Jumat, 31 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (22)

"Usai briefing dengan atasan mereka, para karyawan berjalan menuju ruangan masing-masing. Seorang karyawan bertanya kepada karyawan lainnya, 'Kenapa anak bos dipromosiin?'
'Karena doi membawa makna baru agar 'tetap dalam keluarga', jawab sang kolega.

'Apa kata bos sewaktu ditanya soal dugaan nepotisme?' sang karyawan kepo.
Yang ditanya menjawab, 'Doi bilangnya gini, 'Aku lebih suka menyebutnya 'family planning'!'
'Trus, kenapa sih guyonan nepotisme gak ada lagi yang nertawain di kantor?' orang tersebut nanya lagi.
'Soalnya, semua yang ngetawain, udah pada dipromosi'in!' jawab yang lain."

"Pernah, New York Times mengabarkan dalam sebuah artikel, membahas masa jabatan Arnold Schwarzenegger sebagai gubernur, surat kabar harian tersebut menyebutkan bahwa Schwarzenegger menolak menerima gaji tahunan sebesar $175.000. The Guardian juga mencatat bahwa Schwarzenegger mengesampingkan gaji gubernurnya selama masa jabatannya, menekankan komitmennya bagi pelayanan publik. Sebuah artikel dari ABC News menyoroti keputusan Schwarzenegger tak menerima gajinya, menggarisbawahi fokusnya dalam mengatasi krisis anggaran negara tanpa kompensasi finansial.
Keputusan Schwarzenegger tak menerima gaji sebagai Gubernur California, terdokumentasi dengan baik selama masa jabatannya dari tahun 2003 hingga 2011. Dalam sebuah wawancara, Schwarzenegger merefleksikan suka dan duka jabatan gubernurnya dan membahas betapa mustahilnya mempersiapkan diri bagi peran tersebut. Selama penampilan pertamanya di Meet the Press, ia mengisahkan bagaimana pengalaman aktingnya, membantunya memimpin negara bagiannya. Dikau dapat pula menyaksikan pidato kemenangan pemilunya sebagai gubernur terpilih California pada tahun 2003, dimana ia menghimbau masyarakat agar bersatu dan membangun kembali negara bagian tersebut bersama-sama. Sumber-sumber ini, menyajikan konfirmasi atas keputusan Schwarzenegger menjabat sebagai gubernur, tanpa menerima gaji standar.
Schwarzenegger memilih tak menerima gajinya selama menjabat sebagai Gubernur California. Dikala ia menjabat pada tahun 2003, ia menolak gaji tahunan sebesar $175.000 [sumber lain menyebutkan $187,000/tahun, Schwarzenegger bahkan dapat memperoleh penghasilan sampai $206.500/tahun; bila kurs rata-rata tahun 2003 senilai Rp. 8.465,- , berkisar eqv. Rp. 1.481.375.000,- atau Rp. 1.582.955.000,- per tahun, hingga Rp. 1.748.022.500,- bagi kerja kemasyarakatannya. Itu tahun 2003 saja, padahal ia tak menerima gaji selama 8 tahun, sejak 2003-2011], dengan menyatakan bahwa ia tak membutuhkan uangnya dan hendak mengabdi pada negara tanpa kompensasi. Sebaliknya, Schwarzenegger fokus pada tugasnya dan bertujuan mengatasi masalah keuangan California dan berbagai tantangan lain negara bagiannya, selama masa jabatannya sebagai gubernur. Langkah inspiratifnya menunjukkan komitmennya terhadap pelayanan publik dan 'well-being' orang lain,” ucap Kenanga seraya membuka sebuah buku bertajuk 'Obat Dungu, Resep Akal Sehat: Filsafat untuk Republik Kuat', karya seorang filsuf, demikian disebutkan dalam kata pengantarnya, tapi daku lebih suka menyebut dirinya seorang 'pakar-pikir', Bung 'Rocky Gerung'. Bukunya berisi tentang pandangan-pandangan yang mengundang pemikiran kita tentang keadaan terkini di Indonesia.

"Sebelum kita lanjut dengan Schwarzenegger, bolehkan daku menyampaikan tentang 'Obat Dungu'-nya Rocky Gerung. Dalam karyanya tersebut, banyak gagasan memikat dihaturkan sang filsuf kita. Diantaranya tentang 'Menunggu Pemimpin Baru' di Indonesia, ia menuliskan, 'Sesungguhnya negeri ini sedang menunggu pemimpin baru. Suasana politik menggambarkan keinginan itu, berarti harapan tentang perubahan masih hidup dalam masyarakat. Namun, kita juga mengalami political fatigue. Indikasinya, tingkat partisipasi politik dalam sejumlah Pilkada cenderung menurun. Secara umum orang menyebutnya sebagai gejala politik golput. Lalu, bagaimana menjelaskan suatu gairah perubahan berdampingan dengan merosotnya partisipasi politik? Sangat mungkin dua soal itu berkaitan: political fatigue bukanlah apatisme terhadap keadaan, melainkan protes terhadap tertututupnya peluang perubahan.'
Political fatigue [sakit encok karena 'cape deh ama politik'] yang disebut Bang Rocky, juga dikenal sebagai 'voter fatigue' atau 'political apathy', merupakan kondisi ketidaktertarikan atau pelepasan yang mungkin dialami individu atau kelompok terhadap aktivitas dan proses politik. Keadaan ini dapat terwujud dalam beragam bentuk, semisal berkurangnya jumlah pemilih, kurangnya partisipasi dalam diskusi politik, atau ketidakpedulian umum terhadap peristiwa dan isu politik. Political fatigue dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan berimplikasi signifikan terhadap proses demokrasi dan pemerintahan.

Apa sih penyebab Political fatigue? Siklus berita 24/7 dan banyaknya konten politik di media sosial dapat menyebabkan kelebihan informasi, sehingga menyebabkan masyarakat mengabaikannya. Kampanye pemilu yang panjang dan intens dapat melelahkan para pemilih, terutama jika pemilu sering diadakan. Siklus berita 24/7 merujuk pada pelaporan berita dan informasi secara terus menerus dan tanpa henti, yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi dan media. Tak seperti siklus berita tradisional, yang didasarkan pada waktu tertentu (misalnya siaran berita pagi dan sore atau surat kabar harian), siklus berita 24/7 memberikan pembaruan terus-menerus sepanjang siang dan malam. Siklus berita 24/7 merepresentasikan perubahan signifikan dalam cara berita diproduksi, disebarluaskan, dan dikonsumsi. Kendati terdapat keuntungan dalam menyediakan akses terus-menerus terhadap informasi, hal ini juga menghadirkan tantangan seperti kelebihan informasi, tekanan terhadap jurnalis, dan potensi dampak terhadap persepsi publik dan polarisasi politik. Sebagai konsumen berita, penting memperhatikan dinamika ini dan mencari sumber yang beragam dan dapat diandalkan agar tetap mendapatkan informasi.
Polarisasi politik yang sangat lebar, juga dapat menjadikan wacana politik menjadi lebih kontroversial dan kurang konstruktif, sehingga menimbulkan frustrasi dan pelepasan diri. Maraknya iklan negatif dan 'smear campaigns' dapat membuat masyarakat enggan berpartisipasi dalam politik.
Dikala individu merasa bahwa pilihan atau partisipasinya tak membawa perubahan, dapat menjadi apatis. Disaat pejabat terpilih tak mampu memenuhi janji kampanyenya, bisa menimbulkan sinisme dan kekecewaan.
Kompleksitas permasalahan dan kebijakan politik bisa sangat besar, sehingga menyulitkan masyarakat secara bermakna, turut berperan-serta. Informasi yang kontradiktif dan misinformasi dapat menimbulkan keraguan dan mengurangi kepercayaan terhadap proses politik.
Ketidakstabilan keuangan dan permasalahan ekonomi dapat mengalihkan fokus dari keterlibatan politik. Kurangnya dukungan masyarakat dan sosial dapat mengurangi partisipasi politik.

Ada beberapa gejala umum terkait political fatigue:
  • Apatis dan Disengagement. Masyarakat yang mengalami political fatigue mungkin menjadi tak tertarik pada proses politik, pemilu, dan partisipasi masyarakat. Mereka mungkin sama sekali menghindari perbincangan tentang politik.
  • Sinisme dan Ketidakpercayaan. Rasa kecewa dapat membangkitkan sinisme dan ketidakpercayaan terhadap institusi politik, para pemimpin, dan sistem secara keseluruhan. Individu mungkin percaya bahwa partisipasinya takkan membuat perbedaan.
  • Kepenatan Emosional. Mengikuti berita politik, perdebatan, dan konflik dapat menguras emosi. Paparan terus-menerus terhadap hal-hal negatif, polarisasi, dan isu-isu kontroversial dapat menyebabkan kelelahan.
  • Berkurangnya toleransi terhadap perbedaan politik. Political fatigue dapat menyebabkan berkurangnya kesabaran ketika menghadapi sudut pandang yang bertolakbelakang. Masyarakat mungkin menjadi lebih terpolarisasi dan kurang bersedia turut dalam dialog konstruktif.
  • Gejala fisik. Stres kronis terkait peristiwa politik dapat berdampak pada kesehatan fisik. Sakit kepala, gangguan tidur, dan kelelahan adalah gejala umum.
  • Perilaku menghindar. Beberapa individu mungkin secara aktif menghindari diskusi politik, berita, atau media sosial agar melindungi kesehatan mental mereka.
  • Menurunnya kepercayaan terhadap Media. Political fatigue dapat mengikis kepercayaan terhadap sumber media, sehingga sulit membedakan informasi yang dapat dipercaya dan informasi yang keliru.
Lalu apa dampak dari political fatigue? Political fatigue sering menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu, yang dapat mempengaruhi legitimasi pejabat terpilih dan proses demokrasi. Selain memilih, political fatigue dapat pula menurunkan partisipasi dalam kegiatan sipil seperti menghadiri pertemuan akbar, berpartisipasi dalam protes, atau bergabung dengan organisasi politik. Pemilih yang tak terlibat dapat menyebabkan lemahnya institusi dan proses demokrasi, karena lebih sedikit orang yang terlibat dalam meminta pertanggungjawaban para pemimpin dan beradvokasi bagi perubahan. Partisipasi masyarakat umum yang lebih rendah dapat berpengaruh yang lebih besar bagi kelompok ekstrem dan pinggiran yang tetap aktif. Kurangnya tekanan publik dapat menyebabkan stagnasi dalam pengembangan dan implementasi kebijakan, lantaran para politisi mungkin merasa kurang terdorong memenuhi kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat yang apatis.

Bagaimana cara mengatasi political fatigue? Meningkatkan Pendidikan Politik dengan meningkatkan pendidikan kewarganegaraan dapat membantu masyarakat memahami proses politik dan dampak dari partisipasi mereka. Transparansi dalam tindakan dan pengambilan keputusan pemerintah juga dapat membangun kepercayaan dan mengurangi sinisme. Menggalakkan wacana politik yang positif dan konstruktif dapat melawan negativitas dan polarisasi yang berkontribusi terhadap political fatigue.
Mempermudah partisipasi dalam proses politik, semisal menyederhanakan pendaftaran pemilih dan menyediakan opsi pemungutan suara yang mudah diakses, dapat membantu mengurangi hambatan dalam partisipasi masyarakat. Memperkuat jaringan komunitas dan sistem pendukung dapat pula meningkatkan kohesi sosial dan mendorong partisipasi politik.

Mengenai cendekiawan, budaya, dan politik di Indonesia, Bung Rocky mengutarakan, 'Transmisi kebudayaan dunia telah dipercepat oleh teknologi informasi. Implikasinya bagi kita seharusnya adalah mendayagunakan fasilitas itu untuk memperkuat basis awal demokrasi, yaitu rasionalitas dan pluralitas. Tetapi sekaligus dalam agenda semacam ini, penguatan kembali identitas-identitas lokal (local truths) sedang menjadi arus balik kebudayaan global. Itu berarti ada tantangan dialektis oleh krisis ideologi global sekarang ini, akan menjadi faktor krusial bagi semua obsesi yang hendak membawa kembali golongan cendekiawan ke dalam dunia politik. Pesimisme hari-hari ini tentang nasib demokrasi sebetulnya tidak terletak pada ketergantungan historis kita pada kalangan cendekiawan tetapi lebih pada ketidakmampuan para pemimpin dalam memelihara bibit awal demokrasi itu sendiri.'
Barangkali, gagasan ini berselaras dengan topik kita tentang Schwarzenegger. Nah sekarang, mari kita balik ke topik tentang dirinya.

