Kamis, 13 Februari 2025

Stupidity (2)

"Menurut Dietrich Bonhoeffer, kedunguan merupakan cacatnya kecerdasan serta kegagalan moral dan sosial yang terwujud dalam gejala atau perilaku tertentu
," kata Limbuk melanjutkan. "Analisisnya dalam Letters and Papers from Prison menyoroti beberapa ciri utama atau 'gejala' kedunguan terutama pada individu yang berada di bawah pengaruh sistem yang kuat, propaganda, atau tekanan masyarakat.
Gejala pertama ialah penolakan terhadap akal sehat dan fakta. Penolakan atau ketidakmampuan menandingkan bukti, logika, atau pemikiran kritis. Orang tersebut mengabaikan atau menampik fakta yang bertentangan dengan keyakinannya, seringkali melabelinya sebagai tidak relevan atau tak dapat dipercaya: 'Fakta yang bertentangan dengan prasangka seseorang tak perlu dipercaya.'
Misalnya, seseorang menolak menerima kebenaran yang terbukti secara ilmiah (misalnya, perubahan iklim, tindakan kesehatan masyarakat) karena bertentangan dengan prasangka atau narasi ideologisnya.

Gejala kedua ialah konformitas buta terhadap Otoritas atau Pemikiran Kelompok. Loyalitas yang tak kritis terhadap seorang pemimpin, ideologi, atau kelompok, walaupun ketika menghadapi kesalahan atau kerugian yang nyata. Orang tersebut mengadopsi pandangan, slogan, atau perilaku kelompok tanpa berpikir secara independen, bertindak sebagai instrumen agenda orang lain, 'Di bawah pengaruh kekuatan yang meningkat, manusia kehilangan kemandirian batin mereka.'
Contohnya: Mengikuti kebijakan atau gerakan yang merugikan hanya karena 'semua orang melakukannya' atau karena seorang pemimpin karismatik mengatakan bahwa itu benar.

Ketiga, kepasifan moral dan intelektual. Tak mampu bertanggungjawab atas pikiran atau tindakan seseorang, sebaliknya mengandalkan orang lain mendikte keyakinan dan keputusannya. Orang tersebut menghindari mempertanyakan posisinya atau moralitas tindakannya, seringkali mengatakan hal-hal semisal, 'Gua kan cuman ngikutin perintah.'
'Kebodohan bukan berasal dari kurangnya kecerdasan, melainkan kegagalan moral.'
Misalnya, mendukung praktik yang merugikan (misalnya, diskriminasi) tanpa secara pribadi merenungkan implikasi etisnya.

Keempat, reaksi emosional, bukan rasional. Keputusan dan pendapat didorong oleh dorongan emosional (takut, marah, kesetiaan) dan bukan pertimbangan yang masuk akal. Orang tersebut bereaksi secara defensif atau agresif ketika ditantang, seringkali menggunakan makian, ejekan, atau tanggapan irasional lainnya.
'Orang dungu seringkali keras kepala, tetapi tak ada hubungannya dengan kemandirian.'
Misalnya, mengabaikan kritik terhadap tokoh politik dengan luapan emosi dan bukannya mempertimbangkan keabsahan argumen.

Kelima, kurangnya kesadaran diri. Ketidakmampuan mengenali ketidaktahuan atau keterlibatan diri sendiri dalam tindakan yang merugikan. Orang tersebut melebih-lebihkan pengetahuan atau pemahamannya, sementara sama sekali tak menyadari betapa sedikitnya pengetahuan yang dimilikinya.
"Orang dungu tak dapat melihat bahwa dirinya sedang dieksploitasi.'
Misalnya, seseorang dengan percaya diri menyebarkan informasi yang keliru, tanpa menyadari bahwa dirinya sedang dimanipulasi oleh propaganda.

Keenam, keyakinan dan kesombongan yang keliru tempat. Keyakinan yang keras kepala terhadap keyakinan seseorang, bahkan disaat keyakinan tersebut terbukti salah atau berbahaya. Orang tersebut menolak menerima perspektif alternatif, karena yakin akan kebenaran atau ketepatannya.
'Kedunguan bukan sekadar cacat dalam pengetahuan, melainkan pemutusan hubungan yang mendalam dari kenyataan.'
Misalnya, menyangkal bukti yang disajikan oleh para ahli, dengan mengklaim, 'Gua lebih tahu,' tanpa memberikan dalil yang valid.

