"Dahsyat, #IndonesiaGelap balik lagi! Pada 17 Februari 2025, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi unjuk rasa bertajuk 'Indonesia Gelap' di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Berikut ini tujuh tuntutan mereka: Mencabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 karena dianggap merugikan rakyat; Menuntut transparansi terkait pengembangan dan kinerja program Makanan Bergizi Gratis (MBG); Menolak upaya revisi UU Mineral dan Batubara; Memastikan pencairan tunjangan kinerja dosen dan tenaga kependidikan tepat waktu dan penuh tanpa hambatan birokrasi atau pemotongan; Menerapkan kebijakan berbasis bukti, memastikan kebijakan baru mengutamakan kesejahteraan masyarakat; Menuntut evaluasi kabinet dan reformasi kepolisian; Menuntut pemerataan akses pendidikan tinggi di seluruh Indonesia.Tuntutan tersebut merupakan kompilasi dari berbagai isu utama yang diutarakan oleh para mahasiswa. Beberapa daftar tuntutan juga mencakup tuntutan menangkap dan mengadili mantan presiden Joko Widodo. Akankah sang Raja Macan kita berubah jadi kucing oren Garfield unyu-unyu? 'Maybe yes, maybe no!Dan selepas menenggak Hibiki Whisky, Bahlul kembali lagi, meracau soal nasionalisme #KaburAjaDulu, sebuah tagar Indonesia yang akhir-akhir ini viral di media sosial, khususnya di platform X dan TikTok. Tagar ini digunakan anak muda Indonesia mengekspresikan keinginan mereka pindah ke luar negeri demi peluang yang lebih baik. Tagar ini awalnya berfungsi sebagai wadah berbagi kiat mencari kerja di luar negeri, informasi beasiswa, estimasi gaji, dan wawasan tentang cara beradaptasi dengan budaya asing. Seiring berjalannya waktu, tagar ini berkembang menjadi wadah bagi anak muda mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap kondisi di Indonesia, termasuk biaya hidup yang terus meningkat, beban pajak, dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tren ini juga dikaitkan dengan fenomena 'brain drain', dimana para talenta terampil Indonesia pindah ke negara lain demi taraf hidup yang lebih baik. Menanggapi tren ini, sejumlah netizen merekomendasikan negara-negara semisal Jerman, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia sebagai destinasi ideal. Sebagian lainnya berpendapat bahwa biaya kebutuhan pokok di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan negara-negara lain. Kata 'Abah', bahwa berkontribusi bagi Indonesia tak bergantung pada lokasi seseorang, tetapi pada bagaimana seseorang memberi manfaat bagi negara.Tagar tersebut merupakan tantangan bagi pemerintah agar menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan mencerminkan keinginan meningkatkan kompetensi dan mencari peluang kerja yang lebih baik di luar negeri.Lalu, ada pulak yang mau maksain aplikator Ojol supaya membayar bonus THR? Gua rasa sih prioritasnya cuman ngebubarin demo; akankah mereka dibayar atau tidak, itu urusan blakangan, atau mungkin, nanti ngambilnya di Hong Kong, merem-melek, kejap-kejap," kata Cangik, seolah itulah debat filosofis dan bukan sekadar lipsync di Republik Meme, Konoha."Sekarang, mari kita lanjutin topik kita dengan tipe Oligarki ketiga, Oligarki Keagamaan (para Pendeta & Penguasa Teokratis). Beberapa pemimpin agama memegang pengaruh politik dan ekonomi yang sangat besar, kerap mengendalikan kebijakan negara. Contoh, di Kota Vatikan, Paus dan para kardinal mempengaruhi politik dan keuangan global. Di Iran, Pemimpin Tertinggi dan ulama mendominasi pemerintahan, mengendalikan ekonomi melalui fondasi keagamaan (bonyad).'Theocracy in America' karya Ellis Sandoz diterbitkan pada tahun 2003 oleh Rowman & Littlefield Publishers mengeksplorasi konsep teokrasi dalam konteks sejarah politik dan agama Amerika, meneliti