Terlepas dari kontroversinya semisal tuduhan pelecehan seksual 'Gropegate'; dugaan perselingkuhan dan uang tutup mulut; krisis anggaran dan keputusan kontroversial; jabatannya sebagai gubernur tetap merupakan perpaduan antara momen positif dan negatif, meninggalkan kesan mendalam pada lanskap politik California, keputusan Schwarzenegger menolak gaji gubernurnya, menyoroti nilai-nilai komitmen terhadap pelayanan publik, tanggungjawab fiskal, standar etika yang tinggi, pentingnya persepsi publik, dan kekuatan pengorbanan pribadi. Pelajaran ini menjadi prinsip berharga bagi para pemimpin di bidang apa pun, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati, seringkali lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dan mewariskan teladan positif.
Tak semata seorang Arnold Schwarzenegger yang melakukannya. José Mujica, yang menjabat Presiden Uruguay dari tahun 2010 hingga 2015, dikenal dengan gaya hidupnya yang keras dan dedikasinya terhadap pelayanan publik. Mujica menyumbangkan sekitar 90% gaji presidennya bagi amal dan inisiatif yang mendukung masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Ia menetap di sebuah pertanian sederhana dan mengendarai Volkswagen Beetle tua. John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat ke-35, berasal dari keluarga bercuan dan sugih banget. Kennedy menyumbangkan gaji kepresidenannya bagi kerja-amal selama masa jabatannya. Sebelum menjadi presiden, ia juga menyumbangkan gajinya sebagai Anggota Kongres dan Senator AS. Michael Bloomberg, pengusaha sultan, dan mantan Walikota New York City, contoh lain dari pejabat publik yang memilih tak menerima gaji yang seharusnya. Mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron, melakukan pengurangan gaji secara simbolis selama masa jabatannya. Pada tahun 2010, Cameron mengumumkan bahwa ia dan menteri senior lainnya, akan dipotong gajinya sebesar 5% sebagai bentuk solidaritas terhadap pekerja sektor publik yang harus melakukan langkah-langkah penghematan.

Contoh-contoh ini, menggambarkan bahwa para pemimpin di seluruh dunia terkadang memilih merelakan gajinya atau mengurangi kompensasi sebagai bentuk solidaritas, komitmen etika, dan pelayanan publik. Tindakan-tindakan ini, acapkali berfungsi membangun kepercayaan, menunjukkan integritas, dan menyoroti fokus pada 'the greater good'. Keputusan merelakan atau mengurangi gaji mereka sebagai 'pejabat publik' menawarkan pembelajaran moral dan wawasan yang dapat diterapkan secara luas.
  • Komitmen terhadap Pelayanan Publik. Dengan mengurangi gajinya, mereka menunjukkan komitmen melayani masyarakat tanpa keuntungan finansial pribadi. Tindakan ini menggarisbawahi pentingnya mengutamakan kesejahteraan rakyat dibanding keuntungan pribadi. Keputusan mereka memberikan panutan yang kuat ('Leadership by Example') bagi pejabat publik dan warga negara lainnya, yang menunjukkan bahwa pelayanan publik itu, tentang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan bukan memperkaya diri-pribadi.
  • Tanggungjawab Fiskal. Di negara yang menghadapi tantangan keuangan yang amat berarti, pemotongan gaji mereka merupakan bentuk solidaritas terhadap warga negara dan pengakuan terhadap masalah fiskal negara. Hal ini menyoroti pentingnya tanggungjawab fiskal dan pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar ('budget awareness'). Kendati dampaknya terhadap keseluruhan anggaran kecil, tindakan ini menekankan pentingnya mencari cara mengurangi biaya dan mengelola dana publik secara efisien ('cost-saving measures').
  • Standar Etika. Tindakan para pemimpin ini memperkuat gagasan bahwa para pemimpin seyogyanya mematuhi standar etika yang tinggi. Dengan tak menerima gaji, mereka menghindari munculnya konflik kepentingan atau pertanyaan tentang motivasi keuangan mereka ('integritas dan transparansi'). Sikap seperti ini, dapat membangun kepercayaan masyarakat, menunjukkan bahwa perhatian utama seorang pemimpin adalah kesejahteraan negara dan rakyatnya ('trust building').
  • Persepsi Publik dan 'Morale'. Selama masa-masa sulit, tindakan pengorbanan simbolis yang dilakukan para pemimpin, dapat meningkatkan moral dan solidaritas masyarakat. Dapat pula mendorong masyarakat bersatu dan mendukung kebijakan dan tindakan yang diperlukan, meskipun menantang (agar meningkatkan 'Semangat Rakyat'). Hal ini meningkatkan kredibilitas dan legitimasinya sebagai seorang pemimpin yang bersedia berbagi kesulitan dan pengorbanan yang dibutuhkan masyarakat (“kredibilitas”).
  • Inspirasi dan Keteladanan. Pemimpin yang mau berkorban secara pribadi, dapat 'menginspirasi orang lain' di organisasi atau komunitasnya agar melakukan hal yang sama, sehingga menumbuhkan budaya pelayanan dan dedikasi. Sebagai figur publik, tindakan mereka menjadi 'role model' bagi calon politisi dan pelayan publik, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati kerap melibatkan pengorbanan pribadi. Terkadang, isyarat simbolik berdampak yang besar. Dengan menolak gaji, mereka mengirim pesan kuat tentang dedikasinya terhadap pelayanan publik. Tindakan seperti ini, bisa berdampak jauh melampaui konteksnya. Menerima gaji yang tinggi, pada dasarnya tak salah, namun kerendahan hati dalam menolaknya, mencerminkan pemahaman yang lebih matang tentang kepemimpinan. Pemimpin yang rendah hati, memprioritaskan kebaikan kolektif ketimbang keuntungan pribadi, dan bukan sekedar keluar-masuk gorong-gorong.
  • Fokus pada Tujuan Jangka Panjang. Dengan tak berfokus pada keuntungan finansial pribadi, para pemimpin ini dapat tetap memusatkan perhatian pada tujuan jangka panjang (atau visi jangka panjang) guna perbaikan dan pemulihan negara. Hal ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada kepentingan publik jangka panjang dibandingkan keuntungan pribadi jangka pendek.
Keputusan merelakan atau mengurangi gaji mereka, menyoroti nilai-nilai komitmen terhadap pelayanan publik, tanggungjawab fiskal, standar etika yang tinggi, pentingnya persepsi publik, dan kekuatan pengorbanan pribadi. Walau bersifat simbolis, tindakan seperti ini dapat menginspirasi perubahan sosial yang lebih luas dan menumbuhkan budaya solidaritas dan filantropi.
Para kritikus mungkin berpendapat bahwa kendati bersifat simbolis, tindakan tersebut tak mengatasi masalah sistemik yang lebih dalam. Perubahan nyata memerlukan reformasi kebijakan yang komprehensif dan penyesuaian struktural. Terkadang ada keraguan mengenai apakah tindakan ini 'genuine' atau cuma untuk kepentingan hubungan kemasyarakatan. Menjaga transparansi dan konsistensi dalam perilaku, amatlah penting mengatasi keraguan tersebut. Kendati positif, tindakan-tindakan ini juga dapat memberikan harapan yang tinggi bagi para pemimpin masa depan, sehingga berpotensi memunculkan tekanan agar mematuhi standar serupa, apa pun keadaan pribadinya.

Nilai-nilai ini tak memandang apakah sistemnya Presidensial atau Parlementer, melainkan pelajaran moral ini menjadi prinsip berharga bagi para pemimpin di bidang apa pun, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati acapkali lebih mengutamakan kebutuhan orang lain dan menyajikan teladan positif. Laksana 'Pilar-pilar rakyat', para pemimpin sejati ini bagaikan pilar kokoh yang menopang sebuah bangunan, mereka memberikan dukungan dan stabilitas yang berharga, yang kerap tak terlihat namun penting bagi 'collective well-being'. Atau sebagai 'Taman yang menyehatkan semua orang', mereka memberi nafkah bagi seluruh masyarakat, para pemimpin ini memelihara dan merawat orang lain, acapkali dengan mengorbankan sumber daya yang mereka miliki. Atau ibarat 'Debu-debu yang beterbangan membentuk burung Phoenix', mereka sering menanggung pengorbanan atau kesulitan pribadi yang berarti, namun tetap menjadi lebih kuat dan tangguh, menginspirasi orang lain bertahan dan berkembang.
Pembicaraan kita kali ini akan menjadi acuan untuk melangkah ke bincang tentang risiko membangun koalisi yang, kata Dan Slater, dapat mengarah pada 'Oversized Coalition'. Biidznillah."

Kemudian, Kenanga pun berpuisi,

Tilik-menilik ... Sidik-menyidik
Utak-atik ... Makar di tiang listrik
Pejabat nyentrik ... Kartu elektrik
Meja hijau pelik ... Hakim bisik-bisik
Pembela usak-usik ... di tempat umum aromanya kecut
Palu ... tarik-menarik *)
Kutipan & Rujukan:
- Rocky Gerung, Obat Dungu, Resep Akal Sehat: Filsafat untuk Republik Kuat, 2024, Komunitas Bambu
- Harold D' Lasswell, Politics: Who Gets What, When, How, 2018, Papamoa Press
- Colin Hay, Why We Hate Politics, 2007, Polity Press
- Pippa Norris, Critical Citizens: Global Support for Democratic Governance, 1999, Oxford University Press
- Peter Ferdinand (Ed.), The Internet, Democracy and Democratization, 2004, Routledge
*) "Njentit" karya Syahriannur Khaidir

Rabu, 29 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (21)

"Seekor gurita bertanya kepada temannya, 'Apa yang paling loe kurang suka selama jadi gurita?'
'Cuci tangan sebelum makan malam,' kata rekannya."

"Secara umum, 'oposisi' mengacu pada ketidaksepakatan atau penolakan keras, yang diungkapkan melalui tindakan atau argumen. Dalam konteks olahraga, oposisi merujuk pada tim atau orang yang menjadi lawan-tanding dalam kompetisi. Dalam fisika, oposisi menunjuk pada resistensi yang dihadapi oleh suatu benda, yang bergerak melalui suatu medium. Dalam matematika, oposisi dapat dilihat dalam rumus hubungan terbalik. Dalam ilmu ekonomi, oposisi dapat dikaitkan dengan eksternalitas, dampak yang tak diinginkan dari kegiatan ekonomi, yang mempengaruhi pihak ketiga. Dalam sistem politik, terma oposisi secara spesifik mengacu pada politisi-politisi terpilih milik partai terbesar, yang tak membentuk pemerintahan,” lanjut Kenanga sambil melihat potret hitam putih seorang lelaki yang sedang berpidato. Sutomo (3 Oktober 1920–7 Oktober 1981), juga dikenal sebagai 'Bung Tomo' adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, dan dikenal oleh perannya sebagai pemimpin militer Indonesia selama Revolusi Nasional Indonesia melawan Inggris dan Belanda. Ia memainkan peran sentral dalam Pertempuran Surabaya dikala Inggris menyerang kota tersebut pada bulan Oktober dan November 1945.

