Senin, 24 Februari 2025

Oligarki (7)

"First things first, baca berita dulu," kata Cangik seraya membuka koran. "Politik Indonesia, Menampilkan Plot Twist yang Tak Diinginkan Siapa Pun! Dalam rangkaian peristiwa yang mengejutkan, yang membuat bangsa ini meraih popcorn-nya, sebuah video Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto membocorkan rahasia tentang dugaan manuver Mulyono dalam melumpuhkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), komisi anti-korupsi Indonesia.
Hasto menduga Mulyono tengah memainkan permainan catur strategis untuk melindungi putranya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, dari cengkeraman KPK. Itu seperti mengatakan, 'Yuk, mari kita lemahkan badan anti-rasuah sehingga keluargaku dapat bermain SimCity tanpa takut diaudit!' Menurut Hasto, semua ini terjadi sekitar waktu Gibran dan Bobby mengincar kursi walikota. Hasto mengklaim ia telah memperingatkan Mulyono bahwa pencalonan mereka mungkin menarik perhatian yang tak diinginkan dari KPK, yang berpotensi mengarah pada beberapa skenario 'ketangkep basah' yang bikin gagap. Namun, plot twist, Hasto menyebutkan bahwa Mulyono, melalui utusan menteri, memprakarsai revisi undang-undang KPK, bahkan membisikkan tentang anggaran $ 3 juta untuk memperlancar jalannya.
Tentu saja, ada yang mengomentari hal ini. Salah seorang 'Ternak Mulyono' bersikeras bahwa mantan presiden itu sebenarnya menolak beberapa poin revisi yang lebih mengejutkan. Sementara itu, seorang analis politik berpikir video Hasto hanyalah 'gertak sambal'–pepesan kosong–atau desperate counter seusai Hasto sendiri diseret KPK.
Reaksi publik lainnya sangat beragam. Banyak yang menganggapnya sebagai episode terbaru yang wajib ditonton dari "Mulyono vs. Banteng," lengkap dengan ironi dramatis dan jeda iklan.
Sebagian besar masyarakat dilaporkan mencari di Google 'Hasto Kristiyanto' untuk mencari tahu mengapa pendapatnya penting. Beberapa orang mengkritik, menyatakan ini semua hanyalah manuver politik yang disamarkan sebagai keadilan. Nah, pertanyaan yang membara di benak setiap orang: apakah uang $3 juta milik Mulyono itu berasal dari kantong rakyat alias APBN, ataukah mengalir melalui jalur offshore account alias money laundering? Place your bets, ladies and gentlemen!
Seiring berjalannya drama, satu hal yang jelas: politik Indonesia masih lebih menghibur dibanding hiburan yang sebenarnya.
Disclaimer: Ini satire. Segala kemiripan dengan orang sungguhan, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, atau kejadian sebenarnya adalah murni kebetulan... atau, emang iya?"

Sekarang mari kita omon-omon tentang beberapa negara dengan pengaruh Oligarki minimal. Pertama, Norwegia. Kenapa? Norwegia punya transparansi yang tinggi, undang-undang pendanaan kampanye yang ketat, dan sistem kesejahteraan sosial yang kuat, yang mencegah konsentrasi kekayaan berlebihan. Norwegia memiliki lembaga publik yang kuat, perpajakan progresif dan redistribusi kekayaan, serta kebebasan pers yang tinggi.
Dalam "The Nordic Theory of Everything: In Search of a Better Life" (Harper, 2016), Anu Partanen mengeksplorasi struktur masyarakat negara-negara Nordik, menyoroti bagaimana kebijakan mereka mendorong otonomi individu dan meminimalkan pengaruh oligarki. Partanen menekankan bahwa akses universal ke layanan berkualitas tinggi—semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan pengasuhan anak—memastikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara, mengurangi ketergantungan pada elit yang kuat dan kekuatan pasar. Pendekatan ini mendorong mobilitas sosial dan mengurangi konsentrasi kekayaan dan kekuasaan, sehingga membatasi pengaruh oligarki. Dengan berinvestasi dalam layanan publik yang kuat dan menerapkan kebijakan yang memprioritaskan well-being setiap warga negara, Norwegia mencontohkan masyarakat yang mengutamakan pemberdayaan dan kesetaraan individu.

