Minggu, 30 Juni 2024

Ocehan Seruni (5)

"Tokoh kunci dalam pertunjukan Wayang Kulit ialah Ki Dalang, yang menguasai seluruh aspek pertunjukan dan telah menjalani pelatihan ekstensif agar menguasai cara memanuverkan wayangnya, memberi suara pada tiap karakter, dan berkoordinasi dengan para penabuh. Ki Dalang hendaknya memahami secara mendalam cerita-cerita tradisional, teks-teks keagamaan, dan ajaran filosofis. Mereka juga sering berperan sebagai pendongeng, filsuf, dan pembimbing spiritual.
Pohon kerap muncul sebagai motif sentral yang melambangkan kehidupan, pertumbuhan, dan keterhubungan. Pohon merupakan simbol alam semesta dan siklus kehidupan. Akarnya menandakan masa lalu dan asal muasalnya, batangnya menyimbolkan masa kini dan keberadaan manusia, sedangkan cabang dan daunnya merepresentasikan masa depan serta potensi pertumbuhan dan evolusi. Ia menggarisbawahi keterhubungan seluruh makhluk dan sifat siklus kehidupan.
Lalu, Ki Dalang menuturkan, 'Saat Kyai Semar menemani Prabu Krisna bermain catur, sang Prabu bertanya padanya, 'Gimana cara seorang pecatur melamar pasangannya, Kanda?'
Semar menjawab, 'Mereka bilang begini, 'Skakmat, aku telah merebut hatimu!'
'Dalam Catur, apa buah catur favoritmu?' tanya sang Prabu.
'Bidak favoritku adalah Ratu, Prabu,' jawab Semar. 'Ratu sangat kuat dan serba-bisa, mampu bergerak di sejumlah kotak secara vertikal, horizontal, atau diagonal. Ia kerap dipandang sebagai bidak paling dinamis dan berpengaruh di atas papan catur.
Setelah Ratu, daku akan memilih Kuda sebagai bidak terbaik kedua. Kuda punya pola pergerakan yang unik, melompati bidak lain, yang terkadang dapat mengejutkan lawan dan membuka peluang taktis. Kemampuannya mengontrol kotak yang tak dapat dijangkau oleh bidak lain, membuatnya berharga baik dalam menyerang maupun bertahan.
Menyusul Ratu dan Kuda, Benteng menjadi pilihanku sebagai bidak favorit ketiga. Benteng sangat kuat dalam membuka jalan dan dapat dengan cepat mendominasi papan catur di akhir permainan. Kemampuannya bergerak secara horizontal dan vertikal, menjadikannya penting mengendalikan posisi-posisi kunci dan melaksanakan rencana strategis.
Gajah kuat dalam diagonal panjang dan dapat memberikan pengaruh secara menyeluruh. Melengkapi Benteng dengan baik dalam mengendalikan kompleks warna kotak yang berbeda. Meskipun Raja merupakan inti dari tujuan permainan—menghindari skakmat, gerakan dan pengaruhnya tak begitu serbaguna dibanding bidak lain hingga akhir permainan ketika ia menjadi lebih aktif. Para pion sangat penting mengendalikan bagian tengah dan dapat berkembang menjadi bidak yang lebih kuat, namun secara individual, pergerakan dan kemampuan menyerang mereka terbatas bila dibanding bidak lainnya.'
'Adakah hubungan antara 'catur' dan 'magnet'?' sang Prabu bertanya lagi.
Semar menanggapi, 'Mirip dengan bagaimana magnet menarik benda logam, Ratu dalam catur memberikan pengaruh pada papan catur melalui kemampuannya bergerak bebas dan mengancam berbagai arah. Kehadirannya bisa menarik perhatian dan mempengaruhi keputusan lawan. Sama seperti magnet yang memainkan peran sentral dalam medan magnet, Ratu sering berperan penting dalam strategi pemain dalam Catur. Ia bisa berputar cepat antara menyerang dan bertahan, membentuk dinamika permainan. Baik magnet maupun Ratu serba guna dalam konteksnya. Magnet dapat menunjukkan polaritas dan kekuatan yang berbeda, sementara Ratu dapat bermanuver dengan beragam cara, beradaptasi dengan situasi permainan yang berbeda.
Analogi ini menggambarkan bagaimana hubungan metaforis dapat ditarik antara domain yang tampak tak berhubungan, memperkaya pemahaman dan apresiasi kita terhadap strategi Catur dan prinsip-prinsip magnetisme,' lalu ia menggerakkan bidak Ratu diikuti dengan cakepan sang Sinden."

"Engkau mungkin pernah mendengar tentang seorang penyandera di dunia digital. Ia menangkap file-file pentingmu dan meminta uang tebusan bagi pembebasannya, laksana penjahat yang menyandera seseorang demi uang. Mirip seperti penculik yang mengambil seseorang dan menuntut uang tebusan agar dapat dikembalikan, ransomware menyita datamu dan menyanderanya demi beroleh bayaran.
Bayangkan seorang pencuri yang menerobos masuk ke rumahmu dan mengganti seluruh kuncinya, meminta bayaran untuk kunci baru. Ransomware melakukan hal serupa secara digital, mengunci filemu dan meminta pembayaran untuk kunci dekripsi. Ransomware bertindak seperti pencuri tak kasat mata, yang menyelinap ke komputermu, mengunci datamu, dan meninggalkan catatan meminta pembayaran uang tebusan, tanpa engkau sadari hingga semuanya terlambat. Mirip dengan bajak laut yang menangkap kapal dan meminta uang tebusan, penyerang ransomware membajak file digitalmu dan menyimpannya demi mendapatkan uang tebusan,” lanjut Seruni sembari memperhatikan baris-baris kode hijau yang berjatuhan didalam layar monitor komputer. Ia tampak seperti realitas alternatif, tapi sebenarnya itu resep sushi Jepang. Tanpa kode itu, takkan ada Matrix.

"Ransomware adalah jenis perangkat lunak berbahaya (malicious software disingkat malware) yang dirancang memblokir akses ke sistem komputer atau mengenkripsi datanya hingga uang tebusan dibayarkan. Ransomware biasanya menginfeksi sistem melalui email phishing, lampiran berbahaya (malicious attachments), situs web yang disusupi, atau mengeksploitasi kerentanan perangkat lunak. Begitu berada di dalam sistem, ia mengenkripsi file, membuatnya tidak dapat diakses oleh pengguna memulihkan akses ke file. Tak ada jaminan pembayaran akan menghasilkan datamu kembali.
Trojan AIDS (PC Cyborg) pada tahun 1989, sering dipandang sebagai ransomware pertama, Trojan AIDS didistribusikan melalui floppy disk kepada peserta konferensi AIDS WHO. Ia menyembunyikan direktori dan nama file terenkripsi, menuntut uang tebusan sebesar $189 ke PO Box di Panama untuk instruksi dekripsi. Pada tahun 2005, Archievus adalah salah satu contoh awal ransomware modern, yang mengenkripsi file di folder 'My Documents' dan meminta pembayaran untuk mendekripsinya. Pada tahun 2006, GPcode mulai mengenkripsi file menggunakan enkripsi RSA yang lemah, menuntut pembayaran sebagai imbalan atas alat dekripsi.

Pada tahun 2011, dikenal sebagai ransomware polisi, Reveton mengunci layar dan menampilkan peringatan gadungan dari lembaga penegak hukum, menuntut denda untuk membuka kunci sistem. Pada tahun 2013, CryptoLocker, menandai perubahan pentingnya dengan penggunaan enkripsi RSA yang kuat. Menyebar melalui lampiran email, menuntut Bitcoin bagi kunci dekripsi dan menjadi ancaman besar. Pada tahun 2014, CryptoWall, sebuah evolusi dari CryptoLocker, menggunakan Tor sebagai komunikasi dan menuntut uang tebusan yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan yang serius secara global.
Pada tahun 2016, disebarkan melalui malicious email attachments, Locky terkenal karena menargetkan rumah sakit dan bisnis, menuntut uang tebusan dalam bentuk Bitcoin. Pada tahun 2017, WannaCry adalah serangan ransomware global yang mempengaruhi lebih dari 230.000 komputer di 150 negara. Ia mengeksploitasi kerentanan Windows (EternalBlue) dan meminta pembayaran Bitcoin untuk kunci dekripsi. Juga pada tahun 2017, awalnya menyamar sebagai ransomware, file terenkripsi NotPetya juga merusak sistem secara permanen. Serangan ini menyasar organisasi-organisasi di Ukraina namun menyebar secara global dan menyebabkan kerugian miliaran dolar.

Ransomware tetap menjadi ancaman keamanan siber yang serius, dan para penyerang terus mengembangkan teknik baru menerobos langkah-langkah keamanan dan memeras uang korbannya. Sepanjang tahun 2022-2023, Double Extortion merupakan taktik yang semakin umum dimana penyerang tak hanya mengenkripsi data, tapi juga melakukan eksfiltrasi, mengancam akan membocorkannya jika uang tebusan tak dibayarkan. Pada tahun 2024, tren AI-enhanced ransomware mencakup penggunaan kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin untuk meningkatkan kemampuan ransomware, sehingga deteksi dan pertahanan menjadi lebih menantang.
Ransomware terus berkembang, dengan jenis virus baru yang sering muncul, menargetkan infrastruktur penting, layanan kesehatan, dan lembaga pemerintah secara global. Tantangan yang ada saat ini ialah mengembangkan pertahanan yang kuat dan mengedukasi pengguna agar meminimalkan dampak serangan berbahaya ini.

Motif paling umum di balik serangan ransomware adalah finansial. Penjahat dunia maya menggunakan ransomware untuk memeras uang dari korban, acapkali menuntut pembayaran dalam mata uang kripto agar tetap anonim. Beberapa serangan ransomware bertujuan mengganggu operasi atau menyebabkan kerusakan, bukan mencari keuntungan finansial secara langsung. Dalam beberapa kasus, ransomware dapat digunakan sebagai alat spionase, dimana penyerang menggunakannya untuk menutupi pencurian informasi sensitif. Para peretas atau kelompok yang bermotif politik mungkin menggunakan ransomware untuk memajukan tujuan ideologis mereka atau memprotes entitas yang mereka lawan.
Beberapa individu mungkin mengembangkan dan menyebarkan ransomware sebagai bentuk peretasan etis untuk mengungkap kerentanan dan menyoroti perlunya praktik keamanan yang lebih baik. Namun, hal ini sangat kontroversial dan kerapkali ilegal tanpa izin yang jelas. Ada kasus yang jarang terjadi dimana individu atau kelompok menggunakan ransomware untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah keamanan atau mendorong korban agar menerapkan praktik keamanan yang lebih baik. Tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan dengan tujuan memberikan informasi atau membantu, namun tindakan-tindakan tersebut masih dapat menimbulkan kerugian yang berarti dan seringkali melanggar hukum. Beberapa penyerang mengklaim tindakan mereka dimaksudkan untuk mendistribusikan kembali kekayaan atau mendukung tujuan-tujuan tertentu. Meskipun motivasi-motivasi ini mungkin dibingkai sebagai niat baik, metode-metode tersebut melibatkan kegiatan ilegal dan menimbulkan kerugian.

Ada beberapa contoh dimana kelompok ransomware mengklaim punya niat baik, semisal menggunakan dananya untuk tujuan amal atau mengungkap kerentanan target agar mendorong keamanan yang lebih baik. Pakar keamanan terkadang membangun lingkungan ransomware yang terkendali untuk mengajarkan praktik terbaik dan strategi respons keamanan siber. Hal ini biasanya dilakukan dalam konteks pendidikan yang aman tanpa menimbulkan kerugian nyata.
Kendati niat di balik serangan ransomware diklaim baik, tindakan itu sendiri berbahaya dan ilegal. Ia menyebabkan gangguan, kerugian finansial, dan stres pada korbannya. Tujuan tak menghalalkan cara, apalagi bila hal tersebut melibatkan aktivitas kriminal dan merugikan pihak yang tak bersalah. Menyebarkan ransomware, bahkan dengan niat baik, adalah tindakan ilegal di sebagian besar yurisdiksi. Akses ilegal ke sistem, enkripsi data tanpa persetujuan, dan permintaan uang tebusan adalah aktivitas kriminal, apa pun motifnya.
Meskipun sebagian besar serangan ransomware didorong oleh motif keji dan mementingkan diri sendiri, jarang ada penyerang yang mengklaim punya niat baik. Namun, sifat ransomware pada dasarnya melibatkan tindakan yang merugikan dan ilegal, sehingga klaim niat positif apa pun patut dipertanyakan secara etis dan hukum.