"Konsep oposisi bisa berbeda-beda tergantung konteksnya, baik yang terkait dengan ketidaksepakatan dalam pemahaman umum, olahraga, maupun politik, dan kerap melibatkan kekuatan-kekuatan yang kontras, semisal dalam fisika, ekonomi, bahkan sebagai simbolisme atau metafora.
Oposisi dapat pula merujuk pada tindakan menentang atau menolak sesuatu. Ia dapat menyertakan ekspresi ketidaksetujuan, kritik, atau protes melalui aksi atau kilah-beralasan. Ketidaksetujuan dan antagonisme menjadi ciri oposisi. Tatkala individu atau kelompok punya pandangan yang berlawanan, mereka mungkin bertindak dengan cara yang mengungkapkan ketidaksetujuannya. Oposisi juga dapat menunjukkan pertentangan atau antitesis antara dua hal. Contohnya, konsep 'nature-culture opposition' menyoroti perbedaan antara unsur alam dan unsur buatan manusia. Dalam astronomi, oposisi terjadi ketika dua benda langit (misalnya planet) saling berhadapan di langit jika dilihat dari Bumi. Dalam astrologi, ia mewakili aspek 180° antar planet, acapkali dikaitkan dengan konfrontasi atau pemberitahuan.

Dalam logika, oposisi menggambarkan hubungan antara dua proposisi, yang subjek dan predikatnya sama tetapi berbeda kualitas, kuantitas, atau kedua-duanya. Dalam linguistik, kata 'oposisi' mengacu pada hubungan antara unit-unit alternatif dalam suatu sistem linguistik (misalnya, fonem-fonem yang berbeda).
Metafora memainkan peran menarik dalam proses berpikir dan bahasa kita. Pemahaman kita dapat diperkaya dengan menjembatani gagasan-gagasan yang nampak berbeda. Ia memungkinkan kita mengeksplorasi konsep-konsep kompleks melalui perbandingan yang jelas! Menurut Conceptual Metaphor Theory, 'people speak in metaphors' because 'they think in metaphors.' Metafora merupakan mekanisme linguistik inovasi semantik dan mekanisme kognitif. Ia membangun hubungan antara elemen-elemen yang berbeda dengan menunjukkan kesamaan dan memunculkan pengetahuan baru. Metafora menunjukkan 'persamaan dalam perbedaan', memungkinkan kita memahami konsep-konsep abstrak melalui perbandingan konkrit.
Ungkapan 'persamaan dalam perbedaan' merangkum wawasan mendalam tentang hakikat cinta dan kemampuannya membawa kesatuan dan pemahaman pada elemen-elemen kehidupan yang sepertinya berbeda. Theodor Adorno, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, pernah berkata, 'Cinta itu, kekuatan melihat persamaan dalam perbedaan.' Kutipan ini menunjukkan bahwa cinta memungkinkan kita memahami hubungan dan persamaan, walaupun berada di tengah perbedaan dan keragaman yang ada di sekitar kita. Pada intinya, kutipan Adorno berpendapat bahwa cinta berkemampuan yang dahsyat untuk menjembatani kesenjangan diantara apa yang mungkin nampak tak sesuai atau kontradiktif. Ia mendorong kita agar melihat melampaui perbedaan yang ada di permukaan dan menghargai persamaan mendasar yang menyatukan kita semua. Cinta mengajak kita mengenali rasa kemanusiaan yang dimiliki bersama dalam setiap individu, tanpa memandang faktor eksternal seperti ras, agama, atau status sosial. Ia berfungsi sebagai penangkal perpecahan dan konflik di dunia kita. Dengan melihat persamaan dalam perbedaan, cinta menantang kecenderungan kita mengkategorikan dan memisahkan diri dari orang lain. Ia memupuk empati, kasih-sayang, dan persatuan, serta mendobrak hierarki dan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Yang terpenting, kemampuan cinta melihat 'persamaan dalam perbedaan', bukan berarti sama sekali mengabaikan perbedaan. Sebaliknya, ia justru menselebrasikan keberagaman dan mendorong dialog bermakna dengan pihak-pihak yang punya pandangan berbeda. Konsepsi ini mengingatkan kita bahwa cinta melampaui kesenjangan yang terlihat, memungkinkan kita menghargai keterhubungan seluruh pengalaman manusia.

Empati memainkan peran penting dalam membentuk pendekatan kita terhadap sudut pandang yang beroposisi. Empati memungkinkan kita mengambil posisi orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang mereka. Saat menghadapi sudut pandang yang beroposisi, kita dapat mendengarkan secara aktif dan berusaha memahami motivasi, ketakutan, dan pengalaman mendasar yang menopang pandangan tersebut. Daripada langsung menolak pendapat yang berbeda, empati mendorong kita agar mengajukan pertanyaan seperti, 'Mengapa orang ini mempercayai apa yang mereka lakukan?' atau 'Pengalaman hidup apa yang membentuk perspektif mereka?'
Empati memanusiakan individu dengan sudut pandang yang berkebalikan. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap opini terdapat perasaan, harapan, dan perjuangan seseorang. Disaat kita mengakui sisi kemanusiaan orang lain, kecil kemungkinan kita akan menjelek-jelekkan atau menstereotipkannya. Empati menumbuhkan rasa kemanusiaan bersama, bahkan pun dikala kita berbeda pendapat. Di dunia yang terpolarisasi ini, empati berperan sebagai penyeimbang. Ia membantu mengurangi permusuhan dan mendorong wacana sipil. Jika kita mendekati sudut pandang yang berlawanan, dengan empati, kita akan cenderung turut dalam percakapan yang penuh hormat dibanding debat sengit. Kita mencari kesamaan dan nilai-nilai bersama.
Empati mendorong kita mempertanyakan bias kita sendiri. Ia mendorong kita agar mempertimbangkan apakah keyakinan kita didasarkan pada bukti atau sekadar memperkuat apa yang telah kita pikirkan. Dengan secara aktif mencari perspektif yang beragam, kita menantang bias konfirmasi dan membuka diri terhadap pertumbuhan. Empati membangun jembatan antar manusia. Ia memungkinkan kita menemukan kesamaan bahkan dalam perselisihan. Misalnya, dua individu dengan pandangan politik yang berbeda, mungkin sama-sama sangat peduli terhadap pendidikan atau pelestarian lingkungan. Empati membantu kita menemukan kekhawatiran bersama dan berupaya mencari solusi.
Empati merupakan komponen kunci dari kecerdasan emosional. Ia memungkinkan kita mengelola emosi dan merespons dengan bijak, bukan secara reaktif. Saat menghadapi pertentangan, empati membantu kita tetap tenang, mendengarkan secara aktif, dan menemukan cara berkomunikasi yang konstruktif. Empati mengundang kita agar mendekati sudut pandang yang beroposisi, dengan hati terbuka dan kemauan untuk belajar. Ia memperkaya pemahaman kita, memupuk hubungan, dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih berwelas-asih dan berilmu.

Konsep 'persamaan dalam perbedaan' dan konsep 'oposisi', mungkin sekilas tampak tak ada kaitannya, namun keduanya punya hubungan yang menarik. 'Persamaan dalam perbedaan' menunjukkan bahwa kendati kita dihadapkan pada perbedaan atau kontradiksi yang nyata, kita dapat menemukan titik temu atau aspek-aspek yang sama. Cinta, empati, dan pengertian, memungkinkan kita melihat lebih jauh dari kesenjangan yang ada. Demikian pula dalam bidang oposisi, mengakui tujuan bersama atau nilai-nilai dasar dapat menjembatani kesenjangan. Lawan politik, misalnya, boleh jadi menemukan titik temu dalam isu-isu tertentu meskipun mereka berbeda ideologi. Dengan berfokus pada kepentingan bersama, mereka dapat bekerjasama demi perubahan positif.
Oposisi seringkali muncul dari sudut pandang yang berbeda, konflik kepentingan, atau ideologi yang berbeda. Ia dapat dilihat sebagai bentuk keberagaman intelektual atau politik. Jika ditangani secara konstruktif, oposisi menjadi peluang untuk dialog. Dengan berperan serta dalam perspektif yang berlawanan, kita dapat mengungkap kesamaan dan mengeksplorasi bidang-bidang kesepakatan. Sama seperti cinta yang berusaha menemukan kesamaan, wacana politik mendapat manfaat dari pencarian titik temu. Perdebatan, negosiasi, dan kompromi, semuanya melibatkan upaya menavigasi oposisi seraya mencapai hasil yang produktif.

Dalam gagasan filosofis, kognisi, dan bahasa, terdapat hukum pertentangan (the law of opposites). Ia bermula dari tradisi filosofi Barat yang sering membedakan antara subjek (manusia) dan objek (dunia). Dikotomi ini menekankan kontras antara unsur-unsur yang berlawanan, seperti terang dan gelap, baik dan buruk, atau kekuatan yang saling bertentangan.
Nietzsche menantang pandangan tradisional bahwa metafora muncul dari pengangkutan konsep. Sebaliknya, ia mengungkapkan asal mula konsep secara metaforis. Konsep, alih-alih menjadi dasar metafora, malah menjadi kaku karena metafora. Dengan kata lain, metafora secara logis dan kronologis berada sebelum konsep itu sendiri.
Ungkapan 'oposisi dalam perdagangan' secara metaforis mengacu pada persaingan. Ia menyiratkan bahwa persaingan mengurangi biaya perbekalan dan penghidupan. Sama seperti kekuatan-kekuatan yang berseberangan yang saling bersaing, oposisi terhadap perdagangan, dapat pula memberikan hasil yang menguntungkan.
Sungguh menakjubkan bagaimana konsepsi 'oposisi' ini, terjalin dalam beragam aspek kehidupan kita!

Sastra dan oposisi punya banyak segi dan kaya akan eksplorasi dalam aneka konteks. Sastra dan oposisi bersinggungan dalam hal-hal yang tak terhitung jumlahnya, menumbuhkan pemikiran kritis, empati, dan dialog. Karya sastra memberikan sebuah lensa yang melaluinya kita mengeksplorasi kompleksitas pengalaman manusia dan perjuangan untuk perubahan. Sastra kerap melukiskan tokoh atau kelompok dalam peran yang beroposisi. Karya sastra mengeksplorasi tema perlawanan, perbedaan pendapat, dan konflik. Banyak karya sastra yang memuat oposisi politik. Drama novel, dan puisi memaparkan tokoh-tokoh yang menantang otoritas, menganjurkan perubahan, atau mempertanyakan struktur kekuasaan yang sudah mapan. Contoh, karya '1984'-nya George Orwell, yang mengkritik totalitarianisme, dan One Day in the Life of Ivan Denisovich karya Aleksandr Solzhenitsyn, yang mengungkap kenyataan pahit di kamp kerja paksa Uni Soviet.
Sastra berfungsi sebagai platform kritik sosial. Para penulis menggunakan karyanya guna mengatasi masalah sosial, kesenjangan, dan ketidakadilan. Dengan menggambarkan karakter atau situasi yang berlawanan, sastra mendorong pembaca agar merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri. Gerakan sastra seringkali muncul bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. 'The Romantic movement', misalnya, memberontak terhadap 'Enlightenment rationalism' dan mengagungkan individualisme, emosi, dan alam. Demikian pula, Beat Generation menentang materialisme dan konformitas di Amerika pasca-Perang Dunia II.
Beberapa karya sengaja menyanggah otoritas atau ideologi dominan. Para punyangga berpartisipasi dalam aktivisme sastra dengan menggunakan keahliannya mengadvokasi perubahan. Penyair, penulis esai, dan novelis, berkontribusi pada gerakan sosial, perjuangan hak asasi manusia, dan perdebatan politik. Sastra menggunakan kekuatan bahasa. Metafora, simbol, dan analogi menyampaikan pesan-pesan yang berlawanan. Para sastrawan menggunakan bahasa untuk menagak narasi dominan dan membangun perspektif alternatif.

