Selasa, 14 Januari 2025

Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar

"Kenapa 100 hari, kenapa gak 1001 malam aja, Ramanda?" tanya Bagong, mengasumsikan dirinya filsuf besar berikutnya saat ia menemui 'Yoda dalam Pewayangan', Semar.
"Evaluasi pemerintahan baru dalam 100 hari pertama merupakan tradisi yang bermula dari masa awal kepresidenan Franklin D. Roosevelt (FDR). Periode ini sering dipandang sebagai tolok ukur penting menilai efektivitas dan arah pemerintahan baru," jawab Semar. "Konsep 100 hari pertama dipopulerkan selama masa kepresidenan FDR, yang dimulai pada 4 Maret 1933. Menghadapi the Great Depression (Depresi Besar), Roosevelt menerapkan agenda agresif pemulihan ekonomi. Selama tiga bulan pertama masa jabatannya, ia berhasil meloloskan sejumlah besar langkah legislatif—15 rancangan undang-undang utama dan total 77 undang-undang—yang dirancang mengatasi tantangan ekonomi berat yang dihadapi negara. Tindakan cepat dan berani ini menjadi preseden bagi presiden-presiden berikutnya, yang menetapkan standar yang akan digunakan mengukur kinerja awal mereka.
Dalam pidato radio pada tanggal 25 Juli 1933, Roosevelt menyebut fase awal ini sebagai '100 hari pertama,' yang mencerminkan peristiwa penting, yang terjadi selama masa itu. Terma ini kemudian menjadi simbol urgensi dan pentingnya tindakan tatakelola awal.
'The Defining Moment: FDR's Hundred Days and the Triumph of Hope' oleh Jonathan Alter (2006, Simon & Schuster) menelaah kepemimpinan dinamis Presiden Franklin D. Roosevelt selama fase awal masa jabatannya, yang berperan penting dalam membentuk New Deal. Pendekatan Roosevelt dicirikan oleh tindakan yang cepat dan tegas, kemauan bereksperimen dengan berbagai solusi, dan kemampuan menginspirasi harapan di antara penduduk Amerika selama Depresi Besar. Gaya kepemimpinan yang proaktif dan adaptif ini tak semata memfasilitasi penerapan kebijakan New Deal yang cepat, tetapi juga menetapkan tolok ukur dalam mengevaluasi efektivitas presiden pada hari-hari awal pemerintahannya. Terma 'Hundred Days' mengacu pada periode dari 9 Maret hingga 16 Juni 1933, saat Roosevelt dan Kongres bekerja keras meloloskan serangkaian undang-undang penting yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi. Istilah ini, sejak saat itu menjadi ukuran standar menilai pencapaian awal presiden masa depan. Dalam karyanya, Alters menulis, 'The Hundred Days sendiri telah dimitologikan sedemikian rupa sehingga yang sebenarnya hampir tak dapat dikenali. Frasa tersebut dipinjam dari periode waktu yang sangat singkat antara pelarian Napoleon yang penuh kemenangan dari Elba dan kekalahan terakhirnya di Waterloo pada tahun 1815. Frasa tersebut pertama kali digunakan oleh FDR pada tanggal 24 Juli 1933, merujuk pada tepat 100 hari (tampaknya sebuah kebetulan) yang berlalu antara pembukaan sesi khusus Kongres ke-73 pada tanggal 9 Maret dan penutupannya pada tanggal 17 Juni, sebuah sesi yang menghasilkan sejumlah besar undang-undang baru yang memecahkan rekor.
Tiada yang disengaja tentang sesi sepanjang ini. Selama minggu pertama masa jabatan kepresidenannya, FDR memperkirakan Kongres akan bertemu selama dua minggu guna meloloskan agenda daruratnya, lalu menangguhkan sidang. Volume undang-undang juga tak diantisipasi. Dengan margin 196 suara di DPR dan margin 23 suara di Senat, Demokrat di Kongres sering digambarkan hanya menyetujui agenda FDR. Namun, sebagian besar Demokrat selatan setidaknya sama konservatifnya dengan Republik, sementara beberapa Republik progresif utara dan barat bergerak ke kiri. Maka, sementara RUU darurat awal berhasil lolos, sebagian besar lainnya adalah produk dari memberi-dan-menerima yang biasa di Capitol Hill. Urgensi waktu membuat tawar-menawar menjadi sangat cepat.'

'FDR' karya Jean Edward Smith (2007, Random House) memberikan penjelasan terperinci tentang 100 hari pertama masa jabatan Presiden Franklin D. Roosevelt, yang menyoroti pencapaian legislatif penting selama periode ini. Smith menekankan bahwa pendekatan proaktif Roosevelt menghasilkan banyak rancangan undang-undang yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi dan reformasi sosial, yang menetapkan standar tinggi pemerintahan mendatang.
Jean Edward Smith memaparkan 100 hari pertama masa jabatan Presiden Franklin D. Roosevelt, dengan menyoroti beberapa pencapaian utama. Roosevelt mendeklarasikan 'bank holiday (hari libur bank)' nasional untuk mencegah penarikan dana lebih lanjut dan memulihkan kepercayaan pada sistem keuangan. Kongres meloloskan Undang-Undang Perbankan Darurat, yang hanya membolehkan bank-bank yang stabil secara finansial agar dibuka kembali, yang membantu menstabilkan sektor perbankan.
Civilian Conservation Corps (CCC) didirikan untuk menyediakan lapangan kerja bagi para pemuda dalam proyek-proyek konservasi. CCC menangani masalah pengangguran dan lingkungan.
Agricultural Adjustment Administration (AAA) dibentuk guna mendukung para petani dengan mengurangi produksi tanaman pangan agar menaikkan harga. AAA bertujuan merevitalisasi sektor pertanian.
National Industrial Recovery Act (NIRA) berupaya merangsang pemulihan industri dengan menetapkan kode-kode persaingan yang adil dan standar ketenagakerjaan, yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan praktik ketenagakerjaan yang adil.
Tennessee Valley Authority (TVA) didirikan untuk mengembangkan wilayah Tennessee Valley melalui pengendalian banjir, elektrifikasi, dan pembangunan ekonomi, yang berfungsi sebagai model perencanaan regional.
Inisiatif-inisiatif ini, antara lain, menandai perluasan penting bagi keterlibatan federal dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial, yang menjadi preseden bagi intervensi pemerintah di masa mendatang selama krisis.

Antara 9 Maret dan 16 Juni 1933 (100 hari pertama masa jabatannya), FDR dan Kongres meloloskan 15 undang-undang utama yang dahsyat, yang membahas berbagai isu semisal pengangguran, perbankan, dan pertanian. Keberhasilan periode legislatif yang intens ini menjadi tolok ukur, dan para pemimpin berikutnya mulai dinilai berdasarkan pencapaian mereka dalam 100 hari pertama.
Tapi kenapa sih 100 hari? Pertama, ia merupakan Simbolisme 'Masa Tenggang'. 100 hari dipandang sebagai waktu ketika seorang pemimpin atau pemerintah memiliki modal politik dan niat baik publik yang paling besar, yang memungkinkan mereka memberlakukan perubahan yang berani. Kedua, kerangka waktu yang dapat dikelola. 100 hari adalah periode yang singkat tetapi cukup untuk menetapkan prioritas, menentukan arah, dan menunjukkan niat. Ketiga, tolok ukur historis. Terma ini menjadi dikenal dengan FDR, dan sejak itu, telah digunakan sebagai penanda yang mudah digunakan untuk mengevaluasi kinerja awal.

Dalam 'The New Deal: A Modern History' karya Michael Hiltzik (2011, Free Press) menyoroti mengapa 100 hari pertama Franklin D. Roosevelt menjadi tolok ukur historis karena beberapa alasan. Hiltzik menekankan bahwa FDR, selama 100 hari pertamanya menjabat (9 Maret hingga 16 Juni 1933), mempelopori sejumlah besar tindakan legislatif sebagai respons terhadap 'the Great Depression'. Lebih dari 15 undang-undang utama disahkan, yang membahas reformasi perbankan, bantuan pengangguran, dan pemulihan industri. Tingkat produktivitas legislatif ini belum pernah terjadi sebelumnya, membuat standar baru tentang seberapa cepat pemerintah dapat bertindak di saat krisis.
Hiltzik merinci bagaimana FDR memangku jabatan di tengah krisis ekonomi terburuk dalam sejarah AS, dengan pengangguran mencapai rekor tertinggi dan sistem perbankan di ambang kehancuran. Harapan publik terhadap tindakan segera dan tegas sangat besar, dan kemampuan FDR melaksanakan reformasi cepat memberikan kesan abadi tentang apa yang dapat dicapai pemerintahan yang kompeten dalam waktu singkat.
Hiltzik menjelaskan bagaimana inisiatif FDR selama 100 hari pertama secara fundamental mengubah peran pemerintah federal. Program semisal Civilian Conservation Corps (CCC) dan Agricultural Adjustment Act (AAA) mengisyaratkan pergeseran ke arah intervensi federal dalam isu-isu ekonomi dan sosial. Upaya-upaya ini menetapkan corak New Deal yang lebih luas dan menunjukkan potensi pemerintahan transformatif dalam jangka waktu yang terbatas. Menurut Hiltzik, 100 hari pertama FDR bukan hanya tentang kebijakan tetapi juga tentang memulihkan harapan dan kepercayaan pada publik Amerika. Penggunaannya yang inovatif berupa 'obrolan santai' berkomunikasi langsung dengan warga meyakinkan mereka bahwa pemerintah mereka secara aktif bekerja mengatasi masalah mereka. Hiltzik menggarisbawahi bahwa keberhasilan FDR dalam 100 hari pertamanya menjadi tolok ukur bagi pemerintahan mendatang, karena hal itu menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat memobilisasi sumber daya, menjalin aliansi, dan mengambil mandat politik mengatasi krisis. Meskipun istilah '100 hari pertama' pada awalnya tak dicetuskan oleh FDR sendiri, signifikansi historis dari periode ini menjadi preseden dalam mengevaluasi efektivitas kepemimpinan selama awal pemerintahan.
Hiltzik menggambarkan 100 hari pertama FDR sebagai momen yang menentukan dalam sejarah Amerika, tak hanya karena dampak langsungnya dalam meringankan Depresi Besar tetapi juga karena membuat tolok ukur simbolis tentang keberhasilan pemerintah. Kombinasi urgensi, inovasi, dan tindakan tegas selama hari-hari awal ini meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada cara penilaian pemimpin masa depan.

