"Meskipun Amerika Serikat mempertahankan lembaga-lembaga demokrasi, akan tetapi, kebijakan, pemilihan umum, dan ekonominya, sangat dipengaruhi oleh elit-elit perusahaan, miliarder, dan lembaga-lembaga keuangan. Banyak akademisi berpendapat bahwa AS beroperasi sebagai 'oligarki plutokratik', dimana uang mendikte kekuasaan, bukan kehendak demokratis rakyat," kata Cangik melanjutkan. "Dalam Winners Take All: The Elite Charade of Changing the World (2018, Knopf), Anand Giridharadas mengungkap bagaimana elit kaya mempertahankan dan memperkuat kendali oligarki sambil berpura-pura membantu masyarakat. Ia berpendapat bahwa elit ini melibatkan diri dalam filantropi, kewirausahaan sosial, dan investasi berdampak agar tampak baik hati, tetapi tindakan mereka pada akhirnya berfungsi untuk melindungi dan memperluas kekuasaan dan kekayaan mereka.
Kaum elit lebih mengutamakan solusi sektor swasta untuk masalah sosial daripada perubahan sistemik, dengan memastikan bahwa struktur yang menguntungkan mereka tetap utuh. Mereka menolak kebijakan seperti pajak progresif, hak buruh, atau pembubaran monopoli. Ketimbang mengatasi akar permasalahan, mereka mendanai inisiatif amal yang membuat mereka tampak murah hati sambil menghindari pengorbanan yang nyata. Hal ini memungkinkan mereka mempertahankan pengaruh atas cara penyelesaian masalah sosial. Mereka mengintegrasikan para reformis ke dalam ruang-ruang elit, seperti TED Talks, Davos, dan beasiswa yang disponsori perusahaan, tempat ide-ide radikal dilunakkan atau didepolitisasi.
Dengan mendanai lembaga pemikir, universitas, dan media, mereka membentuk wacana publik untuk memastikan bahwa reformasi struktural yang bermakna—seperti redistribusi kekayaan—ditolak karena dianggap tidak realistis atau ekstrem. Mereka mendorong gagasan bahwa berbuat baik dan menghasilkan uang dapat berjalan beriringan, mengabaikan bagaimana motif yang didorong oleh keuntungan seringkali melanggengkan ketimpangan daripada menyelesaikannya. Giridharas berpendapat bahwa perubahan sejati membutuhkan perlawanan terhadap struktur kekuasaan daripada bergantung pada kebajikan orang-orang yang amat sangat kaya.
Di Rusia, oligarki merujuk pada elit bisnis kaya yang memperoleh kekuasaan ekonomi dan politik yang besar setelah jatuhnya Uni Soviet. Para oligarki ini mengendalikan industri besar seperti minyak, gas, dan perbankan dan seringkali memiliki hubungan langsung dengan Kremlin.
Buku karya Catherine Belton 'Putin’s People: How the KGB Took Back Russia and Then Took On the West' (2020, William Collins) merinci bagaimana mantan agen KGB, termasuk Vladimir Putin, memanfaatkan kekuatan negara dalam membangun oligarki politik-bisnis di Rusia. Ia berpendapat bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet, mantan perwira KGB berkumpul kembali untuk mendapatkan kembali kendali, menyusup ke lembaga dan industri utama. Tak seperti oligarki tahun 1990-an yang mengumpulkan kekayaan secara mandiri, sekutu Putin, yang banyak di antaranya berasal dari lingkaran KGB St. Petersburg-nya, menggunakan mekanisme negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikan kembali kekayaan.
Putin memberdayakan siloviki (elit dinas keamanan) mengelola industri negara, memastikan loyalitas dan menyingkirkan para pesaing. Industri utama, terutama minyak dan gas (seperti Gazprom dan Rosneft), dibawa ke bawah kendali Kremlin, yang mendanai ambisi geopolitik. Jaringan keuangan lepas pantai dan pendukung Barat membantu mencuci uang, yang memungkinkan elit Rusia mempengaruhi politik global.
