"Ramanda, daku perhatikan bahwa secara umum para sandera yang ditawan HAMAS diperlakukan dengan baik. Terlepas dari apakah hal ini sejalan dengan ajaran Islam mengenai tawanan atau tidak, mohon sampaikan padaku, bagaimana ajaran Islam secara khusus mengatur perlakuan terhadap sandera?" tanya Bagong kepada Semar.Semar menjawab, "Ajaran Islam sangat menekankan perlakuan manusiawi terhadap tawanan, termasuk sandera, yang berakar pada prinsip belas-kasihan, keadilan, dan kasih-sayang. Kendati para 'sandera' dalam konteks modern mungkin tak sepenuhnya selaras dengan bagaimana tawanan dipandang secara historis dalam hukum Islam, tetap berlaku pedoman umum.Prinsip pertama ialah kebaikan hati dan perlakuan manusiawi. Al-Qur'an menganjurkan agar memperlakukan tawanan dengan syafakat, walau dalam keadaan sulit.وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا'Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (Mereka berkata,) 'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tak mengharap balasan dan terima kasih darimu'.' [QS. Al-Insan (76):8-9]Juga,فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ'Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya..' [QS. Muhammad (47):4]Surah ini memerintahkan pembebasan tawanan atau tebusan bagi mereka setelah peperangan berakhir. Frasa 'tebaslah leher mereka' mengacu pada mengalahkan musuh dalam pertempuran langsung dengan menargetkan bagian tubuh yang fatal untuk memastikan kemenangan. Leher manusia mengandung struktur penting, termasuk saraf, pembuluh darah, dan organ, yang jika cedera parah dapat mengakibatkan konsekuensi fatal. Saraf vagus mengendalikan fungsi otonom vital, semisal detak jantung, pencernaan, dan laju pernapasan. Memutuskan saraf vagus dapat mengganggu fungsi-fungsi ini, yang menyebabkan detak jantung tak teratur, kesulitan bernapas, dan kemungkinan kematian. Saraf frenikus berasal dari tulang belakang leher dan mengendalikan diafragma, otot utama yang terlibat dalam pernapasan. Cedera pada saraf frenikus dapat melumpuhkan diafragma, yang menyebabkan kegagalan pernapasan. Jaringan saraf pleksus serviks memasok sensasi dan kontrol motorik ke bagian-bagian leher, bahu, dan diafragma. Kerusakan parah dapat mengganggu pernapasan (karena keterlibatan saraf frenikus) dan sensasi atau gerakan di area di dekatnya. Rantai saraf simpatik mengatur fungsi otonom, termasuk tekanan darah dan pelebaran pupil. Cedera dapat menyebabkan sindrom Horner (ptosis, miosis, dan anhidrosis) dan ketidakstabilan vaskular.Arteri karotis memasok darah ke otak. Pemutusan arteri karotis menyebabkan kehilangan banyak darah dan kekurangan oksigen ke otak, yang menyebabkan kematian dalam hitungan menit. Vena jugularis mengalirkan darah dari otak. Pemutusan vena jugularis mengakibatkan kehilangan banyak darah dan potensi emboli udara, yang dapat berakibat fatal. Kerusakan pada trakea dapat menyumbat jalan napas, yang menyebabkan mati lemas. Cedera pada esofagus mungkin tak langsung berakibat fatal, tetapi dapat menyebabkan komplikasi parah jika tidak diobati. Sumsum tulang belakang leher melewati leher, mengendalikan fungsi motorik dan sensorik yang penting. Kerusakan parah, terutama pada sumsum tulang belakang leher bagian atas, dapat menyebabkan kelumpuhan atau kematian karena menghentikan fungsi pernapasan.Leher adalah daerah tubuh manusia yang sangat rentan karena mengandung banyak struktur penting yang mendukung kehidupan. Cedera pada saraf, pembuluh darah, atau sumsum tulang belakang tertentu dapat mengakibatkan kematian, seringkali dalam hitungan menit. Jika saraf tertentu di leher terpotong atau rusak parah, kematian dapat terjadi dengan cepat karena perannya dalam mengendalikan fungsi vital. Saraf yang paling kritis di leher dapat mempercepat kematian jika terputus.Beberapa ulama menafsirkannya sebagai metafora untuk mengalahkan musuh secara meyakinkan dalam pertempuran. Ayat tersebut segera beralih ke perlakuan manusiawi terhadap tawanan, menawarkan pilihan untuk membebaskan mereka sebagai tindakan belas kasihan atau menebus mereka. Imam Al-Qurtubie menjelaskan bahwa frasa ini mengacu pada peperangan yang sah dan menandakan beratnya pertempuran. Setelah pertempuran, diperlukan belas kasihan kepada tawanan. Ibn Katsir mencatat bahwa ayat tersebut menetapkan batasan pada peperangan dan menggalakkan perilaku etis dengan mengamanatkan agar tawanan diperlakukan secara manusiawi seusai pertempuran. Frasa 'tebaslah leher mereka' ditujukan untuk pertempuran selama perang yang sah dan adil, khususnya ketika umat Islam membela diri dari agresi selama pertempuran awal di masa Rasulullah (ﷺ). Frasa ini menekankan keterlibatan di medan perang dengan kejelasan dan ketegasan. Frasa ini bukanlah perintah umum untuk menyakiti non-Muslim, melainkan berlaku khusus untuk kombatan bersenjata di tengah panasnya pertempuran.Perintah 'tebaslah leher mereka' mencerminkan taktik militer standar saat itu, karena pedang merupakan senjata utama yang digunakan dalam pertempuran. Perintah tersebut khusus untuk medan perang dan tak berlaku bagi warga sipil atau tawanan. Tujuannya untuk menaklukkan pasukan musuh, yang mengarah pada penghentian permusuhan. Setelah musuh ditaklukkan, ayat tersebut menyarankan perlakuan manusiawi, seperti mengikat tawanan dan menawarkan opsi untuk pembebasan mereka (misalnya, melalui tebusan atau tindakan belas kasihan). Ayat tersebut tak mendukung kekerasan yang tidak perlu atau penderitaan yang berkepanjangan. Ayat tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang menyeluruh untuk meminimalkan bahaya selama perang. Islam melarang mutilasi, penyiksaan, atau penderitaan yang tidak perlu terhadap musuh, bahkan selama pertempuran.Jadi, frasa 'tebaslah leher mereka' merupakan perintah khusus untuk perang yang sah melawan agresor dalam konteks medan perang. Ia bukan seruan melakukan kekerasan tanpa pandang bulu dan seyogyanya dipahami dalam prinsip-prinsip Islam yang lebih luas tentang keadilan, etika, dan kasih sayang. Setelah pertempuran, Islam mengamanatkan perlakuan manusiawi terhadap tawanan, dengan menekankan belas kasihan dan rekonsiliasi.Islam mengakui realitas peperangan, tetapi menetapkan pedoman ketat guna memastikannya dilakukan secara etis. Tujuan utama perang dalam Islam bukanlah penaklukan atau agresi, tetapi untuk menegakkan keadilan, melindungi kebebasan beragama, dan mempertahankan diri dari kezaliman. Umat Islam diperintahkan turut dalam peperangan hanya untuk membela diri atau melawan penindasan, dan mereka dilarang melakukan agresi yang tidak adil.Ajaran Islam menekankan berbelas-kasihan, berkeadilan, dan berpengendalian diri walau dalam peperangan. Rasulullah (ﷺ) menetapkan pedoman etika: 'Jangan membunuh non-kombatan (misalnya, wanita, anak-anak, orang tua, atau pendeta); jangan menyakiti warga sipil, merusak tanaman, atau merusak infrastruktur; perlakukan tawanan secara manusiawi.'Islam menganjurkan perdamaian dan rekonsiliasi bila memungkinkan,وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ'(Akan tetapi,) jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.' [QS. Al-Anfal (61):8]Walau dalam peperangan, umat Islam dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Berbuat khianat, memutilasi, dan tindakan menyakiti orang lain secara tak perlu, dilarang keras.Prinsip kedua ialah larangan penyiksaan atau menyakiti. Rasulullah (ﷺ) memerintahkan umat Islam memperlakukan tawanan dengan baik dan melarang menyakiti mereka. Contoh, usai Perang Badar, beliau (ﷺ) memerintahkan agar para tawanan diperlakukan dengan bermartabat. Catatan sejarah menyebutkan bahwa beberapa sahabat memberikan makanan kepada tawanan sementara mereka sendiri kelaparan.Larangan penyiksaan atau menyakiti merupakan prinsip dasar dalam ajaran Islam, terutama dalam konteks peperangan, perlakuan terhadap tawanan, dan interaksi dengan orang lain. Islam menekankan keadilan, belas kasihan, dan kesucian martabat manusia, dan prinsip-prinsip ini berlaku bahkan kepada musuh selama perang.Kisah Tsumama bin Utsal merupakan contoh luar biasa tentang pendekatan Rasulullah (ﷺ) dalam menangani tawanan. Kisah ini menggambarkan kekuatan transformatif dari kebaikan dan belas kasihan dalam ajaran Islam.Tsumama bin Utsal adalah seorang pemimpin terkemuka suku Bani Hanifah dan salah satu musuh Islam yang paling kejam di masa-masa awal. Ia telah menyakiti umat Islam dan bahkan berencana membunuh Rasulullah (ﷺ). Namun, setelah bertemu dengan umat Islam, sudut pandang Tsumama berubah total. Rasulllah (ﷺ) secara pribadi merawat Tsumama. Beliau (ﷺ) memastikan bahwa Tsumama diberi makan dengan baik dan diperlakukan secara manusiawi.Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, 'Nabi (ﷺ) mengutus satu pasukan berkuda ke arah Najd, lalu pasukan tersebut datang membawa seorang lelaki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Lalu mereka mengikatnya di salah satu tiang masjid. Nabi (ﷺ) keluar menemuinya seraya bertanya, 'Apa pendapatmu, wahai Tsumamah?' Tsumamah menjawab: Menurutku inilah kebaikan, wahai Muhammad. Jika engkau membunuhku, maka engkau membunuh manusia yang memiliki darah. Apabila engkau berbuat baik, maka engkau berbuat baik kepada orang yang bisa berterima kasih. Dan jika engkau ingin harta, maka mintalah harta semaumu. Sampai keesokan hari, Nabi (ﷺ) bertanya kepada Tsumamah, 'Apa pendapatmu, wahai Tsumamah?' Tsumamah menjawab: Apa yang telah aku katakan kepadamu; jika engkau berbuat baik, maka engkau telah berbuat baik kepada seseorang yang bisa berterima kasih.' Nabi (ﷺ) pun meninggalkannya sampai esok lusa, lalu bertanya, 'Apa pendapatmu, wahai Tsumamah?' Tsumamah menjawab, 'Aku berpendapat apa yang telah aku katakan kepadamu.' Nabi (ﷺ) bersabda, 'Bebaskan Tsumamah!' Lalu Tsumamah pergi ke kolam air yang dekat dengan masjid, mandi, lalu masuk masjid. Ia berkata: Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Wahai Muhammad, demi Allah, dahulu tidak ada wajah di atas muka bumi ini yang lebih aku benci daripada wajahmu, namun sungguh wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada agama yang lebih aku benci daripada agamamu, lalu sekarang agamamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada negeri yang lebih aku benci daripada negerimu, lalu sekarang negerimu menjadi negeri yang paling aku cintai. Sungguh, pasukan berkudamu telah menangkapku dalam keadaan aku ingin umrah. Bagaimana pendapatmu?' Rasulullah (ﷺ) memberi kabar gembira kepadanya dan memerintahkannya melaksanakan umrah. Ketika Tsumamah tiba di Makkah, ada yang berkata kepadanya, Telah berpindah agamakah engkau?' Tsumamah menjawab, 'Tidak, akan tetapi aku telah masuk Islam bersama Muhammad Rasulullah (ﷺ). Dan, demi Allah, takkan ada satu biji gandum pun dari Yamamah yang akan datang kepada kalian sampai Nabi (ﷺ) mengizinkannya.' [Shahih Al-Bukhari 4372]Prinsip ketiga ialah dorongan membebaskan atau tebusan tawanan. Ajaran Islam menekankan perlakuan manusiawi terhadap tawanan dan mendorong pembebasan atau tebusan mereka sebagai tindakan belas kasihan dan keadilan. Prinsip ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yang lebih luas (maqasid al-syari'ah), yang berupaya menegakkan martabat manusia, merawat kehidupan, dan mendorong rekonsiliasi. Al-Qur'an secara langsung mendorong pembebasan atau tebusan tawanan sebagai tindakan amal dan niat baik yang mulia. Dalam surah Muhammad (47):4 yang telah kusebutkan, ada dua hasil yang diperbolehkan bagi tawanan: Pembebasan dengan ampunan (fidaa): Membebaskan tawanan tanpa kompensasi apa pun, sebagai tindakan kebaikan dan belas kasihan; dan Tebusan (fidya): Membebaskan tawanan dengan imbalan kompensasi uang, barang, atau bahkan pembebasan tawanan Muslim yang ditawan oleh musuh. Tujuan yang