"Konsep stupidity (kita terjemahkan sebagai 'kedunguan') yang dikemukakan Dietrich Bonhoeffer dalam Letters and Papers from Prison (pertama kali diterbitkan pada tahun 1951) merupakan analisis mendalam tentang fenomena sosial dan moral, bukan semata kekurangan intelektual individu. Esainya tentang stupidity, yang sering dikutip dan dibahas secara luas, menyoroti stupidity sebagai masalah berbahaya dan sistemik, yang merusak martabat dan kebenaran manusia," Cangik, yang gak pernah membiarkan percakapan berakhir, kembali bergabung dalam obrolan usai menyaksikan video Pangeran Beler (dalam bahasa Sunda, 'beler' menggambarkan wajah seseorang yang agak mabuk) sedang ngabsenin setiap anggota tahun Shio. Ia dengan bangga menyatakan dirinya sebagai anggota pemegang kartu Shio Kelinci, "Saya Kelinci," cicitnya, menggerakkan hidungnya memberi penekanan, dan bahwa shio ayam, kerbau, dan tikus adalah Zodiac All-stars, Pemenang Lotere kosmik tahun ini. Perilaku Pangeran Beller telah banyak dipertanyakan, tanggapan negatif di media sosial menunjukkan bahwa perilakunya kontraproduktif. Sementara itu, Limbuk, yang asyik terbenam membaca berita tentang kedatangan Presiden Turkiye Erdogan, yang bertajuk 'Stare Wars, Mata-mata yang Melotot: Episode Erdogan,' menimpali, "Bonhoeffer membedakan kebodohan dari kurangnya kecerdasan. Orang dungu mungkin berpendidikan tinggi atau pintar, tetapi ketidakmampuan mereka terletak pada penalaran moral dan tak bisa mempertanyakan atau menolak pengaruh eksternal. Dungu atau, lebih kasar lagi, dongok, dalam pemahaman ini, ialah tentang kurangnya refleksi diri dan penalaran kritis. 'Dungu itu musuh kebaikan yang lebih berbahaya dibanding dengki.'
Kedengkian melibatkan niat dan bahaya aktif, tetapi dapat dilawan melalui akal-sehat dan rasio. Kedunguan, di sisi lain, bersifat pasif, menolak akal-sehat, dan membiarkan kejahatan menyebar tanpa terkendali lantaran keterlibatannya tak disadari."
"Sepertinya, dirimu lebih banyak tahu tentang soalan ini ketimbang diriku, Limbuk! Sampaikan lebih banyak lagi!" kata Cangik. Kemudian, Limbuk meneruskan, "Konsep Dietrich Bonhoeffer tentang 'kedunguan' dibahas dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalam karyanya Letters and Papers from Prison, dimana ia merenungkan tentang hakikat kejahatan, kedunguan, dan bahaya 'blind obidience' (kepatuhan buta) dalam rezim totaliter.
Dalam konteks ini, Bonhoeffer menggambarkan 'kedunguan' bukan sebagai kurangnya kecerdasan, tetapi sebagai ketidakmampuan moral yang lebih dalam. Ia berpendapat bahwa kebodohan lebih berbahaya daripada kejahatan lantaran menolak nalar dan tak dapat diperbaiki dengan logika atau argumen. Kedunguan, menurut Bonhoeffer, melibatkan penolakan dalam melihat dan memahami realitas keadaan, yang membuatnya sangat merusak dalam konteks sosial dan politik.
Renungan Dietrich Bonhoeffer tentang 'stupidity' memberikan wawasan mendalam tentang dinamika sosial dan moral pada masanya, khususnya di bawah rezim Nazi. Ia membahas bagaimana 'kedunguan' menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi kemanusiaan daripada kedengkian, lantaran merusak akal-sehat, kebenaran, dan integritas moral. Bonhoeffer berpendapat bahwa stupidity bukan sekadar kurangnya kemampuan intelektual, melainkan ketidakmampuan moral dan spiritual. Orang-orang cerdas dapat menjadi 'dungu' dalam pengertian ini jika mereka mengabaikan kapasitas mereka dalam berpikir kritis dan kearifan. Ia mengamati bahwa kedunguan bukanlah karakteristik bawaan, melainkan kerapkali merupakan hasil dari pengaruh eksternal, semisal propaganda atau kendali otoriter.
Bonhoeffer berpendapat bahwa stupidity bukanlah persoalan individu, tetapi masalah bersama. Kedunguan tumbuh subur di lingkungan tempat orang-orang tunduk pada pemikiran kelompok atau mengikuti pemimpin secara membabi buta. Dalam kata-katanya, 'Sepertinya, stupidity bukanlah cacat intelektual, melainkan cacat manusia.'
Kedunguan muncul dikala seseorang melepaskan otonominya dan membiarkan pikiran dan tindakannya didikte orang lain. Di bawah rezim yang represif, hal ini terutama terbukti, sebab khalayak berhenti berpikir kritis dan mengadopsi ideologi yang dipaksakan kepada mereka.