Metafora yang memperkaya pemahaman kita dengan menjembatani gagasan-gagasan yang tampak berlainan, memungkinkan kita mengeksplorasi konsep-konsep kompleks melalui perbandingan yang jelas. Satire, yang seringkali mengandalkan ironi dan agregasi, bisa dengan bercanda mengungkap absurditas yang ada di pihak lawan. Komedian memakai satire guna mengungkap kontradiksi dan kemunafikan lawan politik. Komedian menggunakan kekuatan satire untuk membedah dan mencerca isu-isu politik, acapkali dengan kecerdasan dan humor yang tajam. Untuk mengatasi oposisi dan politik, komedian menggunakan satire untuk menyoroti absurditas dalam wacana politik. Dengan membesar-besarkan atau memutarbalikkan keadaan dunia nyata, mereka mengungkap kontradiksi, kemunafikan, dan irasionalitas sistem politik yang melekat. Contoh, Jon Stewart (pembawa acara The Daily Show) dan Stephen Colbert (pembawa acara The Colbert Report) dengan keahliannya mengungkap absurditas media berita, politisi, dan pertengkaran partisan. Pertunjukan mereka mengaburkan batas antara komedi dan berita, membuat pemirsa mempertanyakan status quo.
Komedian satire menyangggah tokoh otoritas, termasuk para politisi, dengan meledek perbuatan mereka dan mempertanyakan keputusan mereka. Para komedian memberikan narasi tandingan terhadap pernyataan resmi. Komedian membuat parodi tokoh politik, peristiwa, dan ideologi. Tiruan satire ini mengungkap kelemahan dan keanehan para politisi. Coba bayangin parodi Alec Baldwin sebagai Donald Trump di Saturday Night Live. Melalui tingkah laku yang 'agak' berlebihan dan kalimat yang jenaka, Baldwin menangkap esensi kepribadian Trump, menyajikan hiburan dan komentar.

Satire tumbuh subur di atas ironi dan hiperbola. Komedian menggunakan sarana ini guna menekankan kontradiksi dan menyoroti kesenjangan antara retorika dan kenyataan. Satire dapat 'memanusiakan para politisi' dengan menunjukkan kekurangan, kerentanan, dan uapaya keseharian mereka. Ia mengingatkan kita bahwa mereka merupakan individu-individu yang bisa saja keliru dalam menghadapi dunia yang kompleks. Trevor Noah, yang menggantikan Jon Stewart di The Daily Show, membawa perspektif global dan sering menggunakan pengalamannya sendiri (tumbuh di Afrika Selatan era apartheid) guna menjelaskan absurditas politik.
Komedi satire mendorong pemirsa agar 'berpikir kritis' terhadap isu-isu politik. Ia memunculkan pertanyaan seperti, 'Mengapa kita menerima norma-norma tertentu?' atau 'Bagaimana jika keadaannya berbeda?' Komedian menggunakan satire sebagai alat yang ampuh untuk menghibur, memancing refleksi, dan meminta pertanggungjawaban politisi. Melalui humor, mereka menavigasi kompleksitas oposisi dan politik, mengingatkan kita bahwa 'tertawa' dapat menjadi 'katalisator perubahan'. Dengan melakukannya, mereka menyoroti kelemahan dan kerentanan manusia yang ada di seluruh spektrum politik. Dengan menertawakan kekurangan ini, kita mengakui kemanusiaan kita secara kolektif.

Konsep 'persamaan dalam perbedaan' dan 'oposisi', menantang 'binary thinking'. Binary thinking merupakan kerangka kognitif yang menyederhanakan keadaan atau konsep kompleks dengan mereduksinya menjadi hanya dua kategori atau perspektif yang berlawanan. Ia juga dikenal sebagai 'dichotomous thinking'. Binary thinking membantu kita merasakan kepastian, namun ia juga dapat mengakibatkan pemikiran dualistik atau polarisasi. Pemikiran biner memungkinkan kita melihat keuntungan dan kerugian utama dari suatu keadaan, namun kita bisa kehilangan detail yang lebih samar atau area abu-abu di tengahnya.
Contoh binary thinking ialah kala seseorang memandang suatu situasi atau perbuatan, sebagai sesuatu yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Contoh lain binary thinking, manakala seseorang mengkategorikan orang, ide, atau situasi sebagai baik atau buruk tanpa ada ruang di antaranya. Binary thinking dapat pula terjadi bilamana seseorang menilai tingkat kecerdasan orang lain sebagai orang yang pandai atau bego. Binary thinking juga dapat dipertimbangkan jika keberhasilan dan kegagalan dilihat sebagai kategori mutlak, hitam dan putih. Binary thinking dapat pula bermanifestasi sebagai mentalitas 'Kita vs. Mereka', yang mana seseorang mengkategorikan dirinya sendiri dan orang lain ke dalam kategori di dalam dan di luar kelompok. Binary thinking dapat dilihat bila orang mengkategorikan perilaku atau sifat sebagai normal atau abnormal, tanpa mempertimbangkan spektrum pengalaman manusia yang luas. Binary thinking dapat berwujud disaat seseorang memandang kesempurnaan sebagai tujuan akhir dan segala sesuatu yang kurang sempurna sebagai sesuatu yang tak pantas atau tak dapat diterima. Binary thinking dapat juga terjadi tatkala orang memandang isu-isu kompleks semisal perkembangan kepribadian sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat alami atau sepenuhnya berkaitan dengan pengasuhan, mengabaikan interaksi antara kedua faktor tersebut dalam membentuk individu. Hal yang lumrah bagi orang banyak mengabaikan detail yang berbeda-beda dan memilih narasi 'the big picture' yang disederhanakan dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik hingga kritik seni. Jika kita terlalu fokus pada 'big picture'-nya, kita kehilangan detail penting. Bila kita terlalu berfokus pada detailnya, boleh jadi, kita bakal kehilangan arah dan 'big picture'-nya. Seseorang dengan perspektif yang seimbang akan dapat melihat suatu kedaaan dari kedua perspektif dan berbagai sudut, serta menghindari penyesuaian sepenuhnya pada salah satu perspektif tersebut.

'Kesamaan dalam perbedaan' mendorong kita agar melampaui perbedaan hitam-putih, dan mengenali nuansa abu-abu. Oposisi juga tak harus mutlak. Ia dapat berbeda-beda, dengan tingkat persetujuan dan ketidaksepakatan dalam derajat yang berbeda-beda. Mengakui kompleksitas ini, memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih produktif. Walau kelihatan berbeda, kedua konsep ini, mengajak kita agar melihat melampaui perbedaan yang ada di permukaan, menemukan kesamaan, dan berpartisipasi dalam sudut pandang yang berlawanan, dengan cara yang mendorong pemahaman dan kemajuan.

Dalam politik, oposisi mengacu pada partai politik besar yang menentang partai yang berkuasa. Ia berupaya menggantikan partai yang berkuasa melalui pemilu. Terdapat perbedaan yang signifikan antara oposisi dalam sistem parlementer dan oposisi dalam sistem presidensial, serta menentukan berfungsinya pemerintahan demokratis. Dalam sistem parlementer, terdapat hubungan yang erat antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kepala eksekutif, sering disebut perdana menteri, pula sebagai pemimpin di lembaga legislatif (biasanya anggota parlemen). Kekuasaan perdana menteri bergantung pada dukungan partai mayoritas atau koalisi di parlemen. Perdana menteri bertanggungjawab langsung kepada parlemen. Jika partai mayoritas kehilangan kepercayaan terhadap perdana menteri, mereka dapat diberhentikan melalui mosi tidak percaya. Partai mayoritas atau koalisi di parlemen membentuk pemerintahan. Perdana menteri biasanya sebagai pemimpin mayoritas ini. Sistem parlementer cenderung lebih fleksibel. Pemerintahan dapat berubah tanpa pemilihan umum baru (misalnya melalui mosi tidak percaya). Namun, fleksibilitas ini, dapat menyebabkan seringnya terjadi pergantian kepemimpinan.
Pihak oposisi berperan aktif dalam meminta pertanggungjawaban pemerintah. Ia mengkaji kebijakan, mengusulkan alternatif, dan berpartisipasi dalam perdebatan. Pemerintahan koalisi merupakan hal yang umum dalam sistem parlementer. Pihak oposisi dapat membentuk aliansi menantang koalisi yang berkuasa.

Dalam sistem presidensial, terdapat pemisahan kekuasaan yang jauh lebih kuat antara legislatif dan eksekutif. Kepala eksekutif, yang sering disebut presiden, hanya berperan terbatas dalam proses legislatif. Presiden dipilih secara independen dari badan legislatif dan tak bergantung pada dukungan legislatif bagi jabatannya. Presiden independen terhadap badan legislatif, mereka tak bertanggungjawab langsung kepada parlemen dan tak dapat dengan mudah diberhentikan melalui mosi tak percaya. Presiden dipilih secara terpisah dari badan legislatif. Pemerintah dibentuk secara independen dari mayoritas legislatif.
Sistem presidensial lebih stabil. Masa jabatan presiden yang tetap menjamin kesinambungan, namun dapat pula menyebabkan kebuntuan jika presiden dan badan legislatif berasal dari partai yang berbeda. Koalisi lebih jarang terjadi. Oposisi cenderung lebih terfragmentasi. Peran oposisi kurang ditentukan secara konstitusional. Seringkali fokusnya menyampaikan pesan kepada publik, mengkritik keputusan presiden, dan menggunakan alat legislatif.
Sebagai contoh di Indonesia, presiden tak bertanggungjawab secara langsung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti halnya dalam sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri (kepala pemerintahan) bertanggungjawab langsung kepada parlemen. Posisi perdana menteri bergantung pada dukungan partai mayoritas atau koalisi di parlemen. Jika partai mayoritas kehilangan kepercayaan terhadap perdana menteri, mereka dapat diberhentikan melalui mosi tak percaya.
Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden independen terhadap DPR, maka, presiden tak bertanggungjawab langsung kepada DPR. Presiden dipilih secara terpisah dari badan legislatif dan tak bergantung pada dukungan legislatif bagi jabatannya. Kendati DPR punya kekuasaan pengawasan dan dapat mengesahkan undang-undang dan anggaran bersama-sama dengan presiden, presiden tak bertanggungjawab langsung kepada DPR seperti halnya perdana menteri dalam sistem parlementer.

Dalam konteks sistem presidensial, tantangan yang kompleks muncul karena perbedaan sumber legitimasi, baik presiden maupun legislatif, maka isu 'Dual Legitimacy (Legitimasi Ganda)' bisa saja muncul. Dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memberikannya legitimasi demokratis yang terpisah dari legislator. Sementara itu, badan legislatif (seperti parlemen atau kongres atau dewan) memperoleh legitimasinya dari fungsi perwakilan—yang terdiri dari wakil-wakil terpilih. Persoalan Dual Legitimacy otomatis muncul karena, khususnya pada saat krisis, baik presiden maupun legislatif dapat mengklaim 'berbicara atas nama rakyat'. Pemilu dengan masa jabatan tetap bermakna bahwa dalam sistem presidensial, legitimasi presiden tetap utuh walau ada perubahan dalam komposisi badan legislatif.
Tatkala presiden dan badan legislatif berpandangan atau berprioritas yang berbeda, mereka mungkin akan menegaskan legitimasi demokrasi mereka. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan dan 'gridlock' (atau deadlock). Selama krisis (seperti keadaan darurat, perselisihan konstitusi, atau ketidakstabilan politik), permasalahan Dual Legitimacy bakal sangat mengganggu. Kedua cabang pemerintahan dapat bersaing untuk mendapatkan otoritas, sehingga menimbulkan ketidakpastian. Kendati Dual Legitimacy menjamin adanya sistem checks and balances, juga dapat menghambat tindakan tegas. Kekuasaan eksekutif presiden bisa berbenturan dengan keputusan legislatif. Sistem presidensial hendaknya menyeimbangkan antara mandat langsung presiden dan peran perwakilan legislatif. Mencapai keseimbangan yang tepat sangat penting bagi tatakelola yang efektif. Dual Legitimacy dalam sistem presidensial, menimbulkan tantangan terkait kewenangan, pengambilan keputusan, dan keterwakilan demokratis. Keadaan ini menggarisbawahi perlunya kerangka dan mekanisme konstitusional yang jelas bagi penyelesaian konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif.