Kedua, Denmark. Kenapa? Denmark secara konsisten menempati peringkat di antara negara-negara yang paling tidak korup, dengan kerangka hukum yang kuat yang mencegah elit bisnis mendominasi politik. Denmark memiliki undang-undang anti-lobi yang ketat dan tatakelola serta peraturan perusahaan yang transparan.
Viking Economics: How the Scandinavians Got It Right—and How We Can, Too karya George Lakey (2016, Melville House) berpendapat bahwa Denmark, bersama dengan negara-negara Skandinavia lainnya, memiliki pengaruh oligarki yang minimal karena tradisi demokrasi yang kuat, kesetaraan ekonomi, dan welfare state (konsep negara yang berfokus pada kesejahteraan rakyatnya. Dalam konsep ini, pemerintah berperan penting dalam menyediakan layanan publik dan perlindungan sosial) yang kokoh.
Denmark memiliki kebijakan yang mencegah konsentrasi kekayaan yang berlebihan, seperti pajak progresif, serikat pekerja yang kuat, dan jaring pengaman sosial. Kebijakan-kebijakan ini membatasi kekuatan elit kaya.
Para pekerja Denmark berpengaruh signifikan dalam pembuatan kebijakan melalui perundingan bersama dan partisipasi serikat pekerja yang tinggi. Hal ini mencegah perusahaan dan orang kaya mendominasi politik.
Denmark secara konsisten menempati peringkat di antara negara-negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia, memastikan bahwa keputusan politik melayani publik dan bukan hanya segelintir elit. Negara ini telah mendanai pendidikan, perawatan kesehatan, dan layanan sosial secara publik, sehingga mengurangi ketergantungan pada kekayaan pribadi dan lobi perusahaan. Denmark menyeimbangkan efisiensi pasar dengan intervensi pemerintah, memastikan bahwa bisnis tidak mengumpulkan kekuatan yang tak terkendali atas masyarakat. Lakey membandingkan hal ini dengan sistem yang lebih oligarki, semisal AS, dimana orang kaya berpengaruh yang tak proporsional melalui pendanaan kampanye dan lobi. Ia berpendapat bahwa budaya egaliter dan pilihan kebijakan Denmark menciptakan sistem dimana kekuasaan tetap didistribusikan secara luas di antara rakyat.

Ketiga, Swedia. Kenapa? Sistem politik Swedia didasarkan pada kebijakan egaliter yang membatasi kemampuan kaum elit kaya dalam mengendalikan pengambilan keputusan. Swedia punya mobilitas sosial yang tinggi dan pemilihan umum yang didanai publik.
Dalam The Almost Nearly Perfect People: Behind the Myth of the Scandinavian Utopia (2014, Jonathan Cape), Michael Booth membahas bagaimana Swedia memiliki pengaruh oligarki yang relatif minimal dibanding dengan banyak negara lain. Ia mengaitkan hal ini dengan beberapa faktor utama.
Swedia secara historis telah menerapkan kebijakan yang mengurangi konsentrasi kekayaan, termasuk pajak yang tinggi dan program kesejahteraan sosial yang kuat. Hal ini membatasi kemampuan sekelompok kecil elit mendominasi politik atau ekonomi.
Swedia memiliki kerangka kelembagaan yang kuat yang mempromosikan transparansi dan mengurangi korupsi, sehingga menyulitkan oligarki mempengaruhi yang tak semestinya pada keputusan pemerintah.
Ada penekanan budaya yang mengakar pada egalitarianisme dan pengambilan keputusan yang didorong oleh konsensus, yang menghambat akumulasi kekuasaan di tangan beberapa individu kaya.
Swedia memiliki intervensi negara yang kuat dalam industri-industri utama, yang mencegah pembentukan monopoli dan mengurangi pengaruh perusahaan atas politik.
Booth membandingkan model Swedia dengan sistem yang lebih oligarki, dimana elit yang lebih kaya memiliki kendali yang tak proporsional atas pembuatan kebijakan. Meskipun Swedia tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh elit, struktur dan kebijakannya secara signifikan mengurangi kekuatan oligarki dibandingkan dengan negara lain.

