Kamis, 06 Februari 2025

Oligarki (1)

"Yuk kita aminken!" berkata Cangik kepada bestienya, Limbuk, agar tak semata "walk the talk" tapi juga "do the talk" saat menyaksikan seorang bocah tengil mengenakan baju kaos bertuliskan "Adili Jokowi". Limbuk menyahut, "Amin ... Amin ... Amiiin ... Mugi-mugi Gusti Alloh ngabulaken (Moga-moga Allah mengabulkan)!"
Limbuk lantas bertanya, "Cangik, ape sih Oligarki itu?"
Cangik menjawab, "Secara umum, Oligarki merupakan bentuk pemerintahan atau struktur kekuasaan dimana sekelompok kecil elit memegang kendali yang tak proporsional atas sebuah negara, organisasi, atau lembaga. Minoritas yang berkuasa ini dapat didasarkan pada kekayaan, kekuatan militer, pengaruh politik, otoritas agama, atau kendali perusahaan. Aristoteles mengklasifikasikan oligarki sebagai bentuk aristokrasi yang merusak, dimana segelintir orang memerintah demi kepentingan mereka sendiri dan bukan demi kebaikan bersama.
Dalam ilmu politik modern, oligarki dipahami sebagai sistem dimana kekuasaan politik terpusat di tangan beberapa individu, keluarga, atau kelompok perusahaan yang mempengaruhi keputusan pemerintah di balik layar. Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy (2011) mendefinisikan oligarki sebagai sistem dimana elit kaya menggunakan sumber daya ekonomi dan politik guna mempertahankan kendali, bahkan di negara yang secara nominal demokratis.
Dalam 'The Iron Law of Oligarchy' (1911), Robert Michels berpendapat bahwa semua organisasi besar (termasuk demokrasi) pasti akan menjadi oligarki karena sekelompok kecil elit selalu muncul mendominasi pengambilan keputusan.
Oligarki juga dapat merujuk pada sistem ekonomi dimana sekelompok kecil individu atau perusahaan yang sangat kaya mendominasi ekonomi, mempengaruhi kebijakan untuk melayani kepentingan mereka. Dalam 'Capital in the Twenty-First Century' (2013), Thomas Piketty berpendapat bahwa akumulasi kekayaan mengarah pada kontrol oligarki karena orang kaya menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk mempengaruhi hukum, perpajakan, dan pasar dengan cara yang memelihara dan memperluas kekayaan mereka. Persamaan fundamental Piketty, r > g (dimana r adalah tingkat pengembalian modal dan g adalah pertumbuhan ekonomi), menunjukkan bahwa kekayaan tumbuh lebih cepat daripada ekonomi secara keseluruhan. Ini berarti bahwa mereka yang memiliki modal (tanah, saham, bisnis) mengumpulkan kekayaan lebih cepat daripada mereka yang bergantung pada pendapatan tenaga kerja. Seiring waktu, dinamika ini memusatkan kekayaan di tangan yang lebih sedikit, yang mengarah pada ketidaksetaraan ekonomi dan menciptakan kelas individu yang sangat kaya, yang dapat memberikan pengaruh tak proporsional terhadap masyarakat.
Ketika kekayaan terkonsentrasi, orang kaya memperoleh kekuasaan politik dengan mendanai kampanye politik, melobi legislator, dan mendanai lembaga pemikir yang mengadvokasi kebijakan yang menguntungkan kepentingan mereka. Pengaruh ini menghasilkan kebijakan yang memperkuat akumulasi kekayaan, semisal pemotongan pajak bagi orang kaya, deregulasi industri, dan pelemahan perlindungan tenaga kerja.
Orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan mendorong pajak penghasilan dan keuntungan modal yang lebih rendah, pengurangan pajak warisan, dan celah pajak yang menguntungkan mereka. Piketty menunjukkan contoh-contoh historis dimana pajak tinggi atas kekayaan dan warisan (seperti pada pertengahan abad ke-20) berperan penting dalam mengurangi ketimpangan, tetapi perubahan kebijakan belakangan lebih menguntungkan pemilik modal.