Apa saja kriteria evaluasi dalam 100 Hari Awal? Pertama, implementasi kebijakan: Berapa banyak dan jenis kebijakan atau reformasi apa yang telah dimulai? Kedua, persepsi publik: Apakah pemerintah memenuhi janji kampanye atau menetapkan corak pemerintahannya? Ketiga, manajemen krisis: Seberapa efektif pemerintah mengatasi tantangan langsung?
Dalam 'Presidential Leadership in Political Time: Reprise and Reappraisal' (2020, University Press of Kansas), Stephen Skowronek mengeksplorasi bagaimana presiden AS, termasuk Franklin D. Roosevelt, memanfaatkan hari-hari awal jabatan mereka membangun otoritas politik, yang secara signifikan mempengaruhi efektivitas kepemimpinan jangka panjang mereka. Tesis 'political time' Skowronek menyatakan bahwa presiden beroperasi dalam kerangka kerja yang dibentuk oleh pendahulu mereka dan konteks politik yang berlaku. Di masa-masa awal mereka, presiden harus menavigasi warisan sejarah ini sambil menegaskan otoritas mereka dalam menerapkan perubahan. Ini melibatkan, pertama, perhitungan dengan pendahulu. Presiden baru harus mengatasi komitmen dan kegagalan politik pemerintahan sebelumnya. Misalnya, FDR menghadapi situasi ekonomi yang mengerikan yang ditinggalkan oleh Herbert Hoover, yang memerlukan tindakan segera dan berani. Kedua, menempatkan kekuasaan dalam peristiwa terkini. Presiden kerap memanfaatkan dinamika politik kontemporer guna memperkuat otoritasnya. Prakarsa New Deal FDR merupakan respons langsung terhadap Depresi Besar, yang memungkinkannya membingkai kepemimpinannya sebagai solusi yang diperlukan untuk krisis nasional. Ketiga, mengklaim otoritas. Tindakan awal menentukan bagaimana presiden dipersepsikan dan dapat meningkatkan modal politik mereka. Prakarsa awal yang berhasil dapat menciptakan momentum yang menguntungkan upaya kebijakan di masa mendatang.

Efektivitas kepemimpinan jangka panjang seorang presiden sering bergantung pada seberapa baik mereka mengelola tantangan-tantangan awal ini. Skowronek mengidentifikasi beberapa hasil berdasarkan kemampuan seorang presiden menavigasi hari-hari awal mereka. Presiden seperti FDR dipandang sebagai pemimpin transformasional yang berhasil merekonstruksi lanskap politik melalui tindakan-tindakan awal yang tegas. Warisan ini memungkinkan mereka memberikan pengaruh yang langgeng atas pemerintahan dan arah kebijakan berikutnya.
Skowronek menguraikan bagaimana konteks politik yang berbeda—semisal periode disjungsi atau rekonstruksi—mempengaruhi otoritas presiden. Kemampuan FDR mendefinisikan ulang peran pemerintah selama masa krisis merupakan contoh kepemimpinan yang sukses dalam periode rekonstruksi.
Skowronek juga membahas bagaimana presiden modern harus bersaing dengan siklus berita 24 jam dan pengawasan publik, yang dapat memperkuat atau melemahkan upaya-upaya awal mereka. Kemampuan berkomunikasi secara efektif dan mempertahankan dukungan publik sangat penting mempertahankan otoritas dari waktu ke waktu. Singkatnya, analisis Skowronek menggarisbawahi bahwa hari-hari pertama masa jabatan presiden sangat penting dalam membangun otoritas dan menyiapkan panggung bagi efektivitas jangka panjang. Dengan meneliti persamaan historis dan tantangan kontemporer, ia memberikan wawasan tentang sifat kepemimpinan presiden yang terus berkembang dalam politik Amerika.

Gaya kepemimpinan awal Franklin D. Roosevelt berbeda dari banyak presiden AS lainnya, ditandai dengan kombinasi karisma, keberanian, dan kemauan bereksperimen dengan kebijakan sebagai respons terhadap 'the Great Depression'. Pendekatan ini menetapkan standar baru bagi kepemimpinan presiden dan telah dianalisis dalam berbagai karya ilmiah, termasuk karya Stephen Skowronek.
FDR dikenal karena kemampuan hebatnya terhubung dengan masyarakat Amerika. Penggunaan radio, khususnya melalui 'fireside chats (obrolan santai),' memungkinkannya berkomunikasi secara langsung dan personal dengan warga, sehingga menumbuhkan rasa percaya dan kepastian. Hal ini berbeda dengan presiden sebelumnya yang mungkin lebih mengandalkan pidato formal atau komunikasi tertulis. Gayanya yang karismatik tak hanya membuatnya mudah bergaul, tapi juga membantunya menggalang dukungan publik terhadap kebijakannya selama masa krisis.
Kepemimpinan FDR ditandai dengan kemauan mengambil tindakan berani dan bereksperimen dengan kebijakan baru. Ia pernah menyatakan, 'The country needs—and, unless I mistake its temper—the country demands bold, persistent experimentation (Negara ini membutuhkan—dan, kecuali aku keliru memaknai wataknya—negara ini menuntut eksperimen yang berani dan terus-menerus).' Pendekatan ini menghasilkan implementasi cepat program-program New Deal yang ditujukan bagi pemulihan ekonomi. Tak seperti beberapa pendahulu yang mungkin lebih berhati-hati atau konservatif dalam pendekatan kebijakan mereka, FDR menganut metodologi coba-coba yang memungkinkan adaptasi cepat berdasarkan hasil.
FDR memusatkan pengambilan keputusan dalam pemerintahannya, khususnya dalam hubungan luar negeri dan kebijakan dalam negeri. Ia sering meminta nasihat dari sekelompok ahli yang beragam, tetapi pada akhirnya tetap memegang kendali atas keputusan akhir. Hal ini berbeda dengan para pemimpin seperti Woodrow Wilson, yang lebih mengandalkan saluran dan penasihat formal tanpa keterlibatan publik secara langsung. Metode FDR memungkinkannya mempertahankan kendali yang kuat atas agendanya, tetapi tetap tanggap terhadap sentimen publik.
FDR menekankan kolaborasi di antara para penasihat dan anggota kabinetnya, dengan menyatukan individu-individu dari berbagai latar belakang politik guna mengatasi tantangan bangsa. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mungkin lebih menyukai pendekatan hierarkis atau partisan. Strategi inklusifnya membantu membangun koalisi luas yang penting untuk meloloskan undang-undang penting selama 100 hari pertamanya.
FDR menekankan kolaborasi di antara para penasihat dan anggota kabinetnya, dengan menyatukan individu-individu dari berbagai latarbelakang politik untuk mengatasi tantangan bangsa. Hal ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, yang cenderung lebih menyukai pendekatan hierarkis atau partisan. Strategi inklusifnya membantu membangun koalisi luas untuk meloloskan undang-undang penting selama 100 hari pertamanya.
Gaya kepemimpinan awal FDR berbeda dari presiden lainnya melalui komunikasinya yang karismatik, eksperimen yang berani, pengambilan keputusan yang terpusat, dan pendekatan kolaboratif. Ciri-ciri ini tak hanya menentukan kepresidenannya, pula menetapkan norma-norma baru tentang bagaimana para pemimpin masa depan akan terlibat dengan publik dan agenda politik mereka.

Kritikus praktik evaluasi kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama berpendapat bahwa jangka waktu ini seringkali sewenang-wenang dan tak memberikan gambaran menyeluruh tentang efektivitas presiden. Akan kita bahasa dalam sesi berikutnya, biidznillah."
*) Yoda adalah satria kelelawar bete di Star Wars

[Bagian 2]

Senin, 13 Januari 2025

Mesin Waktu (15)

"Gagasan tentang mesin waktu memungkinkan kita meninjau kembali masa lalu dan menelaah lagi keputusan, kebijakan, dan tindakan yang menyebabkan keadaan saat ini," kata sang penjelajah waktu. "Jika kita dapat 'melakukan perjalanan kembali ke masa lalu,' kita dapat mengevaluasi praktik pengelolaan lahan, penggundulan hutan, dan perluasan kota ke daerah rawan kebakaran. Pengabaian strategi mitigasi perubahan iklim di masa lalu dapat ditinjau kembali, menyoroti dimana tindakan proaktif dapat mencegah beberapa dampak. Masyarakat adat secara historis menggunakan pembakaran terkendali untuk mengelola vegetasi. Mesin waktu metaforis dapat membantu kita mengintegrasikan kembali pelajaran dari masa lalu ini ke dalam praktik modern.
Mesin waktu kerap menempatkan karakter dalam posisi menghadapi konsekuensi langsung dari tindakan masa lalu. Krisis kebakaran hutan saat ini mencerminkan perluasan kota yang tak terkendali selama beberapa dekade, yang menekankan biaya mengabaikan batas-batas ekologis. Kebakaran hutan saat ini diperparah oleh pemanasan global—konsekuensi berkelanjutan dari emisi karbon era industri. Gagasan perjalanan waktu sering kali berfungsi sebagai peringatan, mendesak kita agar mengubah lintasan kita guna mencegah hasil yang membawa bencana. Jika pola saat ini terus berlanjut, kebakaran hutan di masa mendatang mungkin akan menjadi lebih dahsyat. Mesin waktu menantang kita membuat pilihan yang berkelanjutan sekarang.
Kisah perjalanan waktu sering mengungkap bagaimana 'history repeats itself unless lessons are learned'. Kebakaran hutan telah menjadi bagian dari ekosistem California selama berabad-abad, tetapi campur tangan manusia (atau kurangnya campur tangan?) telah memperburuk intensitas dan frekuensinya. Belajar dari bencana masa lalu—semisal Kebakaran Camp 2018—dapat membantu mencegah bencana di masa mendatang. Kebakaran hutan, yang dikenal sebagai Sunset Fire, baru-baru ini terjadi di Hollywood Hills, yang mendorong evakuasi dan mengancam landmark di dekatnya.
Daerah yang paling terdampak di Los Angeles dari kebakaran hutan baru-baru ini meliputi: Pacific Palisades, Kebakaran Palisades telah membakar lebih dari 23.000 hektar dan menghancurkan lebih dari 1.000 bangunan, yang menyebabkan evakuasi yang signifikan; Kebakaran Eaton, kebakaran ini telah berdampak pada Los Angeles utara, menghabiskan lebih dari 14.000 hektar dan juga mendorong evakuasi. Hollywood Hills, Sunset Fire telah mengancam daerah ikonik ini, merusak rumah-rumah di sepanjang Sunset Boulevard; Pasadena, penduduk telah menghadapi evakuasi dan kerusakan properti karena kebakaran menyebar dari daerah sekitarnya.

Tiada bukti kredibel yang mendukung klaim bahwa kebakaran hutan di Los Angeles ini digunakan sebagai dalih untuk membangun 'Smart City'. Kebakaran hutan tersebut terutama disebabkan oleh kombinasi kondisi kekeringan ekstrem, suhu tinggi, dan angin kencang Santa Ana, yang telah membuat lingkungan yang sangat mudah terbakar. Investigasi terhadap penyebab spesifik kebakaran masih berlangsung, dengan para pejabat mengesampingkan sumber umum penyulutnya semisal petir dan sebaliknya berfokus pada aktivitas manusia dan saluran utilitas sebagai pemicu potensial. Kebakaran hutan telah mengakibatkan kerusakan yang berarti, dengan puluhan ribu hektar lahan terbakar dan ribuan rumah hilang. Situasi tersebut telah menarik perhatian pada implikasi yang lebih luas dari perubahan iklim terhadap perilaku kebakaran di California.
Setidaknya 24 orang telah kehilangan nyawa akibat kebakaran tersebut. Sekitar 150.000 penduduk telah dievakuasi dari rumah mereka. Lebih dari 12.000 bangunan telah hancur, termasuk rumah, bisnis, dan tempat bersejarah budaya. Sekitar 64.000 orang tak punya listrik karena kerusakan pada jaringan listrik. Kerugian ekonomi diperkirakan antara $135 miliar dan $150 miliar, yang berpotensi menjadikan kebakaran hutan ini sebagai bencana alam paling mahal dalam sejarah AS. Kebakaran tersebut telah secara signifikan memperburuk kualitas udara, menimbulkan risiko kesehatan bagi penduduk, terutama mereka yang memiliki masalah pernapasan. Landmarks atau tempat bersejarah seperti Will Rogers Ranch House dan Pasadena Jewish Temple and Center luluh lantak. Petugas pemadam kebakaran berjuang melawan angin kencang, yang menghambat upaya penanggulangan dan menimbulkan risiko penyebaran lebih lanjut. Pihak berwenang, termasuk Biro Alkohol, Tembakau, dan Senjata Api, sedang menyelidiki kemungkinan penyebabnya, dengan kecurigaan mulai dari pembakaran hingga peralatan yang rusak. Situasinya tetap kritis, dengan layanan darurat bekerja tanpa lelah menangani bencana dan mendukung masyarakat yang terkena dampaknya.