Keempat, Selandia Baru. Kenapa? Dengan tingkat akuntabilitas pemerintah yang tinggi dan lingkungan bisnis yang diatur dengan baik, Selandia Baru memiliki tingkat kontrol oligarki yang rendah, peradilan yang independen, dan tak ada budaya lobi politik yang signifikan.
The Open Society and Its Enemies (1945, Routledge) karya Karl Popper mengkritik totalitarianisme dan membela demokrasi liberal sebagai perlindungan terbaik terhadap pemerintahan otoriter, termasuk pengaruh oligarki.
Selandia Baru sering dipandang sebagai negara dengan pengaruh oligarki yang minimal karena negara ini mewujudkan banyak cita-cita demokrasi yang diadvokasikan Popper.
Selandia Baru memiliki demokrasi parlementer yang mapan dengan proses pemilihan yang transparan dan sistem perwakilan proporsional (Mixed-Member Proportional, MMP) yang mencegah dominasi oleh sekelompok kecil elit. Menurut organisasi seperti Transparency International, Selandia Baru secara konsisten menempati peringkat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi yang paling rendah, yang menunjukkan pengaruh yang tak semestinya oleh kepentingan oligarki yang minimal.
Selandia Baru secara historis telah menjalankan kebijakan yang mempromosikan mobilitas sosial, redistribusi kekayaan, dan layanan publik yang mudah diakses, sehingga mengurangi ketimpangan ekonomi yang kerap memicu kekuatan oligarki. Sistem hukum yang kuat dan independensi media memastikan akuntabilitas, sehingga mencegah elit mengonsolidasikan kekuasaan yang berlebihan. Popper, yang tinggal di Selandia Baru dari tahun 1937 hingga 1945 saat menulis The Open Society and Its Enemies, kemungkinan besar melihat atribut ini secara langsung, memperkuat pandangannya tentang negara tersebut sebagai contoh masyarakat terbuka dengan pengaruh oligarki yang terbatas.

Kelima, Swiss. Kenapa? Swiss memiliki tatakelola yang terdesentralisasi, mekanisme demokrasi langsung, dan kerangka hukum yang kuat, yang mencegah oligarki mendominasi politik nasional. Dapat dikatakan bahwa referendum yang digerakkan oleh warga negara membatasi pengaruh elit dan regulasi keuangan yang kuat sebagai fitur utamanya.
Dalam karyanya 'Why Switzerland?' (2015, Cambridge University Press), Jonathan Steinberg meneliti struktur politik dan sosial unik yang berkontribusi pada pengaruh oligarki minimal di Swiss. Steinberg menyoroti beberapa faktor utama yang membatasi kekuasaan oligarki di Swiss.
Warga negara Swiss berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan melalui referendum dan inisiatif, memastikan bahwa kekuasaan tetap didistribusikan di antara penduduk daripada terpusat pada beberapa orang terpilih.
Sistem politik Swiss memberikan kewenangan yang signifikan kepada pemerintah kanton dan komunal, mendorong struktur kekuasaan terdesentralisasi yang mencegah munculnya oligarki yang dominan.
Swiss menggunakan dewan eksekutif beranggotakan banyak orang di tingkat federal, kanton, dan lokal, yang mempromosikan kepemimpinan kolektif dan mengurangi kemungkinan konsolidasi kekuasaan oleh individu atau kelompok kecil.
Pengaturan kelembagaan ini, sebagaimana dianalisis oleh Steinberg, menciptakan lingkungan politik dimana pengaruh oligarki diminimalkan, dan tatakelola mencerminkan spektrum luas penduduk Swiss.

Meskipun tak ada negara yang sepenuhnya bebas dari pengaruh elit, negara-negara dengan transparansi tinggi, lembaga-lembaga demokrasi yang kuat, dan peraturan ketat tentang akumulasi kekayaan cenderung sangat sedikit dikontrol oleh oligarki. Namun, bahkan di negara-negara ini, elit ekonomi mungkin masih memiliki pengaruh dalam taraf tertentu, khususnya melalui kepemilikan media dan lobi industri. Di Negara Bebas Oligarki, transparansi, pajak progresif, kesejahteraan sosial, dan kebebasan pers diutamakan guna memastikan bahwa kekayaan dan kekuasaan tak terpusat di tangan segelintir orang. Negara-negara yang dikendalikan oligarki mengalami korupsi yang tinggi, kesenjangan kekayaan, dan kontrol elit atas politik dan media, yang menyebabkan terbatasnya demokrasi dan mobilitas sosial.