Mengapa Kedunguan lebih berbahaya daripada Kejahatan? Bonhoeffer mencatat bahwa kejahatan kerap dapat dihadapi dan diungkap melalui akal-sehat, argumen, atau seruan moral. Namun, kedunguan tak terpengaruh oleh logika atau bukti. Seseorang yang berada dalam cengkeraman kedunguan, tak dapat mengenali fakta yang bertentangan dengan pandangan dunianya. 'Terhadap kedunguan, kita tak berdaya. Baik protes maupun kekerasan tak dapat menyentuhnya; penalaran tiada gunanya. Fakta yang bertentangan dengan prasangka seseorang tak perlu dipercaya—pada saat-saat seperti itu orang dungu bahkan menjadi kritis.' kata Bonhoeffer.
Renungan Bonhoeffer muncul dari pengalamannya di Nazi Jerman, dimana ia menyaksikan banyak orang cerdas dan cakap mendukung rezim Hitler. Ia melihat bagaimana propaganda dan otoritarianisme mengeksploitasi kelemahan manusia, mengubah orang biasa menjadi pendukung pasif kejahatan. Bonhoeffer sendiri secara aktif menentang Nazi, bergabung dengan perlawanan Jerman dan berpartisipasi dalam rencana menggulingkan Hitler. Penangkapannya pada tahun 1943 dan eksekusi berikutnya pada tahun 1945 memberi bobot pada pengamatannya, karena pengamatan tersebut ditempa dalam wadah salah satu rezim paling menindas dalam sejarah.
Refleksi Bonhoeffer tetap abadi, karena menggambarkan bagaimana propaganda, kepatuhan buta, dan pemikiran kelompok dapat mengikis masyarakat. Peringatannya jelas: keberanian moral, pemikiran kritis, dan tanggung jawab pribadi sangat penting untuk menjaga kebebasan dan melawan kejahatan. Teori Dungu Bonhoeffer bergema secara mendalam di dunia saat ini, sebab banyak dinamika yang ia gambarkan—semisal propaganda, pemikiran kelompok, dan kepuasan moral—terus mempengaruhi masyarakat.
Di era media sosial dan siklus berita 24 jam, disinformasi menyebar lebih cepat dan lebih jauh dari sebelumnya. Gagasan Bonhoeffer bahwa kedunguan menolak fakta terbukti dari kegigihan teori konspirasi dan berita palsu. Khalayak sering berpegang teguh pada keyakinan ini, bukan karena mereka tak mendapat informasi, melainkan lantaran mereka tak mau menantang pandangan dunia mereka. Algoritme memperkuat fenomena ini dengan menciptakan ruang gema, memperkuat bias yang telah ada sebelumnya, dan mempersulit orang mengakses atau mempertimbangkan sudut pandang yang berlawanan. Sama seperti Nazi menggunakan propaganda untuk mengendalikan opini publik, kampanye disinformasi saat ini (baik politik maupun korporat) mengeksploitasi kelemahan manusia, mengubah sebagian besar populasi menjadi pengikut pasif kebatilan.
Pemikiran kelompok terjadi dalam organisasi, komunitas, dan bahkan negara ketika individu memprioritaskan konformitas (suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada) daripada berpikir kritis. Hal ini dapat menyebabkan penekanan suara-suara yang tak setuju dan penerimaan ideologi-ideologi yang merugikan. Contoh-contoh modern termasuk polarisasi wacana politik, dimana kesetiaan kepada suatu partai atau ideologi sering mengesampingkan penalaran objektif. Hal ini menciptakan lingkungan dimana mempertanyakan keyakinan kelompok dipandang sebagai pengkhianatan.
Bonhoeffer mencatat bahwa kedunguan berkembang dalam lingkungan kolektif dimana individu merasa aman menyerahkan kemandirian moral dan intelektual mereka. Saat ini, dinamika ini dapat diamati dalam pengabdian semisal sekte kepada para pemimpin atau ideologi yang karismatik, terlepas dari kekurangan mereka.
Pada masa krisis atau ketakutan, orang cenderung mengikuti pemimpin otoriter yang menjanjikan keamanan atau ketertiban. Hal ini dapat menyebabkan terkikisnya norma demokrasi dan diterimanya kebijakan yang tidak etis. Contoh terkini termasuk munculnya pemimpin populis yang lebih mengutamakan emosi daripada akal sehat, menggunakan slogan dan retorika demi menggalang dukungan sekaligus membungkam oposisi. Jerman di bawah Bonhoeffer mengalami dinamika serupa, dimana karisma dan propaganda Hitler menyebabkan kepatuhan yang meluas. Ia memperingatkan bahwa kepatuhan buta memungkinkan kejahatan berkembang karena hal itu membebaskan individu dari tanggungjawab pribadi.