Dalam sistem demokrasi, oposisi merupakan bagian integral dari demokrasi. Partai-partai oposisi menantang partai yang berkuasa. Mereka memberikan kebijakan alternatif, mengkritik keputusan pemerintah, dan meminta pertanggungjawaban partai yang berkuasa. Oposisi berbasis partai secara luas dipandang sebagai bentuk oposisi yang paling efektif. Di banyak negara otoriter, pemimpin rezim membagi oposisi politik menjadi komponen sistemik (dibolehkan berpartisipasi dalam politik resmi) dan komponen non-sistemik (tak dilibatkan dalam pemilu dan pembuatan kebijakan). Oposisi politik sangat penting untuk menjaga akuntabilitas demokrasi dan memastikan sistem politik yang sehat. Baik dalam sistem presidensial maupun parlementer, partai-partai oposisi berkontribusi terhadap checks and balances yang diperlukan agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik.
Partai-partai oposisi dalam sistem presidensial menghadapi tantangan-tantangan yang dapat berdampak pada efektivitas dan kemampuannya dalam menjaga akuntabilitas pemerintah. Masa jabatan presiden berjangka waktu yang tetap (misalnya empat atau lima tahun). Berbeda dengan sistem parlementer, yang pemilihan umumnya dapat diadakan lebih awal, pemilihan presiden dilaksanakan pada interval yang telah ditentukan. Kekakuan ini, dapat membatasi kemampuan oposisi menentukan waktu strategi politik mereka secara efektif. Sistem presidensial acapkali menunjukkan dinamika 'winner-takes-all dynamics'. Kandidat dengan suara terbanyak memenangkan kursi kepresidenan, dan partainya memperoleh kekuasaan yang amat penting. Pendekatan mayoritas ini, dapat meminggirkan partai-partai oposisi, terutama jika mereka tak berhasil memenangkan kursi kepresidenan. Mereka dapat mengalami kesulitan mempengaruhi keputusan kebijakan atau mendapatkan mayoritas legislatif. Misalnya, di Amerika Serikat, para presidennya seringkali bekerjasama dengan kedua partai agar mencapai tujuan mereka. Di negara lain, seperti Brasil atau India, presidennya membentuk koalisi dengan banyak partai untuk memerintah secara efektif.

Tentu saja ada 'pro' dan 'kontra'-nya. Dukungan yang lebih luas dapat menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil. Kolaborasi lintas partai mendorong konsensus dan mengurangi polarisasi. Namun, menyeimbangkan beragam kepentingan bisa jadi rumit. Perbedaan ideologi dapat menghambat kerjasama. Beberapa pihak mungkin lebih memprioritaskan menentang presiden ketimbang hasil kebijakannya.
Coalition-building dalam politik dapat memberi keuntungan sekaligus tantangan. Kita akan mengeksplorasi risiko yang terkait dengan mengandalkan koalisi, di episode berikut, biidznillah.”
Kutipan & Rujukan:
- Amy L. Atchison, Political Science is For Everybody: An Introduction to Political Science, 2021, University of Toronto Press
- Stefana Garello, The Enigma of Metaphor: Philosophy, Pragmatics, Cognitive Science, 2024, Springer
- Richard Eldrige (Ed.), The Oxford Handbook of Philosophy and Literature, 2009, Oxford University Press
- Kliph Nesteroff, Drunks, Thieves, Scoundrels and the History of American Comedy, 2015, Grove Press
- Theodor Adorno, Walter Benjamin, Ernst Bloch, Bertolt Brecht & Georg Lukács, Aesthetics and Politics, 2007, Verso
- Jonathan Herron, Comedy-Driven Leadership: Think Like a Comedian, Move Forward Like a Leader, 2014, First Punch Press
- Matthew Soberg Shugart & John M. Carey, Presidents and Assemblies, 1992, Cambridge University Press.
[Episode 22]

Senin, 27 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (20)

“Seorang petani bertanya kepada petani lainnya, 'Kenapa sih orang-orangan sawah itu, dapat penghargaan?'
'Soalnya, doi berdiri sindirian di tengah-tengah sawah!' jawab sang kompanyon."

“Mengapa manusia kudu bekerjasama? Apa karena kita semua bergerak ke arah yang sama dan semua orang bekerja mencapai tujuan bersama dan berkolaborasi dalam kebersatuan? Ataukah lantaran kita semua roda penggerak dalam sebuah mesin, yang masing-masing memainkan peran tertentu, berkontribusi pada kelancaran keseluruhannya? Secara umum, jawaban terhadap pertanyaan ini, dapat berbentuk perspektif normatif ('apa yang seharusnya') atau positif ('apanya'),' lanjut Kenanga sambil memperhatikan The Berlin Wall Memorial. Pernah memisahkan Berlin Timur dan Barat selama Perang Dingin, runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 menandai kemenangan persahabatan atas pembelahan.

"Banyak perilaku manusia bersifat kultural karena perilaku tersebut dipelajari secara sosial melalui observasi dan interaksi dalam kelompok sosial—pembelajaran sosial kemudian dapat dipahami sebagai kapasitas dasar yang mendasari apa yang biasanya disebut sebagai 'budaya'. Semua perilaku, keyakinan, preferensi, strategi, dan praktik yang diperoleh secara budaya, juga bersifat genetik dalam artian bahwa perolehannya memerlukan mesin otak yang memungkinkan sejumlah besar perilaku kompleks, pembelajaran sosial dengan kejelian yang tinggi.
Secara lebih umum, walau kemampuan belajar sosial yang terbatas ditemukan di tempat lain di alam, pembelajaran sosial pada spesies kita, punya tingkat kejituan yang tinggi, sering terjadi, termotivasi secara internal, seringkali tak disadari, dan dapat diterapkan secara luas, dimana manusia mempelajari segala sesuatu mulai dari pola motorik hingga tujuan dan respons afektif, dalam berbagai bidang. mulai dari pembuatan alat dan preferensi makanan hingga altruisme dan kognisi spasial. Jika spesies hewan lain 'berkultural', maka kitalah spesies hiperkultural.

Perilaku kerjasama (atau prososial) merujuk pada persoalan-persoalan dimana seseorang membayar beban atau biaya pribadi agar memberikan manfaat kepada individu atau kelompok individu lain. Biaya mengacu dalam pengertian luas, dengan mempertimbangkan berbagai potensi beban biaya termasuk waktu dan tenaga, sumber daya dan uang, serta kerugian fisik. Di hampir segala persoalan yang dipertimbangkan, biaya kerjasama lebih kecil dibanding manfaat yang dihasilkan, sehingga menjadikan kerjasama produktif: mitra atau kelompok individu yang sukses bekerjasama akan lebih beruntung ketimbang mereka yang tak bisa bekerjasama. Karena manfaat yang dihasilkan oleh kerjasama, banyak orang menganggap adanya kewajiban moral untuk bekerjasama.
Apa maksudnya dijadikan bermoral? Secara tradisional, para filsuf berfokus pada jawaban normatif terhadap pertanyaan ini, sedang psikolog, ahli biologi evolusi, dan ilmuwan sosial, berfokus pada aspek positif moral: Bagaimana dan mengapa pemahaman kita tentang moral berkembang? Proses psikologis apa yang berkontribusi terhadap penilaian moral kita? Aturan moral manakah yang bersifat universal dan berbeda antar budaya?

Di sekeliling kita, kita menyaksikan orang-orang berkontribusi terhadap kesejahteraan orang lain, meskipun hal tersebut tak nyaman dan barangkali merugikan dalam hal waktu dan uang, atau dapat mempengaruhi hubungan pribadi atau profesional mereka. Kita sering melihat altruisme semacam ini dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita biasanya tak menyadari atau berhenti bertanya mengapa orang mau bersusah-payah membantu orang lain, atau bagaimana kemurahan hati yang tampak ada dimana-mana ini, bisa dijelaskan. Saat orang ditanya mengapa mereka membantu orang lain, jawaban yang umum ialah bahwa melakukan hal tersebut 'the right thing to do’ dan bahwa orang ‘semestinya’ saling-menolong. Kita sering hanya menerima tindakan seperti itu sebagai bagian dari kemanusiaan, tanpa berusaha mempertanyakan mengapa kita kadang membantu, tapi di waktu lain, tidak, atau mengapa masyarakat yang berbeda sepertinya memberikan bantuan pada tingkat yang berbeda dan dalam bidang yang berbeda. Faktanya, tak cuma ada saat-saat dimana kita tak membantu, padahal kita tahu bahwa kita bisa membantu, ada pula saat-saat dimana kita bahkan tak melihat peluang untuk membantu, padahal sebenarnya ada.

Kerjasama ada dimana-mana di dunia sekitar kita, dalam skala besar dengan organisasi kemanusiaan seperti the Red Cross hingga kelompok konservasi semisal World Wildlife Fund dan dalam skala kecil dengan orang-orang yang memilih mengganti sif piket rekan kerja yang sakit atau membantu rekan yang pindah dari satu apartemen ke apartemen lainnya. Kendati pandangan evolusi dari sudut pandang gen dapat menjelaskan kerjasama di antara kerabat, kerjasama antara individu yang tak berkerabat dapat membingungkan baik dari sudut pandang seleksi alam maupun dari sudut pandang kepentingan rasional. Mengapa individu hendak berkorban membantu calon pesaingnya sukses? Apa yang mendorong perilaku prososial ini?
Penelitian menunjukkan bahwa jika kerjasama benar-benar membuahkan hasil, evolusi dan kepentingan rasional dapat mendukung kerjasama. Mungkin mekanisme yang terpenting bagi sebagian besar interaksi manusia ialah direct reciprocity (tukar-menukar langsung): individu terus-menerus berinteraksi dan mengkondisikan perilaku bekerjasamanya berdasarkan kerjasama mitramya.

Agar direct reciprocity bisa berhasil, kedua belah pihak harus berulangkali melakukan kontak sehingga ada peluang saling membalas kebaikan. Mereka dapat tinggal di jalan atau desa yang sama. Mungkin mereka bekerjasama. Atau mereka barangkali saling bertemu setiap hari Jumat di Masjid. Dengan cara ini, mereka dapat membentuk 'kontrak' berdasarkan saling-menolong.
Salah satu cara menentukan direct reciprocity mana yang nyata adalah dengan memikirkan kualitas-kualitas yang diperlukan agar mekanisme ini dapat berfungsi. Evolusi kerjasama melalui direct reciprocity mengharuskan para pemain mengenali mitranya saat ini dan mengingat hasil pertemuan sebelumnya dengannya. Mereka memerlukan ingatan untuk mengingat apa yang telah dilakukan makhluk lain terhadap mereka, dan sedikit kekuatan otak guna memikirkan apakah akan membalasnya. Dengan kata lain, direct reciprocity memerlukan kemampuan kognitif yang cukup maju.

Direct reciprocity dapat membawa keuntungan bagi kerjasama antar mitra individu. Namun, bagaimana dengan kerjsama dalam skala lebih besar daripada interaksi diadik [interaksi yang terdiri dari dua pihak]? Pertanyaan ini sebagian terjawab melalui indirect reciprocity (tukar-menukar tak langsung), yakni 'perbuatanku terhadapmu bergantung pada perbuatanmu sebelumnya terhadap orang lain'. Dalam hubungan indirect reciprocity, orang mendapatkan reputasi yang baik manakala mereka bekerjasama dengan orang lain, dan dengan demikian, di masa depan dapat mengharapkan peningkatan kerjasama dari mitranya.
Kebaikan akan mendatangkan kebaikan. Dengan cara ini, lingkaran kemanusiaan, toleransi, dan pengertian dapat menyebar ke seluruh masyarakat kita. Apa pun yang terjadi, ia merupakan bentuk kerjasama yang kuat, dan dampaknya sangat besar, membentuk cara kita berperilaku, cara kita berkomunikasi, dan cara kita berpikir.

Meskipun direct reciprocity bergantung pada pengalamanmu sendiri terhadap orang lain, indirect reciprocity juga memperhitungkan pengalaman orang lain. Mengeksplorasi bentuk indirect reciprocity penting karena sangat penting bagi masyarakat. Direct reciprocity—'Daku akan menggaruk punggungmu dan dikau menggaruk punggungku'—berlaku dengan baik dalam kelompok kecil, atau di desa-desa yang berkomunitas erat sehingga akan sulit menghindari saling berbuat curang.
Masyarakat dapat lebih mudah berkembang menjadi lebih besar, lebih kompleks, dan saling terhubung jika warganya bergantung pada pertukaran ekonomi yang mengandalkan indirect reciprocity. Hal ini penting saat ini dalam cara kita menjalankan urusan dan bekerjasama. Dengan bantuan gosip, obrolan, dan olok-olok, kita dapat mengukur reputasi orang lain, menaksir atau menilai mereka, dan memutuskan cara menghadapinya. Keadaan ini menyoroti menjamurnya badan amal dan majalah gosip selebriti yang glossy.