Para oligark sering menggunakan pengaruhnya untuk membentuk struktur pasar, memastikan kondisi monopoli atau oligopoli yang menekan persaingan dan memungkinkan mereka mengekstraksi lebih banyak kekayaan. Ini termasuk mengendalikan industri-industri utama (teknologi, keuangan, real estat), menetapkan upah, dan mempengaruhi badan-badan regulasi guna membatasi pengawasan.
Piketty memperingatkan bahwa ketika konsentrasi kekayaan mencapai tingkat ekstrem, demokrasi itu sendiri akan terkikis. Sekelompok kecil elit dapat mendikte agenda politik, membatasi mobilitas sosial, dan mengurangi peluang bagi partisipasi ekonomi yang lebih luas. Hal ini memunculkan siklus yang saling memperkuat: kekayaan mengarah pada kekuasaan, lalu mengarah pada kebijakan yang semakin memperkuat kekayaan.
Guna melawan kontrol oligarki, Piketty menganjurkan pajak kekayaan progresif untuk mendistribusikan kembali konsentrasi kekayaan yang berlebihan; pajak warisan yang lebih tinggi guna mencegah kekayaan dinasti; transparansi keuangan global dalam mengekang penghindaran pajak; dan peningkatan investasi publik dalam pendidikan dan infrastruktur guna mendorong partisipasi ekonomi yang lebih luas. Analisis Piketty sejalan dengan pola historis, yang menunjukkan bahwa jika tak terkendali, akumulasi kekayaan mengarah pada dominasi oligarki, dimana kekuatan ekonomi secara langsung diterjemahkan menjadi kontrol politik.

Dalam 'Dark Money: The Hidden History of the Billionaires Behind the Rise of the Radical Right' (2016), jurnalis investigasi Jane Mayer menelusuri bagaimana oligarki kaya, khususnya Koch bersaudara (Charles dan David Koch), telah secara signifikan membentuk politik AS melalui pengaruh finansial mereka yang besar.
Mayer menjelaskan bagaimana keluarga Koch membangun jaringan luas yang saling terhubung dari para donatur konservatif kaya yang mendanai lembaga pemikir, kelompok advokasi, dan organisasi akar rumput. Jaringan ini—terkadang disebut sebagai "Kochtopus"—dirancang mendorong kebijakan libertarian, antiregulasi, dan pasar bebas sambil menentang perpajakan, intervensi pemerintah, dan regulasi lingkungan.
Karya Mayer menyoroti bagaimana keluarga Koch dan sekutunya menyalurkan sejumlah besar uang ke dalam pemilihan umum di segala tingkatan—federal, negara bagian, dan lokal. Setelah keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Citizens United v. FEC (2010), yang mencabut regulasi pengeluaran politik, jaringan Koch menghabiskan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendukung kandidat konservatif, kerap melalui kelompok dana gelap (yang tak perlu mengungkapkan donatur mereka).
Jaringan Koch mendanai lembaga-lembaga pemikir semisal Heritage Foundation, Cato Institute, dan Mercatus Center untuk menghasilkan penelitian dan rekomendasi kebijakan yang selaras dengan ideologi mereka. Lembaga-lembaga ini memberikan justifikasi intelektual bagi deregulasi, pajak yang lebih rendah, dan penolakan perubahan iklim. Pengaruh mereka meluas ke kampanye media, pendanaan buku, laporan, dan bahkan program universitas.
Mayer merinci bagaimana keluarga Koch, yang sebagian besar kekayaannya berasal dari bahan bakar fosil, memainkan peran utama dalam menentang regulasi lingkungan dan kebijakan iklim. Mereka mendanai organisasi yang meragukan ilmu iklim, melobi menentang pajak karbon, dan mendukung politisi yang menentang inisiatif lingkungan.
Selama masa kepresidenan Barack Obama, keluarga Koch dan sekutunya mengintensifkan pengeluaran politik mereka, mendukung gerakan Tea Party dan mendanai kampanye serangan terhadap kandidat Demokrat. Mereka bertujuan menggagalkan inisiatif semisal the Affordable Care Act (Undang-Undang Perawatan Terjangkau; Obamacare) dan kebijakan regulasi pada industri seperti energi dan keuangan.