Baru-baru ini, Pusat Data Nasional (PDN) di Indonesia, yang dioperasikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, menjadi korban penjahat ransomware. Serangan tersebut mengganggu layanan setidaknya 210 institusi, berdampak pada layanan digital untuk imigrasi, visa, paspor, dan izin tinggal. Para penyerang menuntut uang tebusan sebesar 131 miliar Rupiah (sekitar $8 juta), namun masih belum pasti apakah pemerintah akan membayarnya.
Indonesia telah menghadapi beberapa serangan siber penting dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, seorang peretas bernama Bjorka mengungkap 1,3 miliar profil pendaftaran kartu SIM Indonesia untuk dijual. Profil tersebut antara lain Nomor Kartu Tanda Penduduk (NIK), nomor telepon, nama penyedia, dan tanggal pendaftaran. Pelanggaran ini menyoroti kerentanan dalam sistem keamanan siber di Indonesia.
Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan Indonesia membuat aplikasi tes dan penelusuran COVID-19 yang disebut Electronic Health Alert Card (eHAC). Aplikasi ini wajib bagi siapa pun yang terbang ke Indonesia dari negara lain, baik WNA maupun WNI. Tujuannya untuk melacak status kesehatan wisatawan, informasi pribadi, rincian kontak, dan hasil tes COVID-19. Namun, peneliti keamanan siber dari vpnMentor menemukan bahwa aplikasi eHAC tak memiliki protokol privasi data yang tepat. Akibatnya, database Elasticsearch yang tak aman mengekspos data sensitif dari lebih dari 1,3 juta pengguna eHAC. Informasi yang terungkap antara lain rincian paspor, alamat, riwayat kesehatan, dan hasil tes COVID-19. Pelanggaran tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan data dan privasi. Pada tahun yang sama, pelanggaran data besar-besaran berdampak pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Kesehatan (BPJS Kesehatan), yang mengelola program layanan kesehatan universal di negara ini. Data pribadi 279 juta masyarakat Indonesia diduga dibocorkan dan diperjualbelikan di forum online bernama raidsforum.com. Data yang bocor tersebut antara lain nomor identitas kewarganegaraan, kartu identitas, nomor telepon, alamat email, nama, alamat rumah, bahkan gaji.
Pada bulan Maret 2020, pelanggaran data yang signifikan berdampak pada lebih dari 15 juta akun pengguna di Tokopedia, platform e-commerce terbesar di Indonesia. Pada tahun 2017, platform ride-hailing dan multi-layanan Gojek menghadapi kelemahan keamanan besar yang diungkapkan oleh perusahaan keamanan India bernama Fallible.
XMRig, alat penambangan kripto sumber terbuka, semakin banyak dieksploitasi untuk tujuan jahat. Dalam enam bulan terakhir, serangan ini menyumbang 20% ​​dari seluruh serangan yang menargetkan organisasi-organisasi di Indonesia. Serangan ini melibatkan penggunaan sumber daya komputasi yang tak legal untuk menambang cryptocurrency Monero (XMR). Penjahat dunia maya menyebarkan XMRig untuk membajak sistem korban dan menghasilkan mata uang kripto tanpa sepengetahuan atau persetujuan mereka.

Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap insiden tersebut, termasuk potensi kelemahan dalam keamanan siber, ancaman dari dalam, dan tantangan sistem yang lebih luas. Mungkin saja pusat data tersebut tak memiliki langkah-langkah keamanan siber yang memadai, sehingga menjadikannya target yang menarik bagi para penyerang. Ada beberapa faktor yang mungkin terjadi, antara lain Sistem yang Kedaluwarsa: penggunaan sistem lama yang tak ditambal secara memadai terhadap kerentanan yang diketahui; Enkripsi Lemah: kurangnya enkripsi yang kuat terhadap data sensitif, sehingga memudahkan penyerang mengeksploitasinya; Segmentasi Jaringan yang Buruk: segmentasi jaringan yang tak memadai, memungkinkan penyerang bergerak secara lateral melintasi sistem.
Karyawan dan pejabat mungkin belum menerima pelatihan yang memadai tentang cara mengenali dan merespons ancaman keamanan siber. Kurangnya kesadaran dapat menyebabkan karyawan menjadi korban email phishing, yang merupakan titik masuk umum bagi ransomware. Karyawan mungkin tidak dilatih menangani insiden ransomware secara efektif. Orang dalam yang berniat jahat atau orang yang disusupi juga dapat memfasilitasi serangan.
Serangan tersebut bisa saja dilakukan oleh pelaku ancaman eksternal canggih yang menargetkan pusat data untuk mendapatkan keuntungan finansial atau politik. Mungkin pula mencerminkan permasalahan yang lebih luas terkait kebijakan dan pendanaan pemerintah terkait keamanan siber. Bisa juga mengeksploitasi kerentanan pada vendor pihak ketiga atau penyedia layanan yang terkait dengan pusat data.
Ketegangan regional dan dinamika geopolitik dapat menjadikan pusat data nasional sebagai target serangan yang disponsori negara. Kegagalan mematuhi standar dan peraturan keamanan siber internasional atau lokal dapat menyebabkan kerentanan. Kurangnya pemahaman atau perkiraan yang terlalu rendah terhadap tingkat ancaman, dapat mengakibatkan persiapan dan pertahanan yang tak memadai.
Skenario yang lebih mungkin terjadi bagi serangan ransomware terhadap infrastruktur pemerintah adalah kombinasi dari ancaman eksternal, kerentanan internal, bahkan terkadang ancaman dari dalam. Penting menghadapi keadaan seperti ini dengan fokus pada peningkatan pertahanan keamanan siber, memastikan transparansi, dan menumbuhkan kepercayaan di antara seluruh pemangku kepentingan.

Ransomware merupakan ancaman serius dan terus berkembang di Indonesia, yang berdampak pada berbagai sektor dan menimbulkan pengaruh finansial dan operasional yang besar. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang mencakup penguatan infrastruktur keamanan siber, peningkatan kerangka peraturan, serta peningkatan kesadaran dan kerjasama di semua sektor.

Kita masih teruskan dengan isu-isu yang dihadapi Indonesia, biidznillah."

Sebelum lanjut, Seruni membaca sajak,

Di era teknologi, tanpa rasa penyesalan,
Data pemerintah lenyap perlahan,
Ransomware terbahak, para pemimpin hilang-ingatan,
Janji keamanan ternyata ngibul.
Dengan peti kosong dan data yang nihil,
Blunder digital mulai bersangkal.
Yang disana bilang, "Itu soal ketatakelolaan!"
Yang disini komplain, "Itu kebodohan!"
Kutipan & Rujukan:
- Allan Liska, Ransomware: Understand. Prevent. Recover., 2023, Recorded Future
- Allan Liska and Timothy Gallo, Ransomware: Defending Against Digital Extortion, 217, O’Reilly Media
- P. W. Singer & Allan Friedman, Cybersecurity and Cyberwar, 2014, Oxford University Press
- Roger A. Grimes, Hacking the Hacker: Learn from the Experts Who Take Down Hackers, 2017, Wiley

Jumat, 28 Juni 2024

Ocehan Seruni (4)

“Cerita-cerita dalam Pewayangan memuat legenda dan peristiwa sejarah lokal, yang kerap membawa pelajaran moral atau etika. Cerita-ceritanya menekankan pentingnya keseimbangan dan keselarasan. Cerita-cerita tersebut acapkali memberikan pelajaran tentang moralitas, keadilan, dan manfaat kebajikan. Ia berfungsi sebagai alegori terhadap dilema kehidupan nyata dan pilihan etika. Wayang juga dapat meliput isu-isu kontemporer, dengan mengintegrasikan tema-tema modern semisal keadilan sosial, politik, dan masalah lingkungan ke dalam narasi tradisional. Teknologi dan media modern seyogyanya digunakan untuk memperkenalkan bentuk seni ini kepada generasi muda dan khalayak internasional.
Lalu, Ki Dalang kita bertutur, 'Tatkala Petruk dinobatkan jadi Raja, ia memerintahkan agar sebuah tangga dibawa ke tempat pertemuan. Para menterinya heran dan bertanya, 'Mengapa Kang Mulyo meminta dibawakan sebuah tangga?'
'Untuk mengatasi isu-isu di tingkat tinggi!' jawab sang Panembahan disusul bunyi keprak Ki Dalang.”

"Perencanaan efektif yang menguntungkan semua orang dapat disamakan dengan skala yang berimbang: skala perencanaan yang adil dan sebanding memastikan tiadanya kelompok yang menanggung beban tak semestinya. Perencanaan ini mendistribusikan manfaat secara adil, mengangkat semua orang. Atau pohon yang memberi nutrisi: seperti pohon yang sehat memberikan naungan, buah-buahan, dan oksigen bagi semua, perencanaan yang matang merawat masyarakat, menawarkan layanan dan peluang penting. Atau tarian inklusif: bayangkan sebuah tarian harmonis dimana setiap langkahnya amat bermakna. Perencanaan inklusif mengundang semua orang agar berpartisipasi, membangun kota yang dinamis dan saling terhubung. Atau prasmanan: kota yang terencana menyerupai prasmanan yang beragam—banyak pilihan bagi semua. Perumahan, pendidikan, ruang hijau, dan pekerjaan dapat diakses oleh semua orang. Atau kompas yang menenteramkan: perencanaan yang efektif memandu kita menuju rasa kasih sayang, empati, dan pemahamannya, menunjuk pada solusi yang mengangkat semangat seluruh masyarakat. Intinya, perencanaan yang baik akan memberikan manfaat bagi semua orang, dan tiada seorang pun yang tertinggal,” ucap Seruni sembari melihat ke arah patung Garuda di Monumen Pancasila Sakti.

“Pemerintah di beberapa negara memindahkan ibukotanya oleh berbagai alasan, dengan memperhatikan berbagai pertimbangan strategis, ekonomi, lingkungan, dan budaya. Keputusan tersebut biasanya ditujukan untuk mengatasi permasalahan nasional yang mendesak dan mendorong tujuan pembangunan jangka panjang.
Pemindahan ibukota merupakan keputusan momentum dan kompleks yang dibuat oleh pemerintah. Beragam dalil dapat mendorong pilihan ini, seringkali menggabungkan faktor politik, ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Pemindahan ibukota dapat membantu desentralisasi kekuasaan politik dan mengurangi kemacetan di ibukota saat ini. Dapat pula bertujuan mendistribusikan sumberdaya secara lebih merata ke seluruh negeri. Ibukota saat ini mungkin rentan terhadap bencana alam, serangan teroris, atau ancaman geopolitik. Pemindahan ibukota dapat meningkatkan keamanan nasional. Ibukota baru dapat melambangkan terobosan dari masa lalu, seperti transisi pasca-kolonial atau pergantian rezim. Ia mungkin merepresentasi awal baru atau komitmen terhadap persatuan nasional.

Pembentukan ibukota baru dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal. Ia dapat menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur di wilayah-wilayah yang mungkin terabaikan. Ibukota yang ada mungkin mengalami kepadatan yang berlebihan, kemacetan lalu lintas, polusi, dan beban infrastruktur yang berat. Memindahkan ibukota dapat membantu meringankan permasalahan ini dan mengurangi beban terhadap kota yang ada.
Jika ibukota saat ini rawan bencana alam seperti gempa bumi, banjir, atau naiknya permukaan air laut, maka pemindahan ibukota dapat menjadi langkah preventif menjaga fungsi pemerintahan dan stabilitas nasional. Beberapa negara dapat memindahkan ibukotanya ke lokasi yang tak terlalu rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca.

Ibukota yang berlokasi lebih terpusat dapat memfasilitasi tatakelola dan komunikasi yang lebih baik di seluruh negeri. Hal ini dapat memastikan bahwa layanan dan infrastruktur pemerintah lebih mudah diakses oleh segmen masyarakat yang lebih luas. Ibukota baru dapat direncanakan dengan infrastruktur modern, termasuk jaringan transportasi yang lebih baik, gedung administrasi, dan sistem komunikasi, sehingga meningkatkan efisiensi.
Pemindahan ibukota dapat membantu mempromosikan identitas nasional yang lebih inklusif, khususnya di negara-negara dengan latarbelakang etnis atau budaya yang beragam. Jika ibukota saat ini memiliki situs sejarah atau budaya yang penting, merelokasi ibukota dapat membantu menjaga kawasan tersebut dari tekanan perkotaan dan gangguan pembangunan.
Beberapa contoh relokasi ibukota termasuk Brasil, yang memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasília pada tahun 1960 guna mendorong pembangunan ekonomi di pedalaman negara tersebut dan mengurangi kesenjangan regional. Nigeria memindahkan ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991 agar mempromosikan netralitas dan sentralitas di negara yang beragam dan mengurangi kemacetan di Lagos. Kazakhstan memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana (sekarang Nur-Sultan) pada tahun 1997 karena alasan strategis dan ekonomi, termasuk posisi yang lebih baik bagi pertumbuhan dan pembangunan di masa depan.