mendasarinya adalah untuk menyelesaikan konflik dengan kerugian minimal dan mendorong perdamaian daripada memperpanjang permusuhan.Para pakar hukum Islam sepakat bahwa perlakuan terhadap tawanan hendaknya mengutamakan belas kasihan dan keadilan, dengan mengutamakan pembebasan mereka jika memungkinkan. Pilihan utama yang dibahas oleh para ulama meliputi pembebasan tanpa syarat: dipandang sebagai tindakan yang paling luhur; Tebusan: dapat diterima jika hal itu sesuai dengan kepentingan keadilan atau menguntungkan kedua belah pihak; atau Pertukaran Tawanan: Dibolehkan jika mengarah pada pembebasan tawanan Muslim.Imam Al-Syafi'i dan Imam Malik, misalnya, menyoroti bahwa keputusan mengenai tawanan bergantung pada penilaian pemimpin dan keadaan, dengan tujuan utama untuk meminimalkan kerugian dan mendorong rekonsiliasi.Usai Pertempuran Hunayn, Rasulullah (ﷺ) membebaskan ribuan tawanan sebagai bentuk niat baik, yang memperkuat hubungan antarsuku dan membuka jalan menuju perdamaian. Selama masa kekhalifahannya, Umar bin Khattab (رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ) menerapkan kebijakan untuk memastikan tawanan diperlakukan secara adil, dan ia secara aktif mendorong tebusan atau pembebasan mereka. Prinsip pembebasan tawanan sejalan dengan hukum humaniter internasional kontemporer, seperti Konvensi Jenewa, yang menekankan perlakuan manusiawi terhadap tawanan; dorongan pemulangan atau pembebasan; dan larangan penahanan tanpa batas waktu tanpa alasan. Pendekatan Islam berfungsi sebagai kerangka kerja abadi bagi perilaku etis selama konflik, yang menekankan belas kasihan, keadilan, dan martabat manusia.Dengan mengedepankan perlakuan manusiawi, penyelesaian yang adil, dan kesempatan bagi tawanan untuk mendapatkan kembali kebebasannya, Islam bertujuan menjunjung tinggi martabat manusia dan membina perdamaian. Ajaran-ajaran ini tetap relevan dan berfungsi sebagai panduan moral dalam konflik-konflik modern, mendorong perilaku etis dan kasih sayang walau dalam keadaan yang sulit.Prinsip keempat adalah tiada paksaan dalam keberimanan. Ajaran Islam secara tegas melarang pemaksaan terhadap tawanan perang atau siapapun agar masuk Islam,لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ'Tiada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). ...' [QS. Al-Baqarah (2):256]Rasulullah (ﷺ) menegakkan prinsip ini, memastikan bahwa tawanan tak dipaksa agar menerima Islam.Prinsip kelima ialah keadilan dan akuntabilitas. Hukum Islam (Syariah) memberikan aturan dalam menangani tawanan, menyeimbangkan belas-kasihan dengan keadilan. Hukuman apa pun hendaknya mematuhi prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan, dan kekejaman yang sewenang-wenang dilarang. Rasulullah (ﷺ) bersabda,إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ فِي الدُّنْيَا'Sesungguhnya Allah akan menghukum mereka yang menyiksa manusia di dunia ini (tanpa alasan yang sah)' [Shahih Muslim].Prinsip keenam ialah kebebasan sebagai tindakan yang bajik. Membebaskan tawanan dianggap sebagai tindakan yang bajik dan bermanfaat dalam Islam. Rasulullah (ﷺ) sangat menganjurkan pembebasan budak dan tawanan sebagai cara mencari keridhaan Allah,أَيُّمَا رَجُلٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا اسْتَنْقَذَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ 'Sesiapapun muslim yang memerdekakan seorang budak muslim, niscaya Allah akan menyelamatkan setiap anggota tubuhnya dari api neraka dengan setiap anggota tubuh budak tersebut.' [Muttafaq Alaihi]Dalam Perang Badar, usai kemenangan kaum Muslimin, Rasulullah (ﷺ) memperlakukan tawanan dengan baik dan memperkenankan sebagian dari mereka mendapatkan kebebasan dengan mengajarkan literasi kepada anak-anak Muslim. Dalam Pembebasan Makkah, Rasullah (ﷺ) memaafkan sebagian besar musuhnya yang telah ditawan, menunjukkan belas kasihan dan pengampunan.Ajaran Islam menganjurkan perlakuan manusiawi terhadap sandera dan tawanan perang, dengan menekankan martabat, penyediaan kebutuhan dasar, dan belas kasihan. Meskipun interpretasi tertentu mungkin menyarankan tindakan hukuman terhadap kelompok tertentu yang dianggap sebagai penjahat perang, ini merupakan pengecualian dan bukan arahan umum. Doktrin Islam mempromosikan kebaikan dan belas kasihan terhadap semua tawanan, yang mencerminkan komitmen terhadap perilaku etis bahkan selama konflik.Ajaran Islam menekankan perlakuan manusiawi, keadilan, dan kebebasan bagi tawanan atau sandera. Meskipun ajaran ini memberikan panduan moral yang jelas, penerapannya bergantung pada konteks dan individu atau kelompok yang terlibat. Jika sandera diperlakukan dengan baik, hal itu dapat mencerminkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam, sebaliknya, segala bentuk kekerasan atau perlakuan buruk akan melanggar nilai-nilai inti keagamaan."
Senin, 27 Januari 2025
Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (6)
Rabu, 22 Januari 2025
Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (5)
"Kabarnya, Petruk Mulyono berencana mengumpulkan gengnya untuk melakukan perjalanan sepeda motor yang menegangkan," ungkap Bagong, sembari menunggu kedatangan ramandanya, Semar. "Namun, ceritaku ini bukan tentang 'Mulyono and the gang'; melainkan tentang 'Semar' ... teka-teki dan hakikat siapa sebenernya doi."[Sesi 6]
"Semar merupakan tokoh kultural yang sangat dihormati dalam mitologi Jawa. Semar dipandang sebagai perwujudan kearifan, kesederhanaan, dan kerendahan hati. Ia sering dilukiskan sebagai penasihat bijak yang menuntun orang lain menuju kehidupan yang berakal budi. Tak seperti tokoh mitologi lain yang dihiasi dengan kemegahan, Semar menampilkan sosok jelata, yang melambangkan orang biasa. Sebagai dhanyang (ruh teritorial) dan pamong (pemimpin atau wali), Semar diyakini melindungi dan mengawasi rakyatnya, menyajikan tuntunan dan memastikan kesejahteraan mereka. Meskipun penampilannya sederhana, karakter Semar dijiwai dengan ajaran spiritual dan filosofis yang mendalam. Sifatnya yang paradoks—menjadi dewa tetapi tampak rendah hati dan sederhana—menggambarkan gagasan bahwa kearifan dan kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati. Cerita dan simbolisme Semar telah berkembang, memadukan kepercayaan Hindu, Buddha, Islam, dan keyakinn lokal, yang mencerminkan permadani budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
'Mengkaji Nilai Luhur Tokoh Semar karya Dr. Purwadi, M.Hum. (2014, Penerbit Kanwa) mengupas nilai-nilai luhur yang terkandung dalam diri Semar, tokoh utama dalam pewayangan Jawa. Semar digambarkan sebagai tokoh yang bijak dan rendah hati, yang berperan sebagai pembimbing dan mentor bagi para ksatria utama sekaligus memberi nasihat untuk membantu mereka mencapai cita-cita.
Menurut Dr. Purwadi, Semar berperan sebagai representasi mendalam dari prinsip-prinsip moral dan etika yang berakar dalam falsafah Jawa. Karakternya merangkum nilai-nilai yang menuntun individu dan masyarakat menuju keselarasan, keadilan, dan keseimbangan. Dr. Purwadi menganalisis peran Semar melalui berbagai sudut pandang guna menggambarkan bagaimana ia mewujudkan dan mengajarkan prinsip-prinsip ini.
Semar digambarkan sebagai seorang punakawan yang rendah hati yang tampak biasa-biasa saja, bahkan lucu, tetapi memiliki kearifan mendalam. Kerendahan hati ini mencerminkan nilai Jawa andhap asor—kesederhanaan dan pengendalian diri [prinsip Andhap Asor dalam filosofi Jawa mewujudkan kerendahan hati dan kesantunan. Nilai ini juga dianut oleh masyarakat Madura. Pada intinya, Andhap Asor menekankan bahwa nilai seseorang tak ditentukan oleh kecerdasan, kekayaan, atau status sosialnya, melainkan oleh perilaku dan tingkat rasa hormat yang mereka tunjukkan kepada orang lain. Hal ini mendorong individu agar bersikap sederhana, menyoroti bahwa keagungan sejati terletak pada karakter dan kesopanan seseorang terhadap orang lain]. Melalui Semar, filosofi Jawa mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati, bukan kesombongan; kepemimpinan dan otoritas moral datang dari melayani orang lain, bukan dari kekayaan atau status.
Semar adalah kompas moral bagi Pandawa (tokoh utama Mahabharata) dan sering turun tangan untuk memastikan keadilan ditegakkan. Ia mengingatkan para pemimpin dan prajurit agar bertindak etis, walaupun dalam keadaan sulit. Peran ini sejalan dengan prinsip-prinsip Jawa tentang bebener (kejujuran) dan keadilan, yang menekankan tindakan berdasarkan kebenaran dan keadilan universal serta menegakkan keadilan dan integritas, terutama bagi well-being setiap rakyat.
Peran Semar sebagai penjaga keseimbangan kosmis mencerminkan konsep Jawa tentang keselarasan—hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Sang Ilahi. Semar senantiasa menasihati Pandawa agar menyeimbangkan pengejaran materi dengan pertumbuhan spiritual, dan menghindari perilaku yang ekstrem, serta tetap berpusat dan memperhatikan kebaikan yang lebih besar. Filosofi ini mempromosikan cara hidup holistik yang memadukan dimensi material, emosional, dan spiritual.
Semar mencontohkan cita-cita pemimpin yang melayani (servant leaders). Ia mengutamakan kebutuhan orang lain, seringkali mengorbankan kenyamanannya demi kebaikan bersama. Melalui hal ini, filosofi Jawa mengajarkan para pemimpin hendaknya melayani rakyatnya dengan ketulusan dan kasih-sayang; pelayanan tanpa pamrih merupakan bentuk perilaku moral tertinggi.
Semar menggunakan humor dan bahasa yang sederhana dalam menyampaikan pelajaran moral yang mendalam, sehingga dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sikapnya yang ceria namun berwawasan luas mencerminkan pendekatan Jawa yang ngemong (membimbing dengan lembut) dan tepa salira (empati), dimana ajaran etika disampaikan dengan belas-kasih dan pengertian, bukan dengan paksaan atau rasa-takut. Semar melambangkan keseimbangan antara diri batiniah (nilai-nilai spiritual) dan diri lahiriah (tindakan di dunia materi). Ia mengajarkan bahwa kehidupan yang etis melibatkan penyelarasan pikiran, perkataan, dan perbuatan dengan prinsip-prinsip universal, yang mencerminkan kepercayaan Jawa pada tri kaya parisudha: Pikiran yang baik (manacika); Ucapan yang baik (wacika); Perbuatan yang baik (kayika).
Melalui tindakan, bimbingan, dan karakternya, Semar mewujudkan dan menggalakkan nilai-nilai yang merupakan bagian integral dari filosofi Jawa, yakni Kerendahan hati: Keberhasilan didasarkan pada kesederhanaan dan rasa hormat kepada orang lain; Keadilan: Perilaku etis tak dapat dinegosiasikan, biarpun dalam kesulitan; Keselarasan: Menyeimbangkan seluruh aspek kehidupan memastikan kedamaian dan well-being; Pelayanan: Kepemimpinan itu tentang melayani orang lain tanpa pamrih; dan Empati: Pelajaran moral paling baik diajarkan melalui pemahaman dan keterhubungan.
Semar berperan sebagai tokoh penting yang memastikan keharmonisan antara pemimpin dan rakyat, serta antara alam spiritual dan material. Semar berperan sebagai kompas moral bagi para Pandawa (tokoh utama Mahabharata dalam pewayangan Jawa), menasihati mereka tentang kepemimpinan yang etis dan memastikan mereka memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
Ia kerap mengkritik para penguasa atau keputusan yang mengabaikan kebutuhan rakyat, menekankan pentingnya adil dan bijaksana dalam pemerintahan. Semar mewujudkan filosofi kepemimpinan yang melayani, mengajarkan bahwa seorang penguasa harus melayani, bukan mendominasi, dan mendengarkan suara rakyat. Ia mengingatkan para pemimpin agar tetap rendah hati, menghindari kesombongan, dan memelihara empati terhadap rakyatnya. Dengan memposisikan Semar sebagai seorang punakawan yang rendah hati, kisah-kisah pewayangan menekankan bahwa kebijaksanaan dan bimbingan moral kadangkala datang dari sumber yang tak terduga, tak semata dari mereka yang berkuasa.