Mayer berpendapat bahwa jaringan Koch berperan penting dalam menarik Partai Republik lebih jauh ke kanan. Dengan mendanai penantang utama terhadap kaum konservatif moderat, mereka mendorong GOP ke posisi yang lebih ekstrem dalam perpajakan, deregulasi, dan pengeluaran pemerintah.
Karya tersebut menjelaskan bagaimana keluarga Koch mendukung upaya untuk memprivatisasi layanan publik, termasuk pendidikan, dengan mempromosikan sekolah piagam dan menentang serikat guru. Mereka juga mendukung undang-undang hak untuk bekerja yang melemahkan serikat pekerja, sehingga mengurangi pengaruh politik pekerja. Salah satu pengungkapan utama Mayer adalah bagaimana keluarga Koch beroperasi sebagian besar secara rahasia, menggunakan organisasi bebas pajak dan dana yang disarankan oleh donor untuk menyembunyikan sumber pengeluaran politik mereka. Strategi "uang gelap" ini memungkinkan mereka untuk memberikan pengaruh tanpa pengawasan publik.
Dark Money karya Jane Mayer berpendapat bahwa Koch bersaudara dan sekutu mereka membentuk kembali politik Amerika dengan memanfaatkan kekayaan yang sangat besar untuk mendanai gerakan konservatif, yang menguntungkan orang-orang super kaya sambil mengikis akuntabilitas demokrasi. Pengaruh mereka, menurutnya, tak hanya mengubah hasil kebijakan tetapi juga merusak transparansi dan kepercayaan publik terhadap sistem politik.

Ada beberapa bentuk oligarki, tergantung siapa yang memegang kekuasaan: Plutokrasi (pemerintahan oleh orang kaya, misalnya oligarki Rusia, miliarder Wall Street); Oligarki Militer (pemerintahan oleh jenderal atau panglima perang, misalnya Myanmar, Mesir); Oligarki Agama (pemerintahan oleh ulama atau elit agama misalnya Pemimpin Tertinggi Iran); Oligarki Teknokratik (pemerintahan oleh ilmuwan elit dan pemimpin teknologi, misalnya pengaruh Lembah Silikon dalam kebijakan AI).
Terma oligarki berasal dari kata Yunani oligarkhia, yang berarti 'pemerintahan oleh segelintir orang.' Oligarki telah ada dalam beragam wujud sepanjang sejarah, membentuk politik, ekonomi, dan masyarakat. Negara-kota Yunani semisal Sparta dan Athena adalah contoh awal Oligarki Kuno (500 SM – 500 M). Sparta diperintah oleh sekelompok kecil prajurit elit, sementara Athena mengalami masa oligarki sebelum demokrasi muncul. Roma dimulai sebagai sebuah republik, tetapi kekuasaan terpusat di antara keluarga senator elit (bangsawan). Optimates (konservatif aristokrat) mengendalikan Senat, sementara Populares berusaha memberdayakan kelas bawah.
Ab Urbe Condita (sering diterjemahkan sebagai Sejarah Roma) karya Livy memberikan wawasan berharga tentang struktur, nilai, dan tantangan Republik Romawi, khususnya peran oligarki Senat dalam membentuk pemerintahan Romawi.
Livy, yang menulis pada masa pemerintahan Augustus (abad ke-1 SM), menyajikan Republik Romawi awal sebagai masa kebajikan, tugas sipil, dan disiplin militer. Narasinya sering membandingkan tahun-tahun awal Republik—yang ditandai oleh pertikaian antara kaum patrician (bangsawan) dan kaum plebeian (rakyat jelata)—dengan periode kemerosotan moral dan korupsi politik selanjutnya. Ia mengagungkan tokoh-tokoh semisal Cincinnatus, yang mewakili pemimpin Romawi yang ideal: seorang bangsawan yang tak mementingkan diri sendiri, yang untuk sementara waktu mengambil alih kekuasaan di masa krisis tetapi secara sukarela melepaskannya.