Norma-norma sosial dalam sebuah komunitas menentukan standar perilaku yang dapat diterima, dan informasi tentang perilaku individu disebarkan melalui selentingan. Norma-norma sosial yang berhasil, kerap memberikan reputasi yang baik kepada mereka yang bekerjasama dengan orang lain yang bereputasi baik, dan membelot terhadap mereka yang bereputasi buruk. Dengan demikian, individu yang bereputasi baik, kemudian diberi penghargaan sebab mereka lebih berpeluang menjadi penerima perilaku kerjasama.
Ada dua alasan berbeda mengapa seseorang lebih suka bekerjasama dengan individu yang dikenal mau bekerjasama. Boleh jadi, salah satu alasannya bahwa individu yang dikenal mau kerjasama lebih cenderung tukar-menukar perilaku bekerjasama. Dengan demikian, individu dapat melakukan pemisahan berdasarkan reputasi sebagai cara untuk memilih mitra interaksi yang dikehendakinya. Alternatifnya, seseorang dapat bekerjasama dengan pekerjasama lain semata untuk menjaga reputasi baiknya, dan dengan demikian, menerima lebih banyak kerjasama di masa depan. Daripada menggunakan perilaku mitra sebelumnya sebagai sinyal tentang perilakunya di masa depan, perilaku mitra sebelumnya menentukan apa yang harus dikau lakukan demi menjaga reputasi baik.
Kajian eksperimental menegaskan pentingnya reputasi dalam mendorong kerjasama manusia: orang-orang yang melakukan permainan ekonomi, belajar bekerjasama bila ada kemungkinan besar bahwa orang lain mengetahui perbuatan mereka sebelumnya. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa manusia sangat peka terhadap reputasinya, sehingga bintik mata yang halus sekalipun, dapat meningkatkan kerjasama dengan secara tak sadar menimbulkan perasaan diawasi. Sistem reputasi juga telah terbukti meningkatkan kerjasama di luar laboratorium: donor darah dan sumbangan-derma meningkat jika nama donor dipublikasikan, dan orang-orang tiga kali lebih mungkin untuk mendaftar program pengurangan pemadaman energi jika pendaftaran terlihat.

Dalam skala yang lebih luas, institusi menyediakan alat penting guna memelihara kerjasama dalam kelompok besar. Manusia kerap secara eksplisit merancang institusi agar mendorong perilaku baik. Contoh, pemerintah membangun sistem peradilan pidana, yang acapkali mempekerjakan polisi dan pengadilan guna mencegah perilaku anti-sosial seperti pencurian dan pemerkosaan. Lembaga-lembaga hukum semacam ini, punya sejarah panjang dalam masyarakat manusia. Organisasi yang lebih kecil, juga menerapkan kode etik formal dan kerap menunjuk individu tertentu menegakkan aturannya.
Institusi dapat pula merujuk pada struktur sosial yang memunculkan infrastruktur bagi pertukaran kerjasama, seperti pasar. Pasar menyediakan lingkungan yang diatur bagi orang asing agar turut-serta dalam perdagangan barang dan jasa yang produktif. Secara umum, institusi dapat meningkatkan kerjasama dengan mencegah perilaku buruk dan meningkatkan kepercayaan bahwa pihak lain akan mau bekerjasama. Peran institusi dalam kerjasama manusia kurang mendapat perhatian di kalangan eksperimentalis yang menggunakan permainan ekonomi dibanding hubungan direct dan indirect reciprocity.

Pendapat bahwa kerjasama semata bertujuan memaksimalkan keuntungan jangka panjang, tak sesuai dengan pengalaman hidup kita sehari-hari. Bila kita merenung sebentar, akan menunjukkan bahwa segala perilaku kerjasama, tak dihasilkan dari perhitungan sadar akan keuntungan yang diharapkan. Kita dikelilingi pola orang-orang yang kelihatan membantu lantaran mereka benar-benar peduli terhadap orang lain. Hampir semua kita, pernah bertindak altruistik [tidak egois] tanpa mempertimbangkan keuntungan di masa depan, hanya dimotivasi oleh gagasan kita tentang perilaku moral dan etika.
Alasan mengapa orang-orang bekerjasama, dapat dijelaskan dengan menguraikan bagaimana kerjasama akan membuahkan hasil dalam jangka panjang. Menguraikan motivasi, emosi, dan kognisi yang mengarah pada kerjasama, dapat menjelaskan bagaimana orang bekerjasama. Empati merupakan salah satu penjelasan terpenting memotivasi perilaku kerjasama. Kepedulian empati adalah respons emosional manusia dalam mengambil sudut pandang orang lain yang membutuhkan. Kepedulian yang berempati memotivasi manusia melihat apa yang perlu dilepaskan, acapkali melalui pertolongan kerjasama. Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa memanipulasi perhatian empati, secara eksperimental meningkatkan perilaku kerjasama dan berpartisipasi dengan target dalam permainan-permainan yang bersifat ekonomis. Lebih jauh lagi, bukti menunjukkan bahwa individu yang berempati, mengalami perubahan suasana hati yang positif ketika mereka melihat suatu kebutuhan terpuaskan, bahkan jika orang lain yang menyebabkan pelepasan tersebut—menunjukkan bahwa kepedulian yang berempati mencerminkan kepedulian yang tulus terhadap orang lain.

Sebagai makhluk sosial yang hidup dan bekerja bersama serta berbagi dan bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas, kita terus-menerus menghadapi, dan terkadang, menimbulkan masalah dalam kerjasama. Adakalanya kita bekerjasama oleh kebiasaan, tanpa kita sadari. Di lain waktu, karena tiadanya norma sosial, kita kehilangan peluang bekerjasama. Skala masalahnya bisa berkisar dari masalah yang melibatkan dua orang yang dapat dengan mudah diselesaikan melalui tukar-menukar, hingga masalah global yang melibatkan setiap orang di planet ini, yang dapat diselesaikan hanya dengan peraturan, struktur insentif yang dibangun dengan hati-hati, pemantauan, dan penegakan hukum, serta evolusi norma-norma sosial yang sesuai.
Masalah kerjasama yang paling nyata ialah yang melibatkan pemanfaatan dan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Setiap orang menggunakan dan dipengaruhi oleh lingkungan. Dampak dari tindakan seseorang mungkin tak begitu berarti, tapi dampak kumulatif dari tindakan banyak individu sangatlah besar. Semua orang menggunakan sumber daya lingkungan, dan beberapa sumber daya lingkungan, seperti udara, digunakan oleh setiap orang di bumi. Dikala miliaran orang menggunakan sumber daya yang sama, maka akan timbul dilema kerjasama yang hanya dapat diselesaikan jika para pemimpin mengambil langkah maju dan mengatur, meregulasikan, atau menginspirasi masyarakat agar bekerjasama. Karena begitu banyak orang yang menggunakan sumber daya yang sama, banyak orang yang percaya bahwa mereka tak boleh mengendalikan penggunaan sumber daya tersebut karena orang lain tak mengendalikan penggunaannya. Jika seseorang membatasi pemanfaatannya, namun orang lain tidak, maka ia akan menanggung kerugian tersendiri meskipun manfaat dari perilakunya yang diatur, takkan berdampak pada keberlanjutan atau kesehatan sumber daya secara keseluruhan selama semua orang di dunia terus melanjutkan penggunaan sumber daya tersebut tanpa henti.
Masalah kerjasama dapat terjadi dimanapun lebih dari satu orang yang berinteraksi, misalnya di tempat kerja. Siapa pun yang bekerja di luar rumah pasti akrab dengan permasalahan karyawan yang masuk kerja saat sakit. Ada banyak alasan mengapa dikau berangkat kerja dalam keadaan sakit, walau dirimu berisiko menulari orang lain. Alasannya antara lain: menggunakan hari-hari sakit yang bisa dihemat agar saat-saat ketika engkau semakin sakit atau yang bisa digunakan mengambil cuti (mengapa membuang-buang hari sakit dengan tinggal di rumah dalam keadaan sakit jika dikau dapat menggunakannya mengambil akhir pekan yang panjang ?); kehilangan penghasilan, berupa upah, kehilangan penjualan, atau usaha; atau tertinggal dalam pekerjaan yang masih perlu diselesaikan. Jika dirimu tinggal di rumah karena sakit, boleh jadi dirimu harus mengeluarkan biaya, namun rekan kerjamu beroleh keuntungan dengan terus menikmati tempat kerja yang sehat. Namun, tempat kerja dapat mempertahankan lingkungan yang sehat hanya jika orang-orangnya tetap berada di rumah saat mereka sakit. Bila seseorang gering dan masuk kerja dalam keadaan sakit, maka status kesehatan tempat kerja tersebut menurun. Orang lain dapat memutuskan bahwa mereka juga akan masuk kerja dalam keadaan sakit sebab memang tempat kerja sudah tak sehat, sehingga tiada alasan tinggal di rumah atau karena mereka tak ingin mengeluarkan biaya tinggal di rumah ketika orang lain tak bersedia melakukannya. Tempat kerja mengembangkan budaya atau seperangkat norma mengenai datang bekerja ketika sakit. Kendati beberapa kantor mampu mempertahankan status kesehatan tempat kerjanya, tempat kerja lain menerima bahwa orang dapat masuk kerja dalam keadaan sakit.

Kerjasama dengan individu yang tak punya hubungan kekerabatan merupakan ciri khas umat manusia kendati ada godaan berperilaku egoistik. Mekanisme yang berkonsekuensi di masa depan atas tindakan yang dilakukan saat ini, dapat menjadikan kerjasama membuahkan hasil dalam jangka panjang dan memungkinkan kerjasama muncul dan dipertahankan.
Motivasi intrinsik terhadap perilaku kerjasama muncul sebagai akibat dari insentif ekstrinsik yang menjadikan kerjasama menguntungkan. Motivasi intrinsik didefinisikan sebagai motivasi agar terlibat dalam suatu perilaku karena kepuasan yang melekat pada aktivitas tersebut daripada keinginan mendapatkan imbalan atau hasil tertentu. Motivasi intrinsik terjadi manakala kita bertindak tanpa imbalan eksternal yang jelas: 'Kita hanya menikmati suatu aktivitas atau melihatnya sebagai peluang mengeksplorasi, belajar, dan mengaktualisasikan potensi kita.' Tiga elemen utama motivasi intrinsik adalah otonomi, tujuan, dan penguasaan. Orang-orang termotivasi secara intrinsik disaat mereka dapat bertindak secara mandiri, merasa bahwa upaya mereka penting, dan memperoleh kepuasan karena menjadi lebih terampil. Emosi seperti empati mendorong perilaku kerjasama.
Motivasi intrinsik dapat dikontraskan dengan motivasi ekstrinsik, yang melibatkan keterlibatan dalam suatu perilaku agar memperoleh imbalan eksternal atau menghindari hukuman. Motivasi internal muncul dari dalam, sedangkan motivasi eksternal berasal dari kekuatan luar. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang didorong oleh imbalan eksternal. Ia bisa berwujud, seperti uang atau nilai, atau tak berwujud, semisal pujian atau ketenaran. Berbeda dengan motivasi intrinsik yang muncul dari dalam diri individu, motivasi ekstrinsik semata terfokus pada imbalan dari luar. Orang yang termotivasi secara ekstrinsik, akan terus melakukan suatu tugas, meskipun tugas itu mungkin tak bermanfaat. Misalnya, mereka akan melakukan sesuatu dalam pekerjaannya yang menurut mereka tak menyenangkan demi mendapatkan upah. Motivasi ekstrinsik terlibat dalam pengondisian operan, yaitu ketika seseorang atau sesuatu dikondisikan berperilaku tertentu oleh adanya imbalan atau konsekuensi.
Insentif ekstrinsik juga dapat mengesampingkan, atau melemahkan, motivasi intrinsik. Orang-orang memperhatikan dan memantau perilaku kerjasama orang lain. Individu merespons perilaku kerjasama (dan tak bekerjasama) baik ketika perilaku tersebut berdampak langsung pada dirinya (sebagai pihak kedua) maupun saat tak berdampak (sebagai pihak ketiga).