Semar merepresentasikan konsep filosofi Jawa tentang kesatuan dalam dualitas (manunggaling dualitas). Ia bersifat ilahi dan manusiawi, yang mewujudkan koeksistensi antara yang sakral dan yang duniawi. Esensi ilahinya menghubungkannya dengan dunia spiritual, sementara wujud manusia dan perannya sebagai pelayan memungkinkannya berhubungan dengan dunia material dan membimbing orang lain dalam menjalaninya. Ia memastikan bahwa pengejaran spiritual dan material tetap seimbang, mencegah salah satu dari mendominasi yang lain. Ia mengingatkan tokoh-tokoh dalam Wayang bahwa fokus yang berlebihan pada kekayaan materi atau keterpisahan spiritual dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan. Ia sering memberikan bimbingan spiritual kepada Pandawa, membantu mereka menyelaraskan tindakan mereka dengan tatanan kosmik yang lebih besar (rukun jagad atau harmoni universal). Ia mengajarkan bahwa pemenuhan spiritual dan kesuksesan material harus saling mendukung, bukan bertentangan.
Semar menyajikan nasihat praktis untuk menyelesaikan konflik antara pemimpin dan rakyat, serta menyelaraskan cita-cita spiritual dengan realitas material. Kearifannya mencerminkan penekanan orang Jawa pada diplomasi, kesabaran, dan kompromi. Pemimpin (melambangkan alam spiritual) harus peduli pada rakyat (melambangkan alam material) untuk memastikan keharmonisan masyarakat. Peran Semar sebagai jembatan antara alam-alam ini memastikan bahwa pemerintahan mencerminkan integritas etika dan perhatian praktis terhadap kesejahteraan rakyat.
Semar sering menggunakan humor untuk meredakan ketegangan dan menyampaikan kritik, sehingga ia dapat membahas isu-isu sensitif tanpa menimbulkan konflik. Selain memberi nasihat, Semar menggunakan kekuatan ilahinya untuk melindungi Pandawa dari bahaya, yang melambangkan gagasan bahwa bimbingan moral dan spiritual merupakan kekuatan pelindung bagi masyarakat. Dalam berbagai cerita pewayangan, Semar bertindak sebagai mediator, menyelesaikan perselisihan antar tokoh dengan mengedepankan keadilan, pengertian, dan rasa saling menghormati.
Semar mencerminkan cita-cita Jawa yang berakar dalam, Rukun (Keharmonisan): Menjaga kedamaian dan keseimbangan dalam segala hubungan; Tepa Selira (Empati): Memahami dan menghormati perspektif orang lain, terutama antara pemimpin dan rakyat; Sumeleh (Berserah pada Kehendak Ilahi): Menyelaraskan tindakan pribadi dan masyarakat dengan tatanan kosmik Ilahi; Sederhana (Kebersahajaan): Menekankan kerendahan hati dan penolakan keserakahan atau kelebihan dalam kepemimpinan dan kehidupan.
Menurut Dr. Purwadi, Semar mewujudkan nilai-nilai utama Jawa semisal kebaikan, keseimbangan spiritual, dan keharmonisan dalam hidup melalui tindakan, karakter, dan ajarannya. Semar berfungsi sebagai simbol kebaikan dan perilaku etis yang tak tergoyahkan. Ia secara konsisten menasihati Pandawa agar bertindak dengan cara yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, sejalan dengan cita-cita Jawa tentang kebajikan moral. Semar berdiri sebagai pelindung rakyat jelata, memastikan bahwa para pemimpin seperti Pandawa tetap rendah hati dan penuh welas-asih dalam pemerintahan mereka. Tindakannya mencerminkan nilai Jawa dalam melayani kebaikan yang lebih besar (ngabdi masyarakat). Meskipun rendah hati dan humoris, Semar menggunakan posisinya sebagai pelayan untuk menyampaikan hikmah yang mendalam. Hal ini menunjukkan kepercayaan Jawa bahwa kebaikan sejati kerap datang dari kerendahan hati dan tidak mementingkan diri sendiri.
Karakter Semar sebagai ilahi sekaligus manusia merepresentasikan konsep Jawa tentang manunggaling kawula lan Gusti (kesatuan antara diri dan sang Ilahi). Hal ini mencerminkan perlunya keseimbangan antara tanggungjawab duniawi dan pengejaran spiritual. Dalam pertunjukan wayang kulit, Semar sering mengajarkan Pandawa dan yang lainnya agar mencari keharmonisan dalam diri mereka sendiri dengan menyelaraskan tindakan mereka dengan prinsip-prinsip kosmik (rukun jagad atau keharmonisan universal). Nasihat Semar sering menekankan sumeleh (berserah diri kepada Sang Ilahi), atau pentingnya menerima takdir seseorang dengan keyakinan pada kehendak Ilahi, mendorong kepuasan spiritual dan kepercayaan kepada Sang Pencipta.
Semar merupakan perwujudan filosofi Jawa tentang keseimbangan antara hal-hal yang berlawanan—Ilahi dan manusiawi, spiritual dan material, kekuatan dan kerendahan hati. Dualitas ini berfungsi sebagai pengingat bahwa segala aspek kehidupan hendaknya hidup berdampingan secara harmonis. Dalam perannya sebagai punakawan, Semar sering memediasi konflik antartokoh, menyelesaikan pertikaian dengan mengutamakan pengertian dan kerjasama. Tindakannya mencerminkan prinsip rukun Jawa (menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam hubungan). Semar mendorong kehidupan yang harmonis dengan alam dan menghormati siklusnya. Hal ini mencerminkan kepercayaan Jawa tentang keterhubungan semua makhluk dan pentingnya keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Semar secara konsisten mengajarkan Pandawa agar mempertimbangkan perspektif dan kebutuhan orang lain. Tindakan dan nasihatnya menyoroti nilai empati dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Penampilan Semar yang rendah hati dan sifatnya yang lugas menekankan pentingnya kesederhanaan dan kerendahan hati sebagai dasar kehidupan yang baik. Kebijaksanaannya tidak abstrak tetapi praktis, didasarkan pada tantangan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penekanan orang Jawa pada penggunaan pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata.
Semar mewakili cita-cita gotong royong, dimana setiap orang bekerja bersama untuk mencapai keharmonisan kolektif. Bimbingannya sering mendorong para pemimpin mengutamakan kesejahteraan bersama di atas keinginan individu. Dengan mengatasi ketidakseimbangan spiritual dan moral, Semar memastikan bahwa keharmonisan meluas melampaui ranah manusia hingga ke tatanan kosmik yang lebih luas (alam semesta).
Dr. Purwadi menegaskan bahwa Semar bukan sekadar tokoh, melainkan representasi nilai-nilai Jawa yang mengutamakan kebaikan, keseimbangan spiritual, dan keharmonisan dalam kehidupan. Ajaran, tindakan, dan sifat gandanya menginspirasi individu agar menjunjung tinggi moralitas dan kebaikan dalam segala hubungan; menyeimbangkan pertumbuhan spiritual dengan tanggungjawab material; dan hidup dalam harmoni dengan orang lain, alam, dan Sang Ilahi.
Melalui Semar, filosofi Jawa menyampaikan pentingnya kerendahan hati, empati, dan kearifan sebagai landasan bagi kehidupan yang seimbang dan harmonis.
"Apa dan Siapa Semar" karya Sri Mulyono (1989, CV Masagung) mengupas karakter Semar, mengeksplorasi makna simbolisnya, ajaran spiritualnya, dan perannya dalam budaya dan filosofi Jawa. Karya Sri Mulyono dikenal karena memadukan ketelitian akademis dengan apresiasi mendalam terhadap warisan Indonesia, menjadikannya referensi utama bagi mereka yang tertarik memahami lapisan terdalam budaya dan filosofi wayang.
Semar dipandang sebagai salah satu tokoh pewayangan Jawa yang paling rumit dan misterius. Asal usulnya merupakan perpaduan mitologi Jawa, tradisi Hindu-Buddha, dan pengaruh Islam. Semar muncul sebelum pengaruh Islam pada budaya Jawa dan berakar kuat dalam sistem kepercayaan asli Jawa kuno. Tokohnya berasal dari kosmologi Jawa, yang menggabungkan animisme, Hinduisme, dan Buddha. Ia diyakini sebagai dewa yang turun ke dunia fana untuk membimbing manusia, khususnya para Pandawa dalam epos pewayangan. Dalam mistisisme Jawa, Semar dikaitkan dengan tatanan dan harmoni kosmik (jagad raya), yang mewujudkan kesatuan antara alam manusia dan alam dewa.
Dalam salah satu cerita asal-usulnya, Semar dulunya makhluk surgawi bernama Ismaya, kakak lelaki Sang Hyang Manikmaya. Perselisihan antara kedua bersaudara itu menyebabkan Ismaya menjelma menjadi manusia biasa, dengan tujuan melayani dan merendahkan hati. Transformasinya menjadi Semar merupakan simbol pelepasan keduniawian—meninggalkan keagungan ilahi untuk melayani tujuan moral dan spiritual yang lebih tinggi di antara manusia.
Ciri fisik Semar yang unik—perut buncit, mata juling, dan penampilan androgini [tampilan yang menggabungkan karakteristik maskulin dan feminin. Ini dapat digunakan menggambarkan identitas gender, mode, atau gaya seseorang. Seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai androgini mungkin memiliki ciri maskulinitas dan femininitas. Mereka mungkin juga nonbiner, yang berarti mereka tak mengidentifikasi diri secara eksklusif sebagai lelaki atau perempuan. Androgini dapat diekspresikan melalui pilihan mode, semisal mengenakan rok atau fedora dengan blus yang mengalir. Barang-barang netral gender semisal kaus oblong, jeans, blazer, dan sepatu oxford dapat digunakan untuk menjadikan tampilan androgini. Riasan yang tampak alami dan potongan rambut netral gender semisal shag atau pixies juga dapat digunakan. David Bowie, misalnya, kerap mengenakan riasan dan gaun, yang menumbangkan stereotip seksual. Grace Jones dulunya dikenal dengan tampilan androgini. Billie Eilish digambarkan bergaya androgini, dengan pakaian eversized dan baggy]—sangat simbolis. Perut buncit melambangkan kelimpahan, pemeliharaan, dan bumi. Mata julingnya menandakan kemampuan melihat melampaui penampilan, ke dalam alam spiritual. Androgini-nya mencerminkan kesatuan yang bertolak belakang, melambangkan keseimbangan dan harmoni antara maskulin dan feminin, baqa' dan fana', sakral dan profan.
Semar digambarkan sebagai pelindung kebenaran, khususnya bagi Pandawa, tokoh utama dalam cerita pewayangan, yang terinspirasi dari Mahabharata. Ia bertindak sebagai kompas moral dan pembimbing spiritual, yang mengingatkan akan tugas dan tujuan mulia dari perjuangan mereka. Meskipun penampilannya sederhana dan perannya sebagai pelayan, Semar memiliki kekuatan dan kearifan yang luar biasa. Ia sering menyelesaikan konflik dan mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam melalui humor dan kesederhanaan, mewujudkan cita-cita kepemimpinan Jawa melalui kerendahan hati.
Sri Mulyono mengontekstualisasikan peran Semar dalam evolusi budaya Jawa. Selama periode Hindu-Buddha di Jawa, Semar dimasukkan ke dalam cerita pewayangan yang terinspirasi oleh Mahabharata dan Ramayana. Namun, perannya khas Jawa, karena ia tak muncul dalam epos India asli. Semar secara unik diciptakan untuk mewujudkan nilai-nilai Jawa dan memberikan pemandu spiritual lokal bagi para penonton.
Dengan datangnya Islam di Jawa, karakter Semar ditafsirkan ulang melalui lensa Islam. Ia menjadi simbol seorang hamba Allah yang taat, mewujudkan kualitas ideal seorang pemimpin Muslim—keadilan, kerendahan hati, dan pengabdian kepada Allah. Perannya sebagai pemandu spiritual selaras dengan ajaran Islam, membuatnya relevan dengan masyarakat Jawa-Islam yang sedang berkembang.
Dalam banyak cerita pewayangan, Semar digambarkan sebagai pendukung dan pembimbing spiritual Pandawa yang teguh, khususnya Yudhistira (kakak tertua dan simbol keadilan). Pada saat Pandawa menghadapi tantangan berat atau dilema moral, Semar turun tangan mengingatkan mereka tentang tujuan hidup mereka yang lebih tinggi. Nasihatnya seringkali dibalut dalam bahasa yang sederhana, tetapi mengandung kebenaran spiritual dan etika yang dalam. Dalam tradisi Wayang Purwa, Semar sering menggunakan perumpamaan atau teka-teki untuk menjelaskan pentingnya tetap bersikap adil dan sabar, bahkan ketika dizalimi, yang mencerminkan cita-cita orang Jawa tentang andhap asor (kerendahan hati dan pengendalian diri).