Ketujuh, ada keterkaitannya dengan kejahatan. Kurangnya refleksi moral memungkinkan tindakan atau kebijakan buruk terjadi tanpa perlawanan. Orang tersebut menjadi pendukung pasif dari bahaya dengan tak mempertanyakan atau menentang perbuatan salah.
'Kekuasaan yang satu membutuhkan kedunguan yang lain.'
Misalnya, mendukung sistem yang menindas atau kebijakan diskriminatif tanpa mempertimbangkan dampaknya yang lebih luas.

Kedelapan, pola pikir yang terlalu sederhana dan stereotip. Lebih menyukai penjelasan atau slogan yang terlalu disederhanakan daripada pemahaman yang bernuansa. Orang tersebut berpegang teguh pada pandangan hitam-putih, menghindari kompleksitas masalah dunia nyata.
'Mereka hanya dapat mengulang slogan dan kata-kata kunci, yang telah menguasai mereka.'
Misalnya, mereduksi masalah politik atau sosial yang kompleks menjadi kambing hitam bagi kelompok tertentu atau target yang mudah dipersalahkan.

Kesembilan, mentalitas kelompok dan hilangnya individualitas. Ketergantungan pada pemikiran kolektif, mengabaikan otonomi pribadi dan refleksi diri yang kritis. Orang tersebut mencerminkan pendapat dan tindakan kelompoknya, menghindari tanggungjawab atas perannya dalam keputusan kelompok.
"Orang dungu seringkali menjadi alat bagi orang lain, yang memungkinkan mereka mencapai tujuannya.'
Misalnya, berpartisipasi dalam perilaku seperti massa (misalnya, ujaran kebencian atau kekerasan) tanpa berhenti sejenak mempertimbangkan apakah itu benar atau dapat dibenarkan.

Kesepuluh, imun terhadap kritik. Ketidakmampuan menerima atau menanggapi kritik secara konstruktif. Orang tersebut mengabaikan umpan balik atau perspektif alternatif, dan semakin menegaskan posisinya.
'Akal sehat tak didengar; fakta yang bertentangan dengan prasangka seseorang tak perlu dipercaya.'
Misalnya, menolak turut dalam dialog yang santun, dan menganggap kritik sebagai serangan alih-alih sebagai kesempatan untuk berkembang.

Konsep stupidity sebagai kegagalan moral yang dikemukakan Bonhoeffer sangat relevan dalam konteks tantangan modern. Banyak orang yang secara tidak kritis mengadopsi ideologi atau narasi yang disebarkan oleh media atau kelompok politik tanpa mempertanyakan kebenarannya. Platform sosial memperkuat mentalitas kelompok, mendorong reaksi emosional, dan menghambat pemikiran independen. Penerimaan membabi buta terhadap narasi korporasi dan tak bisa merenungkan konsumsi etis sejalan dengan kritik Bonhoeffer. Ketidakmauan mendengarkan pandangan yang berlawanan atau menilai sisi diri sendiri secara kritis berkontribusi pada perpecahan masyarakat.
Bagi Bonhoeffer, kedunguan bukanlah cacat individu, melainkan krisis moral kolektif yang muncul dikala orang mengabaikan tanggungjawabnya dalam berpikir kritis dan bertindak secara etis. Memerangi kedunguan membutuhkan pengembangan keberanian moral, kesadaran diri, dan pemikiran independen dalam diri kita dan orang lain. 
The Basic Laws of Human Stupidity (2019, Doubleday) karya Carlo M. Cipolla merupakan esai yang menggugah pikiran, yang secara jenaka dan tajam mengkaji kebodohan manusia sebagai kekuatan yang konsisten dan mengganggu dalam masyarakat, Cipolla awalnya menerbitkan karya ini sebagai bagian dari koleksi yang lebih besar, Allegro ma non troppo (1976). Esai tersebut kemudian dikenal luas dan kini sering diperbincangkan secara independen.