Impian pemindahan ibukota tak semudah menjentikkan jari. Meskipun pemindahan ibukota menghadirkan manfaat, namun pula berdampak buruk. Pemindahan ibukota memerlukan biaya yang sangat besar—infrastruktur, gedung pemerintahan, dan perumahan bagi para pejabat. Hal ini dapat membebani perekonomian. Membangun ibukota baru merupakan upaya yang mahal dan memerlukan sumberdaya keuangan yang besar bagi pembangunan dan relokasi. Pemindahan ibukota dapat mengganggu komunitas lokal, menggusur rakyat, dan mengubah tatanan sosial. Keberhasilan ibukota baru memerlukan komitmen jangka panjang dan investasi berkelanjutan, yang dapat menjadi tantangan bagi beberapa negara.
Warga negara menghadapi pergolakan—relokasi rumah, pekerjaan, dan sekolah. Keakraban dengan ibukota lama hilang. Reaksi masyarakat terhadap pemindahan ibukota mungkin berbeda-beda. Ada yang mendukung langkah tersebut, melihatnya sebagai kemajuan dan simbol pembangunan nasional. Yang lain menolak karena keterikatan sentimental terhadap ibukota lama atau kekhawatiran akan gangguan. Secara keseluruhan, keputusan-keputusan ini memicu perdebatan dan membentuk identitas masing-masing negara.
Ibukota lama menyimpan makna sejarah dan budaya. Relokasi berisiko menghapus sebagian 'heritage' (pusaka peninggalan) suatu bangsa. Cultural heritage memainkan peran penting dalam reaksi warga terhadap pemindahan ibukota. Orang kerap merasa terhubung secara emosional dengan ibukota lama mereka karena peristiwa sejarah, kenangan, dan landmark budaya. Pemindahan ibukota akan mengganggu keterikatan ini. Ibukota mewakili identitas suatu bangsa. Warga mengasosiasikan simbol budaya, tradisi, dan warisan dengan ibukota yang ada. Relokasi dapat menimbulkan perasaan kehilangan atau perubahan, sehingga menimbulkan ketegangan dan perdebatan politik.
Membangun ibukota baru butuh waktu. Kesenjangan infrastruktur mungkin masih ada selama masa transisi. Diperlukan perencanaan yang matang memitigasi dampak buruk ini.

Ada beberapa contoh kasus dimana upaya pemindahan ibukota gagal atau menimbulkan dampak negatif. Kegagalan-kegagalan ini dapat disebabkan oleh berbagai masalah semisal beban keuangan, tantangan logistik, ketidakpuasan sosial, dan konsekuensi ekonomi yang tak diharapkan.
Myanmar (Burma), ibukotanya dipindahkan dari Yangon ke Naypyidaw pada tahun 2005, dilaporkan karena alasan strategis dan untuk menghindari Yangon yang padat dan rentan. Pembangunan Naypyidaw sebagian besar didanai oleh pemerintah Myanmar sendiri. Kendati China telah menjadi investor yang cukup berarti dalam proyek infrastruktur Myanmar, relokasi dan pembangunan Naypyidaw terutama didorong oleh pertimbangan politik dan strategis dalam negeri tersebut.
Kendati terdapat investasi besar, Naypyidaw masih kekurangan penduduk dan sebagian besar kota tak berpenghuni dan tak digunakan. Kota ini secara geografis terisolasi dan aktivitas ekonominya kurang bergairah seperti di Yangon, sehingga menyebabkan terbatasnya peluang ekonomi. Banyak warga dan pegawai negeri yang enggan pindah karena minimnya fasilitas dan infrastruktur sosial.

Malaysia, ibukotanya dipindahkan ke Putrajaya untuk mengurangi kemacetan di Kuala Lumpur dan membangun pusat administrasi yang lebih terpusat. Putrajaya sebagian besar didanai oleh pemerintah Malaysia melalui anggaran nasional dan lembaga pembangunan tertentu. Pembangunan Putrajaya memakan biaya yang sangat besar, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai kelayakan ekonominya. Banyak pegawai pemerintah dan dunia usaha yang ragu-ragu pindah, sehingga menyebabkan pertumbuhan populasi yang lebih lambat dari perkiraan dan terbatasnya aktivitas ekonomi. Beban keuangan dalam membangun dan memelihara Putrajaya telah menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap keuangan nasional.

Nigeria, pindah dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991 untuk mengurangi kemacetan di Lagos dan menyediakan ibukota yang lebih netral dan berlokasi terpusat. Relokasi dan pembangunan Abuja didanai oleh pemerintah Nigeria, dengan dukungan dari berbagai mitra internasional termasuk China. Relokasi tersebut belum cukup mengurangi kemacetan dan kesenjangan ekonomi di Lagos. Biaya yang dikeluarkan bagi pengembangan Abuja sangat besar, dan kesulitan finansial telah berdampak pada bidang pembangunan nasional lainnya. Beban ekonomi dan permasalahan infrastruktur yang tak lengkap lebih berkaitan dengan keterbatasan anggaran internal Nigeria dan tantangan perencanaan dibandingkan dengan investasi eksternal. Beberapa wilayah di Abuja masih kekurangan infrastruktur penting, sehingga menimbulkan tantangan dalam mencapai peran yang diharapkan sebagai ibukota yang berfungsi penuh.

Kazakhstan, berpindah dari Almaty ke Nur-Sultan (sebelumnya bernama Astana) pada tahun 1997 untuk mendorong pembangunan ekonomi dan mengurangi kerentanan strategis Almaty. Pembangunan Nur-Sultan didanai besar-besaran oleh pemerintah Kazakh dengan menggunakan pendapatan dari sumber daya alam negara, khususnya minyak dan gas. Nur-Sultan menghadapi kondisi cuaca buruk sehingga kurang menarik bagi warga dan bisnis. Pembangunan kota ini memakan banyak biaya, sehingga membebani keuangan negara. Kota ini kesulitan menarik populasi dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan masalah infrastruktur dan layanan yang kurang dimanfaatkan.

Tanzania, ibukotanya dipindahkan dari Dar es-Salaam ke Dodoma pada tahun 1973 untuk mendorong pembangunan di wilayah tengah dan mengurangi kemacetan di Dar es Salaam. Relokasi ke Dodoma merupakan proyek jangka panjang yang didanai oleh pemerintah Tanzania, dengan dukungan sporadis dari mitra internasional termasuk China. Relokasi berjalan lambat, karena banyak fungsi pemerintahan masih berpusat di Dar-es-Salaam. Dodoma belum bisa menandingi Dar es-Salaam dalam hal pembangunan ekonomi dan peluang. Pembangunan di Dodoma lamban, dan kota ini kekurangan infrastruktur guna mendukung perannya sebagai ibu kota. Lambatnya pembangunan dan infrastruktur yang tak memadai, terkait dengan kendala perencanaan dan anggaran internal Tanzania.

Meskipun relokasi ibukota dapat memberikan manfaat potensial, namun penuh dengan risiko dan tantangan yang memerlukan perencanaan matang, pendanaan yang memadai, serta pertimbangan terhadap dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Pemindahan ibukota memerlukan sumberdaya finansial yang amat besar. Kesalahan pengelolaan atau perkiraan biaya yang terlalu rendah dapat menyebabkan tekanan ekonomi yang berarti.
Masyarakat kerap menolak pindah ke ibukota baru karena keterikatan dengan tempat tinggal mereka saat ini, kurangnya infrastruktur, dan terisolasinya lokasi baru. Iklim yang berat, lokasi yang terpencil, dan perencanaan yang buruk, juga dapat menimbulkan kesulitan praktis dalam menjadikan ibukota baru berfungsi dan layak huni. Ibukota baru akan mengalami pula kesulitan karena infrastrukturnya yang kurang berkembang, sehingga sulit menarik penduduk dan dunia usaha, dan karenanya tak berhasil mencapai manfaat ekonomi yang diinginkan. Pemindahan ibukota tak selalu mengurangi kemacetan atau kesenjangan ekonomi di ibukota asal. Dalam beberapa kasus, bahkan dapat memperburuk masalah dengan teralihkannya sumberdaya.

Ibukota yang baik dapat diibaratkan seperti detak jantung, sama halnya jantung yang memompa darah pemberi kehidupan ke seluruh tubuh, ibukota berdenyut dengan energi, pemerintahan, dan semangat budaya. Atau seumpama mercusuar, yang memandu kapal melewati lautan badai, ibukota menerangi jalan suatu negara, melambangkan harapan, persatuan, dan kemajuan. Atau panggung megah, ibukota yang menjadi tuan rumah teater negara—tempat dimana sejarah, politik, dan budaya terungkap dalam skala yang dahsyat. Atau laksana panci peleburan, semisal kuali yang mendidih, sebuah ibukota memadukan beragam bahan—manusia, gagasan, dan tradisi—ke dalam masakan budaya yang ghani. Atau pusat saraf, yang mengirimkan sinyal, ibukota menghubungkan wilayah, keputusan, dan aspirasi, sehingga memastikan kelancaran fungsi suatu negara. Intinya, ibukota yang baik melambangkan vitalitas, tujuan, dan persatuan.
Sebaliknya, ibu kota yang kurang ideal dapat digambarkan sebagai jalan buntu, seumpama cul-de-sac yang tiada jalan keluarnya, ibukota yang buruk menghambat kemajuan, menjebak warganya dalam inefisiensi dan stagnasi. Atau kompas yang rusak, ibukota yang salah arah, tak punya arah, menyebabkan bangsa tersesat—jarum kompasnya berputar tanpa tujuan. Atau ruang gema, semisal ruang dimana suara-suara memantul dari dinding, sebuah ibukota yang miskin mengisolasi dirinya dari berbagai sudut pandang, dan melanggengkan kebijakan-kebijakan yang cacat. Atau atap yang bocor, sebuah ibu kota yang tak berfungsi dengan baik karena tak mampu melindungi warganya—bagaikan atap yang bocor saat terjadi badai, yang memungkinkan masalah merembes ke dalam. Atau seperti mercusuar yang memudar, ketika terang benderang, ibukota yang sedang terpuruk akan kehilangan kilaunya, memunculkan bayangan daripada memberi petunjuk. Singkatnya, ibu kota yang buruk menghambat kemajuan, tak memiliki visi, dan tak mampu melayani rakyatnya.

Pembangunan ibukota baru Indonesia, Nusantara, menghadapi berbagai tantangan dan kegagalan yang dapat menghambat keberhasilannya. Proyek ambisius yang dimaksudkan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur di pulau Borneo ini, menemui kendala yang cukup besar.
Proyek ini, dengan perkiraan biaya sebesar $32 miliar, mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan yang memadai. Keterbatasan anggaran pemerintah telah menyebabkan penundaan dan pengurangan rencana. Upaya menarik investasi swasta ditanggapi dengan skeptis karena kekhawatiran terhadap stabilitas politik, masalah peraturan, dan kelangsungan proyek dalam jangka panjang.
Perkiraan awal sebagian besar terlampaui karena inflasi, masalah rantai pasokan, dan pengeluaran tak terduga. Hal ini menyebabkan salah urus keuangan dan pembengkakan anggaran. Perencanaan yang buruk dan korupsi mengakibatkan alokasi sumberdaya yang tak efisien, sehingga semakin membebani anggaran proyek.

Pembangunan Nusantara telah menyebabkan deforestasi besar-besaran di Borneo, wilayah yang masyhur dengan kekayaan anekaragam hayatinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kerusakan habitat dan hilangnya spesies. Deforestasi dan aktivitas konstruksi dalam skala besar berkontribusi terhadap emisi karbon yang serius, sehingga melemahkan komitmen Indonesia terhadap mitigasi perubahan iklim.
Wilayah ibukota baru menghadapi tantangan pasokan air akibat penggundulan hutan dan perubahan pola curah hujan, yang berpotensi menyebabkan kelangkaan air bagi penduduk kota baru. Perubahan pada bentang alam telah meningkatkan risiko banjir, memperburuk dampak proyek terhadap lingkungan dan membahayakan pembangunan di masa depan.