Ada banyak teori konspirasi seputar kebakaran hutan di Los Angeles dan wilayah lain di California. Meskipun teori-teori ini tak punya bukti kuat dan sering dibantah, teori-teori ini cenderung muncul selama atau seusai peristiwa kebakaran hutan besar.
Beberapa penganut teori konspirasi mengklaim bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh senjata berteknologi tinggi, seperti laser atau sinar energi terarah, yang secara sengaja menargetkan area tertentu. Teori ini sering mendapat perhatian ketika foto atau video pola kebakaran yang tak biasa dibagikan secara daring, meskipun pola tersebut biasanya dapat dijelaskan oleh perilaku kebakaran alami, angin, dan kondisi bahan bakar.
Teori lain menyatakan bahwa kebakaran hutan sengaja dilakukan atau dibiarkan menyebar untuk membuka lahan bagi proyek pemerintah, pembangunan perumahan, atau kepentingan perusahaan. Para pendukung teori ini percaya bahwa kebakaran merupakan strategi untuk memaksa orang keluar dari area tertentu demi keuntungan ekonomi.
Beberapa pihak menduga bahwa aktivis atau kelompok lingkungan sengaja membakar hutan untuk menarik perhatian pada perubahan iklim atau isu ekologi. Pihak lain meyakini pembakaran hutan dilakukan untuk memanipulasi sentimen publik tentang kebijakan pengelolaan hutan atau penebangan.
Climate Engineering (Rekayasa Iklim), teori ini menyatakan bahwa kebakaran hutan merupakan hasil sampingan dari eksperimen rekayasa geo, seperti program modifikasi cuaca yang melibatkan bahan kimia yang disebarkan ke atmosfer. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa aktivitas semacam itu mengganggu pola cuaca, membuat daerah lebih rentan terhadap kekeringan dan kebakaran.

Untuk mengungkap teori konspirasi dan menghubungkannya dengan realitas kejadian kebakaran hutan, mari kita analisis setiap teori lebih dalam sambil mempertimbangkan temuan ilmiah dan interpretasi logis.
Senjata Energi Terarah (Directed Energy Weapons, DEWs). Para pendukung teori ini, berpendapat bahwa senjata berbasis laser digunakan untuk menyalakan api secara sengaja. Mereka mengutip gambar 'pola pembakaran yang tidak biasa,' seperti mobil yang meleleh di samping tumbuhan yang tidak terbakar, sebagai 'bukti.' Pola pembakaran yang tak biasa sering kali disebabkan oleh arah angin, intensitas api, dan mudah terbakarnya material. Misalnya, mobil terbuat dari logam dan plastik, yang dapat terbakar di bawah panas yang tinggi, sementara beberapa tanaman menahan kelembapan dan tahan terbakar. Energi yang dibutuhkan untuk menyalakan api dari luar angkasa atau dari jarak jauh dengan presisi akan sangat besar dan tak praktis dengan teknologi saat ini. Misinformasi mungkin menyebar dengan cepat selama bencana, dan foto-foto yang tak sesuai konteks memicu teori-teori ini. Penyebab sebenarnya kemungkinan adalah komunikasi yang buruk dan kesalahpahaman tentang dinamika kebakaran.
Government or Corporate Land Grabs (Perampasan Lahan oleh Pemerintah atau Perusahaan). Teori ini mengklaim bahwa kebakaran hutan diatur untuk membersihkan lahan bagi pembangunan bernilai tinggi, infrastruktur, atau proyek perusahaan. Meskipun ada konflik penggunaan lahan, tiada bukti kredibel yang menghubungkan kebakaran hutan dengan pembukaan lahan yang sistematis dan disengaja untuk proyek-proyek tersebut. Undang-undang lingkungan di California mempersulit pembebasan lahan dari area yang terbakar. Perluasan kota ke area rawan kebakaran hutan menciptakan persepsi adanya penargetan, tetapi hal ini lebih merupakan cerminan dari pertumbuhan populasi dan permintaan perumahan. Fokus semestinya beralih ke perdebatan kebijakan tentang pencegahan kebakaran hutan dan perencanaan kota daripada teori yang belum terbukti. Perencanaan yang buruk di zona berisiko tinggi merupakan masalah nyata.
Terorisme Ekologi atau Sabotase. Beberapa orang mengklaim kebakaran hutan dimulai oleh aktivis untuk mempromosikan agenda lingkungan atau oleh faksi politik demi memanipulasi kebijakan.
Meskipun sebagian kecil kebakaran hutan disebabkan oleh pembakaran, tindakan ini jarang dikaitkan dengan gerakan terorganisasi. Lebih sering, kebakaran hutan merupakan hasil dari individu dengan niat jahat atau kelalaian. Perubahan iklim merupakan masalah yang mendesak, dan kebakaran hutan merupakan hasil sampingan alami dari meningkatnya suhu global. Hubungannya logis tetapi tak diatur. Kampanye kesadaran seputar kebakaran hutan dan perubahan iklim memang diperlukan, tetapi tak boleh disamakan dengan konspirasi. Pendidikan dan aksi iklim merupakan alat yang lebih baik guna mengatasi akar penyebabnya.
Rekayasa Iklim. Sebagian orang percaya kebakaran hutan terjadi akibat eksperimen rekayasa geo (misalnya, "chemtrails") yang mengganggu pola cuaca atau secara sengaja mengeringkan suatu wilayah.
Riset rekayasa geo memang ada, tetapi fokusnya pada solusi teoritis bagi perubahan iklim, bukan manipulasi cuaca. Tiada bukti yang mendukung klaim tentang membuat kekeringan yang disengaja. Kebakaran hutan di California diperburuk oleh kombinasi perubahan iklim (kondisi yang lebih panas dan kering), pengelolaan hutan yang buruk, dan angin musiman semisal Santa Ana. Ini merupakan fenomena alam, bukan hasil rekayasa. Perubahan iklim tak dapat disangkal terkait dengan tingkat keparahan kebakaran hutan. Kebijakan-kebijakan yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan respons praktis terhadap krisis.
Teori-teori konspirasi ini tak didukung oleh bukti yang kredibel. Penyebab kebakaran hutan didokumentasikan dengan baik oleh para ahli dan mencakup faktor alam (seperti sambaran petir) dan aktivitas manusia (semisal kerusakan jaringan listrik, api unggun, dan pembakaran). Perubahan iklim, pengelolaan hutan yang buruk, dan meningkatnya hubungan antara perkotaan dan hutan belantara memperburuk frekuensi dan intensitas kebakaran ini.
Lha trus, nape sih teori-teori ini muncul? Masyarakat kadang gak percaya pada lembaga pemerintah dan perusahaan, yang menyebabkan mereka mempertanyakan penjelasan resmi. Media sosial memperkuat spekulasi dan klaim yang tak terverifikasi, terutama selama peristiwa yang menegangkan semisal kebakaran hutan. Ilmu pengetahuan tentang kebakaran hutan dan perubahan iklim sifatnya bernuansa, sehingga teori yang terlalu disederhanakan atau disalahartikan mudah berkembang.
Penjelasan yang paling masuk akal akan meningkatnya kebakaran hutan adalah kombinasi faktor alam dan faktor yang disebabkan manusia, terutama yang terkait dengan perubahan iklim dan pengelolaan lahan. Sementara teori konspirasi menyoroti ketidakpercayaan masyarakat dan tuntutan tentang penjelasan yang sederhana, mengatasi masalah ini memerlukan fokus pada, antara lain, penguatan strategi pencegahan dan respons kebakaran hutan; penerapan kebijakan penggunaan lahan yang berkelanjutan; dan investasi dalam mitigasi perubahan iklim.

Mesin waktu menawarkan momen introspeksi bagi individu dan masyarakat. Merenungkan kerugian pribadi yang disebabkan oleh kebakaran hutan menggarisbawahi perlunya tindakan kolektif. Sama seperti mesin waktu yang sering menyoroti keterkaitan tindakan, kebakaran hutan mengingatkan kita tentang tanggung jawab kolektif dalam mengatasi perubahan iklim.
Sekarang mari kita telusuri lebih jauh hubungan antara Sunnatullah, bencana alam seperti kebakaran hutan di Los Angeles, dan implikasi yang lebih luas dari ketegangan politik, termasuk peringatan Presiden terpilih Donald Trump tentang Timur Tengah.

Pertama, bencana alam berdasarkan sunnatullah. Bencana alam, semisal kebakaran hutan di Los Angeles, merupakan manifestasi hukum Allah yang mengatur alam semesta. Peristiwa-peristiwa ini tak terjadi secara acak, tapi terjadi dalam kerangka hikmah dan keadilan Ilahi. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai pengurus (khalifah) Bumi, yang dipercayakan merawat dan memeliharanya. Al-Quran menyatakan,
وَاِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا ۘ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗهُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا فَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ ۗاِنَّ رَبِّيْ قَرِيْبٌ مُّجِيْبٌ
'Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya (Manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkannya). Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya)..' [QS. Hud (11):61]
Kehancuran luas yang disebabkan oleh kebakaran hutan seringkali dapat ditelusuri kembali kepada kelalaian manusia, semisal perubahan iklim akibat konsumsi berlebihan dan aktivitas industri; penggundulan hutan yang mengganggu ekosistem; dan perencanaan kota yang buruk, mengabaikan risiko yang ditimbulkan oleh kekuatan alam.

Sunnatullah dalam konteks ini mengingatkan kita bahwa dikala manusia melanggar keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan oleh Allah, maka akibatnya tak terelelakkan. Hal ini sejalan dengan peringatan Al-Quran,
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
'Agar kamu tak melampaui batas dalam timbangan itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.' [QS. Ar-Rahman (55):8-9]
Bencana alam punya banyak tujuan dalam teologi Islam. Sebagai pengingat akan Kekuasaan Allah, bencana alam menunjukkan kekuasaan Allah, mengingatkan manusia bahwa meskipun teknologi mereka maju, mereka tetap bergantung kepada-Nya. Bencana alam merupakan ujian keimanan dan kesabaran. Bagi orang beriman, cobaan seperti itulah kesempatan menunjukkan kesabaran (sabr) dan ketergantungan kepada Allah (tawakkal). Bencana alam juga merupakan kesempatan untuk bertobat. Al-Quran menghubungkan cobaan dengan kesempatan untuk mereformasi moral dan spiritual,
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَآ اِلٰٓى اُمَمٍ مِّنْ قَبْلِكَ فَاَخَذْنٰهُمْ بِالْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُوْنَ
'Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang,) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah).' [QS. Al-An'am (6):42]
Oleh karenanya, kebakaran hutan dapat menjadi momen refleksi bersama: Sudahkah kita menjalankan peran kita sebagai pengelola Bumi? Selaraskah hidup kita dengan hukum alam yang telah ditetapkan Allah?

