Senin, 10 Februari 2025

Oligarki (2)

"Menurut Samuelson dan Nordhaus (Economics 19e, 2022, McGraw Hill Irwin), permintaan agregat (AD=Konsumsi+ Investasi+ Belanja pemerintah +(Ekspor−Impor) menentukan tingkat aktivitas ekonomi dalam jangka pendek. Belanja pemerintah (G) merupakan salah satu komponen pentingnya. Ketika pemerintah mengurangi belanjanya, G secara langsung akan menurun, yang akan menurunkan total permintaan agregat," Cangik menjelaskan sesuatu kepada sahabatnya, Limbuk.
"Permintaan Agregat (AD) dan Penawaran Agregat (AS) merupakan konsep utama dalam ekonomi makro yang menjelaskan hubungan antara total output, harga, dan keseimbangan ekonomi. Permintaan Agregat adalah jumlah total barang dan jasa yang seluruh sektor ekonomi (rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan pembeli asing) bersedia dan mampu membeli pada tingkat harga yang berbeda dalam periode tertentu. Samuelson dan Nordhaus menekankan bahwa kebijakan fiskal dan moneter mempengaruhi AD, sementara kebijakan sisi penawaran (semisal investasi dalam pendidikan atau infrastruktur) mempengaruhi AS (agregat sukplai atau penawaran agregat) dalam jangka panjang. Penawaran atau Suplai Agregat merupakan jumlah total barang dan jasa yang produsen dalam sebuah perekonomian bersedia dan mampu memasok pada tingkat harga yang berbeda selama periode tertentu.
Ketika pemerintah mengurangi pengeluarannya (menabung), maka G akan berkurang. Hal ini secara langsung menurunkan permintaan agregat, yang menyebabkan pendapatan nasional (PDB) yang lebih rendah kecuali sektor swasta (konsumen atau bisnis) mengompensasi pengurangan tersebut dengan meningkatkan konsumsi atau investasi.
Samuelson dan Nordhaus menjelaskan bahwa perubahan dalam pengeluaran pemerintah punya efek pengganda pada perekonomian. Dampak awal, pengurangan G langsung berdampak pada AD.
Dampak Sekunder, bisnis menerima pendapatan yang lebih sedikit, yang menyebabkan pendapatan yang lebih rendah bagi rumah tangga dan konsumsi yang berkurang (C).
Hasil Akhir, pengurangan C memperbesar penurunan AD secara keseluruhan.
Ukuran pengganda (multiplier) bergantung pada kecenderungan mengkonsumsi marjinal (Marginal Peopensity to consume, MPC):
Pengganda=1/1−MPC
Jika MPC tinggi, dampak negatif dari pengurangan pengeluaran pemerintah pada AD lebih signifikan.Dalam jangka pendek, pengeluaran pemerintah yang lebih rendah mengurangi permintaan barang dan jasa. Hal ini dapat menyebabkan pengangguran siklis (juga dikenal sebagai pengangguran konjungtur, pengangguran yang terjadi karena penurunan kegiatan perekonomian, semisal resesi atau depresi) karena bisnis mengurangi produksi untuk mengimbangi permintaan yang berkurang. Harga dapat sedikit menurun jika permintaan turun secara signifikan, yang mengarah pada potensi tekanan deflasi.
Di sisi penawaran, bisnis dapat memangkas investasi karena permintaan yang menurun, sehingga mengurangi kapasitas produksi dari waktu ke waktu. Jika pengeluaran pemerintah sebelumnya mendukung infrastruktur atau R&D, pengurangannya dapat menurunkan produktivitas.