Proyek ini telah menyebabkan tergusurnya masyarakat lokal dan adat, mengganggu mata pencaharian dan praktik budaya mereka. Banyak warga yang terkena dampak menerima kompensasi dan dukungan yang kurang memadai, sehingga dapat menyebabkan kerusuhan sosial dan perselisihan hukum.
Kegiatan konstruksi mengancam situs warisan budaya lokal, yang menyebabkan hilangnya identitas sejarah dan budaya wilayah tersebut. Masuknya penduduk baru dan pekerja konstruksi telah mengganggu budaya dan struktur sosial setempat, sehingga berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik.
Proyek ini terhambat oleh proses yang rumit dan lambat. Proyek ini menghadapi ketidakpastian karena pergeseran prioritas politik dan perubahan kepemimpinan, sehingga mempengaruhi kesinambungan dan komitmen terhadap proyek. Terdapat juga penolakan keras dari berbagai kelompok politik dan organisasi masyarakat sipil, dengan pertimbangan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, kelayakan finansial, dan keadilan sosial.
Ibukota baru ini kekurangan infrastruktur penting seperti jalan raya, angkutan umum, dan utilitas, sehingga menimbulkan tantangan logistik dan kondisi kehidupan yang buruk. Tahap perencanaan tak cukup mengatasi isu-isu utama seperti pelestarian lingkungan, dampak sosial, dan integrasi ekonomi, sehingga mengakibatkan pelaksanaan proyek yang cacat.
Kritikus berpendapat bahwa proyeksi manfaat ekonomi bagi Nusantara terlalu optimis dan tak mungkin membenarkan investasi yang sangat besar. Pemindahan ibukota dapat mengganggu kegiatan perekonomian di daerah lain sehingga menimbulkan ketimpangan dan inefisiensi. Fokus proyek pada pembangunan pesat telah mengabaikan keberlanjutan, sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak lingkungan jangka panjang dan penipisan sumber daya. Model ekonomi ibukota baru mungkin tak berkelanjutan dalam jangka panjang, terutama jika model tersebut tak mampu menarik pertumbuhan bisnis dan populasi yang memadai.

Relokasi ke Kalimantan Timur, wilayah dengan etnis dan tensi politik yang tinggi, menimbulkan risiko terhadap stabilitas dan keamanan ibukota baru. Proyek ini telah memperburuk kesenjangan regional, dengan kekhawatiran bahwa ibukota baru akan mengalihkan sumber daya dan perhatian dari daerah-daerah tertinggal lainnya. Keterlibatan perusahaan asing dalam proyek tersebut telah menimbulkan kekhawatiran mengenai kedaulatan, ketergantungan ekonomi, dan pengaruh geopolitik. Dampak lingkungan dari proyek ini telah menuai kritik internasional, dan berpotensi memperburuk hubungan diplomatik Indonesia dengan mitra-mitra lingkungan hidup dan regional.
Proyek Nusantara, meski ambisius, menghadapi rintangan serius yang menyoroti kompleksitas upaya berskala besar. Kendala keuangan, degradasi lingkungan, pergeseran sosial, inefisiensi birokrasi, dan keraguan terhadap kelangsungan ekonomi, merupakan tantangan besar bagi keberhasilannya. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan perencanaan yang komprehensif, tatakelola yang transparan, dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan kebutuhan masyarakat, perekonomian, dan lingkungan.

Coba bayangkan, anggaran Nusantara seumpama peti harta karun yang berlubang besar di bagian bawahnya, yang setiap kali dikau melempar koin emas, koin itu akan menggelinding dan jatuh ke dalam jurang birokrasi. Pendanaan yang diberikan kepada Nusantara bagaikan seorang pengemis yang memimpikan sebuah istana emas, mengandalkan uang receh dari orang-orang yang skeptis dan kepo apakah impian ini pantas beroleh uang receh mereka. Membangun Nusantara ibarat menaiki Money Pit Express, yang harga tiketnya terus naik dua kali lipat setiap kilometernya, dan tujuan yang dituju tetaplah fatamorgana yang jauh. Berupaya mendanai sebuah kota dengan membobol celengan birokrat, namun ternyata celengan tersebut berisi uang mainan monopoli.
Pembangunan Nusantara ibarat simfoni gergaji mesin, melodi alam tenggelam oleh deru penggundulan hutan yang sumbang. Ibukota baru ini laksana alunan musik terakhir di hutan hujan yang dulunya rimbun, tempat pepohonan takluk memberi jalan bagi hutan beton yang luas dan tak terencana. Sumber daya air bagi Nusantara ibarat sumur kering, dimana setiap upaya mencari rezeki dibalas dengan gaung janji-janji kosong dan bumi yang kering. Membangun Nusantara ibarat melempar dadu, hadiahnya risiko banjir, dan hiburannya tanah longsor, yang memastikan semua pihak kalah.

Merelokasi masyarakat ke Nusantara ibarat memaksa seorang pengembara menetap di sebuah taman hiburan, dimana setiap tenda menjadi loket tiket dan pusaka peninggalan budaya menjadi sebuah rintangan yang tak nyaman. Kompensasi bagi komunitas pengungsi ibarat membangun kota hantu dari janji-janji kosong, dimana penghuninya hanyalah bisikan keadilan dan kepatutan yang tak pernah terwujud. Pembangunan Nusantara ibarat mengendarai buldoser menembus mesin waktu, menghapus landmark budaya purwa dengan terburu-buru membuka sejarah dengan modernitas yang terlupakan. Tak terbayangkan sebuah warisan budaya seperti sebuah rumah kartu yang rapuh, yang mudah dirobohkan oleh hembusan kemajuan dari lokasi pembangunan di Nusantara.

Menavigasi pembangunan di Nusantara seperti berjalan melalui labirin birokrasi, dimana setiap kelokan mengarah ke jalan buntu birokrasi yang dipenuhi dengan dokumen-dokumen yang tiada guna. Pengelolaan proyek ibarat perjalanan yang tiada akhir. Masa depan Nusantara sama tak pastinya dengan pendulum yang berayun liar di ruang politik, dimana setiap pemerintahan baru berubah arah, meninggalkan kota ini dalam ketidakpastian abadi.
Berinvestasi di Nusantara ibarat membuang uang ke dalam lubang hitam, dimana laba atas investasi sulit diperoleh, bagaikan cahaya yang lepas dari cakrawala peristiwa. Janji-janji ekonomi yang dimiliki Nusantara bagaikan elang laut berlapis emas, mengesankan tapi mahal, namun pada akhirnya menjadi beban yang menurunkan harapan akan kemakmuran sejati.

Klaim keberlanjutan Nusantara bagaikan fatamorgana lingkungan hidup, tampak hijau dan subur dari jauh, namun berubah menjadi gurun janji yang tak ditepati jika dilihat dari dekat. Model perekonomian kota ini ibarat berjalan di tali, di atas pasir hisap, dimana satu kesalahan dalam menjaga keberlanjutan dapat mengakibatkan kegagalan yang tak dapat diubah. Proyek ini ibarat kebalikan dari Robin Hood, merampok sumber daya dari daerah-daerah yang sedang kesulitan, banyak manfaatnya diberikan kepada kota baru yang menjanjikan banyak hal, namun semata menyajikan sedikit hasil.
Menarik investasi asing bagi Nusantara ibarat menjual saham di kapal yang tenggelam, dimana calon investor lebih tertarik terjun ke laut ketimbang membelinya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh Nusantara ibarat kentang panas diplomasi yang diombang-ambingkan oleh kritikus internasional menyalahkan kegagalannya.

Hikayat ibukota baru Nusantara merupakan salah satu ambisi besar yang dibayangi oleh kesalahan pengelolaan keuangan, degradasi lingkungan, pergolakan sosial, dan ketidakstabilan politik. Inilah kisah dimana setiap langkah maju dibarengi dengan dua langkah mundur, dan impian akan ibukota baru yang berkembang, akan selalu tampak lebih seperti khayalan belaka ketimbang realitas yang nyata. Proyek ini menjadi sebuah kisah peringatan tentang kompleksitas dan tantangan awal dalam membangun kota baru, terutama dalam perspektif yang penuh dengan hambatan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Penentangan masyarakat terhadap proyek ini ibarat sirkus kotak sabun, dimana setiap pemain berkeluh-kesah yang berbeda, namun mereka semua sepakat bahwa pemeran utamanya—Nusantara—cuma sebuah dagelan Tik Tok.

Kita masih dalam topik tentang Indonesia di episode berikutnya, biidznillah.”

Seruni lalu bersenandung,

My head's underwater
[Kepalaku terpendam air]
But I'm breathing fine
[Tapi ana bernapas dengan baik]
You're crazy and I'm out of my mind *)
[Ente majnun wa ana 'rah waras]
Kutipan & Rujukan:
- Vadim Rossman, Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation, 2017, Routledge
- David Walters, Designing Community: Charrettes, Masterplans and form-based Codes, 2007, Elsevier
- Pablo Baisotti (Ed.), New Global Cities in Latin America and Asia: Welcome to the Twenty-First Century, 2022, University of Michigan Press
- David L.A. Gordon (Ed.), Planning Twentieth Century Capital Cities, 2006, Routledge
*) "All of Me" karya John Stephens & Tobias Gad

Rabu, 26 Juni 2024

Ocehan Seruni (3)

“Dalam pertunjukan Wayang Kulit, para wayang memunculkan bayangan pada layar yang disebut kelir, yang dilihat oleh penonton. Wayang itu sendiri mewakili raga atau tubuh fisik, sedangkan bayangannya melambangkan jiwa atau esensi spiritual. Ini menonjolkan kepercayaan akan dualitas keberadaan, dimana dunia material (wayang) hanyalah sekedar bayangan atau refleksi dari realitas spiritual (bayangan di layar). Hal ini menekankan pentingnya pencerahan batin dan spiritual di atas penampilan fisik dan alam spiritual (cerita dan ritual). Sang dalang berperan sebagai penyalur, menghubungkan kedua alam tersebut selama pertunjukan. Dalang mengendalikan keseluruhan pertunjukan, menggerakkan wayang dan menyuarakan tokoh-tokohnya dipandang sebagai metafora bagi pencipta ilahi atau kekuatan takdir, yang membimbing kehidupan dan tindakan individu. Hal ini mencerminkan kepercayaan pada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur peristiwa-peristiwa di alam semesta dan gagasan bahwa kehidupan adalah pertunjukan di alam semesta tahap keberadaan.
Ki Dalang kita lalu menuturkan, 'Semar, tokoh punakawan terfavorit, dikenal dengan kecerdasan dan kearifannya. Dalam salah satu cerita, Semar terpeleset kulit pisang dan terjatuh. Alih-alih marah, ia malah tertawa dan berkata, 'Tuh kaan, kulit pisang aja, ada takdirnya!'
'Ya, apa pun bisa terjadi!' kata Ki Dalang sambil mengetuk-ngetukkan cempalanya pada kotak wayang sehingga menimbulkan bunyi berirama.”

“Seperti halnya Wayang yang menyimpan simbolisme dan alegori, infrastruktur yang baik dapat diibaratkan seperti tulang-punggung peradaban, memberikan dukungan penting yang memungkinkan seluruh fungsi masyarakat berjalan dengan lancar dan efisien. Sistem saraf inilah yang mentransmisikan sinyal pertumbuhan dan perkembangan ke seluruh penjuru dunia. negara, memastikan setiap wilayah dan sektor berfungsi secara harmonis dan cepat tanggap terhadap peluang dan tantangan,” lanjut Seruni sambil melihat gambar Jembatan San Fransisco.
"Infrastruktur yang baik berperan seperti sistem peredaran darah perekonomian, yang secara efisien memompa sumber kehidupan perdagangan dan konektivitas melalui arteri dan vena jalan raya, kereta api, dan jaringan. Garis kehidupan inilah yang menopang dan memelihara pembangunan, memastikan bahwa sumber daya, barang, dan jasa mengalir dengan bebas dan menjangkau setiap penjuru negara.

Infrastruktur yang baik bagaikan landasan dimana bangunan kemajuan dibangun, menyajikan landasan yang stabil dan bertahan lama, yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Ia berfungsi sebagai pilar yang menopang struktur kemajuan, menopang beban kegiatan ekonomi dan pembangunan sosial. Infrastruktur yang baik berperan sebagai katalis bagi inovasi, menyediakan kerangka kerja yang memungkinkan teknologi dan ide-ide baru berkembang dan diterapkan secara efektif. Negara merupakan kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, menyediakan energi dan momentum yang dibutuhkan agar mendorong sebuah bangsa maju ke tingkat kesuksesan dan prestasi baru.
Infrastruktur yang baik laksana jalan raya yang terpelihara dengan baik, yang mengarah langsung pada kemakmuran, mengurangi waktu dan biaya perjalanan, serta membuka jalan baru bagi pertumbuhan dan peluang. Ia bertindak sebagai jembatan yang menjembatani kesenjangan antara wilayah dan komunitas, memfasilitasi pertukaran ide, barang, dan jasa, serta mendorong persatuan dan kemajuan yang lebih besar. Infrastruktur yang baik berperan sebagai perisai yang memberikan stabilitas dan ketahanan, melindungi masyarakat dari gangguan dan ketidakpastian bencana alam dan fluktuasi ekonomi. Ia berfungsi sebagai jangkar yang menjaga kapal rakyat tetap stabil dan aman, memastikan bahwa bahkan di masa-masa penuh gejolak, terdapat landasan yang kokoh dan dapat diandalkan untuk bersandar.