Belton menyajikan transformasi ini sebagai proyek yang digerakkan KGB untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, membalikkan liberalisasi pasca-Soviet, dan memperluas pengaruh Rusia di luar negeri.
Seusai kolapsnya Uni Soviet, Presiden Boris Yeltsin memprivatisasi industri-industri negara, yang menyebabkan sekelompok kecil orang dalam memperoleh kekayaan yang sangat besar. Para oligarki semisal Mikhail Khodorkovsky, Roman Abramovich, dan Boris Berezovsky menjadi miliarder dalam semalam dengan mengambil alih aset-aset bekas Uni Soviet. Banyak dari para oligarki ini membiayai pemilihan kembali Yeltsin pada tahun 1996, yang memperkuat pengaruh mereka dalam politik.
Buku karya David E. Hoffman berjudul The Oligarchs: Wealth and Power in the New Russia diterbitkan pada tahun 2011 oleh PublicAffairs. Hoffman mengeksplorasi bagaimana oligarki Rusia muncul dari perebutan kekuasaan di era Soviet, khususnya selama transisi dari ekonomi yang dikendalikan negara ke privatisasi pada tahun 1990-an. Ia merinci bagaimana sekelompok kecil individu yang ounya koneksi memanfaatkan reformasi ekonomi di bawah kebijakan perestroika Mikhail Gorbachev dan privatisasi Boris Yeltsin.
Pergeseran mendadak ke ekonomi pasar menciptakan peluang bagi orang dalam untuk memperoleh aset negara dengan harga yang sangat rendah. Kebijakan kontroversial dimana perusahaan milik negara secara efektif diserahkan kepada investor swasta dengan imbalan pinjaman kepada pemerintah Rusia yang kekurangan uang.
Banyak oligarki memiliki hubungan dengan birokrat Soviet, yang memungkinkan mereka memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi. Pengusaha kaya memperoleh pengaruh dengan mengendalikan jaringan televisi dan surat kabar, yang seringkali membentuk opini publik yang menguntungkan mereka. Kurangnya hukum dan peraturan yang kuat memungkinkan para oligarki beroperasi dengan pengawasan yang minim.
Hoffman memberikan profil mendalam tokoh-tokoh seperti Boris Berezovsky, Mikhail Khodorkovsky, dan Roman Abramovich, yang menunjukkan bagaimana mereka memanfaatkan kekayaan mereka untuk memegang kekuasaan politik yang sangat besar di Rusia pasca-Soviet.
Ketika Vladimir Putin berkuasa pada tahun 2000, ia memaksa para oligarki menyatakan kesetiaan kepada pemerintahannya. Para oligarki yang menolak—seperti Mikhail Khodorkovsky (Yukos Oil)—dipenjara atau diasingkan. Putin mengganti oligarki independen dengan oligarki yang berpihak pada negara (misalnya, Igor Sechin, Gennady Timchenko, Alisher Usmanov).
Dalam "Kremlin Winter: Russia and the Second Coming of Vladimir Putin," (2019, Pan Macmillan), sejarawan Robert Service meneliti bagaimana Vladimir Putin mengubah sistem oligarki Rusia untuk mengonsolidasikan kekuasaan politiknya. Setelah memangku jabatan presiden pada tahun 2000, Putin berupaya menegaskan kembali kendali negara atas ekonomi dan mengurangi pengaruh politik oligarki yang telah mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan yang signifikan selama tahun 1990-an.