Dalam jangka panjang, dampaknya bergantung pada bagaimana tabungan (penghematan) dialokasikan kembali. Jika tabungan digunakan untuk mengurangi utang publik, tingkat utang yang lebih rendah dapat menyebabkan penurunan suku bunga, yang merangsang investasi swasta dan meningkatkan suplai agregat (AS) (Skenario Positif) Jika pemotongan pemerintah mengurangi pengeluaran untuk barang publik yang penting (misalnya, pendidikan, infrastruktur (bukan hanya jalan tol melainkan segala fasilitas dan struktur dasar yang dibutuhkan guna menunjang kegiatan masyarakat dan perusahaan)), hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan menurunkan potensi produksi ekonomi (Skenario Negatif).
Samuelson dan Nordhaus memperingatkan terhadap langkah-langkah penghematan (tabungan pemerintah yang lebih ekstensif) selama periode pertumbuhan rendah atau resesi. Mereka berpendapat bahwa dalam masa Resesi, pemotongan belanja pemerintah memperbesar kekurangan permintaan, memperburuk pengangguran dan stagnasi ekonomi. Selama Pertumbuhan, penghematan anggaran lebih berkelanjutan karena permintaan sektor swasta dapat mengimbangi pengeluaran pemerintah yang berkurang.
Dampak pengurangan belanja pemerintah yang signifikan terhadap lapangan kerja dapat dianalisis melalui konsep permintaan agregat (AD), hubungan lapangan kerja-output, dan upah yang kaku dalam jangka pendek dan panjang. Belanja pemerintah (G) merupakan komponen utama AD. Pengurangan G secara langsung menurunkan AD, yang menyebabkan kontraksi output (Y) dalam jangka pendek. Output yang lebih rendah menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja, yang mengakibatkan pengangguran siklis (pengangguran yang disebabkan oleh permintaan barang dan jasa yang tidak mencukupi). Menurut Samuelson dan Nordhaus, pengurangan G memicu efek pengganda. Bisnis memperoleh pendapatan yang lebih sedikit, yang menyebabkan mereka mengurangi tenaga kerja. Pekerja yang diberhentikan memiliki pendapatan yang lebih rendah, yang menyebabkan penurunan konsumsi (C). Hal ini melanggengkan siklus penurunan permintaan yang lebih rendah dan pengangguran yang lebih tinggi.
Samuelson dan Nordhaus menjelaskan bahwa upah cenderung kaku ke bawah (tak mudah atau cepat disesuaikan ke tingkat yang lebih rendah selama masa penurunan karena kontrak, serikat pekerja, atau norma sosial). Akibatnya, pasar tenaga kerja tak berhasil pulih, yang menyebabkan tingkat pengangguran lebih tinggi daripada yang akan terjadi jika upah disesuaikan secara fleksibel.
Dalam jangka panjang, lapangan kerja bergantung pada bagaimana tabungan pemerintah digunakan. Jika tabungan mengurangi utang publik, maka hal itu dapat menurunkan suku bunga dan merangsang investasi swasta (I), sehingga menciptakan lapangan kerja di industri padat modal (Skenario Positif). Jika pemotongan belanja mempengaruhi infrastruktur, pendidikan, atau R&D, hal ini dapat mengurangi potensi produksi perekonomian, yang menyebabkan pertumbuhan lapangan kerja yang lebih rendah di masa mendatang (Skenario Negatif).
Samuelson dan Nordhaus menekankan konsep tingkat pengangguran alamiah, yang ditentukan oleh faktor-faktor struktural semisal ketidaksesuaian keterampilan dan inefisiensi pasar tenaga kerja. Pemotongan program-program pemerintah seperti pelatihan kerja, pendidikan, atau dukungan bagi pekerja yang menganggur dapat meningkatkan pengangguran struktural, sehingga meningkatkan tingkat pengangguran alamiah dari waktu ke waktu.
Dalam kerangka kerja Samuelson dan Nordhaus, dalam jangka pendek, pemotongan belanja pemerintah cenderung meningkatkan pengangguran siklis karena berkurangnya permintaan dan upah yang tidak stabil. Dalam jangka panjang, dampaknya bergantung pada apakah tabungan (penghematan) meningkatkan kesehatan fiskal dan mendorong investasi swasta atau mengurangi kapasitas produksi ekonomi dengan kekurangan dana bagi sektor-sektor penting.