Cipolla menguraikan lima hukum dasar dalam mendefinisikan, menjelaskan, dan menganalisis sifat dungu yang menyebar luas. Tanpa ambiguitas, hukum dasar pertama Kedunguan Manusia menegaskan bahwa 'setiap orang selalu dan tak terelakkan meremehkan jumlah individu dungu yang tersebar.'
Awalnya, pernyataan tersebut terdengar remeh, samar, dan sangat tak ramah. Namun, jika diteliti lebih saksama, kebenarannya yang realistis akan terungkap. Entah seberapa tinggi perkiraan seseorang tentang kebodohan manusia, seseorang berulangkali dan berkali-kali dikejutkan oleh fakta bahwa orang-orang yang pernah dinilai rasional dan cerdas, ternyata, dungu tanpa malu-malu; hari demi hari, dengan monoton tiada henti, seseorang diganggu dalam aktivitasnya oleh para orang dungu yang mendadak muncul dan tak terduga di tempat-tempat yang amat tidak nyaman dan pada saat-saat yang paling tidak mungkin.
Kedunguan bersifat universal dan tersebar ke seluruh demografi—tanpa memandang jenis kelamin, ras, pendidikan, atau status sosial ekonomi. Cipolla dengan kelakar berpendapat bahwa kita secara konsisten meremehkan berapa banyak orang yang, pada kenyataannya, stupid atau dungu. Tiada kelompok (bahkan kelompok yang amat cerdas atau elit sekalipun) yang aman dari stupidity, menjadikannya tantangan masyarakat yang selalu ada.

Kendati teryakinkan bahwa sefraksi manusia itu, dungu, dan mereka itu dungu lantaran sifat genetik, Cipolla bukanlah seorang reaksioner yang berusaha memperkenalkan kembali diskriminasi kelas atau ras secara diam-diam. Ia sangat yakin bahwa kedunguan merupakan hak istimewa yang tak pandang bulu bagi segala kelompok manusia dan terdistribusikan secara merata menurut proporsi yang konstan. Fakta ini diungkapkan secara ilmiah oleh Hukum Dasar Kedua, yang menyatakan bahwa kemungkinan seseorang dungu, tak bergantung pada karakteristik lain dari orang tersebut. Cipolla secara bergurau mengamati bahwa kedunguan itu, hal yang konstan dalam setiap kelompok, terlepas dari kecerdasan, pendidikan, atau kekuasaan. Ia bersatire, 'Dirimu bakal menemukan orang dungu di setiap negara, setiap kelas sosial, setiap organisasi, dan setiap sudut dunia. Dari profesor Harvard hingga petugas kebersihan, kedunguanlah satu-satunya kekuatan yang benar-benar demokratis.'
Ia menyoroti bagaimana dirimu tak dapat memprediksi siapa yang akan bertingkah dungu. Mekanik yang sangat pintar mungkin brilian dalam memperbaiki mobil tetapi mungkin percaya pada teori konspirasi yang jelas-jelas salah. Seorang profesor yang berpendidikan tinggi mungkin secara gak sengaja menstapler dasinya pada kertas esai seorang siswanya.

Hukum Dasar Ketiga (the Golden Basic Law) mengasumsikan, meskipun tak dinyatakan secara eksplisit, bahwa manusia terbagi dalam empat kategori dasar: yang tak berdaya, yang cerdas, yang bandit, dan yang stupid. Hukum Dasar Ketiga secara eksplisit menjelaskan, 'Orang dungu itu, orang yang menyebabkan kerugian kepada orang lain atau sekelompok orang sementara dirinya sendiri tak memperoleh keuntungan dan bahkan mungkin mengalami kerugian.'
Cipolla membagi manusia ke dalam empat kategori berdasarkan perbuatan dan dampaknya terhadap diri mereka sendiri dan orang lain. Orang yang tak berdaya ialah mereka yang secara tak sengaja menikam dirinya sendiri tapi menguntungkan orang lain. Contoh, 'Mereka yang selalu menahan pintu terbuka agar orang lain keluar tapi lupa mengeluarkan dirinya sendiri.'
Orang yang cerdas ialah mereka yang bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri dan orang lain. Misal, 'Individu yang langka dan berharga yang dapat menemukan cara untuk menang tanpa membuat orang lain kalah—seperti teman yang bersikeras membagi tagihan saat dirimu lupa membawa dompet.'
Orang yang tak berguna alias para bandit ialah mereka yang menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan orang lain. Misalnya, 'Orang yang mencuri tempat parkirmu setelah melambaikan tangan kepadamu seolah-olah mereka menolong.'
Orang dungu merupakan bintang idola dalam esai Cipolla. Orang-orang ini melukai orang lain sambil melukai dirinya sendiri, dan Cipolla menganggap ini sangat tidak masuk akal sehingga ia tak dapat menahan diri untuk tidak menekankan betapa berbahayanya mereka. Ia menulis dengan olok-olok yang serius, 'Orang dungu itu, tipe orang yang paling berbahaya, lebih berbahaya daripada Bandit.'