Infrastruktur yang baik ibarat kanvas kosong yang menampung impian dan cita-cita suatu bangsa, memberikan latar belakang masa depan yang dilukis dengan guratan-guratan yang luas dan penuh semangat. Hal ini bertindak sebagai batu loncatan yang memungkinkan individu dan komunitas untuk menyeberangi sungai tantangan dan mencapai tepi kesuksesan dan kemakmuran.
Infrastruktur yang baik ibarat tanah subur yang menumbuhkan benih-benih pembangunan, memungkinkan benih-benih tersebut berakar dan berkembang menjadi perekonomian yang kuat dan berkembang. Ia bertindak sebagai tukang kebun yang rajin, dengan hati-hati merawat ladang peluang dan memastikan bahwa buah kemajuan dan kemakmuran dipanen dalam jumlah besar.

Infrastruktur yang baik seumpama konduktor orkestra, yang memastikan bahwa setiap instrumen, mulai dari jalan raya, kereta api, hingga jaringan listrik, bermain dalam harmoni yang sempurna untuk mengkreasikan simfoni pembangunan yang efisien dan terkoordinasi. Ia berfungsi sebagai penenun yang menjalin benang-benang masyarakat, membangun permadani yang kohesif dan terpadu, yang meningkatkan konektivitas dan menumbuhkan tujuan bersama.
Infrastruktur yang baik dimisalkan sebagai mercusuar yang menerangi jalan menuju masa depan yang berkelanjutan dan berketahanan, menuntun bangsa dengan kemantapan dan kehandalannya. Ia bertindak sebagai penjaga yang melestarikan warisan kemajuan dan memastikan bahwa manfaat pembangunan dilindungi dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Infrastruktur Indonesia telah lama menjadi isu penting, yang berdampak pada pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan kualitas hidup secara keseluruhan. Kendati terdapat banyak upaya meningkatkan infrastruktur, sejumlah kegagalan dan tantangan terus menghambat kemajuan.
Meskipun belakangan terjadi peningkatan, investasi Indonesia di bidang infrastruktur secara historis masih belum mencukupi. Alokasi anggaran yang terbatas membatasi kemampuan mengembangkan dan memelihara infrastruktur penting. Terdapat kesenjangan yang berarti antara pendanaan infrastruktur yang dibutuhkan dan anggaran aktual yang tersedia. Kekurangan ini menghambat proyek dan pemeliharaan skala besar.
Meskipun pemerintah berupaya melibatkan sektor swasta melalui Kemitraan Pemerintah-Swasta, hambatan peraturan, dan risiko investasi kerap menghalangi investor swasta. Proyek-proyek infrastruktur acapkali menghadapi ketidakkonsistenan pendanaan, yang menyebabkan penundaan dan proyek tak terselesaikan.

Proyek infrastruktur kerap mengabaikan kelestarian lingkungan, sehingga menimbulkan permasalahan seperti penggundulan hutan, polusi, dan perusakan habitat. Kurangnya penekanan pada perancangan infrastruktur yang berkelanjutan dan tahan terhadap perubahan iklim dan tekanan lingkungan lainnya.
Pembangunan infrastruktur sangat terkonsentrasi di daerah perkotaan besar seperti di Pulau Jawa, sehingga daerah pedesaan dan terpencil kurang terlayani. Konsentrasi ini memperburuk kesenjangan regional dan membatasi peluang ekonomi di daerah-daerah yang kurang berkembang.
Korupsi menyebabkan kesalahan alokasi sumber daya, membengkaknya biaya proyek, dan kualitas konstruksi di bawah standar. Hal ini melemahkan efektivitas investasi infrastruktur. Kurangnya transparansi dalam penawaran dan pelaksanaan proyek memunculkan peluang terjadinya korupsi dan inefisiensi.

Kota-kota besar mengalami kemacetan lalu lintas yang parah karena jaringan jalan yang tak memadai dan kurangnya pilihan transportasi umum. Banyak jalan, terutama di daerah pedesaan, berada dalam kondisi buruk karena kurangnya pemeliharaan dan praktik konstruksi yang di bawah standar.
Sistem transportasi umum terbatas dalam jangkauan dan kapasitas, sehingga tak sanggup memenuhi kebutuhan populasi perkotaan yang terus bertambah. Permasalahan seperti infrastruktur yang ketinggalan jaman, manajemen yang buruk, dan kurangnya investasi menghambat efektivitas transportasi umum.

Meskipun terdapat kemajuan, banyak daerah masih mengalami kekurangan listrik dan pasokan listrik yang tak dapat diandalkan, sehingga berdampak pada dunia usaha dan rumah tangga. Ketergantungan yang besar pada batu bara dan bahan bakar fosil lainnya bagi pembangkit listrik, menimbulkan tantangan terhadap keberlanjutan dan lingkungan. Pengembangan energi terbarukan menghadapi tantangan kebijakan dan peraturan yang berarti. Kurangnya investasi pada infrastruktur energi terbarukan membatasi kemampuan negara beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Banyak daerah, terutama di daerah pedesaan, kesulitan mendapatkan akses terhadap air minum yang bersih dan aman karena infrastruktur yang tak memadai dan pengelolaan yang buruk. Sumber air seringkali tercemar akibat kegiatan industri, pengelolaan limbah yang tak memadai, dan kurangnya fasilitas sanitasi yang layak. Sebagian besar penduduk tak punya akses terhadap fasilitas sanitasi yang memadai, sehingga menyebabkan masalah kesehatan masyarakat dan pencemaran lingkungan. Kesenjangan dalam infrastruktur pengolahan limbah dan air limbah memperburuk polusi air dan risiko kesehatan.
Ada kesenjangan digital yang mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan, dimana wilayah pedesaan memiliki akses terbatas terhadap internet berkecepatan tinggi dan layanan digital. Kurangnya investasi pada infrastruktur digital di daerah terpencil membatasi peluang ekonomi dan akses terhadap informasi. Kualitas layanan telekomunikasi acapkali tak konsisten, seringnya terjadi gangguan dan terbatasnya jangkauan di wilayah tertentu. Ada kebutuhan akan investasi berkelanjutan dalam peningkatan teknologi guna mengimbangi meningkatnya permintaan dan kemajuan teknologi.
Kegagalan infrastruktur di Indonesia mempunyai banyak aspek, termasuk permasalahan inefisiensi, korupsi, perencanaan yang tak memadai, kesenjangan regional, tantangan pemeliharaan, dan permasalahan keberlanjutan.

Pembangunan proyek infrastruktur seperti jalan tol, kereta api kecepatan tinggi, dan bandara di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dan kegagalan. Kegagalan ini acapkali disebabkan oleh kombinasi masalah finansial, administratif, dan teknis serta munculnya isu tentang perampasan lahan milik warga negara.

Jalan tol di Indonesia ibarat papan Monopoli yang dirancang oleh anak berusia tiga tahun, dimana setiap properti berlubang dan setiap kartu peluang bertuliskan, 'Kembali ke Start.' Beberapa jalan tol dikritik karena kualitas konstruksinya yang buruk, sehingga cepat rusak dan sering memerlukan perawatan. Pembangunan jalan tol terkadang menimbulkan kerusakan lingkungan, termasuk penggundulan hutan dan gangguan habitat, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan kelompok lingkungan hidup. Contohnya Tol Jakarta-Cikampek. Jalan tol ini menghadapi kemacetan dan tantangan operasional yang berarti, sebagian disebabkan oleh urbanisasi yang pesat dan perencanaan kapasitas yang tak memadai.
Jalan Tol Trans-Jawa. Meskipun merupakan pencapaian infrastruktur yang besar, beberapa ruas jalan tol Trans-Jawa mengalami penundaan konstruksi, pembengkakan biaya, dan sengketa pembebasan lahan.

Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang merupakan kolaborasi unggulan dengan China, menghadapi tantangan finansial yang serius, termasuk pembengkakan biaya yang menggelembung dari perkiraan awal sebesar $6 miliar menjadi lebih dari $7,2 miliar. Pembangunan kereta api berkecepatan tinggi telah menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap ekosistem lokal, termasuk penggundulan hutan dan gangguan sumber air.
Kereta berkecepatan tinggi ini ibarat petualangan Alice di Negeri Ajaib, alih-alih bertemu karakter bertingkah aneh, engkau malah terjebak dalam lubang birokrasi dan pembengkakan biaya. Proyek ini menjanjikan kereta cepat, namun tak berjalan mulus, lantaran satu-satunya hal yang bergerak cepat yalah menggelumbungnya biaya dan keuangan negara harus dipertaruhkan. Kereta berkecepatan tinggi ini laksana 'the emperor’s new clothes', sebuah visi besar yang dipuji semua orang, tetapi ketika engkau melihat lebih dekat, dirimu tersadar bahwa itu hanyalah rel telanjang tanpa ada yang berjalan tepat waktu.

Banyak proyek bandara, termasuk perluasan dan pembangunan baru, mengalami penundaan karena kendala birokrasi, kekurangan dana, dan tantangan teknis. Pembengkakan anggaran sering terjadi, kerap disebabkan oleh perencanaan proyek yang buruk, kesalahan pengelolaan, dan perubahan ruang lingkup proyek. Meskipun ada perluasan, banyak bandara mengalami kelebihan kapasitas, yang menyebabkan kemacetan, waktu tunggu yang lama, dan penurunan kualitas layanan. Praktek pemeliharaan yang tak memadai telah menyebabkan kerusakan fasilitas dengan cepat, sehingga mempengaruhi efisiensi operasional dan pengalaman penumpang.
Beberapa bandara dibangun dengan material dan teknik konstruksi di bawah standar, sehingga menimbulkan masalah seperti kebocoran, kelemahan struktural, dan seringnya perbaikan. Banyak bandara yang kekurangan fasilitas dan infrastruktur untuk menangani peningkatan volume penumpang, sehingga berdampak pada kemampuan bandara dalam memberikan pengalaman perjalanan berkualitas tinggi.
Contoh: Bandara Internasional Kertajati. Terletak di Jawa Barat, Kertajati kesulitan menarik maskapai dan penumpang, sehingga menyebabkan kurangnya pemanfaatan dan kerugian finansial. Permasalahan seperti buruknya konektivitas dan terbatasnya infrastruktur telah menambah tantangan-tantangan ini.

Bila engkau membayangkan semua proyek-proyek infrastruktur ini sebagai armada kapal, yang masing-masing dengan bangga diluncurkan bersama sebotol sampanye, namun bocor dan mulai tenggelam sebelum mencapai laut lepas, ia laksana 'kapal Proyek Negara yang karam'.
Kita masih lanjut dengan isu-isu tentang Indonesia, biidznillah."

Lalu Seruni membacakan puisi,

Di hamparan luas nusantara,
Dimana harta berubah dan hutang nambah,
Riwayat fiskal menjadi sebuah cerita,
Ciloko! Hutangnya ganduh dan imbuh,
Laksana bambu menembus embun pagi.
'Duh Rupiah, kemanakah dikau pergi?'
Senandung sang menteri, bersusah-hati.
Kutipan & Rujukan:
- Gregory K. Ingram & Karin L. Brandt (Eds.), Infrastructure and Land Policies, 2013, Lincoln Institute
- Alberto Asquer, Regulation of Infrastructure and Utilities: Public Policy and Management Issues, 2018, Palgrave
- JamieS. Davidson, Indonesia's Changing Political Economy, 2015, Cambridge University Press

Senin, 24 Juni 2024

Ocehan Seruni (2)

“Para bahadur dalam Wayang Kulit memulai pengembaraan sulit yang penuh cobaan dan godaan. Pengembaraan ini laksana jalan menuju penemuan jati-diri dan pencerahan. Pengembaraan menandakan pertumbuhan spiritual dan pribadi yang muncul dari mengatasi tantangan, belajar dari pengalaman, dan berjuang mencapai tujuan yang lebih tinggi.
Dengan menggunakan 'Boso Jowo', Ki Dalang kita bertutur. Bunyinya seperti ini, 'Bima, seorang pendekar perkasa dari keluarga Pandawa, suatu ketika tersesat di hutan lebat. Saat berjalan, ia menemukan seekor keledai yang bisa ngomong. Melihat adanya kesempatan bersenang-senang, keledai tersebut berkata kepada Bima bahwa ia mengetahui jalan keluarnya, namun hanya akan mengungkapkannya jika Bima dapat menjawab sebuah teka-teki. Bima, yang percaya diri dengan kecerdasannya, menyepakati.
Sang keledai bertanya, 'Apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari?'
Bima, yang kelimpungan oleh sederhananya pertanyaan itu, terlalu memikirkannya dan memberikan serangkaian jawaban yang rumit dan keliru. Keledai yang senang dengan kebingungan Bima, akhirnya menjawab, 'Manusia.'
Karena malu sekaligus terhibur, Bima mengakui kearifan sang keledai dan mengikuti petunjuknya menemukan jalan keluar dari hutan, bersyukur atas pelajaran tentang kerendahan-hati dan guyonan yang dipetiknya dalam perjalanan."