Semar sering menjadi penengah pertikaian antara Pandawa dan musuh-musuh mereka, semisal Kurawa. Meskipun penampilannya sederhana, kearifan dan kewibawaannya mengundang rasa hormat dari semua pihak. Dalam cerita Semar Mbangun Kayangan ('Semar Membangun Kayangan'), Semar mengembalikan keseimbangan kosmis ketika langit sendiri sedang kacau karena kesombongan para dewa. Cerita ini menggambarkan peran Semar sebagai pelindung tatanan kosmis, bahkan melampaui para dewa dalam otoritasnya.
Dalam beberapa cerita pewayangan, Semar berperan sebagai dewa yang menghukum kesombongan dan ketidakadilan. Meskipun ia biasanya lembut dan humoris, ketika para dewa atau raja melangkahi batas mereka, Semar menampakkan wujud dewanya sebagai Sang Hyang Ismaya untuk menegur mereka. Dalam satu cerita, seorang raja yang sombong menolak mengindahkan nasihat rakyatnya dan melakukan ketidakadilan yang parah. Semar turun tangan, menggunakan kecerdasan dan kekuatan dewa untuk merendahkan raja dan memulihkan ketertiban.
Semar sering mengajarkan pentingnya keseimbangan antara hal-hal yang bertolak belakang: kehidupan spiritual dan material, kerendahan hati dan kewibawaan, serta suka dan duka. Hal ini mencerminkan filosofi Jawa tentang rukun (harmoni) dan keseimbangan (balance). Ia mendorong Pandawa agar bertindak dengan moderasi dan menjaga keharmonisan dalam hubungan mereka, bahkan ketika berhadapan dengan musuh. Tema yang berulang dalam ajaran Semar adalah sepi ing pamrih, rame ing gawe ('bebas dari kepentingan pribadi, tekun bekerja'). Ia mencontohkan cita-cita ini dengan mendedikasikan diri sepenuhnya melayani Pandawa tanpa mencari keuntungan atau pengakuan pribadi. Hal ini sejalan dengan konsep kepemimpinan etis Jawa, dimana pemimpin sejati mengutamakan kesejahteraan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri.
Sikap Semar yang rendah hati dan tutur katanya yang jenaka merupakan pilihan yang disengaja yang mencerminkan cita-cita orang Jawa tentang andhap asor (kerendahan hati). Kendati punya kekuatan yang sangat besar sebagai makhluk ilahi, Semar memilih melayani daripada memerintah. Ia sering menasihati Pandawa agar tetap sabar dalam menghadapi kesulitan, percaya pada keadilan ilahi dan tatanan alam semesta. Dalam perannya sebagai seorang hamba, Semar menunjukkan bahwa melayani orang lain dengan tulus adalah jalan menuju pencerahan spiritual. Tindakannya menunjukkan bahwa manusia dapat mencapai pemenuhan spiritual dengan menyelaraskan keinginan mereka dengan tujuan ilahi.
Beberapa cerita pewayangan tertentu mengangkat tema-tema filosofis Jawa. Dalam cerita Semar Gugat ('Semar Menggugat'), Semar mengkritik para dewa karena mengabaikan tugas mereka dan membiarkan kekacauan menyebar di dunia fana. Keberaniannya dalam mempertanyakan otoritas ilahi mencerminkan kepercayaan Jawa bahwa kekuasaan, bahkan kekuasaan ilahi, harus dipertanggungjawabkan. Cerita ini mengajarkan pentingnya keberanian moral dan perlunya para pemimpin agar tetap adil dan penuh kasih sayang.
Dalam cerita Petruk Dadi Ratu ('Petruk jadi Raja'), putra Semar, Petruk, untuk sementara waktu menjadi raja, yang mengarah ke serangkaian peristiwa yang lucu tetapi penuh wawasan. Melalui kesialan Petruk, Semar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah tanggungjawab, bukan hak istimewa dan harus didasarkan pada kerendahan hati dan kearifan.
Sri Mulyono berpendapat bahwa ajaran Semar masih sangat relevan hingga saat ini. Di dunia yang sering dicirikan oleh kesombongan, materialisme, dan konflik, penekanan Semar pada kerendahan hati, harmoni, dan ketidakegoisan menawarkan pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Perannya sebagai pelindung keadilan dan keseimbangan berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya kepemimpinan etis dan integritas spiritual.
Peran ganda Semar yang unik sebagai punakawan (pelayan pembanyol) dan makhluk ilahi menjadikannya salah satu karakter yang paling menarik dan multifaset dalam pewayangan Jawa. Punakawan adalah karakter komedi dalam Pewayangan yang bertindak sebagai pelayan bagi para protagonis yang mulia, seperti Pandawa, tetapi peran mereka jauh dari sepele. Semar menonjol di antara para punakawan sebagai pemimpin dan tokoh paling penting, mewujudkan kearifan yang tersembunyi di balik humor dan kerendahan hati. Semar muncul sebagai orangtua yang sederhana dan humoris, sering melibatkan komedi slapstick, komentar jenaka, atau lelucon yang merendahkan diri. Kesederhanaan lahiriah ini memungkinkannya terhubung dengan para elit (Pandawa) dan orang-orang biasa di antara para penonton. Meskipun penampilannya seperti pelayan rendahan, Semar sangat dibutuhkan oleh Pandawa. Nasihatnya seringkali menyelesaikan dilema mereka, dan kehadirannya dianggap sebagai berkah Ilahi.
Sifat banyolan Semar berfungsi menyoroti kebenaran yang mendalam dengan cara yang dapat dipahami semua orang. Falsafah Jawa menghargai humor sebagai sarana untuk melembutkan kebenaran yang sulit dan membuat kebijaksanaan lebih mudah diterima. Melalui humor, Semar mengkritik norma-norma masyarakat, mengungkap kemunafikan, dan mengingatkan Pandawa (dan penonton) tentang tanggungjawab moral mereka. Sebagai seorang pelayan, kerendahan hati dan kesediaannya melayani, mengajarkan bahwa kebesaran terletak pada pengabdian kepada orang lain, bukan pada kekuasaan atau status."
[Sesi 4]
Selasa, 21 Januari 2025
Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (4)
"Dahulu kala di desa unik Ngerok, hiduplah seorang petani bernama 'Pak Mul'. Pak Mul bukanlah petani biasa; doi ahli dalam memelihara kodok. Kolamnya dipenuhi kodok dengan beragam rupa, ukuran, dan suara ngerok, membuatnya menjadi buah bibir di kota. Sementara sebagian besar penduduk desa bercocok tanam padi, gandum, dan sayur-sayuran, Pak Mul sangat menyukai kodok," Semar lanjut dengan sebuah cerita."Para-para kodok Pak Mul kesohor dengan suara ngeroknya yang merdu dan warna-warna cerahnya. Penduduk dari desa-desa sekitar akan berbondong-bondong datang ke desa Ngerok cuma untuk menyaksikan konser kodok setiap malam dan mengagumi pertunjukan para amfibi tersebut. Meskipun berhasil, Pak Mul gak pernah merasa puas. Gak peduli berapa banyak kodok yang dimilikinya, ia selalu menginginkan lebih. Ia bermimpi menjadi Raja Kodok, yang memerintah sebuah kerajaan dengan suara ngerok yang ga'ada habisnya.Suatu hari, ketika Pak Mul sedang menghitung kodoknya untuk yang kelima puluh kalinya pagi itu, ia menghela napas dramatis dan bergumam, 'Kalau saja aku punya kodok dua kali lebih banyak! Maka aku akan benar-benar menjadi peternak kodok terhebat di seluruh negeri!'Kabar keserakahan Pak Mul sampai ke telinga Pak Tua yang bijak dan aneh, yang memutuskan mengunjunginya. Pak Tua itu mendapati Pak Mul sedang berdiri di tepi kolamnya, memandangi para-para kodoknya dengan perasaan campur aduk antara bangga dan gak puas.'Pak Mul,' seru Pak Tua, 'Mengapa dirimu terlihat begitu murung meski punya kolam yang amat indah dan penuh dengan kodok?'Pak Mul mendongak, terkejut. 'Oh, Pak Tua, kodok-kodokku hebat sekali, tetapi aku butuh lebih banyak lagi. Aku ingin menjadi peternak kodok terhebat sepanjang masa, dan karenanya, aku butuh lebih banyak kodok!'Pak Tua terkekeh, matanya berbinar-binar nakal. 'Ah, Pak Mul, lihatlah, keagungan sejati gak datang dari punya lebih banyak kodok. Ia datang dari menghargai kodok-kodok yang sudah dikau miliki. Coba deh dengerin cerita ini.'Pak Mul mengangguk penuh semangat, berharap menemukan rahasia harta-karun kodok yang tak terbatas.'Dahulu kala, ada seorang petani yang memiliki kolam penuh kodok, seperti kolammu. Namun, alih-alih bersyukur, ia selalu menginginkan lebih. Ia menghabiskan siang dan malamnya menangkap lebih banyak kodok, memenuhi setiap sudut dan celah dengan para kodok. Suatu hari, ia membanggakan diri kepada penduduk desa bahwa ia akan menangkap setiap kodok di negeri itu. Saat ia mengejar seekor kodok yang sangat sulit ditangkap, ia terpeleset dan jatuh ke dalam kolam. Para kodok, yang sudah muak dengan keserakahannya, memutuskan memberinya pelajaran. Mereka mengerok keras, membentuk paduan suara yang bergema di seluruh desa: 'Keserakahan menuntun pada kebodohan, dan kebodohan mambawa masuk ke kolam!' Petani itu, yang basah kuyup dan terhina, belajar bahwa kekayaan sejati terletak pada rasa puas, bukan pada akumulasi yang tak berujung.'Pak Mul mendengarkan. 'Pak Tua, engkau benar. Saking fokusnya aku mendapatkan lebih banyak kodok, sehingga aku lupa menghargai yang sudah kumiliki.'Pak Tua menepuk punggung Pak Mul. 'Ingat, Pak Mul, kunci kebahagiaan bukan pada banyaknya kodok yang dikau miliki, tapi pada sukacita yang mereka berikan kepadamu.'Namun, ternyata Pak Mul punya bakat melupakan sesuatu, dan nasihat Pak Tua hanya masuk kuping kanan dan keluar telinga kiri. Beberapa hari kemudian, sang peternak kodok tampak duduk di singgasana dengan mahkota di hadapan para-para kodoknya, mungkin lagi ngajakin kodoknya itu,'Yuk kita main presiden-presidenan!""Sekarang mari kita lanjut dengan topik kita. Alternatif keempat ialah Keterlibatan dan Komunikasi Publik. Fokusnya pada penilaian transparansi pemerintah, strategi komunikasi, dan upaya melibatkan warga negara. Analisis dilakukan terhadap frekuensi dan kejelasan jumpa pers, pernyataan publik, dan upaya penjangkauan semisal rapat umum atau konsultasi publik. Komunikasi yang efektif membangun kepercayaan publik dan menyampaikan akuntabilitas atau rasa tanggungjawab.Dalam 'The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation' (2007, PublicAffairs), Drew Westen menekankan bahwa komunikasi yang efektif dan keterlibatan emosional sangat penting dalam membentuk kepercayaan publik terhadap para pemimpin politik. Westen berpendapat bahwa keputusan pemilih sebagian besar dipengaruhi oleh respons emosional daripada pertimbangan rasional. Ia berpendapat bahwa kampanye politik seringkali gagal jika hanya mengandalkan argumen logis, mengabaikan aspek emosional yang beresonansi dengan para pemilih. Dengan menyusun pesan yang membangkitkan emosi seperti harapan, ketakutan, atau empati, para pemimpin dapat menciptakan hubungan yang lebih kuat dengan para pemilih, sehingga meningkatkan kepercayaan publik. Analisis Westen menggarisbawahi perlunya politisi mengintegrasikan daya tarik emosional ke dalam strategi komunikasi mereka dalam melibatkan dan membujuk publik secara efektif.Drew Westen menekankan bahwa emosi secara signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Westen berpendapat bahwa pilihan pemilih lebih sering didorong oleh respons emosional daripada analisis rasional. Ia menyarankan bahwa komunikasi politik yang berhasil hendaknya melibatkan aspek emosional pemilih untuk membangun kepercayaan dan dukungan.Dengan menghubungkan ide-ide ini, 100 hari pertama berfungsi sebagai jendela penting bagi pemerintahan baru dalam melibatkan publik secara emosional. Dengan mengomunikasikan pencapaian secara efektif dan menunjukkan kemajuan selama periode ini, para pemimpin dapat membangkitkan emosi positif seperti harapan dan keyakinan di antara warga negara. Keterlibatan emosional ini sejalan dengan pernyataan Westen bahwa menarik emosi pemilih sangat penting bagi keberhasilan politik.Oleh karenanya, hubungan antara evaluasi pemerintah selama 100 hari dan karya Westen terletak pada penggunaan strategis periode awal ini untuk menumbuhkan hubungan emosional dengan publik. Dengan memprioritaskan tindakan dan komunikasi yang beresonansi secara emosional, para pemimpin dapat membangun fondasi kepercayaan dan dukungan yang sangat penting bagi keberlangsungan dan efektivitas pemerintahan mereka.Alternatif kelima ialah Penataan Kelembagaan dan Administrasi. Penataan ini berfokus pada evaluasi pembentukan struktur administrasi yang fungsional dan kompeten. Penataan ini mengkaji pengangkatan pejabat kunci, organisasi kementerian, dan langkah awal dalam mereformasi proses birokrasi. Administrasi yang terorganisasi dengan baik sangat penting dalam melaksanakan kebijakan secara efisien.Dalam Presidential Power and the Modern Presidents: The Politics of Leadership from Roosevelt to Reagan karya Richard E. Neustadt (1991, Free Press), kompetensi kelembagaan pada tahap awal masa jabatan presiden ditekankan sebagai hal yang penting guna membangun fondasi kepemimpinan yang efektif. Kerangka kerja Neustadt berfokus pada kemampuan presiden mempengaruhi orang lain dalam struktur kelembagaan dan politik pemerintahan, dan kompetensi kelembagaan memainkan peran penting dalam hal ini.Neustadt berpendapat bahwa tahap awal masa jabatan presiden sangat penting karena tahap tersebut membentuk pola perilaku, proses pengambilan keputusan, dan hubungan dengan pemangku