Service merinci bagaimana Putin menerapkan strategi untuk membawa oligarki ini di bawah pengawasan Kremlin. Hal ini melibatkan tindakan hukum dan, dalam beberapa kasus, pemenjaraan tokoh-tokoh terkemuka yang menentang kendali negara, dengan demikian mengirimkan pesan jelas kepada yang lain. Dengan secara selektif menargetkan oligarki yang tak patuh dan membina aliansi dengan mereka yang bersedia bersekutu dengan pemerintahannya, Putin secara efektif merestrukturisasi sistem oligarki. Penataan ulang ini memastikan bahwa elit ekonomi tetap tunduk pada tujuan politik negara, dengan demikian memperkuat otoritasnya dan memusatkan kekuasaan di dalam Kremlin. Pendekatan ini tak semata membatasi otonomi individu-individu terkaya Rusia tetapi juga mengintegrasikan sumber daya ekonomi mereka ke dalam kerangka strategis negara, menyelaraskan kepentingan bisnis dengan kebijakan nasional dan visi Putin bagi kebangkitan Rusia di panggung global.
Kaum elit kaya masih mengendalikan industri-industri besar, tetapi kekuasaan mereka bergantung pada kesetiaan mereka kepada Putin. Sanksi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 menargetkan kaum oligarki, yang menyingkapkan hubungan mendalam mereka dengan Kremlin.
Dalam Putin’s Kleptocracy: Who Owns Russia? (2014, Simon & Schuster), Karen Dawisha berpendapat bahwa naiknya Vladimir Putin ke tampuk kekuasaan bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah rencana yang diatur dengan baik oleh jaringan agen KGB, penjahat, dan oligarki yang berusaha mengendalikan sistem politik dan ekonomi Rusia untuk memperkaya diri sendiri.
Ia merinci bagaimana kelompok ini telah menggunakan lembaga-lembaga negara, pasukan keamanan, dan tuas-tuas ekonomi memperkaya diri mereka sendiri sambil menekan oposisi politik. Alih-alih Rusia dimiliki oleh warga negaranya atau diperintah secara demokratis, Dawisha menyajikan bukti bahwa sekelompok kecil elit di sekitar Putin mengendalikan negara, sumber dayanya, dan kebijakan ekonominya. Sistem kleptokrasi ini memastikan bahwa kekayaan dan pengaruh tetap terkonsentrasi di antara para loyalis Putin, khususnya mereka yang berlatarbelakang dinas intelijen dan keamanan.
Jadi, terma Kleptokrasi Putin merujuk pada sistem dimana kekuasaan negara digunakan untuk korupsi skala besar dan memperkaya diri sendiri oleh Putin dan lingkaran dalamnya. Dawisha menjelaskan bagaimana jaringan mantan pejabat keamanan dan elit bisnis ini mengumpulkan kekayaan dengan mengendalikan industri-industri utama, memanipulasi lembaga-lembaga negara, dan menyingkirkan oposisi politik. Ia menggambarkan Rusia sebagai negara dimana kesetiaan pribadi kepada Putin menentukan nasib ekonomi dan politik, alih-alih aturan hukum atau prinsip-prinsip demokrasi.
Oligarki China disetir oleh negara, bukan oleh bisnis. Communist Party of China (CPC) mengendalikan pemerintahan, ekonomi, dan militer, sementara keluarga elit dan sekutu perusahaan mendominasi sektor bisnis. Dalam 'The Party: The Secret World of China's Communist Rulers' (2010, Harper Perennial), Richard McGregor meneliti bagaimana Chinese Communist Party (CCP) atau Communist Party of China (CPC) mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan melalui kontrol dan sensor ekonomi. McGregor mengungkapkan bahwa, meskipun terjadi liberalisasi ekonomi, CPC tetap memegang kendali kuat atas lembaga-lembaga utama, termasuk kementerian pemerintah, militer, media, dan perusahaan-perusahaan besar. Kontrol ini memastikan bahwa kegiatan ekonomi selaras dengan tujuan partai, mencegah munculnya pusat-pusat kekuasaan alternatif. Selain itu, Departemen Propaganda CPC mengawasi media publik dan swasta, mengatur penyebaran informasi untuk membentuk persepsi publik dan menekan perbedaan pendapat. Dengan menanamkan komite-komite partai dalam perusahaan-perusahaan swasta dan mempertahankan pengaruh atas peradilan dan penegakan hukum, CPC mengintegrasikan dirinya ke dalam tatanan masyarakat China, secara efektif mengendalikan bidang-bidang ekonomi dan informasi guna mempertahankan otoritasnya.