Berikutnya, ketegangan politik dan sunnatullah. Peringatan Presiden terpilih Donald Trump bahwa 'all hell will break out" in the Middle East if hostages are not freed (neraka akan pecah" di Timur Tengah jika sandera tak dibebaskan) mencerminkan keseimbangan kekuatan yang genting dalam politik global. Islam memberikan panduan tentang hakikat kekuasaan, kepemimpinan, dan konflik, yang dapat dianalisis berdasarkan Sunnatullah.
وَلَا تَرْكَنُوْٓا اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُۙ وَمَا لَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ مِنْ اَوْلِيَاۤءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُوْنَ
'Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim sehingga menyebabkan api neraka menyentuhmu, sedangkan kamu tak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu takkan diberi pertolongan.' [QS. Hud (11):113]
Retorika Trump, jika mengarah pada eskalasi yang tak perlu, dapat mengakibatkan penderitaan manusia yang sangat besar. Retorika ini mencerminkan prinsip Al-Quran bahwa ambisi atau kesombongan yang tak terkendali, kerap berujung pada bencana.
Islam mengajarkan bahwa ketika penindasan (zulm) meluas, maka akan mengundang konsekuensi Ilahi. Al-Quran menuturkan kisah bangsa-bangsa masa lalu yang hancur oleh ketiranian mereka,
وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ اَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهٖ فَحَاسَبْنٰهَا حِسَابًا شَدِيْدًاۙ وَّعَذَّبْنٰهَا عَذَابًا نُّكْرًا
'Betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Rabb mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.' [QS. At-Talaq (65):8]
Jika tindakan politik mengabaikan keadilan, kedamaian, dan kesucian hidup, tindakan tersebut berisiko melanggengkan siklus kekerasan yang dapat melanda kawasan tersebut dan sekitarnya.

Dari sudut pandang Islam, ranah alam dan politik saling terkait erat, karena keduanya beroperasi berdasarkan Sunnatullah. Manusia bertanggungjawab atas tindakan kolektifnya, baik dalam cara mereka memperlakukan lingkungan maupun cara mereka mengelola konflik. Sama seperti mengabaikan tanggungjawab lingkungan dapat menyebabkan bencana semisal kebakaran hutan, mengabaikan keadilan dalam masalah politik dapat menyebabkan kekacauan yang meluas. Keduanya merupakan pengingat akan perlunya menyelaraskan tindakan manusia dengan tuntunan Ilahi. Sifat dunia saat ini yang saling terhubung berarti bahwa tiada bangsa atau individu yang dapat bertindak sendiri. Kebakaran di Los Angeles atau krisis politik di Timur Tengah mempengaruhi semua orang. Rasulullah (ﷺ) bersabda, 'Tamsil orang-orang mukmin dalam cinta, kasih-sayang, dan welas-asih mereka ibarat satu tubuh: Jika satu bagian tubuh terasa sakit, seluruh tubuh merespons dengan tak bisa tidur dan demam.' (HR Bukhari & Muslim)
Islam menganjurkan upaya proaktif untuk mengatasi krisis lingkungan dan politik. Upaya ini meliputi: mengakui kesalahan kolektif dan menohon petunjuk kepada Allah; bekerja lintas komunitas dan negara guna menemukan solusi yang adil bagi krisis; membantu mereka yang terkena dampak bencana dan konflik, dan memenuhi seruan Al-Quran agar membantu yang tertindas.

Dalam Islam, sifat arogan atau angkuh (kibr) merupakan sifat yang sangat dikecam, terutama pada pemimpin. Kepemimpinan membawa tanggungjawab besar untuk bertindak adil dan rendah hati, karena konsekuensi dari keputusan mereka mempengaruhi banyak orang. Disaat pemimpin bertindak arogan—mengabaikan keadilan, kebenaran, dan petunjuk Ilahi—seringkali menyebabkan kerusakan yang meluas.
Al-Quran kerap membahas tentang kejatuhan para pemimpin yang arogan yang menentang perintah Allah dan menindas rakyatnya semisal Firaun, kaum 'Ad, dan Tsamud. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kesombongan seringkali mengundang peringatan Allah, melalui cobaan atau bencana, yang memberi para pemimpin dan bangsa kesempatan bertobat dan mengubah cara hidup mereka.
Bencana dan krisis mengingatkan manusia akan kerentanannya dan perlunya kerendahan hati di hadapan Allah. Bencana dan krisis menjadi kesempatan bagi para pemimpin dan individu untuk mengakui kesalahan mereka, bertobat kepada Allah, dan menyelaraskan kembali tindakan mereka dengan keadilan dan belas kasih. Peristiwa seperti kebakaran hutan dan ketidakstabilan politik mengingatkan kita bahwa kekuatan manusia terbatas. Pemimpin, tak peduli seberapa berpengaruhnya, pada akhirnya tunduk pada ketetapan Allah,
وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۚ اِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلًا
'Janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya engkau takkan dapat menembus bumi dan takkan mampu menjulang setinggi gunung (manusia dengan segala keangkuhannya, tetaplah mahluk yang lemah dan kecil).' [QS. Al-Isra (17):37]
Ketika para pemimpin terus menerus bersikap arogan, korup atau merusak, ataupun tidak adil, hukum-hukum Ilahi Sunnatullah akan membawa konsekuensi yang tak dapat dihindari. Para pemimpin yang bertindak egois atau gegabah sering memunculkan efek berantai berupa ketidakstabilan, penderitaan, dan kehancuran—baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi mereka yang berada di bawah kekuasaannya. Terkadang, malapetaka merupakan konsekuensi dari arogansi atau pengabaian kolektif. Misalnya, bencana lingkungan semisal kebakaran hutan dapat terjadi akibat kesalahan pengelolaan manusia selama bertahun-tahun dan mengabaikan hukum alam Allah. Retorika Presiden terpilih Donald Trump, khususnya pernyataan bahwa 'neraka akan pecah' jika sandera di Timur Tengah tidak dibebaskan, mencerminkan pendekatan yang dapat meningkatkan ketegangan dan kerusakan. Bahasa seperti itu dapat dikaitkan dengan arogansi, karena hal itu menyampaikan: pertama, terlalu percaya diri pada kekuasaan, percaya bahwa kekuatan atau ancaman dapat menyelesaikan konflik yang berakar dalam, tanpa mengatasi ketidakadilan atau keluhan yang mendasarinya. Kedua, mengabaikan konsekuensinya. Para pemimpin yang arogan dapat bertindak tanpa mempertimbangkan implikasi yang lebih luas dari tindakan mereka, yang menyebabkan kerusakan dan penderitaan yang lebih besar. Jika tindakan-tindakan seperti itu bersumber dari kesombongan dan tak diperbaiki, maka hal ini sesuai dengan prinsip Al-Quran tentang konsekuensi bagi pemimpin yang menindas,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ
'Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang orang-orang zalim perbuat. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari ketika mata (mereka) terbelalak.' [QS. Ibrahim (14):42]
Peristiwa terkini—kebakaran hutan di Los Angeles dan ketegangan politik di Timur Tengah—dapat dilihat sebagai peringatan sekaligus konsekuensi, tergantung pada konteks dan cara penanganannya. Jika peristiwa tersebut merupakan hasil dari kesombongan manusia, maka peristiwa tersebut berfungsi sebagai pengingat yang jelas tentang hukum-hukum Ilahi (Sunnatullah) yang mengatur dunia. Para pemimpin, khususnya mereka yang berada di posisi yang berpengaruh besar, bertanggungjawab agar bertindak dengan rendah hati, adil, dan berwawasan ke depan, agar mereka tak menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka.
Dengan mengakui peristiwa-peristiwa ini sebagai kesempatan untuk refleksi dan reformasi, baik individu maupun bangsa dapat menyelaraskan kembali diri mereka dengan prinsip-prinsip keadilan, kerendahan hati, dan ketergantungan kepada Allah.
Sunnatullah terlihat jelas dalam keseimbangan dan keteraturan alam semesta. Sebagaimana hukum fisika semisal gravitasi tak dapat diubah, demikian pula hukum moral dan spiritual yang mengatur perilaku manusia. Memahami hukum-hukum ini memerlukan refleksi dan kesadaran spiritual. Tak bisa belajar dari sejarah dan tanda-tanda Sunnatullah, itu disebabkan oleh kebutaan spiritual, bukan keterbatasan fisik. Al-Quran menyatakan,
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
'Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang berada dalam dada.' [QS. Al-Hajj (22):46]
Sunnatullah memastikan bahwa mereka yang mengabaikan refleksi dan menolak petunjuk akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Sunnatullah bersifat konstan, yang menegaskan bahwa hasil dari tindakan manusia, baik ketaatan maupun pembangkangan, akan selalu mengikuti pola Ilahi. Wallahu a'lam."

Sabtu, 11 Januari 2025

Mesin Waktu (14)

"Sebelum lanjut, mari kita baca berita dulu," kata sang penjelajah waktu sambil memegang telepon pintarnya, siap dengan beberapa berita.
"Berita Terbaru: Pagar Laut Misterius—Tembok Besar Tangerang. Dalam perkembangan mengejutkan yang membuat para ahli bingung dan nelayan tercengang, pagar laut bambu sepanjang 30 kilometer telah muncul di lepas pantai Tangerang. Dijuluki "Tembok Besar Tangerang" oleh penduduk setempat, anomali akuatik ini telah membuat lebih banyak gelombang ketimbang balet paus.
Pihak berwenang Indonesia, yang terkejut, telah berusaha keras menguraikan asal-usul bangunan raksasa ini. "Kayaknya, ini gabungan Atlantis dan renovasi rumah Do It Yourself," seru seorang pejabat yang kebingungan. Kemunculan pagar yang tiba-tiba itu, seperti kelinci pesulap, membuat pihak berwenang bingung dan bertanya-tanya apakah itu objek wisata bawah laut baru atau cuma prank yang ruwet.