Resep Bonhoeffer untuk memerangi kedunguan—keberanian moral, pemikiran kritis, dan tanggungjawab pribadi—lebih relevan dari sebelumnya. Sistem pendidikan hendaknya menekankan keterampilan berpikir kritis, mengajarkan individu cara mengevaluasi informasi, mempertanyakan otoritas, dan mengenali bias. Literasi media sangat penting di era dimana misinformasi merajalela. Orang hendaknya belajar membedakan sumber yang kredibel dari yang tak dapat diandalkan.
Bonhoeffer meyakini bahwa kedunguan, pada intinya, merupakan kegagalan moral. Mendorong orang bertindak berdasarkan hati nurani mereka, bahkan ketika itu tidak populer, sangat penting melawan kedunguan kolektif. Contohnya termasuk whistleblower yang mengungkap korupsi, aktivis yang menentang ketidakadilan, dan warga negara biasa yang menolak terlibat dalam kesalahan.
Sistem sosial dan politik hendaknya memprioritaskan perlindungan kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat. Lingkungan tempat orang merasa aman mengekspresikan sudut pandang alternatif cenderung tak menyerah pada pemikiran kelompok. Peringatan Bonhoeffer tentang bahaya blind obedience ialah panggilan agar tetap waspada terhadap kecenderungan otoriter. Warga negara semestinya meminta pertanggungjawaban pemimpin dan menolak upaya memusatkan kekuasaan atau membungkam oposisi.
Pemimpin seperti Martin Luther King Jr. mewujudkan keberanian moral, menantang kebodohan sistemik (misalnya, rasisme) dengan seruan bagi keadilan dan kebenaran. Gerakannya menunjukkan kekuatan kebangkitan individu dan kolektif guna mengatasi ketidaktahuan. Tokoh seperti Edward Snowden atau Frances Haugen (whistleblower Facebook) mencontohkan seruan Bonhoeffer dalam bertindak melawan rasa puas diri masyarakat. Dengan mengungkap praktik yang tidak etis, mereka memaksa masyarakat untuk menghadapi kebenaran yang tak mengenakkan. Aktivis iklim semisal Greta Thunberg menantang 'kedunguan' dengan menolak menerima kelambanan pemerintah dan perusahaan dalam perubahan iklim. Upaya mereka bertujuan menyadarkan masyarakat terhadap urgensi moral dan praktis dari isu lingkungan.
Bagaimana Kedunguan dapat diatasi? Bonhoeffer menunjukkan bahwa pendidikan atau kecerdasan saja tak dapat menyelesaikan masalah stupidity. Hal tersebut merupakan kegagalan moral yang lebih dalam, yang terkait dengan kurangnya kemandirian dan pemikiran kritis. Mengatasi kedunguan membutuhkan kembalinya tanggungjawab pribadi, keberanian moral, dan kebangkitan spiritual. Individu hendaknya melepaskan diri dari pemikiran kelompok dan menemukan kembali kemampuannya dalam berpikir kritis dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya. Kemerdekaan sejati, dalam pandangan Bonhoeffer, merupakan penawar kedunguan. Orang yang merdeka dapat menolak manipulasi eksternal dan tetap berlandaskan pada kebenaran.
Kendati wawasan Bonhoeffer sangat mendalam, mengatasi kedunguan tetap menjadi tantangan dalam konteks modern. Media sosial memungkinkan kebodohan meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga semakin sulit memerangi misinformasi secara efektif. Daya tarik emosional sering mengalahkan akal-sehat, terutama dalam isu-isu yang bermuatan politik atau sosial. Di dunia yang diliputi oleh krisis, orang mungkin menjadi tak peka, sehingga mereka cenderung tak mempertanyakan otoritas atau terlibat secara kritis.
Meskipun menghadapi tantangan ini, karya Bonhoeffer mengingatkan kita bahwa transformasi itu mungkin. Ia menulis, 'Akan tiba saatnya orang-orang akan lebih cerdas. Pada akhirnya, kedunguan akan diatasi dengan tindakan dan kejelasan, bukan kepasifan.' Harapan ini menggarisbawahi pentingnya upaya berkelanjutan dalam mendidik, menyadarkan, dan menginspirasi orang-orang agar melawan kekuatan-kekuatan yang membesarkan stupidity.
Pada sesi berikutnya, kita akan membahas The Basic Laws of Human Stupidity karya Carlo M. Cipolla, sebuah esai yang menggugah pikiran yang secara jenaka dan tajam mengkaji kebodohan manusia sebagai kekuatan yang konsisten dan mengganggu dalam masyarakat. Cipolla awalnya menerbitkan karya ini sebagai bagian dari koleksi yang lebih besar, Allegro ma non-troppo (1976). Esai tersebut kemudian dikenal luas dan kini sering dibahas secara terpisah."