Nah sekarang, mari kita coba bayangkan bila di suatu tempat, ada orang-orang yang hendak memindahkan sebuah meja besar ke tengah-tengah sebuah ruangan. Tentulah, orang-orang yang mengangkat meja itu, kita sebut sebagai orang-orang yang bekerjasama. Tapi benarkah mereka disebut bekerjasama? Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang hadir di situ tapi tak ikut mengangkat meja? Boleh jadi, pikiran nakal kita akan bergumam bahwa mereka itu cuma orang yang nonton, cuek, gak peduli.
Tapi bagaimana jika orang-orang yang tak mengangkat meja itu, memberi aba-aba atau memperingatkan orang-orang yang mengangkat meja agar mereka beringsut ke kanan karena mereka bergeser terlalu kekiri atau sebaliknya? Lalu bagaimana penilaian kita terhadap orang-orang yang tak mengangkat meja, tapi mau memberi arahan tanpa diberi imbalan dibanding mereka yang mengangkat meja dengan bayaran? Barangkali, tanpa adanya mereka yang memberi aba-aba atau peringatan, target meletakkan meja ke tengah-tengah ruangan, takkan berhasil.
'We’re all pieces of a puzzle'. Kita potongan puzzle yang unik dengan coraknya masing-masing. Setiap bagian memainkan peran tertentu, dan bersama-sama, mereka menyelesaikan tugas atau proyek guna bereroleh 'the big picture'. Dan gambar yang bagus, muncul dikala engkau menggabungkan keterampilan teknis dengan POV reflektif. Perspektif kita unik. Jangan puas dulu dengan sudut pandang awal yang dikau lihat, ubah POV-mu. Gambar yang bagus melampaui kebenaran teknisnya. Ia melibatkan pemerhatinya, membangkitkan emosi, dan menuturkan sebuah kisah. Ia punya perspektif yang khas, elemen-elemen dalam adegan kita, focal points, dan tentu saja, leading lines, garis alami guna mengarahkan mata mereka yang memandangnya, ke dalam bingkai.

Kita lanjutin lagi bincang-bincang kita pada episode selanjutnya, biidznillah.
Kutipan & Rujukan:
- Jean Decety & Thalia Wheatley (Eds.), The Moral Brain: A Multidisciplinary Perspective, 2015, The MIT Press
- Natalie Henrich & Joseph Henrich, Why Humans Cooperate: A Cultural and Evolutionary Explanation, 2007, Oxford University Press
- Carol Sansone & Judith M, Harackiewicz, Intrinsic and Extrinsic Motivation: The Search for Optimal Motivation and Performance, 2000, Academic Press
- Martin A. Nowak & Roger Highfield, SuperCooperators: Altruism, Evolution, and Why We Need Each Other to Succeed, 2011, Free Press

Sabtu, 25 Mei 2024

Cerita dari Pohon Kenanga (19)

"Seorang dokter hewan bertanya kepada asistennya, 'Buat apa sih ayam-ayam itu, nyeberang jalan?'
Asistennya menjawab, 'Buat nyampe ke seberang dok.'"

"Dunia ini, dinamis dan selalu berubah. Perubahan tak bisa dihindari, namun kemampuan kita menavigasinya, menentukan arah masa depan kita. Kita tetap menjadi bagian dari dunia yang berdenyut dan saling terhubung—dunia dimana adaptasi dan kemajuan berjalan seiring. Kemampuan kita beradaptasi terhadap perubahan, amatlah krusial. Baik itu perubahan ekonomi, tensi geopolitik, maupun tantangan lingkungan hidup, ketahanan kita, sangatlah penting.
Kita semua warga dunia, dan pula, warga masyarakat terdekat kita. Kita berkesempatan memilih pemerintahan yang akan mengambil keputusan tentang perang dan perdamaian, pembangunan ekonomi, hak asasi manusia, kesejahteraan, dan keterkaitan kita dengan masyarakat lain. Kita tak menghendaki hal-hal yang semakin penting ini, berada di luar kompetensi kita,” lanjut Kenanga seraya memperhatikan jam gadang di Abraj Al Bait.

"Interkoneksi kita semakin kuat. Perilaku sosial dan politik pihak lain merupakan lingkungan sosial dan politik dari masing-masing sistem. Perilaku kita sebagai salah satu bagian dari masyarakat mempengaruhi perilaku masyarakat lain. Nilai-nilai, harapan-harapan, simpati dan permusuhan dari orang-orang di suatu tempat, tersalurkan ke seluruh penduduk, dan masyarakat dunia. Gerakan kemerdekaan dan reformasi sosial, mempengaruhi perilaku di negara lain. Lebih jauh lagi, meningkatnya saling ketergantungan, yang merupakan konsekuensi dari peningkatan spesialisasi, industrialisasi dan perdagangan, menyebabkan perubahan dimana-mana bila terjadi perubahan dimana pun. Apa pun pekerjaan atau minat kita, masing-masing kita perlu mendapat informasi tentang lingkungan kita yang lebih luas, bagaimana kita mempengaruhi lingkungan tersebut, dan bagaimana kita terkena dampaknya. Secara khusus, kita perlu berwawasan terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi, seperti pertumbuhan populasi, perubahan teknologi, perubahan sosial dan politik, serta perubahan pasar, sehingga kita dapat mengantisipasinya, dan merencanakan kehidupan individu dan kolektif kita sesuai dengannya.
Pers, televisi, cendekiawan yang menulis buku, guru yang mengajar sejarah, dan masyarakat pada umumnya, memunculkan iklim politik dimana keputusan formal diambil, tulis John W. Burton. Masing-masing dari kita, pada tahap tertentu, hidup dan bekerja dalam komunitas dan organisasi dimana kita mencari perlindungan, hubungan sosial yang harmonis, beragam jenis kebebasan, dan kepuasan diri secara umum. Agar hal ini dapat terwujud, kita, sebagai anggota, perlu memahami dan mampu mempengaruhi proses internal komunitas atau organisasi kita. Namun hal ini saja, tak menjamin kesuksesan. Setiap individu, setiap kelompok—kecil atau besar—setiap organisasi atau lembaga, ada dalam lingkungan yang lebih luas. Ia hendaknya mampu mengendalikan lingkungan ini atau mampu menyesuaikan diri dan melakukan perubahan di dalamnya. Interaksi antara suatu sistem dan lingkungannya terlalu sering diabaikan. Dunia usaha terkadang tak sukses, bukan karena tidak efisien secara internal, namun oleh adanya prediksi yang keliru mengenai perubahan di pasar luar negeri, perkembangan teknologi, atau kondisi politik di masa depan. Negara-negara terlibat dalam perang, bukan lantaran niat agresifnya, melainkan semata disebabkab mereka keliru menilai atau tak menyadari dampak jangka panjang negara lain terhadap kebijakan mereka.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur masyarakat dunia, berkait dengan pertumbuhan penduduk, penemuan, rekaan, perkembangan politik, perbaikan komunikasi, pendidikan dan organisasi sosial. Ada juga lingkungan 'scholarship'. Ilmu dan teknik di satu bidang, seperti ekonomi, psikologi, dan keinsinyuran, memberikan wawasan dan metode yang relevan dengan bidang lain, seperti pendidikan dan hubungan internasional. Inovasi dan pemikiran dalam satu bidang mendorong inovasi dan pemikiran dalam bidang lain, sehingga dalam seluruh disiplin ilmu, tingkat penemuannya semakin meningkat.
Penting mengadopsi perspektif seluas mungkin. Kita belajar menemukan jalan tentang suatu kota dengan melihat peta keseluruhannya, dan menemukan dimana kita memandang keseluruhannya. Kita menemukan jalan masuk dan keluar dari bangunan kompleks dengan memiliki gambar atau peta secara menyeluruh, dan posisi kita saat ini mengenai bangunan tersebut—atau mengikuti peringatan seseorang yang punya gambar tersebut. Norma perilaku dan sifat sistem etika merupakan topik yang menarik bagi seluruh perilaku sosial.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute (MGI) mengungkap bahwa kendati arus barang nyata telah stabil, arus penting lainnya —semisal ilmu, layanan, dan data—semakin cepat. Aliran data, sebagai contoh, telah tumbuh lebih dari 40 persen setiap tahunnya dalam satu dekade terakhir. Globalisasi tak sirna; ia bertransformasi. Dunia yang berubah ini, menunjukkan pada kita, di satu sisi, populasi global yang meningkat (diperkirakan akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030), dan kita menghadapi tantangan dalam menyediakan kehidupan berkualitas tinggi sembari meminimalkan benturannya terhadap planet ini. Secara global, ada beberapa permasalahan yang hendaknya kita atasi: kemiskinan, perubahan iklim, kerawanan pangan dan hak-hak pengungsi. Bank Dunia memperbarui International Poverty Line (Garis Kemiskinan Internasional) dari $1,90 (bila asumsi harga dollar US Rp. 16.000,- maka eqv dengan Rp. 30.400,-) menjadi $2,15 (eqv Rp. 34.400,- ). Kemiskinan ekstrem masih menjadi tantangan, dan 62% populasi global hidup dengan pendapatan kurang dari $10/hari (eqv Rp. 160.000,-/hari) . Laporan keenam The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyoroti risiko perubahan iklim jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Mitigasi sangat penting guna mencegah masalah kesehatan, kematian dini, dan risiko terhadap ekosistem dan manusia. Laporan Global Report on Food Crises tahun 2022 mengungkap bahwa hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut pada tahun 2021, meningkat sebesar 80% sejak tahun 2016. Guncangan ekonomi dan bencana terkait cuaca berkontribusi terhadap krisis ini. Perang di Ukraina telah memicu krisis pengungsi dengan pertumbuhan tercepat sejak Perang Dunia II, menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Tantangan-tantangan ini, memerlukan perhatian mendesak dan upaya kolaboratif untuk membangun dunia yang lebih baik.
Misinformasi dan disinformasi, ancaman terkait perubahan iklim, perang dan konflik, serta ketidakpastian ekonomi adalah beberapa permasalahan mendesak yang terjadi belakangan ini dalam politik global. Laporan The World Economic Forum’s Global Risks tahun 2024 menyoroti misinformasi dan disinformasi sebagai ancaman jangka pendek yang paling parah. Sebab AI berpotensi memperkuat narasi gadungan, aktor asing dan dalam negeri dapat memanfaatkan taktik ini untuk memperluas kesenjangan sosial dan politik. Dalam jangka panjang, risiko terkait perubahan iklim mendominasi 10 risiko teratas global. Dampak perubahan iklim yang semakin besar menimbulkan tantangan besar terhadap tatanan dunia. Konflik yang sedang berlangsung dan politik yang terpolarisasi terus mengganggu stabilitas tatanan global. Misalnya, krisis di Ukraina menghadapi krisis pengungsi akibat perang. Krisis biaya hidup yang terus berlanjut menambah ketidakstabilan global, yang berdampak pada masyarakat di seluruh wilayah menjadi ketidakpastian ekonomi. Tantangan-tantangan ini, menuntut upaya kolaboratif dan solusi strategis agar membangkitkan dunia yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Sementara itu, pertumbuhan yang stabil namun lambat, tantangan-tantangan harga atau inflasi, gesekan struktural, dan prospek yang lebih suram bagi negara-negara emerging market (dan China) merupakan beberapa permasalahan mendesak dalam perekonomian global saat ini. World Economic Outlook tahun 2024 yang dikeluarkan IMF memperkirakan pertumbuhan global akan terus berlanjut sebesar 3,2% pada tahun 2024 dan 2025. Meskipun negara-negara maju diperkirakan akan sedikit meningkat, negara-negara emerging market akan menghadapi sedikit perlambatan. Menurunnya prospek pertumbuhan di China dan negara-negara emerging market lainnya, mungkin membebani mitra dagangnya. Gesekan struktural yang terus-menerus menghambat mobilitas modal dan tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan produktif, sehingga berdampak pada pertumbuhan output per orang dalam jangka menengah.