Dalam adegan yang diambil langsung dari film laga, penyegelan pagar dilakukan oleh seorang komandan yang mengenakan kamuflase lengkap ala Arnold Schwarzenegger. Para saksi melaporkan pintu masuk yang dramatis, dengan beberapa orang berspekulasi bahwa langkah selanjutnya melibatkan ninja dan kapal selam. 'Rasanya seperti menonton film thriller laga langsung,' canda seorang penonton. 'Gua setengah berharap James Bond bakal turun dari helikopter.'
Yang menambah keanehan, sebuah kelompok masyarakat petani mengaku bertanggungjawab atas pagar tersebut. Dengan perkiraan biaya sebesar Rp 15 miliar, klaim mereka telah mengundang lebih banyak perhatian daripada skandal selebriti. "Kami melakukannya dengan bambu, keringat, dan sedikit trik sulap," kata seorang juru bicara, yang senyumnya penuh rahasia menunjukkan lebih dari sekadar semangat komunitas.
Spekulasi merebak bahwa pagar tersebut mungkin terkait dengan pemangku kepentingan dalam proyek PIK-2. Mereka tetap bungkam, yang menyebabkan maraknya rumor bahwa ini mungkin merupakan perluasan garda depan dari pembangunan pesisir mereka. 'Kalo loe gak bisa ngeelawan arus, bangun pagar aja deh," canda seorang informan dalam industri tersebut.
Para pemerhati lingkungan telah menyuarakan kekhawatiran tentang dampak pagar tersebut terhadap kehidupan laut dan aktivitas penangkapan ikan setempat. 'Ini seperti membangun tembok di tengah jalan bebas hambatan,' keluh seorang ahli biologi kelautan. Sementara itu, nelayan setempat menyatakan rasa frustrasi atas gangguan tersebut. 'Dulu, menangkap ikan itu mudah,' gerutu seorang nelayan. 'Sekarang, kami butuh peta hanya untuk menjaring ikan.'
Seiring berlanjutnya penyelidikan, kisah pagar laut tersebut telah berubah menjadi komedi satiris, yang menampilkan para pendukung misterius, birokrat yang kebingungan, dan kelompok masyarakat yang gemar dengan hal-hal dramatis. Entah itu kasus kejenakaan di laut lepas atau taktik muluk-muluk oleh kaum elit, satu hal yang pasti: Tembok Besar Tangerang menjadi perbincangan hangat di kota, dan misterinya masih jauh dari terpecahkan.

Sekarang mari kita baca berita terbaru berikutnya: Mobil Misterius Berplat Nomor RI 36 Bikin Heboh. Dalam alur cerita yang menyaingi sinetron, mobil berplat nomor RI 36 ini menggemparkan jagat maya. Kendaraan yang sulit ditemukan itu, terlihat melaju kencang di tengah kemacetan Jakarta, telah memicu badai spekulasi, meme, dan teori liar. Itukah mobil pelarian agen rahasia? Kendaraan diplomat alien? Atau hanya;ah prank yang teramat sangat mahal?
Mobil misterius ini pertama kali menjadi terkenal ketika sebuah video yang memperlihatkan mobil itu melaju di jalanan Jakarta yang ramai menjadi viral di X (dulu Twitter). Dengan pelat nomornya yang mencolok dan aura misterius yang tak terbantahkan, mobil itu menjadi sensasi dalam semalam. Pengguna media sosial, yang selalu siap menjadikan apa pun sebagai topik ngetren, menjadi heboh. 'Lupakan UFO, kami punya misteri nyata di Jakarta!' cuit seorang netizen dengan antusias.
Saat spekulasi mencapai puncaknya, terungkap bahwa mobil itu tak lain milik RA, Utusan Khusus Presiden untuk Generasi Muda dan Pekerja Seni. RA, yang dikenal sebagai seorang selebriti, menambah panasnya api dengan mengonfirmasi kepemilikan tetapi tetap malu-malu tentang tujuan mobil itu. "Itu hanya mobil biasa," katanya sambil mengedipkan mata. Tapi benarkah demikian?
Keterlibatan tokoh penting seperti RA hanya memperdalam intrik. Mengapa Utusan Khusus Presiden membutuhkan kendaraan yang mencolok seperti itu? Teori-teori bermunculan. Beberapa orang berpendapat bahwa itu adalah strategi diplomatik untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih mendesak. "Itu hanya smoke and mirrors klasik,' komentar seorang analis politik. 'Sementara kita semua sibuk memandangi mobil itu, mereka diam-diam memecahkan masalah kelaparan dunia. Atau, enggak sama sekali?
Jagat maya, dengan kearifannya yang tak terbatas, telah mengubah mobil misterius itu menjadi sensasi meme. Dari gambar hasil editan mobil yang melaju kencang melewati lokasi eksotis hingga keterangan yang jenaka, pelat nomor RI 36 telah menjadi simbol segala sesuatu yang misterius dan agak gak masuk di akal. "Ketika Anda secara tak sengaja membeli Batmobile ketimbang Toyota," demikian bunyi salah satu meme populer.
Opini publik terbagi. Sebagian menyanjung gaya flamboyan RA dan melihat mobil itu sebagai simbol keceriaan dan kreativitas anak muda. Sebagian yang lain melihatnya sebagai pertunjukan kekayaan dan kekuasaan. 'Ibarat menonton acara realitas di dunia nyata,' canda seorang warga Jakarta yang terheran-heran. 'Siapa yang berada dibelakang kemudi? Hanya RA yang tahu.'
Saat debu mulai mereda, misteri mobil dengan pelat nomor RI 36 tetap menjadi bab yang menarik, meskipun lucu, dalam legenda urban Jakarta. Entah itu aksi humas yang cerdas, kendaraan diplomatik yang asli, atau sekadar cara RA agar tampil megah, satu hal yang pasti: Mobil itu telah berhasil merasuki hati dan pikiran publik, meninggalkan jejak tawa dan rasa kepo.
Nantikan episode berikutnya. Akankah kita mengetahui cerita selengkapnya? Mungkin tidak, tetapi pasti menyenangkan bila berspekulasi.
Berikutnya ... Los Angeles saat ini tengah mengalami kebakaran hutan hebat yang telah menyebabkan kerusakan dan pengungsian yang dahsyat. Yang paling dikenal adalah Kebakaran Palisades, yang telah membakar lebih dari 16.000 hektar dan merontokkan lebih dari 1.000 bangunan, termasuk rumah-rumah selebriti semisal Leighton Meester, Adam Brody, dan Paris Hilton.
Sekitar 150.000 penduduk diperintahkan agar dievakuasi, dengan tempat penampungan sementara yang kapasitasnya sudah penuh. Petugas pemadam kebakaran berjuang keras mengendalikan kebakaran karena kurangnya sumber daya dan masalah pasokan air. Tragisnya, telah terjadi kematian yang dikonfirmasi, dan banyak orang terluka atau menderita karena menghirup asap. Presiden Biden telah menyetujui bantuan bencana federal, dan petugas pemadam kebakaran tambahan dari negara bagian tetangga bergabung dalam upaya tersebut.
Kebakaran tersebut telah mengakibatkan pemadaman listrik yang meluas dan mempengaruhi hampir 1,6 juta rumah. Banyak produksi dan acara Hollywood, termasuk Critics Choice Awards dan beberapa pemutaran perdana film, ditunda atau dibatalkan. Pihak berwenang menghimbau warga agar tetap waspada dan bersiap menghadapi lebih banyak evakuasi karena kebakaran masih belum dapat diatasi.

Penyebab pasti kebakaran hutan Los Angeles pada Januari 2025 masih dalam penyelidikan. Sumber penyulutan umum kebakaran hutan di California meliputi petir, pembakaran, kegagalan jaringan listrik, pembakaran puing, dan kembang api.
Dalam hal ini, meskipun angin kencang dan kondisi kering berkontribusi signifikan terhadap penyebaran api yang cepat, pihak berwenang belum menentukan sumber penyulutan spesifik. Sheriff Daerah Los Angeles Robert Luna menyatakan bahwa penyebabnya masih dalam penyelidikan.
Selain itu, FBI tengah mencari bantuan publik untuk mengidentifikasi tersangka setelah pesawat nirawak sipil bertabrakan dengan pesawat pemadam kebakaran, sehingga mempersulit upaya pemadaman.
Penting dicatat bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan di California dipengaruhi oleh kombinasi faktor alam dan faktor yang disebabkan manusia, dengan perubahan iklim memainkan peran penting.

Selama Golden Globe Awards 2025, pembawa acara Nikki Glaser melontarkan pernyataan yang oleh sebagian orang dipandang sebagai ejekan terhadap Tuhan. Ia mencatat bahwa tiada satu pun pemenang yang mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dalam pidato penerimaan mereka, dan berkomentar, 'No surprise in this godless town.' (Tak mengherankan di kota yang tak bertuhan ini.)' Pernyataan ini menuai kritik dari berbagai pihak, dengan beberapa individu mengungkapkan ketidaksetujuan mereka secara daring. Misalnya, seorang netizen berkomentar, ''Hollywood is known for being very satanic, witches & warlocks.(Hollywood dikenal sangat etan, penuh penyihir dan dukun)'. Tak lama setelah upacara penghargaan, kebakaran hutan yang dahsyat terjadi di Los Angeles, menyebabkan beberapa orang mengaitkan peristiwa di Golden Globes dengan bencana alam berikutnya. Sebuah video berjudul 'Hollywood Mocks God, Then This Happens (Hollywood mengolok-olok Tuham maka ini yang terjadi)' membahas perspektif ini.

Dalam konferensi pers di Mar-a-Lago pada 7 Januari 2025, Presiden terpilih Donald Trump mengeluarkan peringatan keras mengenai sandera yang ditawan Hamas di Gaza. Ia menyatakan, 'If they're not back by the time I get into office, all hell will break out in the Middle East, and it will not be good for Hamas, and it will not be good, frankly, for anyone.' (Jika mereka tak kembali saat saya menjabat, kekacauan akan terjadi di Timur Tengah, dan itu takkan baik bagi Hamas, dan sejujurnya, takkan baik bagi siapa pun.)' Pernyataan ini menegaskan kembali peringatannya sebelumnya pada bulan Desember, dimana ia menyebutkan akan ada 'hell to pay (neraka yang harus dibayar)' jika para sandera tidak dibebaskan saat pelantikannya pada tanggal 20 Januari.
Para kritikus dan analis telah menyatakan kekhawatiran atas retorika tegas Trump. Sebagian khawatir bahwa bahasa seperti itu dapat memperburuk ketegangan di kawasan yang sudah tidak stabil, yang berpotensi menyebabkan meningkatnya kekerasan dan ketidakstabilan. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan ini dapat merusak upaya diplomatik yang sedang berlangsung dan mengasingkan mitra regional utama yang penting untuk menyelesaikan situasi penyanderaan secara damai. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun retorika itu kuat, retorika itu tidak memiliki garis besar yang jelas tentang tindakan spesifik yang ingin diambil oleh pemerintahan yang akan datang, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan konsekuensi dari ancaman tersebut. Namun, para pendukungnya percaya bahwa sikap tegas Trump dapat menekan Hamas dan sekutunya agar membebaskan para sandera, melihatnya sebagai langkah yang diperlukan guna menegaskan kekuatan dan tekad AS dalam urusan internasional.

Perlu diperhatikan bahwa meskipun peristiwa-peristiwa ini terjadi secara berurutan, menetapkan hubungan sebab akibat langsung antara pernyataan Golden Globe dan kebakaran hutan masih bersifat spekulatif. Bencana alam adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan.
Namun, cukup menarik untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan antara Sunnatullah, bencana alam semisal kebakaran hutan di Los Angeles, dan implikasi yang lebih luas dari ketegangan politik, termasuk peringatan Presiden terpilih Donald Trump tentang Timur Tengah.
Menarik hubungan antara kejadian terkini, seperti kebakaran hutan Los Angeles yang dahsyat dan perkembangan politik, serta konsep Sunnatullah (hukum ilahi Allah yang mengatur alam semesta), memerlukan refleksi atas ajaran Islam tentang fenomena alam, perilaku manusia, dan konsekuensi tindakan."