Banyak pemerintahan di seluruh dunia dipengaruhi oleh oligarki melalui hubungan bisnis langsung, pendanaan politik, atau manipulasi kebijakan. Tingkat pengaruh ini bergantung pada kerangka hukum suatu negara, independensi media, dan kesadaran publik.
Oligarki mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui berbagai metode langsung dan tidak langsung, memastikan bahwa keputusan politik selaras dengan kepentingan ekonomi dan pribadi mereka. Kaum oligarki mendanai kampanye pemilu dengan imbalan kebijakan yang menguntungkan, keringanan pajak, dan kontrak pemerintah. Para politisi menjadi tergantung pada para donor elit dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan publik. Para oligark menyewa pelobi untuk mempengaruhi anggota parlemen dan lembaga regulasi. Mereka mendorong deregulasi, pengurangan pajak, dan undang-undang yang menguntungkan industri mereka.
Dalam Captured Economy: How the Powerful Enrich Themselves, Slow Down Growth, and Increase Inequality karya Brink Lindsey dan Steven M. Teles (2017, Oxford University Press), para penulisnya berpendapat bahwa kebijakan ekonomi di AS telah 'direbut' oleh para elit yang memanipulasi peraturan dan hukum demi keuntungan mereka. Mereka menjelaskan bagaimana penangkapan regulasi ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, meningkatnya kesenjangan, dan berkurangnya persaingan. Kebijakan yang menguntungkan lembaga keuangan besar, memungkinkan mereka mengambil risiko yang berlebihan sambil terlindungi dari konsekuensinya melalui dana talangan pemerintah. Persyaratan perizinan yang ketat membatasi persaingan dalam berbagai profesi, yang secara tidak proporsional menguntungkan praktisi mapan dengan mengorbankan pendatang baru. Undang-undang paten dan hak cipta yang memperluas monopoli melampaui batas yang wajar, menghambat inovasi sambil menguntungkan perusahaan besar. Undang-undang zonasi dan pembatasan bangunan membatasi pasokan perumahan, meningkatkan harga real estat dan menguntungkan pemilik properti sambil membuat perumahan kurang terjangkau. Para penulis berpendapat bahwa kebijakan ini memunculkan inefisiensi ekonomi dan memperburuk ketimpangan dengan melindungi kepentingan orang kaya alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis luas.

Para oligark memiliki atau mendanai media, yang membentuk opini publik dan hasil pemilu. Mereka menekan liputan negatif terhadap politisi yang mendukung mereka dan mendiskreditkan suara oposisi. The Media Monopoly karya Ben Bagdikian (1983, Beacon Press) membahas bagaimana sejumlah kecil perusahaan besar mengendalikan sebagian besar media, membentuk wacana publik, dan membatasi sudut pandang yang beragam. Bagdikian berpendapat bahwa kepemilikan perusahaan menyebabkan beberapa raksasa media mendikte berita apa yang dilaporkan, yang mempengaruhi persepsi publik. Liputan berita memprioritaskan kepentingan komersial daripada kepentingan publik, yang seringkali menguntungkan pengiklan dan pemangku kepentingan perusahaan. Perspektif alternatif, terutama yang kritis terhadap kekuatan perusahaan atau kebijakan pemerintah yang selaras dengan bisnis besar, terpinggirkan. Dengan lebih sedikit pemilik, konten media menjadi seragam, mengurangi jurnalisme investigasi dan pelaporan kritis.
Pada tahun 1983, Bagdikian memperingatkan sekitar 50 perusahaan media besar yang mengendalikan sebagian besar berita AS. Pada tahun 2004, jumlah ini menyusut menjadi hanya lima atau enam perusahaan besar (misalnya, Disney, News Corp, Time Warner, Viacom, dan CBS). Saat ini, segelintir perusahaan (misalnya, Comcast, Disney, Warner Bros. Discovery, dan beberapa lainnya) mendominasi televisi, film, dan media digital.
Meskipun media tradisional masih berpengaruh, perusahaan teknologi besar (Google, Facebook, Amazon, dan Twitter/X) kini mengendalikan arus informasi melalui algoritma. Platform ini menentukan berita apa yang sampai ke pengguna berdasarkan keterlibatan, seringkali memprioritaskan sensasionalisme, clickbait (teknik untuk mendorong orang mengklik tautan, dengan cara memanipulasi judul atau isi konten, biasanya membujuk pengguna agar mengikuti tautan tersebut. Umumnya bercirikan menipu, dibesar-besarkan, atau menyesatkan, menghilangkan informasi penting, membesarkan-besarkan detail cerita, menggunakan judul yang tidak sesuai dengan isi konten), dan pendapatan iklan daripada pelaporan faktual.
Kepemilikan perusahaan memprioritaskan profitabilitas, yang menyebabkan pengurangan jurnalisme investigasi bentuk panjang demi berita yang berfokus pada hiburan. Surat kabar lokal, yang dulunya penting untuk pelaporan investigasi, telah ditutup atau diakuisisi oleh dana lindung nilai yang memangkas biaya dengan mengorbankan jurnalisme berkualitas. Organisasi media yang bergantung pada iklan sering kali menghindari cerita yang dapat menyinggung sponsor utama (misalnya, perusahaan farmasi dan industri minyak). Kemitraan pemerintah dengan media (langsung atau tidak langsung) dapat memengaruhi narasi, khususnya dalam liputan politik, kebijakan luar negeri, dan pelaporan ekonomi.
Internet telah memungkinkan suara-suara independen untuk menantang media arus utama, tetapi juga telah menyebabkan infodemi—banjir informasi yang salah dan pelaporan yang bias. Silo media sayap kanan dan sayap kiri menciptakan ruang gema, yang memperkuat bias ideologis alih-alih memberikan pelaporan yang berimbang. Banyak outlet terkemuka (misalnya, The New York Times, The Washington Post) sekarang beroperasi di balik tembok berbayar, membatasi jurnalisme berkualitas bagi mereka yang mampu membelinya. Sementara itu, berita gratis sering kali terdiri dari konten berkualitas rendah yang didorong oleh iklan.
Peringatan Bagdikian telah terwujud dalam skala yang jauh lebih besar. Kombinasi monopoli media, raksasa teknologi, dan tekanan finansial telah menghasilkan sistem dimana berita seringkali disensasionalisasi, bias, atau dikendalikan oleh beberapa pemain elit.