Sekarang mari kita lihat bagaimana penerapannya pada kebijakan di dunia nyata. Misalnya, di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto telah menerapkan pemotongan anggaran yang signifikan dengan total sekitar 306,7 triliun rupiah (sekitar $18,8 miliar) pada tahun 2025, yang bertujuan mengalokasikan kembali dana tersebut untuk inisiatif kebijakan utama, terutama program makanan gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil.
Penghematan tersebut dimaksudkan untuk membiayai program makan gratis, yang telah diperluas mencakup lebih dari 82 juta penerima manfaat, sehingga membutuhkan tambahan dana sebesar 100 triliun rupiah. Pengurangan signifikan dalam anggaran berbagai kementerian telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi gangguan dalam layanan publik. Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum menghadapi pemotongan anggaran sebesar 70%, yang dapat mempengaruhi pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur. Demikian pula, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengantisipasi berkurangnya kemampuan dalam memantau bencana alam karena berkurangnya dana.
Para ekonom memperingatkan bahwa langkah-langkah penghematan dapat menghambat kinerja ekonomi dengan mengurangi belanja pemerintah, yang telah menjadi kontributor signifikan terhadap PDB Indonesia. Sektor perhotelan dan pariwisata, yang bergantung pada acara dan perjalanan pemerintah, dapat mengalami penurunan karena berkurangnya kegiatan resmi.
Meskipun pemotongan anggaran bertujuan mengalokasikan kembali dana tanpa meningkatkan utang, ada kekhawatiran tentang kelayakan pendanaan program ekspansif semisal inisiatif makan gratis. Utang tambahan dapat menimbulkan risiko terhadap kehati-hatian fiskal dan peringkat kredit Indonesia, terutama di tengah perkiraan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah. Singkatnya, meskipun pemotongan anggaran dirancang untuk mendanai program sosial yang signifikan, penghematan tersebut berpotensi menimbulkan risiko terhadap layanan publik dan pertumbuhan ekonomi, sehingga memerlukan implementasi dan pemantauan yang cermat.

Sekarang, mari kita analisis kebijakan Presiden Prabowo tentang penghematan anggaran melalui kerangka kerja Samuelson dan Nordhaus. Untuk menganalisisnya, kita perlu memeriksa dampaknya terhadap Permintaan Agregat (AD) dan Penawaran Agregat (AS), serta konsekuensi makroekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Samuelson dan Nordhaus menggunakan diagram silang Keynesian atau model penawaran dan permintaan agregat (AS-AD) untuk menjelaskan hal ini. Dalam jangka pendek, salah satu komponen utama AD adalah belanja pemerintah (G). Langkah penghematan Presiden Prabowo—memotong pengeluaran yang tidak penting semisal perjalanan dinas dan AC—mengurangi pengeluaran sektor publik. Menurut Samuelson dan Nordhaus, pengurangan belanja pemerintah secara langsung menggeser kurva AD ke kiri, yang mengakibatkan permintaan total yang lebih rendah dalam perekonomian.
Sementara sebagian dana dialihkan ke inisiatif sosial semisal makanan gratis untuk anak-anak dan ibu hamil, efek bersihnya bergantung pada efek pengganda. Belanja sosial cenderung memiliki pengganda yang tinggi karena meningkatkan konsumsi (C) di antara rumah tangga berpendapatan rendah dengan kecenderungan konsumsi marjinal yang tinggi. Jadi, sementara AD secara keseluruhan mungkin berkontraksi karena pemotongan belanja, redistribusi yang ditargetkan dapat mengurangi sebagian penurunan tersebut.
Bisnis dapat menafsirkan pemotongan anggaran sebagai sinyal berkurangnya permintaan pemerintah bagi infrastruktur dan layanan. Hal ini dapat meredam investasi swasta (I) dalam jangka pendek, yang selanjutnya mengurangi AD.
Dampak kontraksi dari pemotongan belanja pemerintah dapat lebih besar daripada dampak stimulatif dari belanja program sosial. Hal ini menyebabkan kemungkinan penurunan AD, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi lebih lambat dan pengangguran lebih tinggi dalam jangka pendek.