Jumat, 10 Januari 2025

Mesin Waktu (13)

"Waktu tak semata ukuran kehidupan, melainkan pula saksi atas terungkapnya hukum-hukum Allah. Dalam Islam, waktu merupakan bagian integral dari Sunnatullah, yang menyingkapkan konsekuensi tindakan dari generasi ke generasi.," sang penjelajah waktu meneruskan.
"Al-Qur’an berulang kali bersumpah demi waktu guna menarik perhatian pada pentingnya waktu,
وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ
'Demi masa (sumpah yang Allah ikrarkan dengan waktu sepanjang zaman). Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.' [QS. Al-Asr (103):1-3]
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 1209 M) dalam tafsirnya tentang Surah Al-Asr menegaskan, 'Bersumpah dengan waktu merupakan indikasi betapa besar nilainya, karena di sanalah berbagai amal dilakukan dan akibat-akibat terungkap sesuai dengan hukum-hukum Allah.'
Islam menganjurkan refleksi intelektual dan spiritual guna memahami Sunnatullah. Dengan mengamati alam, sejarah, dan wahyu ilahi, manusia dapat menyelaraskan tindakan mereka dengan hukum Allah dan menghindari kehancuran. Al-Qur'an juga berulangkali menyerukan renungan atas sejarah guna memahami prinsip-prinsip Allah yang tak berubah:
اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ كَانُوْا مِنْ قَبْلِهِمْ ۗ كَانُوْا هُمْ اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاٰثَارًا فِى الْاَرْضِ فَاَخَذَهُمُ اللّٰهُ بِذُنُوْبِهِمْ ۗوَمَا كَانَ لَهُمْ مِّنَ اللّٰهِ مِنْ وَّاقٍ
'Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) peninggalan (peradaban)-nya di bumi. Akan tetapi, Allah mengazab mereka karena dosa-dosanya. Tiada suatu pun yang melindungi mereka dari (azab) Allah. [QS Gafir (40):21]
Islam memperingatkan bahwa mengabaikan Sunnatullah akan membawa kepada kehancuran, sebagaimana terlihat dalam kisah-kisah umat terdahulu (misalnya, Aad, Tsamud, Fir'aun). Kisah-kisah ini menjadi pelajaran bagi umat manusia guna menyelaraskan diri dengan petunjuk Ilahi.

Konsep Sunnatullah (سُنَّةُ اللَّهِ) dalam teologi Islam mengacu pada pola, hukum, dan prinsip yang ditetapkan Allah untuk mengatur alam semesta dan keberadaan manusia. Hukum-hukum Ilahi ini bersifat universal, tak berubah, dan berlaku secara konsisten di seluruh ruang dan waktu. Hukum-hukum tersebut disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan merupakan inti dalam memahami hubungan antara kehendak Ilahi, kausalitas, dan tanggungjawab manusia dalam Islam. Terma Sunnatullah menggabungkan dua kata: Sunnah (cara, jalur, atau praktik yang mapan) dan Allah (nama Tuhan yang sebenarnya). Dengan demikian, Sunnatullah bermakna 'cara atau hukum Allah.'
Sunnatullah bersifat konsisten dan tak berbeda-beda pada setiap orang, zaman, atau bangsa. Allah menyebutkan dalam Al-Qur'an,
سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا
'(Demikianlah) sunnatullah yang sungguh telah berlaku sejak dahulu. Sekali-kali takkan kamu temukan perubahan pada sunnatullah itu.' [QS. Al-Fath (48):23]
Pola-polanya berlaku bagi individu dan masyarakat. Misalnya, kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa diatur oleh prinsip-prinsip moral dan etika semisal keadilan, rasa syukur, dan ketaatan pada perintah-perintah Ilahi. Sunnatullah sering menyoroti hubungan sebab-akibat di dunia, baik di alam fisik (misalnya, hukum alam semisal gravitasi) maupun alam spiritual dan moral (misalnya, konsekuensi dari tindakan baik atau buruk). Sunnatullah berfungsi sebagai pedoman bagi mereka yang merenungkan dan mematuhinya. Pada saat yang sama, ia memastikan akuntabilitas atas tindakan, karena individu dan masyarakat menuai konsekuensi dari perbuatan mereka.

Sunnatullah merangkum hikmah dan konsistensi hukum-hukum Allah dalam penciptaan, masyarakat, dan spiritualitas. Sunnatullah mengajarkan umat Islam mengenali pola-pola ini, hidup selaras dengannya, dan mengambil pelajaran dari konsekuensi tindakan manusia sebagaimana tercatat dalam Al-Qur'an dan sejarah. Memahami dan mematuhi Sunnatullah memungkinkan individu dan masyarakat berkembang di dunia ini dan mencapai kesuksesan di akhirat.
Al-Qur'an memberikan banyak contoh tentang Sunnatullah dalam tindakan, yang mencerminkan pola-pola Ilahi yang mengatur alam semesta, bangsa-bangsa, dan individu-individu. Tentang merubah keadaan masyarakat, Al-Qur'an menyatakan,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
'... Sesungguhnya Allah tak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tiada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. [QS. Ar-Ra'd, 13:11]
Ayat ini menyoroti bahwa reformasi masyarakat dimulai dengan perbaikan diri individu dan kolektif.
Tentang kebangkitan dan kejatuhan sebuah bangsa, Al-Qur'an menyatakan,
وَمَآ اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ اِلَّا لَهَا مُنْذِرُوْنَ ۖ ذِكْرٰىۚ وَمَا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ
'Kami tak membinasakan suatu negeri, kecuali setelah ada pemberi peringatan kepadanya. (Hal itu) sebagai peringatan. Kami sekali-kali bukanlah orang-orang zalim.' [QS. Ash-Shu'ara (26):208-209]
Hukum Allah bahwa sebuah bangsa akan makmur atau hancur berdasarkan kepatuhan mereka pada keadilan, perilaku moral, dan tuntunan Ilahi.
Tentang akibat dari ketidakadilan, Al Quran menyatakan,
وَاِنَّ كُلًّا لَّمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ اَعْمَالَهُمْ ۗاِنَّهٗ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
'Rabbmu takkan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedangkan penduduknya berbuat kebaikan.' [QS. Hud (11):117]
Adapun siklus kemakmuran dan kemunduran, Al Quran menyatakan,
وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَاهُمْ يُنْقَذُوْنَۙ اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ
'Jika Kami menghendaki, Kami akan menenggelamkan mereka. Kemudian, tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan. Akan tetapi, (Kami menyelamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberi mereka kesenangan hidup sampai waktu tertentu.' [QS. Yasin (36):43-44]
Ayat ini menggambarkan kekuasaan Allah atas takdir dan kelangsungan hidup manusia, menekankan kasih sayang-Nya dan siklus cobaan yang telah ditentukan sebelumnya.
Adapun tentang persatuan dan perpecahan antar manusia, Al Quran menyatakan,
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
'Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkanmu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang, serta bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
' [QS. Al-Anfal (8):46]
Perpecahan mendatangkan kelemahan, sedangkan kerjasama dan kesabaran mendatangkan kekuatan dan kesuksesan.
Adapun tentang keterkaitan antara perbuatan dan hasilnya, Al Quran menyatakan,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
'Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).' [QS. Ar-Rum (30):41]
Ayat ini mencerminkan hukum bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi langsung terhadap lingkungan dan stabilitas masyarakat.

Dalam pemikiran Islam, tiada konsep 'karma' seperti yang dipahami dalam agama Hindu, Buddha, atau Jainisme—dimana karma dipandang sebagai hukum kosmik sebab dan akibat yang menentukan kehidupan masa depan atau kelahiran kembali seseorang berdasarkan tindakan. Namun, Al-Quran memang memuat ayat-ayat yang membahas tindakan dan konsekuensinya, yang menekankan akuntabilitas dan gagasan tentang balasan, yang memiliki beberapa kesamaan dengan karma tetapi punya perbedaan teologis yang penting. Ulama Sunni menafsirkan konsep-konsep Al-Quran ini dalam kerangka penghakiman Ilahi, tanggungjawab pribadi, dan konsekuensi moral dari tindakan, semuanya dalam satu masa hidup yang mengarah pada sekali penghakiman.
Al-Quran sering menyatakan bahwa setiap orang akan diberi pahala atau hukuman di akhirat sesuai dengan perbuatannya. Konsep keadilan ilahi ini menyatakan bahwa segala perbuatan—baik atau buruk—akan dicatat dan akan dinilai oleh Allah. Namun, tak seperti karma, balasan bukanlah hukum alam, melainkan hasil langsung dari kehendak dan hikmah Allah.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
'Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, ia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, ia akan melihat (balasan)-nya.' [QS. Az-Zalzalah (99):7-8]
Ulama Sunni menafsirkan hal ini sebagai jaminan keadilan Ilahi dan akuntabilitas individu. Setiap tindakan, sekecil apa pun, punya konsekuensi yang akan terungkap pada Hari Pengadilan, bukan melalui siklus kelahiran kembali, tetapi melalui perhitungan Ilahi.
Dalam Islam, setiap orang bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatannya dan akan menanggung sendiri akibat dari tindakannya. Tak seperti karma, yang mungkin menunjukkan bahwa tindakan seseorang mempengaruhi kelahiran kembali mereka, Al-Quran menyatakan bahwa perbuatan seseorang secara langsung mempengaruhi hasil akhirat mereka. Dalam Islam, beberapa ulama mengakui bahwa dosa dan perbuatan baik dapat berkonsekuensi langsung atau tertunda dalam kehidupan ini, yang agak mirip dengan aspek sebab-akibat karma. Namun, konsekuensi ini dipandang sebagai bagian dari ketetapan Allah, yang dimaksudkan sebagai ujian atau penyucian.
Akibat dari tindakan adalah hasil langsung dari penghakiman Allah, bukan prinsip kosmik yang bekerja sendiri. Keadilan Allah diimbangi dengan rahmat, yang memungkinkan pengampunan dan pertobatan. Islam mengajarkan bahwa setiap jiwa memiliki satu kehidupan, diikuti oleh kematian, masa tunggu (di alam barzakh), dan penghakiman terakhir. Tiada reinkarnasi atau siklus kehidupan, seperti yang disarankan oleh karma dalam agama-agama Timur.
Tak seperti karma, yang bekerja secara mekanis, ajaran Islam menekankan bahwa Allah dapat mengampuni dosa melalui pertobatan. Artinya, hasil akhir yang dicapai seseorang tak semata-mata ditentukan oleh perbuatannya di masa lalu, tetapi dipengaruhi oleh pertobatan yang tulus dan rahmat Ilahi.