Pada tahun 1949, Mao Zedong mendirikan the People’s Republic of China (PRC) di bawah kendali Komunis yang ketat. Pada tahun 1980-an, Deng Xiaoping memperkenalkan reformasi pasar, yang memungkinkan munculnya bisnis swasta sementara CPC mempertahankan kendali politik.
Deng Xiaoping and the Transformation of China (2011, Belknap Press dari Harvard University Press) karya Ezra Vogel mengeksplorasi bagaimana reformasi ekonomi Deng Xiaoping menyebabkan munculnya kelas baru miliarder yang punya koneksi politik di China. Reformasi Deng, khususnya gerakan menuju 'ekonomi pasar sosialis,' memungkinkan perusahaan swasta dan investasi asing berkembang pesat, tetapi dalam sistem dimana Partai Komunis mempertahankan kendali. Vogel menjelaskan bahwa ketika perusahaan milik negara direstrukturisasi, pejabat dan keluarga mereka memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan saham di industri yang baru diprivatisasi, seringkali mengamankan kontrak pemerintah dan transaksi tanah yang menguntungkan. Pengenalan Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones, SEZ) selanjutnya memungkinkan elit partai mengumpulkan kekayaan melalui kemitraan asing, kerap mengaburkan batas antara kekuatan politik dan hak istimewa ekonomi. Meskipun Deng tak bermaksud menciptakan kelas kapitalis kroni, Vogel berpendapat bahwa kurangnya pemeriksaan kelembagaan terhadap korupsi dan nepotisme berkontribusi pada munculnya pengusaha miliarder dengan koneksi politik yang mendalam.
Red Roulette: An Insider’s Story of Wealth, Power, Corruption, and Vengeance in Today’s China oleh Desmond Shum (2021, Scribner) memberikan kisah langsung tentang bagaimana oligarki bisnis China menavigasi kerangka kerja Communist Party of China (CPC). Ia menjelaskan bahwa elit bisnis berkembang dengan menjaga hubungan dekat dengan pejabat Partai. Mereka bertindak sebagai perantara antara kekuasaan negara dan kekuatan pasar, mengamankan kesepakatan yang menguntungkan melalui hubungan pribadi (guanxi). Pengusaha bergantung pada patron politik untuk mendapatkan akses ke sumber daya, izin, dan kontrak. Namun, hubungan ini tidak pasti—ketika patron tak lagi disukai, sekutu bisnis mereka juga menjadi rentan.
Partai memegang kendali atas kekayaan pribadi, memastikan bahwa para pemimpin bisnis tetap setia. Bahkan pengusaha yang sukses dapat menjadi sasaran karena alasan politik jika mereka dianggap sebagai ancaman atau menjadi terlalu independen.
Meskipun disajikan sebagai upaya reformasi, tindakan keras seringkali berfungsi untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Pengusaha yang dekat dengan faksi lawan berisiko kehilangan bisnis dan kebebasan mereka. CPC semakin mendorong perusahaan swasta agar menyelaraskan diri dengan tujuan nasional, termasuk pengembangan teknologi dan ekspansi global, sehingga memperkuat dominasi Partai. CPC mengendalikan militer, bank, dan industri-industri besar (energi, teknologi, real estat). Bisnis-bisnis swasta dapat tumbuh, tetapi hanya jika mereka melayani kepentingan Partai. Kampanye antikorupsi Xi Jinping (2013-sekarang) menyingkirkan para oligarki yang menjadi ancaman bagi kekuasaan Partai.