Kebanyakan orang tak bertindak secara konsisten. Dalam keadaan tertentu, seseorang bertindak secara cerdas dan dalam keadaan yang berbeda, orang yang sama akan bertindak tak berdaya. Satu-satunya pengecualian penting terhadap aturan tersebut diwakili oleh orang-orang dungu, yang biasanya menunjukkan kecenderungan kuat terhadap konsistensi yang sempurna dalam segala bidang usaha manusia.
Sama seperti segala makhluk manusia, orang dungu sangat bervariasi dalam kapasitasnya dalam mempengaruhi sesama manusia. Ada orang dungu, biasanya hanya menyebabkan kerugian yang terbatas sementara yang lain sangat berhasil menyebabkan kerusakan yang menakutkan dan meluas tak semata pada satu atau dua orang, melainkan pula pada seluruh komunitas atau masyarakat.
Potensi merusak orang dungu bergantung pada dua faktor utama. Pertama, tergantung pada faktor genetik. Ada orang mewarisi dosis gen keddunguan yang berat dan melalui warisan, mereka termasuk dalam kelompok elit sejak lahir. Faktor kedua yang menentukan potensi orang dungu terkait dengan posisi kekuasaan dan konsekuensi yang ia tempati dalam masyarakat. Di antara birokrat, jenderal, politisi, dan kepala negara, orang takkan kesulitan menemukan contoh yang jelas tentang orang yang pada dasarnya, dungu, yang kapasitas merusaknya telah (atau sedang) ditingkatkan secara mengkhawatirkan oleh posisi kekuasaan yang mereka tempati (atau penuhi). Tokoh agama pun tak terkecuali.

Seseorang tergoda agar percaya bahwa orang dungu hanya akan menyakiti dirinya sendiri, tetapi sama saja dengan mencampuradukkan kedunguan dengan ketidakberdayaan. Kadang-kadang seseorang tergoda mengasosiasikan dirinya dengan orang dungu untuk memanfaatkannya demi rencana-rencananya. Manuver semacam itu hanya akan berefek yang menghancurkan karena hal itu didasarkan pada kesalahpahaman total tentang hakikat kedunguan; hal ini memberi orang dungu ruang tambahan agar menggunakan bakat-bakatnya. Seseorang mungkin berharap untuk mengalahkan orang dungu dan sampai pada titik tertentu, seseorang dapat melakukannya. Namun karena perilaku orang dungu yang tak menentu, seseorang tak dapat meramalkan semua tindakan dan reaksi orang dungu, dan dalam waktu singkat seseorang akan diluluhlantakkan oleh gerakan-gerakan yang tak terduga dari pasangannya yang dungu.
Hal ini dirangkum dalam Hukum Dasar Keempat, yang menyatakan bahwa orang yang tidak dungu selalu meremehkan kekuatan merusak dari orang dungu. Secara khusus, non-stupid people terus-menerus lupa bahwa di semua waktu dan tempat, serta dalam keadaan apa pun, berurusan dan/atau bergaul dengan orang bodoh pasti akan menjadi kesalahan yang mahal. Selama berabad-abad dan ribuan tahun, baik dalam kehidupan pribadi maupun di depan publik, banyak sekali individu yang tak bisa memperhatikan Hukum Dasar Keempat, dan ketidakbisaan tersebut telah mengakibatkan kerugian yang tak terhitung bagi umat manusia."