Surah Ar-Ra’d, ayat 5 (13:5) sering dipahami oleh para ulama Sunni sebagai salah satu ayat Al-Quran yang menolak gagasan reinkarnasi, karena menekankan kebangkitan dan kembalinya manusia kepada Allah, bukan siklus kelahiran kembali. Ayat tersebut menyatakan:
وَاِنْ تَعْجَبْ فَعَجَبٌ قَوْلُهُمْ ءَاِذَا كُنَّا تُرٰبًا ءَاِنَّا لَفِيْ خَلْقٍ جَدِيْدٍ ەۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْۚ وَاُولٰۤىِٕكَ الْاَغْلٰلُ فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
'Jika engkau (Nabi Muhammad) heran, (justru) yang mengherankan adalah ucapan mereka (orang-orang kafir), “Akankah bila kami telah menjadi tanah, kami benar-benar (dikembalikan) menjadi makhluk yang baru?” Mereka itulah orang-orang yang kufur kepada Rabb-nya. Mereka itulah orang-orang (yang dilekatkan) belenggu di lehernya. Merekalah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.'
Ayat ini dipahami sebagai bantahan terhadap konsep reinkarnasi, dimana jiwa terlahir kembali dalam berbagai bentuk di berbagai kehidupan. Sebaliknya, ayat tersebut merujuk pada konsep kebangkitan satu kali dimana Allah akan menghidupkan kembali semua orang dalam ciptaan baru setelah kematian, terlepas dari bagaimana tubuh mereka telah membusuk. Dihidupkan kembali inilah peristiwa tunggal di akhirat, bukan siklus yang berulang. Ayat tersebut mencerminkan keraguan yang diungkapkan oleh orang-orang kafir yang tak dapat memahami kebangkitan, terutama setelah tubuh fisik hancur menjadi debu. Ulama Sunni menafsirkan keheranan mereka pada kebangkitan sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap kekuatan Allah untuk menghidupkan kembali orang mati. Ketidakpercayaan ini ditanggapi dengan keyakinan bahwa Allah mampu menciptakan kembali bentuk apa pun setelah akhirat, yang bertentangan dengan gagasan tentang jiwa yang kembali dalam berbagai bentuk duniawi. Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan hukuman orang-orang kafir di Neraka, dimana mereka akan tinggal selamanya. Hasil kekal ini kontras dengan gagasan reinkarnasi, dimana jiwa akan terus-menerus mengalami berbagai kehidupan. Dalam eskatologi Islam, akhiratlah keadaan akhir yang kekal—baik di Surga maupun Neraka—berdasarkan perbuatan dan keyakinan seseorang dalam kehidupan ini.

Ulama Sunni menekankan bahwa dalam Islam, setiap jiwa diberi kehidupan yang unik di dunia ini sebagai ujian. Usai kematian, ada masa tunggu (barzakh) hingga Hari Penghakiman, saat setiap individu akan diadili dan diberi pahala atau hukuman sesuai dengan perbuatannya. Reinkarnasi bertentangan dengan keyakinan ini dengan menyiratkan bahwa jiwa kembali berulang kali untuk diuji, yang tak didukung oleh ajaran Islam.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai indikasi yang jelas tentang finalitas kehidupan dan ketidakmungkinan kembali ke dunia ini dalam bentuk yang berbeda setelah kematian. Ia menjelaskan bahwa pertanyaan orang-orang kafir tentang menjadi "debu" dan dihidupkan kembali berakar pada penolakan mereka terhadap kebangkitan. Ayat tersebut membahas penolakan mereka dengan menekankan kekuatan mutlak Allah menciptakan mereka kembali dalam bentuk baru, sekali dan untuk selamanya.
Ar-Razi menelaah ketidakpercayaan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang menolak Hari Berbangkit. Ia menyatakan bahwa keheranan mereka berasal dari kesalahpahaman tentang kemampuan Allah yang tak terbatas. Ar-Razi menafsirkan ketidakpercayaan mereka sebagai bentuk ketidaktahuan spiritual yang tak mampu memahami realitas akhirat dan kebangkitan satu kali.
At-Tabari juga menjelaskan bahwa ayat ini membantah gagasan tentang kehidupan ganda. Bagi At-Tabari, penyebutan ayat tersebut tentang hukuman bagi orang-orang kafir pada Hari Pengadilan menekankan bahwa tiada siklus kembali ke kehidupan, melainkan akhir yang menentukan yang diikuti oleh akhirat. Penafsiran Sunni terhadap Surah Ar-Ra'd, ayat 5, sepakat bahwa ayat tersebur menegaskan kebangkitan sebagai peristiwa satu kali dan menolak reinkarnasi. Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap jiwa hidup satu kali, mati, dan kemudian akan dibangkitkan untuk penghakiman terakhir. Reinkarnasi, sebagaimana dipahami dalam sistem kepercayaan lain, dipandang tak sesuai dengan teologi Islam Sunni, yang menekankan perkembangan linier kehidupan, kematian, barzakh, dan kebangkitan. Kerangka kerja ini menggarisbawahi keunikan dan finalitas ujian setiap jiwa dalam kehidupan ini, yang mengarah pada konsekuensi abadi di akhirat."

Kamis, 09 Januari 2025

Mesin Waktu (12)

"Menentukan apakah 'pendidikan gratis' atau 'program makanan gratis' lebih baik bagi Indonesia bergantung pada tujuan, tantangan saat ini, dan kebutuhan masyarakat. Kedua inisiatif tersebut membahas isu-isu penting—pendidikan dan gizi—tetapi punya dampak yang berbeda. Pendidikan gratis memiliki kelebihan dan tantangannya sendiri," lanjut sang penjelajah waktu.
"Pendidikan gratis menghilangkan hambatan finansial, sehingga lebih banyak anak dapat bersekolah, terutama di keluarga berpenghasilan rendah. 'Education for All: Global Monitoring Report 2006' oleh UNESCO menekankan bahwa pendidikan gratis amatlah penting bagi meningkatkan literasi dan mempromosikan mobilitas sosial. Laporan tersebut menyoroti bahwa literasi merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan landasan pembelajaran lebih lanjut, penting bagi pemberdayaan individu dan pembangunan masyarakat.
Literasi menawarkan banyak manfaat yang berkontribusi pada pertumbuhan individu dan masyarakat. Literasi meningkatkan harga diri dan pemberdayaan dengan memperluas pilihan pribadi dan memfasilitasi akses ke hak-hak dasar lainnya, yang mendorong perkembangan individu. Individu yang melek huruf lebih mungkin turut dalam kegiatan politik, berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan berkontribusi dalam memperkuat proses demokrasi. Literasi juga memungkinkan para individu mempertanyakan norma dan sikap masyarakat, memperkaya keterlibatan budaya dan mempromosikan kesadaran sosial. Selain itu, literasi mengarah pada hasil kesehatan yang lebih baik dengan meningkatkan pengetahuan tentang perawatan kesehatan, keluarga berencana, dan pencegahan penyakit, sekaligus mendorong orang tua mendidik anak-anak mereka, sehingga memutus siklus buta huruf. Secara ekonomi, investasi dalam literasi menghasilkan keuntungan yang substansial dengan meningkatkan kemampuan kerja, mengurangi kemiskinan, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan mengatasi manfaat yang saling terkait ini, literasi berfungsi sebagai alat yang ampuh memberdayakan individu dan mendorong kemajuan masyarakat.

Berinvestasi dalam pendidikan gratis akan meningkatkan tenaga kerja terampil, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kemiskinan dari generasi ke generasi. 'The Economics of Education' (2020, Academic Press) karya Steve Bradley dan Colin Green mengeksplorasi bagaimana pendidikan memengaruhi hasil ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai investasi dalam modal manusia, membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang meningkatkan produktivitas mereka. Bradley dan Green menekankan bagaimana akses gratis ke pendidikan memastikan bahwa lebih banyak orang, terlepas dari latarbelakang sosial ekonomi mereka, dapat memperoleh keterampilan ini, yang mengarah pada tenaga kerja yang lebih besar dan lebih cakap.
Bradley dan Green meneliti bagaimana tenaga kerja terampil berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Individu yang berpendidikan tinggi berinovasi, beradaptasi dengan teknologi baru, dan meningkatkan efisiensi dalam proses produksi, sehingga mendorong perluasan ekonomi. Pendidikan gratis menghilangkan hambatan finansial, memastikan bahwa bakat tak terbuang sia-sia oleh kendala ekonomi, sehingga memaksimalkan potensi pertumbuhan ekonomi.
Mereka menyoroti peran pendidikan dalam memutus siklus kemiskinan. Dengan akses ke pendidikan gratis, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dapat memperoleh keterampilan yang mengarah pada pekerjaan dengan gaji lebih tinggi. Hal ini meningkatkan standar hidup dan keturunan mereka. Dari generasi ke generasi, seiring dengan semakin banyaknya orang yang mengakses pendidikan, ketimpangan pendapatan masyarakat cenderung menurun, dan tingkat kemiskinan secara keseluruhan pun menurun.
Bradley dan Green membahas bagaimana manfaat pendidikan tak semata dirasakan oleh individu. Orangtua yang berpendidikan cenderung lebih menginvestasikan uangnya pada pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka, sehingga menciptakan siklus umpan balik positif lintas generasi.
Mereka menggarisbawahi landasan rasional ekonomi bagi pendanaan publik terhadap pendidikan. Pendidikan gratis bukan sekadar barang sosial, melainkan investasi ekonomi dengan keuntungan tinggi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mengalami tingkat kejahatan yang lebih rendah, hasil kesehatan yang lebih baik, dan partisipasi masyarakat yang lebih kuat, yang secara tak langsung meningkatkan stabilitas ekonomi. Analisis Bradley dan Green mendukung gagasan bahwa berinvestasi dalam pendidikan gratis membangun efek berantai: pendidikan gratis mengembangkan tenaga kerja terampil, mendorong inovasi dan produktivitas, serta mengurangi kemiskinan melalui kesempatan kerja yang lebih baik dan transfer kekayaan antargenerasi. Investasi ini tak hanya meningkatkan kehidupan individu tapi juga memperkuat ekonomi dan masyarakat yang lebih luas.

Pendidikan gratis mendorong kesetaraan gender dengan memungkinkan anak perempuan mengakses pendidikan tanpa kendala finansial. Laporan Oxfam International 'Educating Girls: Gender Equality in Education' (2017) menekankan bahwa pendidikan gratis memainkan peran penting dalam mendorong kesetaraan gender, khususnya dengan mengurangi hambatan finansial yang kerap berdampak tak proporsional pada anak perempuan.
Keluarga dengan sumber daya terbatas sering memprioritaskan pendidikan anak lelaki ketimbang anak perempuan, menganggap anak lelaki sebagai pencari nafkah masa depan. Dengan menyediakan pendidikan gratis, beban keuangan biaya sekolah, seragam, dan perlengkapan sekolah terangkat, sehingga lebih banyak anak perempuan dapat mengakses pendidikan. Pendidikan gratis menyebabkan peningkatan signifikan dalam penerimaan anak perempuan di sekolah, karena biaya merupakan salah satu alasan utama orangtua menahan anak perempuan untuk bersekolah. Hal ini terutama berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan daerah pedesaan. Pendidikan membekali anak perempuan dengan keterampilan dan pengetahuan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dengan menyediakan akses ke sekolah gratis, anak perempuan lebih mungkin keluar dari siklus kemiskinan dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yang menguntungkan keluarga dan masyarakat mereka. Keterbatasan keuangan sering mendorong keluarga menikahkan anak perempuan lebih awal atau melibatkan mereka dalam pekerjaan agar berkontribusi pada pendapatan rumah tangga. Pendidikan gratis menawarkan alternatif dengan memberikan kesempatan bagi anak perempuan agar tetap bersekolah lebih lama, menunda pernikahan dan memiliki anak.
Dengan menyediakan akses pendidikan bagi anak perempuan, masyarakat mulai menyadari pentingnya mendidik anak perempuan. Hal ini membantu menantang dan secara bertahap mengubah norma sosial yang mengutamakan anak lelaki daripada anak perempuan dalam hal pendidikan. Laporan tersebut menyoroti bahwa pendidikan gratis bukan sekadar solusi finansial, melainkan pula katalisator bagi perubahan masyarakat yang lebih luas. Dengan menghilangkan hambatan ekonomi, pendidikan gratis menyeimbangkan persaingan dan memungkinkan anak perempuan menyadari potensi mereka, yang berkontribusi pada kesetaraan gender dan pembangunan keberkelanjutan yang lebih besar.