Livy menekankan Senat sebagai kekuatan penstabil Republik. Senat, yang didominasi oleh kaum elit bangsawan, memainkan peran penting dalam pemerintahan dengan memberi nasihat kepada para hakim, mengendalikan keuangan negara, dan mengawasi kebijakan luar negeri. Kendati secara teoritis merupakan badan penasihat, pengaruhnya sangat besar. Livy menggambarkan Senat sebagai gudang kebijaksanaan dan tradisi, yang sering bertindak sebagai pelindung kepentingan Roma. Namun, ia juga mengakui adanya saat-saat ketika korupsi dan keserakahan senator menyebabkan krisis, seperti selama kerusuhan sosial dan perang saudara di akhir Republik. Tema utama dalam karya Livy ialah perebutan kekuasaan antara kaum ningrat dan kaum plebeian. Ia mendokumentasikan momen-momen penting seperti Pemisahan Kaum Plebeian, saat kaum plebeian menarik diri dari Roma sebagai protes terhadap dominasi kaum aristokrat, pembentukan Tribune of the Plebs, sebuah lembaga magistrat yang dirancang melindungi hak-hak kaum plebeian dari kekuasaan senator yang berlebihan, dan pengesahan Undang-Undang Licinian-Sextian (367 SM), yang memungkinkan kaum plebeian menjadi konsul, sehingga memutus monopoli kaum ningrat atas jabatan tinggi. Sementara Livy menyajikan perkembangan ini sebagai sesuatu yang penting, ia sering bersimpati terhadap kaum bangsawan, dengan menyatakan bahwa ambisi politik rakyat jelata terkadang mengancam stabilitas Republik. Livy menyatakan bahwa kemunduran Roma terkait dengan korupsi moral di kalangan elit dan runtuhnya nilai-nilai republik tradisional. Ia membandingkan para pemimpin sebelumnya, yang memprioritaskan tugas daripada keuntungan pribadi, dengan tokoh-tokoh selanjutnya semisal Julius Caesar, yang ambisinya menyebabkan jatuhnya Republik. Senat, yang dulunya merupakan penjaga nilai-nilai Romawi, menjadi semakin mementingkan diri sendiri dan tak mampu mencegah perang saudara. Karena Livy menulis pada masa pemerintahan Augustus—yang telah mendirikan Principate setelah runtuhnya Republik—karyanya berfungsi sebagai sejarah sekaligus pelajaran. Ia mengidealkan Republik untuk menyoroti bahaya korupsi dan perpecahan politik, yang memperkuat klaim Augustus bahwa pemerintahannya merupakan pemulihan ketertiban yang diperlukan. Sejarah Roma karya Livy menggambarkan Republik sebagai masa pencapaian besar dan pertikaian internal, dengan Senat memainkan peran ganda sebagai tulang punggung Republik dan, terkadang, sumber kemundurannya. Karyanya berfungsi sebagai refleksi moral dan politik tentang bagaimana elit oligarki Roma berkontribusi pada keberhasilan Republik dan pada akhirnya, kejatuhannya.

Who Rules America? (2022) karya G. William Domhoff memberikan perspektif struktur kekuasaan mengenai oligarki, khususnya di AS. Kerangka kerjanya berputar di sekitar siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana kelompok elit mendominasi pemerintahan dan masyarakat.
Dalam Oligarki Korporat (Plutokrasi), siapa yang memegang kekuasaan? Elit bisnis, CEO, dan perusahaan multinasional. Misalnya di Amerika Serikat: Wall Street, Silicon Valley, perusahaan Fortune 500. Domhoff berpendapat bahwa di AS, perusahaan besar dan lembaga keuangan mendominasi kebijakan pemerintah melalui lobi, pendanaan kampanye, dan jaringan elit. Kebijakan mendukung pemotongan pajak bagi orang kaya, deregulasi, dan dana talangan perusahaan (misalnya, krisis keuangan 2008). Direktorat yang saling terkait (CEO yang bertugas di beberapa dewan perusahaan) memperkuat cengkeraman kelas ini.

Dalam Plutocrats: The Rise of the New Global Super-Rich and the Fall of Everyone Else (2012), Chrystia Freeland mengeksplorasi bagaimana meningkatnya konsentrasi kekayaan di kalangan elit global telah mengarah pada apa yang dapat digambarkan sebagai oligarki korporat atau plutokrasi—sistem tempat individu dan perusahaan terkaya memegang kekuasaan yang tak proporsional atas politik, kebijakan, dan masyarakat.