Inflasi global diperkirakan akan terus menurun, dari 6,8% pada tahun 2023 menjadi 5,9% pada tahun 2024 dan 4,5% pada tahun 2025. Negara-negara maju kembali ke target inflasi mereka lebih cepat dibanding negara-negara emerging market [ekonomi negara berkembang yang mulai turut-serta dalam pasar global seiring perkembangannya]. Penurunan tingkat harga umum barang dan jasa mengacu pada deflasi. Inilah salah satu terma yang amat ditakuti dalam perekonomian. Pada saat deflasi, tingkat pengangguran cenderung meningkat. Ketika harga turun, produsen kerap memangkas biaya dengan memberhentikan karyawan. Berkurangnya permintaan barang dan jasa menyebabkan pengurangan produksi, yang selanjutnya memperburuk pengangguran. Maka, deflasi dapat berakibat pada meningkatnya pengangguran.
Deflasi dikaitkan dengan kenaikan suku bunga. Disaat harga turun, nilai riil utang menjadi lebih tinggi. Konsumen dan dunia usaha merasa kesulitan dalam melunasi utangnya, sehingga menyebabkan tekanan keuangan. Awalnya, deflasi dapat meningkatkan daya beli konsumen, sebab harga lebih rendah. Namun, deflasi yang berkepanjangan, dapat menyebabkan penundaan belanja karena masyarakat memperkirakan harga akan terus turun. Penurunan permintaan ini, selanjutnya dapat berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi. Perusahaan menghadapi kesulitan ketika tak mampu menjual produknya akibat deflasi. Pendapatan menurun, yang mengarah pada tindakan pemotongan biaya seperti penutupan toko, pabrik, dan gudang, serta memberhentikan pekerja. Para pekerja, pada gilirannya, mengurangi pengeluaran mereka, memunculkan siklus berkurangnya permintaan dan lebih banyak deflasi. Dalam kasus ekstrim, deflasi bahkan dapat mendorong perekonomian ke dalam resesi atau depresi.

Sebaliknya, kenaikan harga barang dan jasa secara luas di seluruh perekonomian dari waktu ke waktu, mengacu pada Inflasi. Inflasi, selalu dan dimana-mana, terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar dan kredit. Inflasi adalah peningkatan jumlah uang beredar dan kredit, kata Henry Hazlitt. Inflasi memang menjadi topik yang memprihatinkan dalam perekonomian. Inflasi merupakan hilangnya daya beli secara bertahap, yang tercermin dalam kenaikan harga barang dan jasa secara luas dari waktu ke waktu. Ia mengikis daya beli konsumen dan dunia usaha. Pada dasarnya, rupiah yang engkau pegang itu (atau mata uang apa pun) takkan bergerak sejauh kemarin. Contoh: Sekedar omon-omon, pada tahun 1970, rata-rata harga secangkir kopi di negaramu cuman seceng; pada tahun 2019, harganya naik jadi goceng. Maka, dengan goban atau 10ribu perak, dirimu dapat membeli sekitar 2 cangkir kopi pada tahun 2019, dibandingkan dengan 10 cangkir pada tahun 1970. Inflasi mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Tingkat inflasi yang tinggi tercermin dalam tagihan—mulai dari bahan makanan, barang-barang pelengkap, hingga pembayaran hipotek. Para eksekutif dan pemimpin perusahaan menghadapi dampak inflasi, menyeimbangkan margin sambil membayar lebih banyak bagi bahan mentah.
Dalam perekonomian yang sehat, inflasi tahunan sekitar 2% merangsang pengeluaran dan meningkatkan permintaan dan produktivitas selama perlambatan ekonomi. Dalam hal ini, inflasi merangsang permintaan dan berdampak positif yang moderat. Namun ketika inflasi melampaui pertumbuhan upah, hal ini menandakan perekonomian sedang mengalami kesulitan. Itu merupakan tanda peringatan.

Hiperinflasi merupakan bentuk inflasi yang jarang terjadi namun ekstrim, yang ditandai dengan kenaikan harga yang cepat dan tak terkendali dalam suatu perekonomian. Ia dapat menimbulkan akibat yang parah bagi individu, bisnis, dan perekonomian secara keseluruhan. Manakala bank sentral suatu negara mencetak uang tanpa disertai peningkatan barang dan jasa, hal ini akan melemahkan nilai setiap unit moneter. Pada dasarnya, terlalu banyak uang mengejar terlalu sedikit barang, sehingga menyebabkan harga meroket. Keyakinan sangat penting bagi stabilitas mata uang apa pun. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap mata uangnya karena ketidakstabilan ekonomi, gejolak politik, atau faktor lainnya, mereka mungkin akan terburu-buru menukarkannya dengan aset lain (misalnya mata uang asing, emas, atau beli rumah atau tanah). Hilangnya kepercayaan diri ini dapat memperburuk hiperinflasi. Terkadang, pemerintah membiayai pengeluarannya dengan mencetak uang ketimbang dengan meminjam atau menaikkan pajak. Disaat pembelanjaan defisit menjadi berlebihan, ia akan membanjiri perekonomian dengan uang, sehingga berkontribusi terhadap hiperinflasi. Perang, revolusi, dan pergolakan politik, mengganggu stabilitas ekonomi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah seringkali terpaksa mencetak uang guna mendanai upaya perang atau mempertahankan kekuasaan, sehingga menyebabkan hiperinflasi.
Inflasi berefek riak yang mengancam stabilitas keuangan. Ia juga berkorelasi dengan meningkatnya tingkat kejahatan keuangan. Kendati inflasi yang moderat dapat bermanfaat, namun inflasi yang berlebihan atau berkepanjangan dapat merugikan perekonomian dan individu. Penting bagi para pengambil kebijakan agar memelihara keseimbangan yang tepat, menjaga suhu mesin perekonomian agar tak jebol lantaran terlalu panas, atau membeku akibat terlalu dingin.

Di sisi lain, kita diharuskan menghadapi 'some resource contraints', penurunan sumber daya, dan pula apa yang para ekonom sebut sebagai 'externalities', yang memaksa kita beradaptasi. Kita diharapkan menemukan cara yang berkelanjutan agar berkembang. Eksternalitas (atau terkadang, 'third-party effects (efek pihak ketiga)' atau 'spillover effects (efek limpahan') muncul ketika nilai suatu fungsi produksi atau fungsi konsumsi, bergantung langsung pada aktivitas pihak lain. Eksternalitas merujuk pada biaya atau manfaat yang dikeluarkan atau diterima oleh pihak ketiga, yang tak punya kendali atas bagaimana biaya atau manfaat tersebut terbentuk. Bisa positif, bisa negatif. Eksternalitas negatif terjadi tatkala satu pihak membebankan biaya tak langsung kepada pihak lain. Contoh, polusi yang disebabkan oleh perjalanan ke tempat kerja atau tumpahan bahan kimia akibat penyimpanan sampah yang tak tepat. Jika salah satu pihak menerima manfaat tak langsung sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan pihak lain, maka hal tersebut disebut eksternalitas positif. Guna mengatasi eksternalitas negatif, pemerintah dapat menggunakan perpajakan dan peraturan agar mengurangi dampaknya.
Terdapat eksternalitas signifikan yang berimplikasi praktis. Pemanasan global berdampak pada seluruh planet, dan kerusakan lapisan ozon berdampak pada stabilitas iklim dan kesehatan manusia. Konsumsi mobil besar, seperti SUV, menghasilkan beberapa eksternalitas negatif. Mobil yang berukuran lebih besar menyebabkan kerusakan jalan yang lebih berat, sehingga menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan bagi pemerintah. Kontribusi mengemudi terhadap pemanasan global berbanding lurus dengan jumlah bahan bakar fosil yang dibutuhkan kendaraan untuk melakukan perjalanan sejauh satu mil. Pengemudi SUV menggunakan lebih banyak bahan bakar, sehingga meningkatkan emisi bahan bakar fosil. Eksternalitas memainkan peran penting dalam perekonomian, mempengaruhi individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Kebudayaan juga bersifat dinamis. Ia berkembang, beradaptasi, dan merespons perubahan dalam masyarakat. Namun, keadaan ini tetap mempertahankan rasa koherensi—sebuah benang merah yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Progres dalam teknologi mengakselerasi pengayaan teknologi, termasuk AI [yang masih berwujud 'data' dan dapat 'dikendalikan'], yang membentuk kembali dunia kita. Perubahan-perubahan ini, mempengaruhi segalanya, mulai dari 'climate action', hingga sistem politik.
Era digital telah membawa perubahan budaya yang amat berarti, mengubah cara pandang, berkreasi, dan berinteraksi dengan budaya. Kini, kita punya banyak informasi di ujung jari. Ruang online, media sosial, dan pengalaman virtual, terintegrasi dengan sempurna ke dalam kehidupan sehari-hari kita. Kehadiran web dan platform media sosial memungkinkan individu berbagi pandangan, pengalaman, dan kreasinya secara global. Perbedaan antara realitas dan virtualitas menjadi makin melindap. Orang-orang mengatur kepribadian digital mereka, memburamkan batas-batas antara siapa dirinya saat offline dan siapa yang ditampilkannya saat online. Identitas online menjadi teladan utama. Teknologi digital memberdayakan ekspresi individu. Pengungkapan informasi pribadi telah menjadi sesuatu yang lumrah. Orang dapat menyesuaikan pengalamannya, preferensinya, dan konsumsi kontennya. Revolusi digital telah membalikkan kelangkaan informasi. Intelektualisasi lingkungan kita—kognifikasi—menjadi sebuah tren. AI, algoritma, dan sistem pintar, mengangkat kehidupan kita. Di masa lalu, ilmu terbatas dan terkendali. Cara kita memproduksi dan menyebarkan budaya, telah berubah secara mendasar, berdampak pada segala hal, mulai dari evolusi bahasa hingga norma-norma sosial. Karenanya, organisasi dan masyarakat seyogyanya beradaptasi dengan perubahan ini. Strategi 'change management' hendaknya fokus pada transformasi budaya di luar teknologi. Melibatkan para pemimpin, menggalakkan nilai-nilai baru, mendorong dialog, dan menakar kemajuan, itulah langkah-langkah penting. Era digital telah merevolusi budaya dengan menyamarkan batas-batas, mendemokratisasi informasi, dan memberdayakan individu. Kala kita menavigasi lanskap dinamis ini, memahami perubahannya amatlah krusial, baik bagi pertumbuhan pribadi maupun kemajuan masyarakat.

Kita masih teruskan perbincangan kita ke dalam topik Kalendar Islam, biidznillah."

Lalu Kenanga bersajak,

Si pedagang terpana, di pikiran nakalnya berkata
Kelak, bisa saja rakyat diekspor besar-besaran ke Malaysia,
ke Brunei dan Singapura,
Ke Hongkong, Taiwan dan Timur Tengah tentu saja
Maka, rumah-rumah jadi kosong, tanah-tanah jadi lapang
Lalu berdatanganlah orang-orang jangkung berkulit warna udang
Berbondong-bondonglah orang-orang berkulit warna mentega
Hingga penuh sesak udara, oleh napas-napas busuk dari negeri tetangga
Hingga #2030, kita bakal ternganga *)
Kutipan & Rujukan:
- John W. Burton, World Society, 1972, Cambridge University Press
- Chris Farrell, Deflation: What Happens When Prices Fall, 2004, HarperCollins
- Henry Hazlitt, What You Should Know About Inflation, 1964, D. Van Nostrand Company
- Philip Haslam & Russel Lamberti, When Money Destroys Nations, 2014, Penguin Group
- Steven A. Y. Lin, Theory and Measurement of Economic Externalities, 1976, Academic Press
- Richard Cornes, The Theory of Externalities, Public Goods, and Club Goods, 1996, Cambridge University Press
*) "Ganti Presiden" karya Hasan Bisri BFC