Akan tetapi, pendidikan gratis punya tantangan tersendiri. Kualitas dapat menurun jika sumber dayanya terlalu terbatas karena tingginya jumlah pendaftar. Infrastruktur, ketersediaan guru, dan relevansi kurikulum tetap menjadi tantangan di daerah pedesaan Indonesia.

Program Makanan Gratis juga memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Nutrisi yang tepat meningkatkan fungsi kognitif, konsentrasi, dan kehadiran di sekolah, sehingga memberi manfaat pendidikan yang langsung. Dalam School Meals: Building Blocks for Healthy Children (2010, The National Academies Press) oleh Institute of Medicine, hubungan penting antara nutrisi dan pendidikan disorot. Nutrisi yang tepat menyediakan nutrisi penting, seperti glukosa, vitamin, mineral, dan asam lemak omega-3, yang sangat penting bagi perkembangan dan fungsi otak. Otak yang ternutrisi dengan baik memproses informasi dengan lebih efisien, mendukung retensi memori, dan mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, yang sangat penting untuk pembelajaran.
Anak-anak yang mengonsumsi makanan seimbang cenderung tak mengalami gangguan akibat rasa lapar selama jam sekolah. Nutrisi semisal zat besi dan protein berperan dalam menjaga tingkat energi dan fokus, sementara kekurangan dapat menyebabkan kelelahan dan kesulitan berkonsentrasi. Malnutrisi dan kelaparan dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan ketidakhadiran di sekolah. Akses terhadap makanan bergizi dapat membantu anak-anak menjaga kesehatan yang lebih baik, sehingga mereka dapat menghadiri sekolah secara konsisten dan turut-serta dalam kegiatan akademis.
Bila anak-anak diberi makan dengan baik, kemampuan mereka mengikuti pelajaran, berpartisipasi dalam kegiatan kelas, dan menyelesaikan tugas akan meningkat. Program semisal inisiatif makanan sekolah bertujuan mengatasi kekurangan gizi, memastikan bahwa anak-anak dari beragam latarbelakang sosial ekonomi berenergi dan dukungan kognitif yang dibutuhkan bagi pembelajaran yang efektif. Nutrisi yang tepat berperan sebagai dasar bagi kemampuan belajar dan berkembang anak secara akademis dengan secara langsung mempengaruhi fungsi otak, konsentrasi, dan kesehatan, yang sekaligus meningkatkan pengalaman pendidikan mereka.
Program makanan gratis ini memiliki tantangan tersendiri. Biaya yang tinggi dan kendala logistik untuk menjangkau daerah terpencil, serta pengendalian mutu dan kesesuaian makanan.
Mana yang lebih baik untuk Indonesia? Jika kekurangan gizi dan stunting merupakan masalah yang mendesak, program makanan gratis akan berdampak yang lebih langsung. Jika akses pendidikan dan literasi merupakan tantangan utama, pendidikan gratis hendaknya diutamakan.
Ketimbang memilih salah satu di atas yang lain, mengintegrasikan kedua program tersebut dapat memberikan hasil terbaik bagi Indonesia. Pendekatan gabungan selaras dengan contoh global semisal Brasil dan India, dimana inisiatif semacam itu telah berhasil meningkatkan hasil pendidikan dan kesehatan.

Namun sayangnya, banyak masyarakat Indonesia, kecuali 'ternak Mulyono', meragukan program makan gratis di Indonesia ini. Program ini lebih tampak seperti kepentingan politik dinasti yang dijalankan oleh 'nepo baby'. Menggunakan program makan gratis sebagai alat politik, terutama dalam konteks politik dinasti seperti yang dikaitkan dengan 'nepo baby', dapat menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan.
Politisi dapat menggunakan program kesejahteraan seperti skema makan siang gratis untuk membangun citra positif, terutama di antara kelompok berpendapatan rendah, guna mengamankan suara dan loyalitas politik. Jika program tersebut dilihat sebagai taktik untuk keuntungan politik dan bukan kesejahteraan yang sebenanrnya, dapat merusak kepercayaan publik terhadap inisiatif pemerintah. Politisi yangberakses ke sumber daya negara, semisal 'nepo baby', dapat memperoleh keunggulan yang tidak adil atas lawan, sehingga merusak persaingan yang demokratis.
Ketika program kesejahteraan dikaitkan dengan tokoh politik tertentu, program tersebut dapat memperkuat dominasi dinasti politik. Para pemilih dapat mengaitkan manfaat ini dengan kepemimpinan keluarga, sehingga kekuasaan mereka semakin kuat. Jika program dianggap berhasil berdasarkan popularitas dan bukan dampak yang terukur, efektivitas dan keberlanjutan program tersebut mungkin tak terlalu diperhatikan.
Anggaran yang seharusnya digunakan secara adil akan terkonsentrasi di area tempat keluarga politik ingin meningkatkan pengaruhnya, sehingga daerah lain kurang terlayani. Program yang dibuat terutama bagi keuntungan politik akan tak punya perencanaan jangka panjang, yang berujung pada pembatalan mendadak atau inefisiensi saat tujuan politik berubah.

Menggunakan program kesejahteraan untuk mendulang suara mendorong budaya Klientelisme dan Patronase, dimana warga negara merasa berkewajiban mendukung politisi tertentu dengan imbalan manfaat. Klientelisme, yang sering disebut sebagai politik klien, merupakan sistem politik yang dicirikan oleh pertukaran barang dan jasa guna dukungan politik. Hubungan ini biasanya melibatkan pengaturan quid pro quo, dimana politisi memberikan manfaat kepada konstituen sebagai imbalan atas dukungan elektoral mereka.
Klientelisme berakar sejarah dalam berbagai konteks sosial, dari Romawi kuno hingga sistem feodal, dimana hubungan yang tak setara merupakan hal yang umum. Meskipun ada prediksi bahwa modernisasi akan memberantas praktik semacam itu, klientelisme tetap ada dalam sistem politik kontemporer. Klientelisme sering dikritik karena mendorong korupsi dan inefisiensi, karena posisi dapat diisi berdasarkan kesetiaan daripada prestasi, yang mengarah pada hasil tatakelola yang buruk. Dalam demokrasi modern, klientelisme dipandang sebagai penghalang bagi keterlibatan dan akuntabilitas demokrasi yang sejati. Hal ini merusak prinsip-prinsip imparsialitas birokrasi dan distribusi sumber daya yang adil, yang sering mengakibatkan "patologi" politik yang menghambat legitimasi demokrasi. Klientelisme didasarkan pada hubungan dua arah antara patron (politisi) dan klien (pemilih), dimana kedua belah pihak memiliki peran dan harapan tertentu. Hubungan klientelisme sifatnya berkelanjutan dan bukan pertukaran sesaat, sehingga mendorong siklus ketergantungan dan harapan antara pihak-pihak yang terlibat.
Patronase merujuk pada dukungan, dorongan, atau bantuan keuangan yang diberikan individu atau organisasi kepada orang lain. Secara historis, patronase telah memainkan peran penting dalam seni, dimana individu atau lembaga kaya mensponsori seniman, musisi, dan penulis. Dukungan ini sering membantu seniman menciptakan dan mempromosikan karya mereka. Patronase yang terkenal termasuk keluarga Medici selama Renaisans, yang mendanai banyak seniman dan proyek untuk meningkatkan status politik dan sosial mereka. Istilah "patron" berasal dari bahasa Latin patronus, yang berarti orang yang memberikan manfaat kepada klien. Sepanjang sejarah, sistem patronase telah dikaitkan dengan hierarki sosial dan dinamika kekuasaan, yang kerap memperkuat struktur kelas. Dalam masyarakat feodal, misalnya, patronase akan menawarkan perlindungan dan sumber daya kepada klien mereka sebagai imbalan atas kesetiaan. Dalam konteks politik, patronase dapat merujuk pada praktik pemberian pekerjaan, kontrak, atau manfaat lain sebagai imbalan atas dukungan politik. Sistem ini dapat menyebabkan favoritisme dan korupsi tetapi terkadang dibenarkan sebagai sarana mengakui dan memberdayakan komunitas minoritas dalam struktur pemerintahan. Patronase juga menggambarkan bisnis yang diberikan kepada tempat usaha semisal toko atau restoran oleh pelanggan tetap. Bentuk patronase ini penting bagi kelangsungan hidup banyak bisnis, karena secara langsung mempengaruhi pendapatan mereka.
Saat ini, patronase terus berkembang. Meskipun tetap menjadi aspek penting dari pendanaan seni dan sistem politik, patronase juga menimbulkan pertanyaan etis tentang favoritisme dan kesetaraan dalam konteks budaya dan pemerintahan.

Jadi, dengan menggunakan program makan siang gratis sebagai alat politik dalam politik dinasti, semisal yang melibatkan 'nepo baby', posisi kepemimpinan akan tak mencerminkan kapabilitas melainkan ikatan keluarga, yang berpotensi mengarah pada pemerintahan yang tidak efektif.
Program kesejahteraan dapat menjadi alat bagi dinasti memperkuat cengkeraman mereka pada struktur politik, menciptakan lingkaran umpan-balik dimana sumber daya negara digunakan mempertahankan dominasi keluarga. Dinasti politik dapat memanfaatkan inisiatif ini untuk menekan oposisi dengan memonopoli sumber daya dan perhatian publik, sehingga mempersulit kandidat alternatif bersaing secara fair. Ketika inisiatif kesejahteraan dikaitkan dengan pencitraan keluarga, garis antara melayani publik dan berkampanye menjadi tak dapat dibedakan, sehingga mengurangi akuntabilitas demokratis.
Dalam jangka panjang, menggunakan program kesejahteraan sebagai alat politik berisiko merusak integritas lembaga demokrasi, melanggengkan ketidaksetaraan, dan menghambat reformasi sistemik. Dinasti politik akan memprioritaskan konsolidasi kekuasaan mereka daripada mengatasi akar penyebab masalah sosial, sehingga lebih memunculkan siklus ketergantungan ketimbang pemberdayaan.

Bayangkan sejenak jika kita punya mesin waktu yang dapat digunakan. Kita dapat kembali dan mengatasi ketidakadilan historis seperti akses yang tak merata terhadap pendidikan atau program gizi yang tak memadai. Namun, kita semestinya punya program pendidikan dan gizi yang memainkan peran sebagai mesin waktu metaforis kita. Program-program ini seharusnya 'menulis ulang masa lalu' dengan mengatasi ketidakadilan yang sudah ada sejak lama semisal kekurangan gizi dan buta huruf. Secara teori, program-program ini semestinya 'menciptakan masa depan' dengan mempersiapkan anak-anak berkembang di dunia yang kelak akan mereka pimpin—bukan meninggalkan warisan seperti 'Warisan Mulyono', yang dipenuhi dengan beban proyek-proyek Mercusuar dan Proyek-proyek Strategis Nasional, yang tampaknya hanya menguntungkan antek-anteknya. Aduhai, masa depan tampak cerah, bukan? Itu takkan berlaku jika dikau mau menanggung beban blunder-blunder yang kemarin!"