"Wayang Kulit sesungguhnya berasal dari Indonesia, tepatnya dari Pulau Jawa. Merupakan salah satu bentuk wayang kulit tradisional yang sangat dihormati dan telah menjadi bagian integral dari budaya Jawa selama berabad-abad. Pada tahun 2003, UNESCO mengakui Wayang Kulit sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Penunjukan ini menyoroti signifikansi bentuk seni budaya dan pentingnya melestarikan seni bercerita dan pertunjukan tradisional.
Indonesia terkadang disebut 'The Living Museum of Ancient Cultures (Museum Hidup Kebudayaan Kuno)' sebab melestarikan praktik tradisional dan adat istiadat lama. Ia sering digambarkan sebagai 'Melting Pot of Cultures' karena banyaknya kelompok etnis, bahasa, dan tradisi. Kekayaan budayanya dan perpaduan harmonis berbagai budaya, agama, dan tradisi yang hidup berdampingan di wilayahnya,” lanjut Seruni sambil memandang gunungan atau kayon, sebuah kanonik berbentuk kerucut atau segitiga yang terinspirasi dari bentuk gunung berapi.

“Indonesia sering disebut 'The Necklace of Islands (Kepulauan Kalung-permata )' karena merupakan negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Setiap pulau merupakan 'permata' unik yang berkontribusi terhadap keragaman budaya dan ekologi bangsa, yang saling-mengait ibarat manik-manik berharga dalam sebuah kalung. Indonesia sering disebut sebagai 'The Emerald of the Equator (Zamrud Khatulistiwa)' lantaran bentang alamnya yang subur dan hijau serta hutan hujan tropis yang luas. Dikenal sebagai 'The Land of Fire and Water (Negeri Api dan Air)', Indonesia dikenal dengan banyaknya gunung berapi dan laut yang mengitarinya. Dinamika lanskap Indonesia yang dicirikan oleh gunung berapi aktif (api) dan wilayah maritimnya yang luas (air), melambangkan, baik kekuatan alam yang merusak sekaligus memberi kehidupan.
Indonesia sering disebut sebagai 'The Heart of Southeast Asia (Jantung Asia Tenggara)' karena letak geografisnya yang sentral dan pengaruh pentingnya di wilayah ini. Ini menekankan posisi strategis Indonesia serta dampak budaya, politik, dan ekonominya di kawasan Asia Tenggara, serta berperan sebagai kekuatan sentral dalam urusan regional. Secara historis, Indonesia dijuluki 'The Garden of Spices (Taman Rempah-rempah)' sebab kaya akan produksi rempah-rempah semisal cengkeh, pala, dan lada. Pentingnya sejarah Indonesia dalam perdagangan rempah-rempah global, menyoroti kekayaan pertanian dan peran penting Indonesia dalam sejarah perekonomian dunia.

Perekonomian Indonesia merupakan salah satu perekonomian paling beragam di Asia Tenggara, yang ditandai dengan perpaduan sumber daya alam, aktivitas industri, dan sektor jasa yang terus berkembang. Indonesia produsen minyak dan gas alam yang cukup penting. Negara ini sebelumnya merupakan anggota OPEC dan tetap menjadi salah satu eksportir gas terbesar di dunia. Penambangan batubara merupakan kontributor utama perekonomian, khususnya di wilayah seperti Kalimantan dan Sumatra. Indonesia produsen nikel terkemuka, komponen utama baja tahan karat dan baterai untuk kendaraan listrik. Negara ini juga mempunyai simpanan tembaga dan emas dalam jumlah besar, dengan operasi penambangan besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan seperti Freeport-McMoRan. Indonesia produsen minyak sawit terbesar di dunia, yang merupakan komoditas ekspor utama. Negara ini juga merupakan produsen karet dan kakao yang penting bagi pasar global.
Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan sektor ekspor utama, menyediakan lapangan kerja dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Produksi elektronik dan mesin semakin berkembang, dengan investasi pada teknologi dan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing.

Keberagaman budaya dan keindahan alam Indonesia, termasuk destinasi seperti Bali dan Borobudur, menarik jutaan wisatawan setiap tahunnya. Pariwisata berkontribusi berarti terhadap PDB dan menyediakan lapangan kerja di berbagai wilayah. Sektor jasa keuangan sedang berkembang, dengan fokus pada perluasan penetrasi perbankan dan inklusi keuangan di seluruh masyarakat. Sektor telekomunikasi berkembang, didorong oleh meningkatnya penetrasi ponsel pintar dan penggunaan internet. Indonesia sedang mengalami ledakan e-commerce, dengan platform seperti Tokopedia dan Bukalapak yang memainkan peran penting dalam ekonomi digital.
Pertanian tetap menjadi sektor utama karena menghasilkan beras, jagung, dan tanaman pokok lainnya yang penting bagi ketahanan pangan. Kopi, teh, dan rempah-rempah merupakan ekspor yang menarik dan berkontribusi terhadap pendapatan devisa. Wilayah maritim Indonesia yang luas mendukung sektor perikanan yang besar, dengan ekspor ikan dan makanan laut menjadi bagian penting dari perekonomian.
Investasi besar sedang dilakukan pada jaringan jalan raya dan kereta api guna meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya logistik. Peningkatan bandara dan pelabuhan meningkatkan kapasitas dan efisiensi, memfasilitasi perdagangan dan pariwisata. Kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri didirikan untuk menarik investasi dan mendorong pertumbuhan industri.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan berusia muda, sehingga memberikan potensi bonus demografi bagi pertumbuhan ekonomi. Jumlah angkatan kerja semakin bertambah, dengan adanya upaya meningkatkan keterampilan dan pendidikan agar meningkatkan produktivitas. Urbanisasi yang pesat menyebabkan berkembangnya pusat-pusat kota besar, mendorong aktivitas ekonomi dan kebutuhan infrastruktur.

Perekonomian Indonesia menghadapi beberapa kelemahan dan tantangan yang dapat berdampak pada pembangunan berkelanjutan dan kesehatan perekonomian secara keseluruhan. Ketergantungan besar Indonesia pada ekspor komoditas semisal batu bara, minyak sawit, dan gas alam menjadikan perekonomiannya rentan terhadap fluktuasi harga global. Perubahan harga komoditas dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan penurunan pendapatan secara berarti. Ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya alam dapat menyebabkan penipisan dan degradasi lingkungan, sehingga membahayakan keberlanjutan ekonomi di masa depan.
Meskipun terdapat kemajuan, Indonesia masih menghadapi kesenjangan yang serius dalam bidang infrastruktur, khususnya di daerah terpencil dan pedesaan. Jaringan transportasi yang buruk meningkatkan biaya logistik dan menghambat pembangunan ekonomi. Infrastruktur energi yang tak memadai, terutama di wilayah luar, membatasi perkembangan industri dan mempengaruhi kualitas hidup penduduk. Ketergantungan yang besar pada bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi menimbulkan tantangan bagi pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim.

Korupsi masih menjadi tantangan besar di Indonesia, yang berdampak pada efisiensi pemerintahan, pelayanan publik, dan lingkungan bisnis. Ia melemahkan kepercayaan terhadap institusi dan menghambat investasi asing. Birokrasi yang berlebihan dan kerangka peraturan yang rumit dapat menghambat aktivitas bisnis dan inovasi. Penegakan hak kepemilikan dan perlindungan hukum yang tak memadai dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Inefisiensi dan kurangnya transparansi dalam sistem peradilan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha dan investor.
Terbatasnya akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi di daerah tertinggal akan melanggengkan kesenjangan dan kemiskinan. Meski mengalami kemajuan, kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di bawah standar internasional. Hal ini mengakibatkan tenaga kerja tak memiliki keterampilan yang dibutuhkan bagi industri bernilai tambah tinggi. Ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas, khususnya di daerah pedesaan, membatasi pengembangan sumber daya manusia dan potensi ekonomi. Sistem pendidikan tak mempersiapkan siswa secara memadai menghadapi tuntutan pasar tenaga kerja, sehingga menyebabkan ketidaksesuaian antara keterampilan dan persyaratan pekerjaan. Sebagian besar angkatan kerja bekerja di sektor informal, yang biasanya menawarkan upah lebih rendah dan keamanan kerja yang lebih rendah. Kesenjangan kekayaan antara si kaya dan si miskin semakin lebar, dan sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan. Hal ini mempengaruhi kohesi sosial dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Sektor manufaktur Indonesia seringkali berfokus pada produksi bernilai tambah rendah, sehingga membatasi kemampuannya meningkatkan rantai nilai dan bersaing secara global. Ketergantungan negara pada impor mesin dan teknologi menghambat pertumbuhan industri dan inovasi dalam negeri. Investasi dalam penelitian dan pengembangan relatif rendah, sehingga menghambat kemajuan teknologi dan diversifikasi ekonomi. Ekosistem inovasi masih terbelakang, dan dukungan terhadap startup serta usaha kecil dan menengah masih terbatas.
Tingginya laju deforestasi dan degradasi lahan akibat perkebunan kelapa sawit dan aktivitas pertambangan berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan lingkungan. Polusi udara dan air, khususnya di daerah perkotaan, menimbulkan tantangan kesehatan masyarakat dan lingkungan yang signifikan. Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam, termasuk gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi, yang dapat mengganggu kegiatan perekonomian dan merusak infrastruktur. Dampak perubahan iklim, seperti naiknya permukaan air laut dan kejadian cuaca ekstrem, mengancam produktivitas pertanian dan masyarakat pesisir.

Defisit transaksi berjalan yang terus-menerus mencerminkan ketergantungan pada modal asing untuk membiayai pertumbuhan, sehingga menjadikan perekonomian rentan terhadap guncangan eksternal. Tingginya tingkat utang luar negeri, khususnya di sektor swasta, dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan dan membatasi fleksibilitas kebijakan ekonomi. Volatilitas nilai tukar rupiah dapat menimbulkan tekanan inflasi, mempengaruhi biaya impor, dan meningkatkan beban utang dalam mata uang asing.
Kenaikan harga dolar Amerika (USD) jika dibeli dengan rupiah (IDR) berdampak serius terhadap perekonomian Indonesia dan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Nilai tukar USD/IDR yang lebih tinggi berarti dibutuhkan lebih banyak rupiah untuk membeli dolar AS dalam jumlah yang sama. Akibatnya, biaya impor barang dan jasa yang dihargai dalam USD, seperti elektronik, mesin, dan bahan mentah, meningkat. Meningkatnya biaya impor dapat menyebabkan kenaikan harga barang-barang konsumsi, sehingga berkontribusi terhadap inflasi. Barang-barang penting seperti bahan bakar, yang biasanya dihargai dalam dolar, menjadi lebih mahal, sehingga berdampak pada bisnis dan konsumen.

Banyak perusahaan dan pemerintah Indonesia berutang dalam mata uang asing, seringkali dalam USD. Dolar yang lebih kuat berarti utang-utang ini menjadi lebih mahal untuk dicicil dan dilunasi, sehingga memberikan tekanan keuangan tambahan pada entitas-entitas ini. Biaya pembayaran utang yang lebih tinggi dapat membatasi anggaran pemerintah, mengekang ketersediaan dana bagi layanan publik dan proyek pembangunan.
Penguatan USD dapat membuat ekspor Indonesia lebih kompetitif karena harganya menjadi lebih murah bagi pembeli asing. Hal ini berpotensi meningkatkan ekspor di sektor-sektor seperti tekstil, minyak sawit, dan batu bara. Namun, jika peningkatan pendapatan ekspor tak mengimbangi biaya impor yang lebih tinggi, hal ini dapat memperburuk defisit perdagangan dan berdampak pada neraca transaksi berjalan negara.
Para investor mungkin akan keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia guna mencari imbal hasil aset dolar AS yang lebih aman, terutama jika mereka mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya investasi asing, sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pelemahan rupiah dapat menjadikan aset-aset Indonesia lebih murah bagi investor asing, sehingga berpotensi menarik investasi pada saham dan real estate.