kepentingan utama. Penggunaan sumber daya kelembagaan yang efektif menandakan kompetensi dan kewenangan kepada Kongres, birokrasi, dan publik.Kompetensi awal dalam mengelola cabang eksekutif dan menavigasi dinamika kelembagaan memperkuat kredibilitas presiden. Neustadt menekankan bahwa kewenangan presiden sebagian besar berakar pada persepsi kekuatan dan efektivitas, yang dibentuk oleh seberapa baik mereka menangani tantangan kelembagaan sejak awal.Neustadt mencatat bahwa kemampuan presiden menentukan dan mengejar prioritas sangat bergantung pada pemahaman kelembagaan mereka. Kesalahan langkah organisasi di awal dapat menyia-nyiakan modal politik dan mempersulit memajukan agenda mereka di kemudian hari.Kompetensi kelembagaan mencakup pemahaman dan pemanfaatan hubungan antara kepresidenan dan cabang pemerintahan lainnya, terutama Kongres. Neustadt menekankan bahwa persuasi dan negosiasi merupakan keterampilan yang penting, dan keterampilan ini memerlukan pengetahuan kelembagaan dan wawasan strategis.Alternatif keenam adalah Keterlibatan Legislatif. Berfokus pada peninjauan kemampuan pemerintah berkolaborasi dengan legislatif atau badan pemerintahan lainnya, dengan menganalisis proposal legislatif yang diajukan, perdebatan yang diadakan, dan tingkat kerjasama bipartisan atau multipartai yang dicapai. Metode ini menggarisbawahi pentingnya membangun koalisi dan demokrasi yang fungsional.Dalam Congress and the Presidency: Institutional Politics in a Separated System karya Louis Fisher dan David M. Abshire (1998, University Press of Kansas), para penulis mengeksplorasi dinamika antara cabang eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan Amerika Serikat yang terpisah. Mereka menekankan perlunya kolaborasi dan rasa saling menghormati guna memastikan pemerintahan yang efektif, karena kedua cabang memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang saling tumpang tindih, yang memerlukan negosiasi dan kompromi.Inkompetensi atau salah urus di awal masa jabatan presiden dapat menyebabkan kekacauan internal dan persepsi kelemahan eksternal. Neustadt menyoroti bahwa kesalahan dalam mengelola staf Gedung Putih, menyiapkan struktur penasihat, atau menangani krisis dapat mengakibatkan kerusakan jangka panjang pada pengaruh presiden. Neustadt menggarisbawahi bahwa kompetensi kelembagaan bukan hanya tentang efisiensi organisasi, tetapi tentang kemampuan presiden untuk mendapatkan rasa hormat, mengelola hubungan, dan membangun basis kekuatan untuk kepemimpinan yang efektif. Pada tahap awal, kompetensi ini berfungsi sebagai landasan untuk mempertahankan otoritas dan mencapai tujuan politik di seluruh pemerintahan.Konstitusi AS menetapkan sistem pengawasan dan keseimbangan, yang menetapkan kewenangan khusus kepada cabang eksekutif (Presiden) dan legislatif (Kongres). Sementara Presiden memiliki kewenangan melaksanakan undang-undang, Kongres bertanggungjawab membuatnya, beserta fungsi pengawasan memastikan undang-undang dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pemisahan ini memerlukan interaksi antara kedua cabang tersebut.Meskipun memiliki kewenangan yang terpisah, cabang eksekutif dan legislatif harus bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Misalnya, Kongres bergantung pada Presiden untuk kepemimpinan dalam kebijakan luar negeri, penganggaran, dan keamanan nasional. Presiden bergantung pada Kongres untuk alokasi, otorisasi, dan dukungan legislatif bagi inisiatif kebijakan.Fisher dan Abshire berpendapat bahwa meskipun konflik antara cabang tak dapat dihindari dan seringkali menyehatkan demokrasi, kolaborasi sangat penting dalam mengatasi masalah nasional yang kompleks. Mereka memberikan contoh dimana kolaborasi telah berhasil dan dimana konflik partisan atau institusional telah menyebabkan kebuntuan.Karya tersebut menguraikan beberapa mekanisme yang memfasilitasi kolaborasi. Presiden membentuk tim agar bekerja secara langsung dengan Kongres guna membangun dukungan bagi agenda mereka. Upaya bersama antara anggota kedua partai dan cabang membantu menjembatani kesenjangan. Tatakelola yang efektif seringkali mengharuskan para pemimpin memprioritaskan kepentingan nasional jangka panjang daripada keuntungan politik jangka pendek.Peningkatan polarisasi dapat menghambat kemampuan cabang-cabang dalam menemukan titik temu. Setiap cabang berusaha melindungi kewenangannya, yang menyebabkan ketegangan atas keseimbangan kekuasaan. Media dan ekspektasi publik dapat mempersulit negosiasi dengan mengintensifkan pengawasan atau mempolitisasi isu-isu.Fisher dan Abshire memberikan contoh historis tentang kolaborasi yang sukses dan yang tak berhasil, dengan menyoroti pelajaran yang dipetik. Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana politik kelembagaan membentuk keseimbangan kekuasaan dan pengaruh antara cabang-cabang.Salah satu contoh kolaborasi yang paling menonjol adalah disahkannya Marshall Plan. Usai Perang Dunia II, Amerika Serikat menghadapi tantangan membantu Eropa yang dilanda perang membangun kembali perekonomian dan politiknya. Presiden Harry S. Truman dan Kongres bekerjasama merancang dan mendanai inisiatif ambisius ini. Marshall Plan memperoleh dukungan bipartisan yang luas, yang menunjukkan bagaimana rasa tujuan nasional yang bersatu dapat melampaui perbedaan partisan. Truman memberikan kepemimpinan yang kuat, mengartikulasikan pentingnya inisiatif tersebut kepada Kongres dan masyarakat Amerika. Kongres memainkan peran penting dalam memperdebatkan, membentuk, dan mendanai rencana tersebut, memastikannya mendapat dukungan legislatif dan akuntabilitas publik.Jadi, pelajaran yang dapat dipetik ialah ketika cabang eksekutif dan legislatif berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, mereka dapat mencapai hasil yang transformatif. Keberhasilan ini menggarisbawahi pentingnya memprioritaskan kepentingan nasional dan internasional di atas perpecahan politik.Di sisi lain, the War Powers Resolution, yang diberlakukan selama era Perang Vietnam, menggambarkan kegagalan kolaborasi eksekutif-legislatif. Ditolak seusai Presiden Richard Nixon memvetonya, resolusi tersebut berupaya mendapatkan kembali kewenangan konstitusional Kongres untuk menyatakan perang, yang telah terkikis oleh tindakan eksekutif yang berlebihan selama Perang Vietnam. Ketidakpercayaan yang mengakar antara Kongres dan pemerintahan Nixon merusak upaya mencapai konsensus tentang kekuasaan perang. Iklim politik, yang dipengaruhi oleh skandal Watergate dan Vietnam, memperburuk ketegangan antara cabang-cabang kekuasaan. Ambiguitas dalam Implementasi: Bahasa resolusi tersebut tidak jelas, yang menyebabkan perselisihan berkelanjutan atas penerapan dan efektivitasnya.Pelajaran yang dipetik ialah tindakan sepihak atau ketidakmampuan menumbuhkan kepercayaan antara cabang-cabang kekuasaan dapat menyebabkan kebijakan yang sulit diimplementasikan dan tak bisa menyelesaikan masalah yang mendasarinya. Tatakelola yang efektif memerlukan komunikasi yang jelas, kepercayaan, dan rasa saling menghormati terhadap peran konstitusional.Marshall Plan berhasil karena para pemimpin memprioritaskan kepentingan nasional dan menjaga jalur komunikasi yang terbuka. The War Powers Resolution menunjukkan bahaya pembuatan kebijakan yang didorong oleh konflik yang tak punya konsensus atau kejelasan. Kolaborasi yang berhasil seringkali berasal dari rasa hormat terhadap batasan kelembagaan dan komitmen bersama terhadap prinsip-prinsip konstitusional.Fisher dan Abshire berpendapat bahwa kolaborasi antara cabang eksekutif dan legislatif tak hanya diamanatkan oleh konstitusi tetapi juga penting bagi tatakelola yang efektif. Mereka menekankan bahwa saling pengertian, rasa hormat terhadap peran kelembagaan, dan kemauan berkompromi sangat penting guna mengatasi tantangan dan mencapai tujuan nasional. Tanpa kolaborasi, sistem yang terpisah berisiko mengalami inefisiensi, disfungsi, dan erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah.Kolaborasi antara cabang eksekutif dan legislatif tak melemahkan sistem checks and balances (seperti yang terjadi di negeri Khatulistiwa dimana cabang legislatif hanya bertindak sebagai 'tukang stempel'); sebaliknya, melengkapi dan memperkuatnya. Sistem ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang mana pun dan memastikan tatakelola yang efektif melalui kerjasama dalam batasan konstitusional. Berikut ini bagaimana kolaborasi dalam kerangka kerja checks and balances:Pertama, tatakelola kolaboratif dalam batasan konstitusional dan peran bersama. Setiap cabang bertanggungjawab yang berbeda tetapi saling bergantung. Misalnya, badan legislatif merancang dan mengesahkan undang-undang, tetapi eksekutif melaksanakannya. Eksekutif merundingkan perjanjian, tetapi badan legislatif meratifikasinya. Pengesahan anggaran tahunan memerlukan negosiasi antara Kongres (kekuasaan keuangan) dan Presiden (kepemimpinan eksekutif). Sementara setiap cabang mengecek kekuasaan cabang lainnya, kolaborasi memastikan pemerintah beroperasi dengan lancar. Bagaimana cara kerja 'checks-nya'? Kongres dapat menolak pendanaan bagi inisiatif eksekutif jika melampaui batas hukum atau tak punya akuntabilitas. Presiden dapat memveto (terjadi di Amrik, tak berlaku di Indonesia) undang-undang yang dianggap merugikan, yang memaksa Kongres meninjau kembali atau bernegosiasi lebih lanjut.Kedua, pengecekan melalui pengawasan. Walau dalam upaya kolaboratif, badan legislatif tetap melakukan pengawasan guna memastikan eksekutif tetap berada dalam batasan konstitusionalnya. Sidang dengar pendapat Kongres, investigasi, dan konfirmasi penunjukan memungkinkan Kongres menelaah tindakan eksekutif. Selama pemerintahan Truman, Kongres mendukung Marshall Plan tetapi juga menetapkan mekanisme pengawasan untuk memantau bagaimana dana digunakan, memastikan transparansi dan akuntabilitas. Jadi, Kolaborasi bukan berarti Kongres melepaskan peran pengawasannya; Kongres tetap waspada sembari memungkinkan eksekutif bertindak secara efektif.Ketiga, pengecekan didalam kolaborasi. Walau saat bekerjasama, cabang-cabang tetap memiliki kemampuan untuk saling membatasi jika diperlukan. Presiden dapat memveto undang-undang (sekali lagi hanya berlaku di Amrik) jika bertentangan dengan visi mereka, tetapi Kongres dapat membatalkan veto tersebut dengan mayoritas dua pertiga. Jika Presiden mengeluarkan perintah eksekutif yang mengabaikan Kongres, badan legislatif dapat mengesahkan undang-undang untuk membatasi efeknya atau menggunakan pengadilan guna menantang tindakan yang melampaui batas. Kolaborasi disini bukanlah tentang suara bulat; kolaborasi disini melibatkan negosiasi, kompromi, dan kemauan menegaskan otoritas kelembagaan jika diperlukan.Keempat, kolaborasi mencegah 'gridlock' (jalan-buntu). Sementara sistem pengawasan dan keseimbangan melindungi dari tindakan yang melampaui batas, konflik yang berlebihan antara cabang-cabang dapat menyebabkan kebuntuan, dimana tiada pihak yang mencapai tujuannya. Kolaborasi memungkinkan Inovasi Kebijakan. Ketika kedua cabang tersebut selaras, mereka dapat memberlakukan reformasi yang komprehensif, seperti yang terlihat dalam pengesahan Social Security (Jaminan Sosial) di Amrik (1935) atau the Civil Rights Act (Undang-Undang Hak Sipil di Amrik) (1964). Kolaborasi juga memungkinkan Manajemen Krisis Nasional. Selama krisis, semisal masa perang atau kemerosotan ekonomi, kolaborasi memastikan respons yang cepat dan terpadu. Contoh, seusai 9/11, Kongres dan Presiden George W. Bush bekerjasama meloloskan Patriot Act, meskipun Kongres kemudian meninjau dan merevisi beberapa bagiannya untuk mengatasi masalah tentang kebebasan sipil.Kelima, ketegangan meningkatkan akuntabilitas. Kolaborasi tak menghilangkan ketegangan—tetapi menyeimbangkannya. Cabang-cabang pemerintahan saling bersikap skeptis, sehingga menumbuhkan akuntabilitas. Misalnya, cabang eksekutif harus membenarkan kebijakannya kepada Kongres untuk mendapatkan pendanaan atau persetujuan legislatif. Kongres harus mempertimbangkan implikasi praktis dari undang-undangnya, yang disoroti oleh eksekutif selama negosiasi. Dinamika ini memastikan bahwa kebijakan dibuat dengan cermat dan mencerminkan keinginan rakyat (melalui Kongres) dan pertimbangan praktis implementasi (melalui eksekutif).Singkatnya, kolaborasi dan 'check and balances' tidak saling menghilangkan, melainkan saling memperkuat. Kolaborasi memastikan tatakelola yang efektif, sementara 'check and balances' mencegah pemusatan kekuasaan dan melindungi batas-batas konstitusional. Sistem ini akan berkembang pesat bila kedua lembaga saling menghormati peran masing-masing, saling berdialog, dan memprioritaskan kepentingan bangsa di atas kepentingan partisan."