Pemangkasan anggaran untuk kementerian pemerintah yang penting, seperti pekerjaan umum dan lembaga bencana, dapat mengganggu pemeliharaan infrastruktur dan mengurangi produktivitas. Hal ini dapat menggeser suplai agregat jangka pendek ( short-run aggregate supply, SRAS) ke kiri, sehingga meningkatkan biaya bagi bisnis dan rumah tangga.
Samuelson dan Nordhaus menekankan bahwa pengurangan pengeluaran pemerintah yang boros dapat membebaskan sumber daya untuk penggunaan yang produktif. Dengan menghilangkan inefisiensi, kebijakan Presiden Prabowo dapat meningkatkan produktivitas secara keseluruhan dan menggeser suplai agregat jangka panjang (long-run aggregate supply, LRAS) ke kanan.
Program sosial (misalnya, makanan bergizi gratis) dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang. Gizi yang lebih baik di antara anak-anak dan ibu hamil menghasilkan pekerja masa depan yang lebih sehat dan lebih produktif, yang berdampak positif pada Agregat Suplai dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Pemotongan anggaran yang besar dalam infrastruktur publik dan manajemen bencana dapat mengurangi ketahanan ekonomi. Hal ini dapat melemahkan potensi output dalam jangka panjang jika layanan atau investasi penting diabaikan.

Kerangka kerja Samuelson dan Nordhaus memprediksi kontraksi jangka pendek dalam aktivitas ekonomi akibat berkurangnya belanja pemerintah (AD ↓). Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lebih lambat dan pengangguran yang lebih tinggi jika aktivitas sektor swasta tak mengimbangi pengurangan belanja publik.
Jika dikelola dengan baik, kebijakan tersebut dapat memberikan dampak positif jangka panjang. Peningkatan efisiensi fiskal dan alokasi sumber daya yang lebih baik dapat meningkatkan suplai agregat (LRAS ↑). Belanja sosial untuk gizi dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, yang selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Tantangan utamanya ialah menyeimbangkan penghematan dengan layanan publik yang penting. Pemangkasan berlebihan pada sektor-sektor penting (misalnya, infrastruktur, pendidikan) dapat merusak kapasitas produksi ekonomi, sehingga meniadakan potensi manfaat jangka panjang.

Untuk mencegah kontraksi permintaan yang berlebihan, pemerintahan Presiden Prabowo dapat melengkapi penghematan dengan stimulus fiskal yang menargetkan investasi swasta (I) atau pembangunan infrastruktur. Pastikan sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan pendidikan tetap didanai secara memadai guna menghindari penurunan kapasitas produksi. Transparansi dalam realokasi dana dan penargetan program-program dengan pengganda ekonomi yang tinggi akan memaksimalkan manfaat kebijakan dan meminimalkan konsekuensi yang tak diinginkan.
Sebagai kesimpulan, menggunakan kerangka kerja Samuelson dan Nordhaus, kebijakan penghematan anggaran Presiden Prabowo dapat menstabilkan ekonomi dalam jangka panjang dengan meningkatkan alokasi sumber daya dan meningkatkan produktivitas. Namun, manajemen yang cermat diperlukan untuk menghindari guncangan permintaan jangka pendek dan inefisiensi struktural jangka panjang."

"Cangik, kowe kuwi ngomong opo sih? Sumpah, aku orah ngerti," gerutu Limbuk sambil memijit-mijit dahinya seolah sedang berusaha meredakan kebingungannya sendiri. "Yowis, yowis," jawab Cangik, "Kita lanjut aja ke hal yang lebih menarik – Oligarki! Sistem dimana segelintir orang memonopoli seluruh kekuasaan dan kita semua, cuman ikan hias!"