Freeland merinci bagaimana globalisasi dan kemajuan teknologi telah memungkinkan sekelompok kecil individu—terutama di bidang keuangan, teknologi, dan perusahaan multinasional—mengumpulkan kekayaan yang belum pernah ada sebelumnya. Para miliarder dan CEO ini memiliki pengaruh ekonomi yang lebih besar daripada banyak negara-bangsa.
Freeland berpendapat bahwa kekayaan yang sangat besar memungkinkan orang-orang superkaya membentuk hukum dan kebijakan demi keuntungan mereka, seringkali dengan mengorbankan kelas menengah dan pekerja. Para plutokrat memastikan dominasi mereka dengan mendanai kampanye politik, mempengaruhi keputusan regulasi, dan melobi kebijakan pajak yang menguntungkan mereka.
Banyak dari elit ini membenarkan kekuasaan mereka dengan menggambarkan diri sebagai orang jenius yang merintis usaha sendiri, menghubungkan kekayaan mereka dengan bakat dan kerja keras daripada keuntungan sistemik. Freeland mengkritik narasi ini, dengan menunjukkan bagaimana konsolidasi kekayaan sering melibatkan eksploitasi celah hukum, penangkapan regulasi, dan praktik monopoli.
Plutokrasi mengikis lembaga-lembaga demokrasi karena kekayaan diterjemahkan menjadi kendali politik. Pejabat terpilih kerap melayani kepentingan perusahaan daripada masyarakat luas karena ketergantungan mereka pada sumbangan dari para miliarder dan kelompok lobi yang kuat. Berbeda dengan para industrialis di masa lalu yang membangun pabrik dan mempekerjakan banyak tenaga kerja, para plutokrat modern mengekstraksi kekayaan melalui pasar keuangan, platform digital, dan rantai pasokan global, yang seringkali memperburuk ketimpangan dan melemahkan pekerja.
Freeland mengeksplorasi bagaimana orang-orang yang sangat kaya berinteraksi dalam jaringan eksklusif, memperkuat pandangan dunia mereka sendiri sambil tetap terputus dari perjuangan mayoritas. Pemisahan ini mengarah pada kebijakan dan struktur ekonomi yang menguntungkan kaum elit sekaligus memperlebar kesenjangan ketimpangan.
Karya Freeland menggambarkan dunia dimana oligarki korporat (plutokrasi) bukan sekadar realitas ekonomi, tetapi kekuatan sistemik yang membentuk kembali politik, budaya, dan pemerintahan. Ia memperingatkan bahwa tanpa reformasi, ketidakseimbangan yang semakin besar ini dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, keresahan sosial, dan erosi demokrasi itu sendiri.

Dalam The Power Elite (1956), C. Wright Mills menggambarkan konsep Oligarki Militer-Industri sebagai bagian dari argumennya yang lebih luas tentang struktur kekuasaan di Amerika Serikat. Analisisnya menyoroti bagaimana kekuasaan terpusat di tangan sekelompok kecil elit yang terdiri dari para pemimpin perusahaan, pejabat militer, dan tokoh politik yang bekerja sama membentuk kebijakan nasional, yang seringkali merugikan pemerintahan yang demokratis.
Mills berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara lembaga militer dan perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang bergerak di industri pertahanan. Hal ini menghasilkan sistem dimana kebutuhan militer dan keuntungan industri saling terkait erat. Sektor pertahanan diuntungkan oleh pengeluaran militer yang terus-menerus, kesiapan perang, dan konflik global, sementara militer memperoleh akses ke teknologi canggih dan sumber daya yang besar.
Pejabat militer berpangkat tinggi seringkali beralih ke peran politik, yang mempengaruhi kebijakan yang jauh melampaui pertahanan nasional. Pengawasan sipil terhadap militer melemah karena pejabat militer memperoleh pengaruh langsung atas kebijakan luar negeri, keputusan perang, dan pengeluaran pemerintah.