Barang sehari-hari yang diimpor atau dibuat dengan komponen impor menjadi lebih mahal sehingga menurunkan daya beli. Ini termasuk barang elektronik, mobil, dan bahkan makanan tertentu. Biaya bahan bakar, yang seringkali diimpor dan dihargai dalam dolar, dapat meningkat, menyebabkan biaya transportasi lebih tinggi dan mempengaruhi harga di berbagai sektor. Jika rupiah terus melemah maka nilai riil tabungan dalam rupiah dapat menurun sehingga mempengaruhi stabilitas keuangan individu. Bepergian ke luar negeri menjadi lebih mahal bagi masyarakat Indonesia karena mereka harus mengeluarkan lebih banyak rupiah membeli mata uang asing bagi biaya perjalanan. Ketidakpastian mengenai nilai tukar rupiah dan kenaikan biaya dapat menyebabkan berkurangnya kepercayaan konsumen, sehingga masyarakat mengurangi belanja diskresi. Hal ini dapat semakin memperlambat aktivitas perekonomian.
Bank Indonesia (BI) mungkin akan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan nilai tukar rupiah. Suku bunga yang lebih tinggi dapat menarik investasi asing namun dapat pula memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dan dunia usaha. BI dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing agar mendukung rupiah dengan menjual cadangan devisa. Namun, hal ini hanya bersifat sementara dan bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Indonesia dikenal sebagai 'The Archipelago of Unity in Diversity (Nusantara yang Bhineka Tunggal Ika)', juga menjadi semboyan nasionalnya. Indonesia dapat disebut sebagai 'The Maritime Silk Road Crossroads (Persimpangan Jalur Sutra Maritim)' oleh peran historisnya dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dengan Timur Tengah dan Eropa. Indonesia terkadang disebut sebagai 'The Land of Smiles (Negeri Senyuman)' karena kehangatan dan keramahtamahan masyarakatnya.
Perbincangan kita tentang Indonesia akan berlanjut pada episode selepas ini, biidznillah.”

Lalu Seruni mendeklamasikan sepenggal bait berirama,

Di aula kekuasaan, mereka berparade, dengan ego bak raja,
Pandai merubah aturan, sesuai impiannya
Mereka janjikan masa depan emas
Namun tersandung pada setiap kebenaran yang mereka tebas
Kutipan & Rujukan:
- Aris Ananta, Muljana Soekarni & Sjamsul Arifin (Eds.), The Indonesian Economy: Entering A New Era, 2011, ISEAS
- Bruce Glassburner (Ed.), The Economy of Indonesia: Selected Readings, 2007, Equinox
- Thee Kian Wie, Indonesia's Economy Since Independence, 2012, ISEAS

Jumat, 21 Juni 2024

Ocehan Seruni (1)

"Saat Ki Dalang memperkenalkan Punakawan kepada para hadirin, ia berkata, ‘Gareng dengan kearifannya menuturkan kata permata ini, ‘Mengapa siput naik ke punggung penyu? Karena ia menginginkan perjalanan yang lebih cepat!'
'Jiwa nakal Bagong terpancar melalui, 'Mengapa kera membawa tangga ke pohon mangga? Lantaran ia mendengar panorama yang lebih bagus dari atas!'
'Ada yang pernah bertanya tentang Petruk, 'Mengapa Petruk membawa tangga ke perpustakaan? Sebab ia mendengar, buku-bukunya punya standar yang tinggi!'
'Semar, sang mediator, pernah menyindir, 'Kenapa sungainya mengalir dua arah? Supaya para ikan bingung, terutama kalau nama-namanya harus dihafalin!'
'Semua ini, bayangan wayang kulit—kadang mendalam, kadang ringan, tapi selalu menawan,' pungkas Ki Dalang.”

“Ungkapan ‘setangkai kembang ros dengan apa pun sebutannya’ mengisyaratkan bahwa karakter atau kesejatian seseorang, tak ditentukan oleh nama atau penampilan luarnya. Ibarat bunga mawar yang tetap segar, apa pun namanya, sifat asli seseorang tetap terbersit,” berkata Seruni, dikenal juga dengan nama Krisan atau kerap dirujuk sebagai Krisantemum, tanaman berbunga yang sering dibudidayakan sebagai bunga hias taman atau bunga rangkaian, usai mengucapkan Basmalah dan menyapa dengan Salam. Aromanya menyenangkan dan terkadang ditambahkan ke dalam teh agar menambah rasa aromatiknya. Seruni termasuk dalam famili Asteraceae dalam beragam spesies. Bunga mekar yang indah ini, telah ada sejak zaman Cretaceous, menjadikannya kembang purwa! Puspa Seruni hadir dalam beragam rona yang menawan, antara lain putih, kuning, merah-jambu, ungu, bahkan perunggu. Setiap corak menambah pesona taman dan karangan bunga.

“Dalam Asian Culture,” lanjut Seruni, “khususnya di China dan Jepang, krisan melambangkan umur panjang, daya-tahan, dan keabadian. Kemampuannya mekar di akhir musim gugur walau setelah bunga lain memudar, melambangkan ketahanan dan siklus kehidupan. Bunga krisan dikagumi karena penampilannya yang elegan dan bermartabat. Bunga ini melambangkan kebajikan seperti kebangsawanan, kehormatan, dan integritas. Di Jepang, bunga ini perlambang Keluarga Kekaisaran. Bunga krisan diasosiasikan dengan musim gugur warna-warna cerah—semisal kuning, oranye, dan perunggu—mencerminkan perubahan dedaunan selama musim ini. Kemampuan krisan beregenerasi dan berkembang walau dalam kondisi buruk melambangkan pembaruan dan peremajaan. Dalam pengobatan tradisional Tiongkok, teh krisan diyakini memiliki manfaat kesehatan, termasuk menjadikan mata terasa sejuk, mengurangi peradangan, dan meningkatkan relaksasi. Warna emas bunga krisan membangkitkan kehangatan cahaya matahari. Bunga ini sering digunakan dalam perayaan dan festival.
Terma 'Asian Culture' sering dikacaukan dengan 'Asian Values', keduanya punya makna dan implikasi yang berbeda. Asian Culture mencakup beragam adat istiadat, tradisi, bahasa, seni, makanan, ritual, dan perilaku sosial dari berbagai masyarakat di Asia. Konsep luas inilah yang mencakup cara hidup yang kaya dan beragam di seluruh benua Asia. Budaya Asia punya keragaman geografis. Asia meliputi Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Barat, masing-masing punya unsur budaya yang unik. Ada juga keragaman etnis dan agama. Wilayah ini, rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama, antara lain Budha, Hindu, Islam, Konghucu, dan Kristen. Kebudayaan Asia telah berkembang selama ribuan tahun, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti migrasi, perdagangan, penaklukan, dan penjajahan. Ia terus berkembang dengan pengaruh modern dan interaksi global.

Konsep Asian Values berakar kuat pada tradisi sejarah dan filosofi Asia, terutama dipengaruhi oleh Konfusianisme, Budha, dan sistem budaya dan etika lainnya, yang menekankan komunitas, harmoni, dan penghormatan terhadap hierarki. Namun, pada akhir abad ke-20, konsepsi 'Asian Values' amat menonjol dikaitkan dengan Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura (1959–1990), dan Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia (1981–2003, 2018–2020). Kedua pemimpin tersebut mengartikulasikan dan mempromosikan gagasan Asian Values sebagai seperangkat prinsip khusus yang mendasari organisasi sosial dan politik masyarakat Asia, yang membedakannya dengan nilai-nilai Barat. Para pemimpin seperti Lee dan Mahathir mengkristalkan ide-ide ini menjadi filosofi politik yang koheren, yang digunakan agar mendukung gaya pemerintahan dan strategi pembangunan tertentu.
Lee Kuan Yew dikenal luas karena mengartikulasikan konsep Asian Values selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri. Ia berpendapat bahwa masyarakat Asia lebih mengutamakan komunitas dan keluarga ketimbang individualisme, menekankan keharmonisan sosial, menghormati otoritas, dan pembangunan ekonomi. Visi Lee tentang Asian Values kerap dijadikan sebagai pembenaran atas gaya pemerintahan yang lebih otoriter yang ia terapkan di Singapura, yang berfokus pada stabilitas dan kemajuan ekonomi. Ia sering membandingkan nilai-nilai ini dengan apa yang ia pandang sebagai sifat demokrasi Barat yang lebih individualistis dan konfrontatif.
Mahathir Mohamad juga merupakan suporter vokal Asian Values, agar mendukung visinya bagi pembangunan dan modernisasi Malaysia. Ia menekankan pentingnya tanggungjawab kolektif, menghormati otoritas, dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kebebasan individu. Advokasi Mahathir terhadap Asian Values merupakan bagian dari kritiknya yang lebih luas terhadap pengaruh Barat dan penekanannya pada pengembangan jalur unik Asia menuju modernisasi dan kesuksesan ekonomi. Ia sering menggunakan konsep ini agar menyokong kebijakan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan kohesi sosial, terkadang dengan mengorbankan praktik demokrasi liberal.

Asian Values sangat ingin melemahkan konvensi hak asasi manusia internasional. Mereka berpendapat bahwa hanya rezim yang 'didisiplinkan' (yaitu otoriter) dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pandangan ini membuat Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew memperingatkan para pemimpin bisnis Manila bahwa negara mereka lebih membutuhkan 'disiplin daripada demokrasi'.
Mark R. Thompson menyatakan bahwa pemimpin Indonesia, Suharto, merupakan pendukung utama perkembangan otoriter di tingkat regional. Pemerintahan Orde Baru berpendapat bahwa 'demokrasi Pancasila' mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal. Menekankan pada musyawarah ketimbang oposisi agar mencapai konsensus (mufakat), dan mengecualikan massa dari politik kecuali selama kampanye 'pemilu' singkat melalui 'prinsip massa mengambang', rezim ini mengklaim bahwa sistem politik seperti itu, diperlukan guna membangun stabilitas yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pada saat itu, rezim militer di Burma (Myanmar) mencoba meniru 'model kediktatoran pembangunan Indonesia' dengan pembenaran kebudayaan yang serupa.
Krisis ekonomi di Indonesia, yang dimulai pada akhir tahun 1997, merupakan katalisator penggulingan kediktatoran Suharto oleh gerakan kerakyatan yang dipimpin mahasiswa. Dengan perekonomian yang berada dalam krisis dan meluasnya 'kapitalisme kroni', tiada argumen kebudayaan yang dapat menyembunyikan fakta bahwa calon diktator pembangunan telah kehilangan legitimasinya. Jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998 melenyapkan ideolog utama 'Asian Values' yang bersifat developmentalis. Dengan Orde Baru yang kini menjadi rezim lama dan Burma juga terkena dampak krisis ekonomi regional, para jenderal Burma terpaksa kembali ke pola yang lazim, yaitu mengandalkan kekerasan tanpa dalil ideologis.

Lebih lanjut Thompson mengatakan bahwa karakter 'Asian Values' pasca-perkembangan di Singapura dan Malaysia punya kemiripan dengan Imperialisme Jerman pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kesamaan ini bukan suatu kebetulan: Kekaisaran Jerman sangat mempengaruhi Jepang Meiji dan melaluinya seluruh Asia Timur dan Tenggara. Seperti Kekaisaran Jerman, Singapura dan (pada tingkat lebih rendah) Malaysia mempunyai negara birokrasi yang 'kuat', yang mendorong perkembangan industri 'terlambat'. Kekaisaran Jerman mempunyai parlemen, namun, seperti di Singapura dan Malaysia, parlemen tersebut hanya untuk pertunjukan. Bahkan mungkin bisa ditarik persamaan antara kontrol sosial yang diterapkan melalui kebijakan perumahan dan lainnya di Singapura dan negara kesejahteraan.
Namun kesamaan utamanya adalah bahwa Singapura dan Malaysia, seperti halnya Imperialisme Jerman, telah berusaha menangkis tekanan demokratisasi dengan menggunakan perbedaan budaya. Dengan hadirnya industrialisasi maju, argumen-argumen pembangunan yang mendesak penolakan sementara terhadap tujuan-tujuan demokrasi demi kepentingan modernisasi yang lebih cepat, tak dapat lagi membenarkan pemerintahan otoriter. Sebaliknya, otoritarianisme dipandang harus dipertahankan kendati pun modernitas ekonomi telah muncul.