Senin, 20 Januari 2025
Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (3)
"Ya, ada pendekatan alternatif dan lebih bernuansa dalam mengevaluasi kinerja pemerintah selama tiga bulan pertama (atau hari-hari awal) yang melampaui tolok ukur simbolis 100 hari. Metode ini mempertimbangkan kompleksitas dan keragaman tugas tatakelola sekaligus memungkinkan penilaian yang lebih holistik," Semar melanjutkan topiknya."Alternatif pertama ialah penyelarasan dengan Janji Kampanye. Metode ini mengevaluasi apakah pemerintah telah mengambil langkah awal untuk memenuhi janji kampanyenya, menilai tindakan, rencana, atau usulan legislatif tertentu yang selaras dengan prioritas yang dinyatakan. Metode ini berfokus pada maksud dan penyelarasan daripada hasil langsung, sehingga memberikan ukuran komitmen awal yang lebih adil.Dalam 'The Audacity to Win: How Obama Won and How We Can Beat the Partisan Divide Again' karya David Plouffe (2009, Viking), penulis meneliti peran penting janji kampanye dalam membentuk tatakelola dan menggarisbawahi pentingnya menepati janji tersebut di awal pemerintahan. Sebagai manajer kampanye Barack Obama selama pemilihan 2008, Plouffe menawarkan perspektif orang dalam tentang bagaimana komitmen kampanye memengaruhi kepercayaan publik, menentukan corak kepemimpinan, dan mempengaruhi modal politik.Plouffe menyoroti bahwa janji-janji kampanye bertindak sebagai kontrak sosial antara kandidat dan pemilih. Komitmen ini mencerminkan prioritas dan aspirasi para pemilih. Kampanye Obama berfokus pada janji-janji utama semisal pemulihan ekonomi, reformasi perawatan kesehatan, dan mengatasi perubahan iklim. Janji-janji ini mendapat sambutan dari para pemilih selama masa krisis ekonomi dan polarisasi politik. Menurut Plouffe, memenuhi janji-janji ini sejak awal akan memvalidasi kepercayaan yang diberikan kepada seorang pemimpin dan memperkuat mandat pemerintahannya.Plouffe berpendapat bahwa hari-hari awal pemerintahan sangat penting untuk mempertahankan momentum. Kemampuan seorang presiden bertindak cepat atas janji-janji kampanye memperkuat kredibilitas dan kewenangannya. Misalnya, Obama memprioritaskan pengesahan the American Recovery and Reinvestment Act (Undang-Undang Pemulihan dan Investasi Amerika), 2009, untuk mengatasi kemerosotan ekonomi, memenuhi janjinya menstabilkan ekonomi. Menepati janji-janji awal membangun niat baik di antara para pendukung dan memberikan daya ungkit pertempuran legislatif di masa mendatang. Sebaliknya, kegagalan bertindak berisiko mengasingkan basis dan mengikis modal politik.Plouffe menekankan bahwa pemenuhan janji kampanye sejak dini membentuk persepsi publik terhadap kompetensi dan integritas seorang pemimpin. Persepsi ini khususnya penting dalam mengatasi perpecahan partisan dan mempertahankan dukungan yang luas. Tindakan cepat Obama atas janji-janji seperti menutup celah bagi kepentingan khusus dan meningkatkan transparansi pemerintah bertujuan untuk membangun kepercayaan dalam sistem yang menurut banyak pemilih telah rusak.Plouffe mengakui tantangan dalam menyeimbangkan janji kampanye dengan realitas pemerintahan. Tak semua janji dapat segera ditepati karena kendala politik, ekonomi, atau logistik. Ia membahas bagaimana tim Obama dengan cermat mengomunikasikan kemajuan tujuan utama seperti reformasi layanan kesehatan, bahkan ketika penundaan atau kompromi tak dapat dihindari. Plouffe menekankan pentingnya transparansi dalam menjelaskan tantangan tersebut guna menjaga kepercayaan pemilih.Pencapaian janji lebih awal tak hanya menguntungkan pemerintahan secara politik, tetapi juga meletakkan dasar bagi perubahan transformatif. Plouffe merefleksikan bagaimana keberhasilan awal semisal stimulus ekonomi membuka jalan bagi inisiatif yang lebih ambisius, seperti the Affordable Care Act (Undang-Undang Perawatan Terjangkau, 2010. Sebaliknya, ketidakberhasilan bertindak lebih awal dapat menyebabkan kekecewaan dan mobilisasi oposisi, yang melemahkan kemampuan pemerintahan memerintah secara efektif.Jadi, David Plouffe mengilustrasikan bagaimana janji-janji kampanye membentuk tatakelola dengan memberikan mandat yang jelas, membangun kepercayaan, dan menetapkan prioritas pemerintahan. Ia menekankan pentingnya memenuhi janji-janji ini sejak dini guna memanfaatkan momentum politik dan mempertahankan dukungan publik. Karya Plouffe ini berfungsi sebagai panduan bagi para pemimpin menavigasi transisi dari berkampanye ke pemerintahan sambil tetap setia pada komitmen yang dibuat kepada para pemilih.Alternatif kedua ialah Kerangka Kebijakan dan Visi. Kerangka ini berfokus pada pemeriksaan apakah pemerintah telah merumuskan kerangka kebijakan yang koheren dan visi jangka panjang, menganalisis berbagai kunci yang diutamakan, dokumen kebijakan, dan rencana anggaran yang diperkenalkan selama tiga bulan pertama. Kerangka ini menekankan kualitas perencanaan daripada kuantitas tindakan, yang mencerminkan tatakelola yang cermat.Dalam 'The President’s Agenda: Domestic Policy Choice from Kennedy to Clinton' karya Paul C. Light (1999, Johns Hopkins University Press), penulis mengeksplorasi bagaimana para presiden AS menyusun prioritas kebijakan mereka dan menekankan pentingnya memiliki visi yang jelas untuk memandu agenda domestiknya. Light menyajikan analisis terperinci tentang proses yang digunakan presiden dalam merumuskan, memprioritaskan, dan menerapkan kebijakan sambil menavigasi kompleksitas sistem politik.Light menjelaskan bahwa para presiden biasanya menjabat dengan berbagai janji kampanye. Tantangannya ialah mempersempit janji-janji tersebut menjadi agenda yang layak dan koheren. Penetapan agenda yang efektif memerlukan pembedaan antara kebijakan yang mendesak dan berdampak besar dengan isu-isu yang kurang mendesak.Lingkungan politik—semisal komposisi Kongres, opini publik, dan kondisi ekonomi—memainkan peran penting dalam membentuk prioritas presiden. Contoh, Presiden dengan mayoritas anggota kongres yang kuat dapat mendorong reformasi yang ambisius. Sebaliknya, presiden yang menghadapi pemerintahan yang terbagi dapat berfokus pada tujuan bipartisan yang dapat dicapai.Light menekankan bahwa 100 hari pertama masa jabatan presiden sangat penting dalam menentukan corak dan struktur agenda. Para Presiden sering memprioritaskan kebijakan yang memanfaatkan mandat elektoral mereka dan mengatasi masalah nasional yang mendesak.Visi yang jelas menyediakan kerangka kerja bagi pengambilan keputusan dan membantu presiden mempertahankan fokus di tengah tuntutan tatakelola yang saling bersaing. Light berpendapat bahwa visi yang ditetapkan dengan baik memungkinkan presiden mengomunikasikan prioritas secara efektif kepada publik dan Kongres, serta menggalang dukungan dari para pemangku kepentingan utama, termasuk anggota partai, kelompok kepentingan, dan pemilih yang lebih luas. Tanpa visi yang jelas, pemerintahan berisiko bersikap reaktif daripada proaktif. Hal ini dapat menyebabkan pembuatan kebijakan yang terfragmentasi dan berkurangnya efektivitas dalam mencapai tujuan jangka panjang.Light membahas ketegangan antara mengejar kebijakan yang berani dan transformatif serta memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat dicapai secara realistis dalam batasan sistem politik. Presiden yang efektif mencapai keseimbangan dengan menetapkan tujuan ambisius yang menginspirasi dan memobilisasi pendukung serta memadukan tujuan tersebut dengan strategi praktis bagi implementasinya. Light meneliti bagaimana presiden semisal Lyndon B. Johnson (dengan program Great Society-nya) dan Ronald Reagan (dengan reformasi pajaknya) berhasil menyelaraskan visi mereka dengan prioritas yang dapat ditindaklanjuti, sementara yang lain tak berhasil karena melampaui batas atau kurangnya kejelasan.Light menyoroti konsep 'policy windows (jendela kebijakan); momen ketika kondisi politik dan sosial selaras dalam membuat kebijakan tertentu dapat dilaksanakan. Presiden harus siap bertindak cepat ketika peluang ini muncul. Menyusun prioritas juga melibatkan pengurutan kebijakan dengan cara yang membangun momentum. Misalnya, presiden dapat memulai dengan kebijakan yang lebih mudah disahkan untuk membangun kredibilitas sebelum menangani isu yang lebih kontroversial.Light mencatat bahwa para presiden hendaknya menyeimbangkan ekspektasi berbagai konstituen, mulai dari pemilih dan pemimpin partai hingga kelompok kepentingan dan sekutu internasional. Hal ini dapat mempersulit proses penentuan prioritas. Peristiwa yang tak terduga, semisal krisis ekonomi atau bencana alam (gangguan eksternal), dapat menggagalkan agenda walaupun terstruktur dengan sangat cermat.Dengan menganalisis masa jabatan presiden dari John F. Kennedy hingga Bill Clinton, Light mengidentifikasi pola berulang dalam penetapan agenda yang berhasil dan tak berhasil, misalnya, Kennedy, awalnya berjuang dengan kurangnya pengalaman legislatif tetapi akhirnya memanfaatkan visinya untuk mendorong inisiatif seperti program luar angkasa. Johnson dengan ahli menggunakan keterampilan dan visi politiknya meloloskan undang-undang transformatif, termasuk the Civil Rights Act (Undang-Undang Hak Sipil). Clinton menghadapi tantangan di awal masa jabatannya karena agenda yang terlalu ambisius dan tak terfokus tetapi kemudian memfokuskan kembali pada prioritas utama semisal reformasi kesejahteraan.'The President’s Agenda' karya Paul C. Light menggarisbawahi perlunya menyusun prioritas kebijakan di sekitar visi yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Agenda yang ditetapkan dengan baik membantu para presiden menavigasi kompleksitas tatakelola, membangun dukungan publik dan kongres, serta memaksimalkan kemampuan mereka untuk melakukan perubahan yang berarti. Karya ini memberikan wawasan berharga tentang seni dan ilmu kepemimpinan para presiden, yang menggambarkan bagaimana kejelasan tujuan dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan masa jabatan presiden.Alternatif ketiga adalah Manajemen Krisis, yang berfokus pada evaluasi bagaimana pemerintah menanggapi krisis yang tak terduga selama masa jabatan awalnya. Tinjauan keputusan, komunikasi, dan alokasi sumber daya dalam menangani tantangan langsung semisal bencana alam, gangguan ekonomi, atau ancaman keamanan, langkah ini menyoroti kemampuan beradaptasi dan kepemimpinan di bawah tekanan.Dalam 'The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation' karya Drew Westen (2007, PublicAffairs), penulis mengeksplorasi bagaimana emosi mempengaruhi secara signifikan persepsi publik terhadap kepemimpinan, khususnya selama krisis. Westen berpendapat bahwa kemampuan seorang pemimpin berkomunikasi secara efektif dan beresonansi secara emosional dengan publik selama masa-masa sulit dapat menentukan warisan mereka dan menentukan keberhasilan politik.Para pemimpin dinilai tak semata berdasarkan kebijakan atau keputusan mereka, melainkan pula berdasarkan kemampuan mereka terhubung secara emosional dengan publik. Dalam krisis, orang mencari kepastian, kekuatan, dan arah. Seorang pemimpin yang memproyeksikan rasa percaya diri dan empati dapat menggalang dukungan, bahkan ketika solusinya tak langsung terlihat.Tesis inti Drew Westen berkisar pada gagasan bahwa emosi, bukan rasionalitas, merupakan pendorong utama pengambilan keputusan politik. Westen menantang asumsi tradisional bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan analisis logis terhadap kebijakan, platform, atau fakta. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa preferensi politik berakar dalam pada respons emosional, dibentuk oleh nilai-nilai pribadi, identitas, dan cerita yang disampaikan kandidat.Westen berpendapat bahwa keputusan politik bukanlah hasil dari pertimbangan rasional yang terpisah. Sebaliknya, keputusan tersebut muncul dari otak emosional, yang memproses perasaan dan bias bawah sadar. Ketika dihadapkan dengan pilihan politik, orang sering mengandalkan emosi mereka untuk memutuskan apa yang terasa benar ketimbang apa yang secara objektif logis. Pemilih mungkin lebih menyukai nada bicara, bahasa tubuh, atau daya tarik emosional kandidat daripada rincian kebijakan mereka.Cerita lebih penting daripada statistik. Westen menjelaskan bahwa manusia secara alami tertarik pada narasi yang membangkitkan hubungan emosional, menjadikan kisah-kisah sebagai alat penting dalam persuasi politik. Politisi yang sukses menyusun narasi yang menarik tentang siapa mereka, apa yang mereka yakini, dan bagaimana mereka akan memimpin, daripada membanjiri pemilih dengan fakta dan angka. Obrolan santai Franklin D. Roosevelt selama Depresi Besar menyampaikan harapan dan kepastian, menjadikannya simbol ketahanan bahkan ketika prospek ekonomi sedang buruk.Westen menekankan bahwa loyalitas politik dibangun atas identifikasi emosional dengan seorang pemimpin atau partai. Kandidat yang membangkitkan emosi yang kuat—seperti harapan, ketakutan, atau kemarahan—lebih mungkin menginspirasi komitmen dan partisipasi pemilih. Slogan kampanye Barack Obama tahun 2008, 'Yes We Can,' membangkitkan rasa optimisme dan pemberdayaan kolektif, yang beresonansi secara emosional dengan jutaan orang.Para politisi kerap menggunakan pemicu emosional dalam membingkai isu dengan cara yang selaras dengan keyakinan dan identitas inti pemilih. Westen menjelaskan bahwa kampanye yang sukses menargetkan emosi semisal kebanggaan, ketakutan, dan empati. Retorika pasca-9/11 sering membingkai perdebatan keamanan nasional dalam hal ketakutan dan keselamatan, yang membentuk opini publik dan prioritas kebijakan.Westen menyoroti bahwa keputusan para pemilih kerap dikaitkan dengan nilai-nilai dan identitas mereka. Para politisi yang menarik bagi elemen-elemen ini dapat menjalin hubungan emosional yang lebih dalam. Daya tarik Ronald Reagan terhadap 'nilai-nilai tradisional Amerika' mendapat sambutan dari para pemilih yang mengidentifikasi diri dengan visi nostalgia Amerika.Westen mengkritik para politisi yang hanya mengandalkan rincian kebijakan dan argumen logis, dengan menyatakan bahwa pendekatan tersebut tak bisa melibatkan pemilih secara emosional. Kampanye presiden Al Gore tahun 2000 disebut sebagai kasus dimana fokus kandidat pada diskusi kebijakan terperinci kurang memiliki resonansi emosional, sehingga tak bisa terhubung dengan banyak pemilih secara personal.Westen menjelaskan bahwa cara seorang pemimpin membingkai krisis membentuk persepsi publik. Misalnya, menggunakan bahasa yang menyampaikan kendali dan harapan, semisal "Kita akan mengatasi tantangan ini," jauh lebih efektif daripada bahasa yang mengalah atau terlalu teknis. Pemimpin yang tak bisa membingkai krisis dengan tepat berisiko tampak tak peduli atau tidak kompeten.Respons dini terhadap krisis sangat penting dalam membangun kredibilitas seorang pemimpin. Westen mengutip contoh-contoh dimana para pemimpin yang bertindak tegas, bahkan dengan solusi yang tak sempurna, memperoleh kepercayaan publik karena mereka menyampaikan rasa urgensi dan tanggungjawab. Sebaliknya, keraguan atau komunikasi yang buruk dapat mengikis kepercayaan publik, karena orang-orang menganggap tiadanya tindakan sebagai kurangnya kepemimpinan.Westen menyoroti pentingnya membuat narasi yang menarik, yang menanamkan ketahanan pada masyarakat. Pemimpin yang membingkai krisis sebagai tantangan sementara yang dapat diatasi bersama oleh bangsa cenderung dipandang positif. Narasi ini tak semata memotivasi warga negara tetapi juga menyelaraskan keadaan emosional mereka dengan visi pemimpin.Westen memperingatkan agar tak ada pemimpin yang hanya berfokus pada keahlian teknis atau rincian kebijakan tanpa memperhatikan kebutuhan emosional masyarakat. Pemimpin yang tampak dingin, jauh, atau terlalu penuh perhitungan mungkin akan kesulitan terhubung, yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat, meskipun keputusan mereka tepat. Westen juga membahas dampak jangka panjang dari tindakan seorang pemimpin selama krisis. Manajemen krisis yang efektif dapat memperkuat reputasi seorang pemimpin sebagai sosok yang kuat dan tegas. Ketidakmampuan dalam mengatasi ketakutan atau kekhawatiran publik dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dalam jangka panjang, yang dapat mempengaruhi kemampuan pemimpin memerintah secara efektif."
Jumat, 17 Januari 2025
Ketika Bagong Belajar dari Kearifan Semar (2)
"Sebagai rekan dekat Presiden, dan juga, Wakil Presiden, selebritas RA semestinya menjaga nama baik, perilaku dan menjalankan tugasnya dengan baik. Oh, dan patwal itu? Cuma buat bikin konten dan pamerin mobil baru ke kawan yaq. Kalo dipecat kaan enggak enak pulak," ujar Bagong usai melihat unggahan di jagat maya."Ah, sudahlah, mari kita lanjutin topik kita," kata Semar.“Para pengkritik yang mengevaluasi kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama menyoroti beberapa kekhawatiran mengenai praktik ini,” lanjut Semar. "Evaluasi 100 hari kerap mereduksi proses pembuatan kebijakan yang rumit menjadi metrik yang sederhana, dengan berfokus pada hasil yang langsung dan nyata ketimbang keberlanjutan jangka panjang. Hal ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap perubahan sosial yang lebih dalam dan implikasi yang lebih luas dari kebijakan yang diterapkan selama periode ini.Pengawasan media yang ketat selama 100 hari pertama dapat menghasilkan liputan yang sensasional, dimana kesalahan kecil disorot sementara pencapaian substansial diabaikan. Hal ini dapat memunculkan persepsi publik yang menyimpang tentang kemampuan seorang presiden.Evaluasi awal seringkali tak bisa memperhitungkan warisan dan tindakan pemerintahan sebelumnya, yang dapat sangat mempengaruhi kemampuan presiden baru memerintah secara efektif. Hal ini mempersulit penilaian yang adil atas kinerja mereka.Para kritikus menekankan bahwa berfokus pada 100 hari pertama mengabaikan konsekuensi jangka panjang sebuah kebijakan. Keputusan awal mungkin berkonsekuensi yang terungkap selama bertahun-tahun, sehingga penting mengadopsi pendekatan evaluasi yang lebih longitudinal.Beberapa pihak berpendapat bahwa 100 hari terlalu singkat untuk menilai efektivitas kebijakan yang mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun agar membuahkan hasil. Para pemimpin mungkin ditekan agar memprioritaskan kemenangan cepat daripada strategi jangka panjang yang matang. Pemerintah yang berbeda menghadapi tantangan yang berbeda-beda, dan perbandingan yang kaku bisa jadi tak adil.Para kritikus berpendapat bahwa batas waktu 100 hari adalah tolok ukur sewenang-wenang yang mungkin tak secara akurat mencerminkan kemampuan presiden atau kompleksitas pemerintahan. Hal ini sering mengarah pada penilaian yang dangkal berdasarkan tindakan langsung daripada hasil jangka panjang.Hari-hari awal masa jabatan presiden dapat sangat dipengaruhi oleh warisan dan tindakan para pendahulunya, sehingga sulit menilai kinerja presiden baru secara independen. Misalnya, Harry Truman menghadapi tantangan karena rasa sayang publik yang masih ada terhadap FDR, yang mempengaruhi evaluasi awalnya meskipun ada kontribusi di kemudian hari dalam masa jabatan presidennya.Fokus media pada 100 hari pertama dapat menimbulkan sensasionalisme, dimana kesalahan kecil dibesar-besarkan sementara pencapaian substansial diabaikan. Hal ini dapat memunculkan persepsi yang menyimpang tentang efektivitas presiden berdasarkan reaksi jangka pendek, bukan tujuan dan kebijakan jangka panjang. Banyak kritik yang menyoroti bahwa evaluasi awal sering mengabaikan implikasi jangka panjang dari keputusan yang dibuat selama periode ini. Misalnya, Bill Clinton menghadapi kritik yang tajam dalam 100 hari pertamanya tetapi kemudian mencapai keberhasilan penting di kemudian hari dalam masa jabatan kepresidenannya.Sifat dinamis dari pembuatan kebijakan bermakna bahwa mengevaluasi kinerja pemerintah memerlukan pendekatan yang lebih bernuansa daripada sekadar melihat beberapa bulan pertama. Para kritikus berpendapat bahwa budaya evaluasi yang lebih longitudinal diperlukan, yang mempertimbangkan dampak kebijakan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu.Dalam "Presidents in Crisis: Tough Decisions Inside the White House from Truman to Obama" (2015, Arcade Publishing), Michael K. Bohn mengeksplorasi kompleksitas pengambilan keputusan presiden selama krisis. Ia memberikan wawasan berharga tentang mengapa 100 hari pertama akan tak selalu menjadi kerangka waktu yang adil atau praktis bagi evaluasi.Bohn menekankan bahwa krisis sering muncul dadakan, sehingga para presiden tak punya banyak waktu mempersiapkan diri. Setiap krisis menghadirkan tantangan yang unik, yang memerlukan respons yang disesuaikan, bukan agenda yang telah direncanakan sebelumnya. Mengevaluasi masa jabatan presiden berdasarkan tindakan yang diambil dalam 100 hari pertama dapat mengabaikan waktu yang dibutuhkan untuk menilai, menyusun strategi, dan menerapkan solusi yang efektif terhadap krisis yang muncul.Menurut Bohn, tekanan yang sangat besar guna membuat keputusan dengan informasi yang terbatas merupakan ciri khas manajemen krisis. Ia menyoroti contoh presiden, semisal Harry Truman selama awal Perang Dingin atau John F. Kennedy selama Krisis Rudal Kuba, yang mengambil keputusan berisiko tinggi, yang sering tak punya jawaban yang 'benar'. Keputusan-keputusan ini mungkin tak sesuai dengan kerangka evaluasi 100 hari, karena hasilnya kerapkali membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun agar terwujudkan.Bohn menunjukkan bahwa presiden baru menghadapi kelesuan institusional dan perlawanan politik, yang dapat memperlambat pengambilan keputusan. Sebagai contoh, membangun kepercayaan dengan Kongres, menyusun tim yang andal, dan memahami seluk-beluk lembaga federal memerlukan waktu. Oleh karenanya, 100 hari pertama mungkin lebih banyak tentang meletakkan dasar ketimbang mencapai hasil yang nyata.Bohn membahas bagaimana para presiden seringkali perlu memprioritaskan strategi jangka panjang daripada hasil langsung. Misalnya, Barack Obama menghadapi kritik karena tak mencapai pemulihan ekonomi yang cepat selama 100 hari pertamanya, tetapi kebijakannya, semisal paket stimulus, dirancang agar lebih memberikan dampak yang berkelanjutan daripada perbaikan cepat.Bohn meneliti bagaimana ekspektasi publik dan media terhadap perubahan dramatis dalam 100 hari pertama dapat