hukum internasional dalam perang, penggunaan kekuatan militer masih merupakan kemungkinan laten dalam perselisihan internasional dan konflik internal—dan terkadang kemungkinan laten tersebut, jadi kenyataan. Begitulah dampak destruktif perang sehingga ancaman perang pun bisa menjadi alat tawar-menawar yang berguna. Bagi pembangkang dan pemberontak yang hendak menguasai atau mendirikan sebuah negara, boleh jadi, kekuatan militer merupakan satu-satunya cara mencapai tujuan politik mereka.
Negara seringkali mati-matian menjelaskan dan melegitimasi penggunaan kekuatan militer kepada warga negaranya dan negara lain. Cara terjadinya perang acapkali tak ada hubungannya dengan gambaran populer tentang perang, yang dibentuk oleh perang industri abad ke-20, yang menewaskan puluhan juta orang. Dalil lain mengapa mereka bersusah-payah, menurut McDonald, yaitu adanya kesenjangan antara cara perang dilakukan dalam praktiknya dan cara perang dibingkai dan diatur dalam politik internasional. Kesenjangan tersebut, dapat dimanipulasi dengan argumen strategis demi memperoleh keuntungan melawan lawan yang taat hukum. Memahami bagaimana dan mengapa perbedaan ini terjadi, dan apa yang dapat dilakukan guna mengatasinya, merupakan kunci memahami cara kerja perang dan kegunaannya saat ini.

Kita masih memperbincangkan topik tentang 'perang' ini, pada episode selanjutnya. Bi 'idznillah."

Dan sebelum melangkah ke dalam fragmen berikutnya, Kenanga bersenandung,

Jejak kaki para pengungsi bercerita pada penguasa
Bercerita pada penguasa tentang
ternaknya yang mati, tentang temannya yang mati,
tentang adiknya yang mati, tentang abangnya yang mati,
tentang ayahnya yang mati, tentang anaknya yang mati,
tentang neneknya yang mati, tentang pacarnya yang mati,
tentang istrinya yang mati, tentang harapannya yang mati *)
Kutipan & Rujukan:
- Christopher Blattman, Why We Fight: The Roots of War and the Paths to Peace, 2022, Viking
- Jack McDonald, What is War for?, 2023, Bristol University Press
- At Hourly History, The Hundred Years War: A History from Beginning to End, 2019, Hourly History
*) "Puing II" karya Virgiawan Listanto