Ide Asian Values telah menjadi bahan perdebatan dan kritik yang luas. Kritikus berpendapat bahwa konsep tersebut dipakai untuk membenarkan pemerintahan otoriter dan menekan perbedaan pendapat dengan kedok menjaga ketertiban dan stabilitas sosial. Ada juga perdebatan tentang universalitas nilai-nilai ini dan apakah nilai-nilai tersebut benar-benar berbeda dari nilai-nilai yang ditemukan di budaya lain.
Asian Values dapat pula dianggap sebagai bentuk politik identitas, khususnya dalam konteks bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan oleh berbagai pemimpin dan pemerintahan untuk membedakan masyarakat dan model pemerintahan mereka dari masyarakat dan model pemerintahan Barat. Politik identitas mengacu pada bagaimana individu atau kelompok mengidentifikasi ide, nilai, atau ideologi politik tertentu, yang menentukan pemahaman mereka tentang masyarakat, pemerintahan, dan posisi mereka dalam lanskap politik. Asian Values menekankan keunikan budaya dan peradaban, menggambarkan Asia sebagai negara yang bertradisi keharmonisan komunal, menghormati otoritas, dan pengutamaan hak kolektif dibandingkan hak-hak individu. Kekhasan ini digunakan untuk menegaskan identitas politik yang tak hanya berbeda, namun juga resisten terhadap ideologi politik Barat, seperti demokrasi liberal dan individualisme.

Asian Value selama ini dikaitkan dengan 'Asian Way' dalam pemerintahan, yang mencakup kepemimpinan yang kuat dan tersentralisasi, fokus pada pembangunan ekonomi, dan mengutamakan ketertiban dan stabilitas sosial di atas kebebasan individu. Model pemerintahan seperti ini, yang acapkali terlihat di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan China, ditampilkan sebagai alternatif yang berhasil dibanding model demokrasi Barat, sehingga memperkuat identitas politik yang unik.
Kebijakan yang berlandaskan Asian Values cenderung mengedepankan kesejahteraan masyarakat, pragmatisme ekonomi, dan kohesi sosial. Misalnya, kerangka kebijakan Singapura mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai ini melalui langkah-langkah yang bertujuan menjaga keharmonisan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Landasan ideologis Asian Values memberikan dasar untuk menolak tekanan eksternal guna mengadopsi reformasi demokrasi gaya Barat, sehingga memperkuat rasa otonomi dan identitas politik.
Asian Values telah digunakan menolak apa yang dipandang sebagai pemaksaan norma-norma budaya dan politik Barat. Perlawanan ini, merupakan bagian penting dari politik identitas yang berupaya menjaga kedaulatan dan integritas budaya dalam menghadapi globalisasi. Dengan menegaskan Asian Values, para pemimpin politik di Asia mampu menyusun narasi yang mendukung legitimasi model pemerintahan mereka, sekaligus menantang kritik Barat terkait hak asasi manusia dan kebebasan demokratis.

Asian Values sebagai doktrin developmentalisme dapat dipahami sebagai klaim bahwa, hingga kemakmuran tercapai, demokrasi tetap merupakan sebuah kemewahan yang tak terjangkau. 'Etika Protestan' yang membentuk 'Asian Values' ini, kata Thompson, mengaitkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan ciri-ciri budaya tertentu. Ciri-ciri tersebut antara lain kerja-keras, berhemat, disiplin, dan kerjasama tim. Demokrasi Barat menghambat pembangunan yang cepat, demikian klaim penguasa otoriter di Asia Pasifik, dan oleh karenanya harus ditunda hingga pembangunan substansial tercapai.
Bentuk-bentuk korupsi kecil mungkin ditoleransi secara budaya atau bahkan diterima sebagai cara memfasilitasi proses birokrasi atau menjaga hubungan sosial. Contohnya, di China, konsep 'guanxi' (jaringan dan hubungan pribadi) kerap melibatkan pertukaran bantuan, yang dapat mengaburkan batas antara praktik sosial yang dapat diterima dan perilaku korup. Entah untuk membenarkan argumen seseorang atau pembenaran lainnya, belakangan muncullah pendapat, dengan dalih Asian Values, bahwa 'korupsi diperbolehkan selama semua orang bahagia'. Pendapat ini sangat problematis dan mencerminkan pola pikir berbahaya, yang dapat menimbulkan implikasi amat negatif tergadap masyarakat. Ungkapan ini menunjukkan bahwa standar etika dan integritas boleh dikorbankan demi kebahagiaan dangkal atau kepuasan jangka pendek. Ia merusak prinsip-prinsip dasar kejujuran, kepatutan, dan keadilan. Membiarkan korupsi, meski berkedok agar membuat masyarakat bahagia, mengikis kepercayaan terhadap institusi dan pemimpin. Kepercayaan adalah komponen penting dalam masyarakat yang sehat, dan erosi kepercayaan dapat menyebabkan meluasnya sinisme dan pelepasan tanggungjawab sebagai warga negara. Jika korupsi diterima selama hal tersebut dapat memuaskan masyarakat, maka korupsi akan menjadi hal yang normal dan tertanam dalam tatanan budaya masyarakat. Normalisasi ini dapat mempersulit pemberantasan korupsi dan menegakkan standar etika dalam jangka panjang. Sekalipun korupsi nampaknya membawa manfaat atau kebahagiaan jangka pendek, kerugian jangka panjang yang diakibatkannya terhadap struktur masyarakat, keadilan, dan kesetaraan, lebih besar dibanding keuntungan sementara.

Korupsi sering mengakibatkan alokasi sumber daya yang tak efisien, dimana keputusan diambil berdasarkan keuntungan pribadi dan bukannya kepentingan umum atau efisiensi ekonomi. Ia dapat menyebabkan pemborosan dan penurunan produktivitas. Korupsi biasanya meningkatkan harga barang dan jasa karena individu atau perusahaan perlu membayar suap atau terlibat dalam praktik korupsi guna menyelesaikan sesuatu, sehingga menyebabkan harga lebih tinggi dan daya saing berkurang.
Korupsi memunculkan lingkungan bisnis yang tak dapat diprediksi, yang dapat menghalangi investasi dalam dan luar negeri. Investor lebih memilih lingkungan dimana peraturannya jelas dan ditegakkan, ketimbang dimana kesuksesan bergantung pada praktik korupsi. Akibatnya, korupsi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesempatan kerja, dan menurunkan standar hidup masyarakat luas.
Korupsi acapkali menguntungkan kelompok yang berkuasa dan kaya, dengan mengorbankan kelompok miskin dan terpinggirkan. Ia memperburuk kesenjangan dengan mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk layanan publik seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Sumber daya yang hilang oleh korupsi merupakan sumber daya yang tak tersedia bagi layanan sosial yang penting, sehingga merugikan kesejahteraan dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Membiarkan korupsi mengendurkan supremasi hukum, menyebabkan tatakelola yang lemah dan penegakan hukum menjadi sewenang-wenang. Ia dapat mengakibatkan kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam operasional pemerintah. Korupsi dapat memicu ketidakstabilan politik dengan mencimbulkan ketidakpuasan dan kebencian di kalangan masyarakat. Ia dapat menimbulkan protes, kerusuhan, dan bahkan revolusi, jika masyarakat merasa kebutuhan mereka tak dipenuhi secara wajar. Ketika korupsi ditoleransi, ia akan menumbuhkan budaya sinisme dan kekecewaan terhadap para pemimpin dan institusi politik. Ia dapat menyebabkan sikap apatis dan acuh tak acuh dalam proses politik, sehingga melemahkan demokrasi. Masyarakat akan semakin kecil kemungkinannya berpartisipasi dalam pemilu atau kegiatan sipil jika mereka yakin bahwa korupsi akan membuat suara mereka tak didengar atau suara mereka tak berarti.
Pendapat seperti itu, sangat cacat dan berbahaya. Pendekatan ini mengabaikan kerusakan jangka panjang yang disebabkan oleh korupsi terhadap tatanan moral masyarakat, kesehatan ekonomi, keadilan sosial, dan stabilitas politik. Masyarakat yang berkelanjutan dan adil memerlukan komitmen terhadap integritas, transparansi, dan akuntabilitas, dimana korupsi dilawan secara aktif dan tak dibolehkan dalam keadaan apa pun.

Kendati Asian Values tak secara eksplisit membenarkan politik dinasti, interpretasi tertentu terhadap nilai-nilai ini, terutama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap otoritas, kesetiaan keluarga, dan pentingnya stabilitas sosial, dapat dipakai untuk mendukung atau merasionalisasi kelanjutan kekuasaan politik dalam keluarga. Namun pembenaran ini, masih kontroversial dan dapat dikritik, terutama dalam konteks prinsip-prinsip demokrasi modern dan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terkait dengan pemerintahan dinasti. Misalnya, keluarga Park di Korea Selatan, dengan Park Chung-hee dan putrinya Park Geun-hye keduanya menjabat sebagai presiden, merepresantisikan dinasti politik. Keluarga Nehru-Gandhi telah menjadi dinasti politik yang menonjol, dengan banyak generasi memegang posisi politik terkemuka.
Kritikus berpendapat bahwa pembenaran politik dinasti dengan menggunakan Asian Values amat mungkin berfungsi sebagai cara menghindari norma-norma demokrasi dan mempertahankan kekuasaan dalam kelompok kecil elit. Politik dinasti dapat menimbulkan pemusatan kekuasaan dan potensi korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang sehingga dapat melemahkan prinsip meritokrasi dan tatakelola pemerintahan yang baik. Gagasan bahwa kekuasaan harus tetap berada di dalam sebuah keluarga dapat bertentangan dengan nilai prestasi dan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan kualifikasi, bukan berdasarkan garis keturunan.

Simbolisme bunga dapat bervariasi berdasarkan konteks budaya dan interpretasi personal. Dalam kebudayaan Bali, bunga punya makna yang dalam. Bunga kamboja (Plumeria) yang berkelopak lima, melambangkan keterhubungan seluruh makhluk hidup dengan kosmos. Ia mewakili lima elemen alam semesta: bumi, air, api, udara, dan eter. Teratai (Padma) muncul dengan anggun dari kedalaman berlumpur, melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Sedap Malam dipuji karena keharumannya di malam hari, Ia dipercaya terhubung dengan ketenangan dan keharmonisan spiritual. Marigold merupakan bunga cerah yang melambangkan matahari, kehidupan, dan energi positif. Warna kuning cerah dan oranye digunakan dalam persembahan untuk melindungi dari energi negatif dan roh jahat.
Bali lebih dari sekedar tempat. Suasananya, keeksotisannya, dengan indah menangkap esensi Bali yang mempesona, dimana setiap momen terasa bagaikan mimpi. Inilah pola pikir tropis. Bali adalah tempat dimana dirimu dapat melangkah dan menemukan sesuatu yang indah. Tapi Bali bukanlah sebuah negara, ia bagian dari sebuah Negara. Pepohonan boleh berdiri sendiri-sendiri, namun akar-akarnya yang saling berkaitan, menopang keseluruhan ekosistem. Persatuan terletak pada pengakuan atas kesamaan yang kita miliki, walau tak langsung terlihat. Persatuan bukan tentang menghapus perbedaan; ia tentang menselebrasikannya, sembari menemukan titik temu.
Dan daku akan membersamaimu ngobrol ngalor ngidul pada episode berikutnya, biidznillah."

Sebelum melangkah ke episode selanjutnya, Seruni membacakan sajak,

Di negeri tempat banyak senyum diobralkan,
Dimana hikayat kebajikan sering dituturkan,
Otak licik mulai merayap,
"Biarlah korupsi berlagak, tapi bungkamlah, jangan meratap."
Dengan kantong penuh dan hati setengah kersang,
Mereka berseru, “Bersenanglah, milik kita sudah berbilang!”
Kutipan & Rujukan:
- Mark R. Thompson, Whatever Happened to "Asian Values"?, Journal of Democracy, Volume 12, Number 4, October 2001, The Johns Hopkins University Press
- Michael D. Barr, Lee Kuan Yew and the "Asian Values" Debate, Asian Studies Review, Volume 24, Number 3, September 2000, Taylor and Francis Group
- Michael Freeman, Human rights, Democracy and ‘Asian values’, The Pacific Review, Vol. 9 No. 3, 1996, Routledge
- Greg Sheridan, Asian Values, Western Dreams: Understanding the New Asia, 1999, Allen & Unwin