Para oligarki memastikan bahwa pengadilan, jaksa, dan regulator menutup mata terhadap aktivitas mereka. Mereka menggunakan celah hukum, penyuapan, atau tekanan politik untuk menghindari akuntabilitas. Dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012, Crown Publishing), Daron Acemoglu dan James A. Robinson berpendapat bahwa para elit memanipulasi lembaga demi mempertahankan kekuasaan dan keuntungan ekonomi mereka. Para elit merancang lembaga politik dan ekonomi yang memusatkan kekuasaan di tangan mereka sambil mencegah partisipasi yang lebih luas. Lembaga-lembaga ini memastikan kekayaan mengalir ke para elit dengan mengorbankan mayoritas. Ketika ada ancaman perubahan kelembagaan menuju inklusivitas, para elit menolak reformasi dengan menekan perbedaan pendapat, mengatur pemilihan umum, atau menggunakan kerangka hukum demi mempertahankan kendali. Alih-alih membiarkan persaingan, para elit seringkali menyerap penantang potensial ke dalam sistem melalui patronase, hak istimewa, atau korupsi. Para elit dapat menggunakan paksaan, pembatasan hukum, atau bahkan kekuatan militer untuk mencegah munculnya struktur kekuasaan alternatif yang dapat menantang dominasi mereka. Dengan mengendalikan sektor ekonomi utama, para elit mencegah inovasi dan persaingan, memastikan bahwa kekayaan tetap terkonsentrasi.