Dalam China’s Gilded Age: The Paradox of Economic Boom and Vast Corruption (2020, Cambridge University Press), Yuen Yuen Ang mengeksplorasi bagaimana korupsi dalam sistem oligarki China secara paradoks mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa tak semua korupsi sama-sama merusak—sistem China sebagian besar menampilkan 'access money', suatu bentuk korupsi transaksional dimana bisnis membayar pejabat untuk akses ke peluang yang menguntungkan, seperti tanah, kontrak, dan keuntungan kebijakan. Tak seperti korupsi predator (yang menghambat pertumbuhan dengan memeras bisnis), jenis korupsi ini memberi insentif kepada pejabat untuk memfasilitasi ekspansi ekonomi, menciptakan lingkungan dimana pertumbuhan dan korupsi hidup berdampingan. [mohon jangan membaca hanya sampai disini, teruskan hingga paragraf berikut]
Ang membandingkan model China dengan negara-negara lain dimana korupsi lebih ekstraktif, menunjukkan bagaimana struktur insentif politik dalam sistem otoriter dan terdesentralisasi memungkinkan pertumbuhan tinggi dan korupsi tinggi. Namun, ia memperingatkan bahwa model ini tak berkelanjutan dalam jangka panjang, karena korupsi yang tak terkendali menyebabkan ketidaksetaraan, inefisiensi, dan risiko keruntuhan sistemik.
Jadi, siapa dong yang punya Sistem Oligarki teramat besar? Amerika Serikatkah? Oligarki beroperasi secara tak langsung melalui pengaruh perusahaan, lobi, dan pendanaan kampanye. Atau Rusia? Oligarki lebih tersentralisasi, dengan kendali langsung oleh Putin dan Kremlin. Atau mungkin China? Oligarki yang paling dikendalikan negara, dimana elit bisnis melayani Partai Komunis, atau jika tidak mau, mereka bakal disingkirkan.
Buku karya Michael Lind, The New Class War: Saving Democracy from the Managerial Elite, (2020, Portfolio/Penguin) berpendapat bahwa oligarki modern—terutama elit manajerial—membentuk politik global dengan memusatkan kekuasaan di lembaga teknokratis, perusahaan multinasional, dan organisasi budaya, yang secara efektif menyingkirkan kelas pekerja dan kelas menengah dari partisipasi politik yang bermakna.
Pengambilan keputusan semakin dialihkan dari perwakilan terpilih ke birokrat, hakim, dan organisasi internasional yang tak dipilih, sehingga mengurangi akuntabilitas demokratis. Elit manajerial mendukung perdagangan bebas, deregulasi, dan alih daya, yang diuntungkan oleh pasar global sambil membiarkan populasi kelas pekerja domestik rentan secara ekonomi.
Elit mengendalikan media besar, lembaga akademis, dan perusahaan, membentuk wacana publik dan menekan sudut pandang yang berbeda melalui penjagaan ideologis. Serikat pekerja, organisasi keagamaan, dan lembaga masyarakat yang pernah mengimbangi pengaruh elit telah dilemahkan atau dikooptasi, sehingga mengurangi kemampuan masyarakat biasa berorganisasi secara politik.
Lind tak secara eksplisit menggolongkan negara-negara dalam hal oligarki, tetapi ia menyiratkan bahwa demokrasi liberal Barat, khususnya AS dan beberapa bagian Eropa, telah menjadi sangat oligarki. Ia mengkritik AS sebagai contoh utama dimana elit perusahaan dan manajerial menjalankan pengaruh yang tak proporsional terhadap kebijakan pemerintah, hubungan ketenagakerjaan, dan narasi budaya, yang menjadikannya pesaing utama bagi sistem yang paling oligarki.
Memang sulit sih nemuin negara yang sepenuhnya bebas dari pengaruh oligarki, sebab kekayaan dan kekuasaan cenderung terpusat di kalangan elit di hampir setiap masyarakat. Namun, beberapa negara memiliki perlindungan yang lebih kuat terhadap pengaruh oligarki karena peraturan yang ketat, transparansi, dan lembaga demokrasi yang berfungsi dengan baik. Di bagian selanjutnya, kita akan obrolin beberapa negara dengan pengaruh Oligarki minimal. Bi'idznillah"