Mills membahas bagaimana Perang Dingin memperkuat dominasi aliansi militer-industri, menjadikan Amerika Serikat sebagai 'ekonomi perang permanen'. Kontrak pertahanan dan persiapan perang mendorong kebijakan ekonomi, yang memunculkan sistem dimana perang atau ancaman perang menjadi alat kontrol ekonomi dan politik.
Munculnya elit militer-industri mengikis partisipasi demokrasi sejati, karena keputusan tentang perang, anggaran pertahanan, dan kebijakan luar negeri dibuat oleh sekelompok kecil orang, bukan masyarakat luas. Debat publik seringkali dimanipulasi oleh propaganda yang membenarkan perluasan militer dan anggaran pertahanan yang besar.
Konsep Mills tentang Oligarki Industri-Militer menggambarkan apa yang kemudian dikenal sebagai Kompleks Industri-Militer (istilah yang dipopulerkan oleh Presiden Dwight D. Eisenhower pada tahun 1961). Karyanya mengkritik bagaimana pemerintah AS, militer, dan elit perusahaan membentuk struktur kekuasaan mandiri yang memprioritaskan perang, pengeluaran pertahanan, dan kepentingan elit di atas kesejahteraan publik dan demokrasi.

Dalam The Spoils of War: Power, Profit, and the American War Machine (2021), Andrew Cockburn menguraikan konsep Oligarki Industri-Militer dengan mengungkap bagaimana pengeluaran untuk perang dan pertahanan di Amerika Serikat terutama didorong oleh motif keuntungan daripada masalah keamanan nasional. Karyanya sejalan dengan dan memperbarui masalah yang awalnya dikemukakan oleh C. Wright Mills dalam The Power Elite (1956) tetapi lebih berfokus pada ekonomi perang Amerika modern.
Cockburn berpendapat bahwa intervensi militer AS seringkali didorong bukan oleh kebutuhan strategis, melainkan oleh kepentingan finansial. Perang memberikan peluang yang menguntungkan bagi kontraktor pertahanan, produsen senjata, dan firma militer swasta yang berkembang pesat karena keterlibatan militer yang berkelanjutan.
Perusahaan besar semisalLockheed Martin, Boeing, dan Raytheon memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan luar negeri AS, memastikan bahwa pengeluaran militer tetap tinggi. Kontrak Pentagon sering kali diberikan berdasarkan koneksi politik daripada efektivitas, yang mengarah pada sistem persenjataan yang terlalu mahal dan berkinerja buruk.
Pelobi industri pertahanan dan mantan pejabat militer mempertahankan hubungan yang saling terkait dengan posisi pemerintah, memastikan kebijakan yang mendukung perluasan militer. Hal ini mengakibatkan anggaran pertahanan yang meningkat, program senjata yang tak perlu, dan keterlibatan militer yang berkepanjangan di luar negeri.
Cockburn menyoroti bagaimana ancaman—semisal terorisme, China, dan Rusia—seringkali dibesar-besarkan untuk membenarkan pengeluaran militer yang lebih tinggi. Lembaga pemikir badan intelijen, dan outlet media yang berhubungan dengan industri pertahanan, berperan dalam menakut-nakuti guna mempertahankan dukungan publik terhadap pembangunan militer. Sebagian besar anggaran pertahanan dihabiskan untuk program-program yang tak efisien atau usang yang tak banyak membantu meningkatkan keamanan nasional. Korupsi, fraud, dan pemborosan tersebar luas, dengan sedikit akuntabilitas karena kekuatan elit militer-industri.
The Spoils of War karya Cockburn menyajikan Oligarki Militer-Industri sebagai sistem yang mengakar kuat dimana motif keuntungan mendorong keputusan militer AS lebih dari kebutuhan keamanan yang sebenarnya. Karyanya mengkritik bagaimana jaringan elit tokoh militer, perusahaan, dan politik ini memastikan peperangan abadi untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka, seringkali dengan mengorbankan pembayar pajak biasa dan stabilitas global.

Di bagian berikut, kita masih akan membicarakan beberapa bentuk Oligarki serta kita akan membandingkan Oligarki di Amerika Serikat, Rusia dan China, biidznillah," pungkas Cangik.