Para oligark menempatkan sekutu di posisi pemerintahan untuk mendorong kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka. Setelah bertugas di pemerintahan, para pejabat bergabung dengan perusahaan swasta atau dewan penasihat yang dikendalikan oleh para oligark.
Karya David Rothkopf Superclass: The Global Power Elite and the World They Are Making (2008, Farrar, Straus and Giroux) mengeksplorasi bagaimana sekelompok kecil elit yang saling terhubung berpengaruh yang tak proporsional terhadap politik, ekonomi, dan masyarakat global. Menurut Rothkopf, para elit ini—yang terdiri dari sekitar 6.000-an orang—mengendalikan lembaga internasional, perusahaan multinasional, pemerintah, dan jaringan media. Kekuasaan mereka diperkuat melalui pertemuan eksklusif semisal Forum Ekonomi Dunia di Davos, pertemuan Bilderberg, dan acara tertutup lainnya dimana keputusan global utama seringkali dibentuk di luar proses demokrasi. Rothkopf berpendapat bahwa superkelas ini beroperasi di luar batas negara, memprioritaskan kepentingan mereka dan membentuk kebijakan yang menguntungkan kekayaan dan pengaruh mereka, kerap dengan mengorbankan populasi yang lebih luas.
Para oligark menggunakan pengaruh mereka mengamankan monopoli dalam bidang energi, keuangan, telekomunikasi, dan media. Mereka mencegah persaingan dengan menggunakan koneksi politik guna meloloskan peraturan yang membatasi. Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) karya Thomas Piketty membahas tentang konsentrasi kekayaan dan ketimpangan ekonomi. Piketty menyoroti bagaimana akumulasi kekayaan dan pengaruh politik memungkinkan para elit membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Menurut Piketty, para oligark dan elit kaya menggunakan beberapa mekanisme mengamankan monopoli. Orang kaya membiayai kampanye politik, melobi para pembuat kebijakan, dan mempengaruhi peraturan untuk mempertahankan dominasi pasar dan mencegah persaingan.
Banyak oligarki di negara-negara pasca-Soviet dan wilayah lain mengumpulkan kekayaan melalui privatisasi aset negara, memperoleh kendali atas industri-industri utama seperti energi dan telekomunikasi. Pengembalian modal yang tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (return > growth) memungkinkan orang kaya menginvestasikan kembali kekayaan mereka ke dalam usaha-usaha monopoli, sehingga mempersulit pesaing baru untuk memasuki pasar. Para elit kaya kerap memiliki atau memengaruhi outlet media untuk mengendalikan wacana publik, melindungi kepentingan mereka, dan menekan tekanan regulasi. Argumen Piketty yang lebih luas menunjukkan bahwa kekayaan yang diwariskan dan kekuasaan politik menciptakan struktur monopoli yang saling memperkuat dalam ekonomi kapitalis.

Lembaga pemikir, universitas, dan LSM yang didanai oleh para oligark mempromosikan kebijakan yang menguntungkan kepentingan elit. Mereka mempengaruhi penelitian akademis, memastikan teori ekonomi dan politik selaras dengan tujuan mereka.
Dalam Democracy in Chains: The Deep History of the Radical Right’s Stealth Plan for America (2017, Viking), Nancy MacLean berpendapat bahwa oligarki mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui akademisi dengan mendanai lembaga penelitian libertarian dan pasar bebas, program universitas, dan lembaga pemikir. Ia menyoroti bagaimana orang kaya, semisal Charles Koch, telah berinvestasi secara strategis dalam jaringan akademis untuk mempromosikan ide-ide yang sejalan dengan kepentingan politik dan ekonominya. MacLean menelusuri strategi ini kembali ke ekonom James Buchanan, yang karyanya dalam teori pilihan publik digunakan menantang intervensi pemerintah dan membenarkan kebijakan yang mendukung privatisasi dan deregulasi. Ia berpendapat bahwa melalui dana abadi, hibah, dan jabatan profesor, oligarki membentuk wacana akademis, memastikan bahwa ideologi pasar bebas memperoleh legitimasi dan pengaruh atas kebijakan publik, seringkali tanpa transparansi mengenai motif pendukung finansial.
Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007, Metropolitan Books), Naomi Klein berpendapat bahwa kaum elit menggunakan krisis—baik itu keruntuhan ekonomi, bencana alam, atau pergolakan politik—untuk segera menerapkan kebijakan neoliberal yang jika tidak, akan menghadapi perlawanan publik. Ia menggambarkan hal ini sebagai 'disaster capitalism (kapitalisme bencana)', dimana momen-momen guncangan kolektif dieksploitasi untuk mendorong privatisasi, deregulasi, dan langkah-langkah penghematan yang menguntungkan perusahaan dan orang kaya. Klein menelusuri strategi ini hingga ekonom Milton Friedman dan Chicago School of Economics, yang menunjukkan bagaimana ide-ide mereka mempengaruhi perubahan kebijakan di negara-negara seperti Chili di bawah Pinochet, New Orleans pasca-Katrina, dan Rusia pasca-Soviet. Ia berpendapat bahwa krisis memunculkan jendela peluang restrukturisasi ekonomi radikal, yang sering mengorbankan pengambilan keputusan yang demokratis dan kesejahteraan sosial.

Pada bagian selanjutnya kita akan omon-omon soal lobi dalam politik dan hubungannya dengan oligarki, bi'idznillah."