"Alamak, Indonesia, masih ngerock ala Wakanda-Konoha ya? Ternyata 'kebebasan berpendapat' di sini lebih mirip 'kebebasan berbisik... atau ternyata, 'kebebasan berbicara' lebih merupakan 'anjuran' daripada hak!' Coba deh tanyain Sukatani, yang tembangnya 'Bayar Bayar Bayar' (kritikan halus terhadap polisi kita yang sok sensitif) berhasil disambar Thanos dari platform musik lebih cepat daripada yang bisa loe ucapin: 'pelanggaran hak cipta'—karena ternyata, polisi juga punya perasaan, terutama jika menyangkut dompet mereka," berkata Cangik usai membaca beberapa komentar di X. "Indonesia masih menjadi juara bertahan cosplay Wakanda/Konoha yang gak disengaja. Mengapa? Nah, mengekspresikan diri secara bebas di sini ibarat bermain Jenga – satu langkah yang salah dan seluruh menara (karier-mu) bakalan runtuh. Ambil contoh Sukatani. Singel hit mereka, 'Bayar Bayar Bayar!' (tuduhan pedas terhadap... yah, seseorang yang berutang uang), berani mensatirekan kepolisian dengan halus. Sekarang kenangan itu telah terhapus dari internet. Maka tak mengherankan jika #KaburAjaDulu muncul.
Tembang yang dirilis pada tahun 2023 itu dengan cepat menjadi lagu hits band tersebut. Liriknya yang sarat dengan ironi melukiskan gambaran nyata kehidupan sehari-hari, dimana setiap layanan, mulai dari pengurusan SIM hingga dugaan korupsi, memerlukan 'bayar polisi'.
Lirik lagunya penuh dengan ironi, temanku sempat mengabadikannya ke dalam Ingglisy,
Wanna make a driver's license, pay the police
Get pulled over on the road, pay the police
Touring with big motorcycles, pay the police
Minibuses wanna stop, pay the police
Oh dear, oh dear, I have no money
To be able to pay the police
Wanna organize a gig, pay the police
Report lost items, pay the police
Go to jail, pay the police
Get out of jail, pay the police
Oh dear, oh dear, I have no money
To be able to pay the police
Wanna corrupt, pay the police
Wanna evict houses, pay the police
Wanna clear the forests, pay the police
Wanna become a policeman, pay the police
Oh dear, oh dear, I have no money
To be able to pay the police
Tembang ini mengisyaratkan bahwa menjadi polisi pun memerlukan pembayaran, yang semakin mensatirekan keadaan. Lagu ini mengomentari sistem yang mengharuskan seseorang membayar polisi, bahkan pun melaporkan barang hilang atau masuk penjara. Kalimat berulang "Aduh aduh ku tak punya uang / Untuk bisa bayar polisi" menggambarkan rasa frustrasi rakyat jelata yang terus-menerus diminta membayar. Secara sederhana, 'Bayar Bayar Bayar' menceritakan kepada kita bahwa di Indonesia versi Sukatani, dompetmu adalah kartu bebas dari penjara, dan polisi selalu menagih uang sewanya. Lagu ini adalah 'dark comedy' yang diiringi irama punk rock, serenade satire tentang biaya hidup, gaya Indonesia. Lagu ini menggambarkan korupsi, menyoroti situasi dimana orang merasa harus membayar untuk mendapatkan layanan atau menghindari sanksi
Namun, kisah ini berubah! Pada tanggal 20 Februari 2025, band ini menyampaikan permintaan maaf kepada Kepala Kepolisian Nasional (Kapolri) dan institusi kepolisian, dengan menarik lagu tersebut dari semua platform streaming. Dalam sebuah video, para anggota band, yang pertama kali membuka topeng, meminta maaf atas liriknya. Mereka mengatakan lagu itu ditujukan bagi para petugas nakal, tetapi tetap mencabutnya.
Banyak pengguna daring yang mendukung band ini, menggunakan tagar #KamiBersamaSukatani, yang menjadi tren di Twitter Indonesia.
Meski sempat muncul spekulasi mengenai strategi pemasaran Sukatani, banyak netizen, termasuk musisi ternama, yang menyatakan dukungannya terhadap Sukatani dengan mengkritik persepsi yang mengekang ekspresi artistik. Sebagian membuat template Instagram Story untuk menunjukkan dukungannya. Seorang netizen menulis, 'Mas Cipoy dan Mbak Citra, tetap semangat!! Bukan hanya warga Purbalingga yang mendukung, dukungannya pun semakin besar. Gak apa-apa beristirahat sejenak. Karya kalian terbukti relevan saat ini. Hanya saja mereka paranoid #KamiBersamaSukatani'. Banyak pengguna media sosial yang menyuarakan kekecewaannya atas pencabutan lagu tersebut, menduga Sukatani menghadapi tekanan agar mencabutnya. Beberapa tokoh publik angkat bicara, mengecam tindakan yang mereka anggap menghambat kebebasan berekspresi. Seorang musisi berkomentar, 'Ada lagu yang mulai disensor. Sedih sekali mendengarnya.'
Tanggapan masyarakat pop kultur tersebut menyoroti kekhawatiran tentang kebebasan berekspresi dan peran seni dalam mengkritisi isu sosial. Peristiwa ini memicu perdebatan tentang batas-batas kritik terhadap penegak hukum dan lembaga pemerintah. 'Bayar Bayar Bayar' karya Sukatani bukan sekadar lagu; ia adalah pengumuman layanan masyarakat yang dikemas dalam punk anthem!
'Bayar Bayar Bayar' karya Sukatani menunjukkan bahwa harga tiket masuk ke masyarakat Indonesia adalah kantong penuh suap, sentimen yang akan terasa pas di Monas, yang, selama pelantikan 961 kepala daerah, tak menyerupai monumen nasional dan lebih menyerupai ruang pamer mobil mewah tempat kebijakan baru yang paling mengkilap menunggu untuk dikemudikan, mungkin setelah 'biaya pemrosesan yang kecil'. Monas, yang biasanya merupakan simbol kebanggaan nasional, untuk sementara diubah menjadi 'parkir mewah'! Lupakan signifikansi historisnya; daya tarik sebenarnya adalah tampilan kekayaan yang memukau di atas roda. Itu seperti adegan dari 'Crazy Rich Indonesians,' tetapi alih-alih pernikahan, ini acara politik. Satu-satunya hal yang hilang ialah tali beludru dan seorang sales penjualan yang menawarkan uji coba demokrasi. Siapa yang butuh monumen nasional jika engkau punya monumen kemewahan otomotif?
Duhai, Monas, kebanggaan Jakarta, berubah menjadi tempat parkir sementara bagi kaum kaya baru! Tampaknya aturan berpakaian untuk pelantikan adalah 'bawa kendaraan paling mewahmu.' Lupakan pidato-pidato; tontonan yang sesungguhnya ialah parade kendaraan yang penuh kekuatan. Orang hampir bisa mendengar mesin menderu, 'Kami di sini untuk melayani... dan dilihat!' Siapa yang butuh air mancur menari jika engkau memiliki lautan krom dan jok kulit yang berkilauan?" pungkas Cangik.