membuat tekanan yang tak realistis terhadap presiden. Kesenjangan ini sering mengarah pada evaluasi yang dangkal, yang berfokus pada gerakan simbolis atau inisiatif yang terburu-buru, bukan kemajuan yang substantif. Bohn mencatat bahwa Truman menghadapi dilema etika dan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya tak lama setelah menjabat. Mengevaluasi masa jabatannya berdasarkan keputusan awalnya saja akan mengabaikan konteks dan konsekuensi yang lebih luas dari pilihan tersebut. Sementara Obama bertindak tegas untuk mengatasi keruntuhan ekonomi, banyak kebijakannya dinilai terlalu dini, dengan dampak penuhnya baru terlihat beberapa tahun kemudian.Bohn berpendapat bahwa meskipun 100 hari pertama dapat memberikan gambaran singkat tentang prioritas dan gaya kepemimpinan seorang presiden, itu tak selalu menunjukkan keberhasilan atau kompetensi jangka panjang. Krisis memerlukan pengambilan keputusan yang bijak dan adaptif, yang kerap melampaui kerangka waktu simbolis ini. Dengan demikian, evaluasi yang adil hendaknya mempertimbangkan kompleksitas dan sifat pengambilan keputusan presiden yang sensitif terhadap waktu selama krisis.Dalam 'What It Takes: The Way to the White House' (1992, Random House), Richard Ben Cramer menelaah tekanan besar yang dihadapi oleh para kandidat presiden dan pemimpin yang baru terpilih, khususnya harapan yang diberikan kepada mereka selama hari-hari awal pemerintahannya. Karya ini memberikan analisis mendalam tentang tuntutan politik, media, dan publik yang membentuk keputusan kepemimpinan.Cramer menyoroti bagaimana para pemimpin terbebani oleh janji-janji yang mereka buat selama kampanye. Setelah menjabat, presiden diharapkan agar segera menepati janji-janji nya, meskipun realitas politik atau ekonomi membuat tindakan segera menjadi tidak praktis. Tuntutan akan hasil yang cepat ini memunculkan tekanan agar memprioritaskan 'kemenangan' yang terlihat ketimbang strategi jangka panjang yang matang.Cramer menekankan pengawasan ketat yang dihadapi presiden dari media dan publik. Pada masa-masa awal pemerintahan, media kerap menentukan narasi, dengan fokus pada apakah pemimpin baru memenuhi harapan atau gagal. Perhatian yang tak henti-hentinya ini dapat menyebabkan keputusan yang terburu-buru atau tindakan simbolis yang dirancang menenangkan opini publik alih-alih mengatasi akar permasalahan.Cramer mencatat bahwa para presiden hendaknya segera membangun otoritas dan kredibilitas mereka guna mendapatkan kepercayaan dari Kongres, publik, dan para pemimpin internasional. Kegagalan bertindak tegas di masa-masa awal dapat mengakibatkan persepsi kelemahan, yang dapat melemahkan kemampuan pemerintahan untuk memerintah secara efektif.Menurut Cramer, presiden baru sering menghadapi perlawanan dari kepentingan politik yang mengakar, termasuk partai oposisi dan kelambanan birokrasi. Menyeimbangkan kebutuhan untuk bekerjasama dengan urgensi guna memberikan hasil, menambah lapisan kompleksitas lain dalam pengambilan keputusan awal.Cramer mengeksplorasi konsep momentum politik yang paling kuat segera setelah pemilihan umum. Para Presiden diharapkan memanfaatkan momentum ini guna mendorong inisiatif-inisiatif utama sebelum memudar, menciptakan mentalitas 'sekarang atau tidak sama sekali' yang mendorong tindakan dini. Cramer menggambarkan perjuangan George H. W. Bush untuk mendefinisikan masa jabatannya sebagai presiden setelah menggantikan Ronald Reagan, menghadapi tekanan dalam membedakan dirinya dan mempertahankan keberlanjutan. Cramer juga membahas fokus Jimmy Carter dalam memberikan reformasi cepat dalam memenuhi janji kampanyenya, yang berujung pada keberhasilan dan kekeliruan.Dalam 'Measuring Presidential Performance', yang disunting oleh John W. Self dan Chris J. Dolan (2016, Routledge), para penyunting dan kontributor mengkritik tolok ukur 100 hari dalam mengevaluasi presiden. Karya akademis ini mengeksplorasi kompleksitas penilaian kinerja para presiden dan menyoroti keterbatasan penggunaan 100 hari pertama sebagai tolok ukur definitif.Para kontributor berpendapat bahwa tolok ukur 100 hari bersifat sewenang-wenang dan tak sejalan dengan realitas tatakelola. Meskipun tolok ukur ini menjadi tersohor oleh pencapaian Franklin D. Roosevelt yang belum pernah terjadi sebelumnya, tolok ukur ini tak sepenuhnya bermakna bagi semua pemerintahan atau konteks. Kebijakan dan inisiatif sering memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun agar membuahkan hasil, sehingga evaluasi berdasarkan 100 hari pertama menjadi prematur.Tolok ukur 100 hari menekankan tindakan simbolis, semisal menandatangani perintah eksekutif atau mengumumkan inisiatif yang berani, ketimbang pencapaian substantif. Tindakan ini dapat memunculkan persepsi produktivitas daripada memberikan hasil jangka panjang yang nyata. Para kontributor menyoroti bahwa presiden yang berbeda mewarisi keadaan yang sangat berbeda. Sebagai misal, FDR menjabat selama Depresi Besar [kemerosotan ekonomi parah yang dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1929 dan berlangsung selama satu dekade. Krisis ekonomi inilah yang terburuk dalam sejarah dunia Barat yang terindustrialisasi], yang memerlukan tindakan segera dan dramatis.Sebaliknya, presiden yang mewarisi keadaan yang relatif stabil mungkin punya lebih sedikit tugas mendesak, yang mengarah pada perbandingan yang tak adil. Tolok ukur tersebut tak bisa memperhitungkan tantangan atau krisis spesifik yang mungkin dihadapi seorang presiden selama masa jabatan awal mereka.Standar 100 hari acapkali mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah RUU yang disahkan atau tindakan eksekutif yang diambil. Para kontributor berpendapat bahwa pendekatan ini mengabaikan pentingnya kualitas daripada kuantitas. Mengesahkan undang-undang yang tak dirancang dengan baik demi tindakan dini dapat mengakibatkan konsekuensi yang tak diinginkan. Menurut para kontributor, media dan publik sering menggunakan tolok ukur 100 hari guna menuntut hasil langsung, yang mendorong ekspektasi yang tak realistis. Tekanan ini dapat memaksa presiden memprioritaskan keuntungan jangka pendek daripada perencanaan strategis yang matang, yang berpotensi mengorbankan tatakelola pemerintahan dalam jangka panjang.Para editor menekankan bahwa kepemimpinan yang efektif melibatkan penetapan visi dan pembangunan koalisi, yang mungkin tak membuahkan hasil yang terlihat dalam 100 hari pertama. Mengevaluasi masa jabatan presiden hanya berdasarkan pencapaian legislatif awal berisiko mengabaikan aspek-aspek penting kepemimpinan lainnya, semisal manajemen krisis atau kebijakan luar negeri.Para editor juga meneliti beberapa masa jabatan presiden, termasuk Barack Obama, upaya awalnya mengatasi krisis keuangan 2008 dan meloloskan the Affordable Care Act (Undang-Undang Perawatan Terjangkau) menggambarkan ketegangan antara urgensi dan perencanaan jangka panjang; George W. Bush; 100 hari pertamanya yang relatif tenang sangat kontras dengan peristiwa transformatif 9/11, yang menunjukkan bagaimana evaluasi awal mungkin tak menangkap lintasan akhir masa jabatan presiden.Jadi, para editor dan kontributor berpendapat bahwa tolok ukur 100 hari adalah alat yang terlalu disederhanakan dan sering menyesatkan untuk mengevaluasi presiden. Alat ini memprioritaskan tindakan jangka pendek dan hasil legislatif sambil mengabaikan kompleksitas tatakelola pemerintahan, konteks yang berbeda-beda dari berbagai masa jabatan presiden, dan pentingnya visi jangka panjang. Karya ini menyerukan pendekatan yang lebih bernuansa dan komprehensif untuk menilai efektivitas presiden.Meskipun berasal dari Amerika Serikat, '100 hari pertama' telah menjadi tolok ukur global untuk mengevaluasi pemerintahan, pemimpin, dan bahkan eksekutif perusahaan yang baru. Konsep ini mencerminkan harapan umum bahwa tindakan awal menandakan visi dan efektivitas pemerintahan.Terma '100 hari' juga digunakan untuk menggambarkan kembalinya Napoleon ke tampuk kekuasaan pada tahun 1815 antara pelariannya dari pengasingan dan kekalahannya dalam Pertempuran Waterloo. Meskipun tak berhubungan, gaung historis terma tersebut menambah keunggulannya. Dalam 'Napoleon: A Life' karya Andrew Roberts (2014, Viking), penulis memberikan penjelasan terperinci tentang 'Seratus Hari' dramatis Napoleon Bonaparte usai kembali dari pengasingan di pulau Elba. Periode ini, dari 20 Maret hingga 28 Juni 1815, merupakan salah satu periode paling kondang dalam sejarah Eropa dan merupakan bukti karisma, ambisi, dan kerapuhan aliansi Eropa milik Napoleon.Setelah kurang dari setahun di Elba, Napoleon melarikan diri pada tanggal 26 Februari 1815, dengan sekelompok kecil pendukung. Ia bermaksud merebut kembali tahtanya di Prancis, didorong oleh ketidakpuasan terhadap monarki Bourbon dan kerusuhan politik di Eropa pasca-Napoleon. Roberts menjelaskan bagaimana pawai Napoleon ke Paris ditandai dengan dukungan yang semakin besar. Saat ia maju, tentara yang dikirim untuk menangkapnya membelot, dengan masyhur menyatakan, 'Vive l'Empereur!'Napoleon memasuki Paris pada tanggal 20 Maret 1815, saat Raja Louis XVIII melarikan diri. Kepulangannya ditandai oleh kegembiraan sekaligus ketakutan. Roberts menyoroti strategi awal Napoleon, yang melibatkan menampilkan dirinya sebagai pemimpin reformis, menjanjikan perdamaian, dan menawarkan reformasi konstitusional melalui Acte Additionnel, sebuah revisi Konstitusi Napoleon.Kendati Napoleon berusaha keras berdamai, negara-negara besar Eropa—termasuk Inggris, Prusia, Austria, dan Rusia—dengan cepat bersatu melawannya, membentuk the Seventh Coalition (Koalisi Ketujuh). Mereka memandang kepulangannya sebagai ancaman terhadap tatanan pascaperang yang rapuh yang ditetapkan oleh Kongres Wina. Roberts membahas upaya Napoleon mengonsolidasikan kekuasaan di dalam negeri, mengatur ulang militer, dan menggalang dukungan publik sembari menghadapi pertentangan internasional yang besar.Roberts menuturkan persiapan menuju the Battle of Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815, saat Napoleon menghadapi pasukan Sekutu-Inggris milik Duke of Wellington dan pasukan Prusia di bawah pimpinan Gebhard Leberecht von Blücher. Meskipun ada saat-saat gemilang, kampanye berakhir dengan kekalahan karena miskomunikasi di antara para komandannya, cuaca buruk, dan ketahanan lawan-lawannya.Roberts merenungkan makna simbolis dari Seratus Hari [les Cent-Jours yang juga dikenal sebagai Perang Koalisi Ketujuh (Guerre de la Septième Coalition)], menggambarkannya sebagai bukti utama kemampuan Napoleon mengilhami kesetiaan dan rasa takut sekaligus menyingkapkan batas-batas kekuasaannya dalam menghadapi oposisi yang bersatu. Setelah Waterloo, posisi Napoleon tak dapat dipertahankan. Ia turun takhta untuk kedua kalinya pada tanggal 22 Juni 1815, dan berupaya mendapatkan suaka di Inggris tetapi akhirnya diasingkan ke Saint Helena, sebuah pulau terpencil di Atlantik Selatan.""Adakah pendekatan alternatif dan lebih bernuansa mengevaluasi kinerja pemerintahan selama tiga bulan pertama, atau hari-hari awal, yang melampaui tolok ukur simbolis 100 hari?" tanya Bagong kepo.
Langganan:
Postingan (Atom)