hubungan antara agama dan pemerintahan di Amerika Serikat. Meskipun ia tak secara khusus mendukung gagasan teokrasi, ia menelaah perspektif teoritis dan historis tentang bagaimana otoritas agama dapat memengaruhi atau menyelaraskan diri dengan kekuasaan politik.Saat membahas Oligarki Keagamaan, Sandoz merujuk pada gagasan tentang sekelompok kecil pemimpin atau elit agama yang kuat yang berpengaruh signifikan atas bidang agama dan politik. Kelompok ini pada dasarnya dapat menjalankan kendali atas keputusan keagamaan dan politik dalam masyarakat, mungkin membentuk hukum dan kebijakan dengan cara yang mencerminkan interpretasi tertentu dari doktrin keagamaan. Dalam konteks argumennya yang lebih luas, Sandoz membahas potensi bahaya dari konsentrasi kekuasaan seperti itu, karena dapat mengarah pada penindasan kebebasan individu dan keyakinan minoritas, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi dasar berdirinya Amerika.Penelitian Sandoz tentang kecenderungan teokratis menyentuh kekhawatiran bahwa kelompok agama tertentu mungkin berusaha memaksakan visi mereka tentang pemerintahan, yang pada dasarnya membentuk oligarki dimana hanya sedikit yang memegang kekuasaan pengambilan keputusan. Konsep ini menyoroti ketegangan antara pengaruh agama dalam pemerintahan dan cita-cita pluralisme demokratis, dimana beragam keyakinan dan sistem pemerintahan hidup berdampingan.Sandoz menggunakan istilah Oligarki Keagamaan untuk menggambarkan skenario dimana sekelompok kecil pemimpin atau otoritas keagamaan yang elit mengonsolidasikan kekuasaan dan memberikan pengaruh yang signifikan atas bidang keagamaan dan politik.Oligarki keagamaan merupakan sistem dimana sekelompok individu tertentu, kerapkali pendeta atau elit agama, mendominasi pemerintahan. Tokoh-tokoh ini memegang otoritas ganda, membentuk hukum dan norma-norma masyarakat berdasarkan interpretasi agama mereka.Sandoz menyoroti bahwa pemusatan kekuasaan seperti itu menimbulkan risiko bagi fondasi demokrasi masyarakat yang pluralistik. Hal itu merusak kebebasan individu, keberagaman agama, dan pemisahan gereja dan negara, yang merupakan inti dari pemerintahan Amerika.Meskipun AS berakar pada prinsip-prinsip agama, Sandoz memperingatkan terhadap munculnya kontrol oligarki oleh elit agama. Ia menunjukkan bahwa kontrol semacam itu secara historis mengarah pada pemerintahan otoriter, dimana suara-suara yang berbeda pendapat dan keyakinan minoritas ditekan.Sandoz membandingkan pemerintahan teokratis oleh oligarki agama dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang diabadikan dalam Konstitusi AS. Ia berpendapat bahwa para pendiri Amerika sengaja menghindari sistem dimana elit agama dapat mendominasi pemerintahan, dan sebaliknya bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara agama dan politik.Menurut pandangan Sandoz, oligarki agama seringkali mengklaim mewakili otoritas moral dan Ilahi. Hal ini dapat menyebabkan pemerintahan yang kaku yang menolak reformasi atau perspektif yang berbeda, yang berpotensi mendorong korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dengan kedok legitimasi agama.Kritikan Sandoz bukanlah mengutuk peran agama dalam kehidupan publik, melainkan peringatan terhadap pemusatan kekuasaan agama di tangan segelintir orang, yang menurutnya bertentangan dengan cita-cita demokrasi tentang kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.Para Oligark tak terbatas pada tokoh bisnis; mereka bisa berupa politisi, pemimpin militer, tokoh agama, bos kejahatan, atau maestro media. Ciri umumnya adalah kekuasaan dan pengaruh yang terkonsentrasi atas pemerintah dan masyarakat. Kelompok kejahatan terorganisasi terkadang memegang pengaruh signifikan terhadap pemerintah, bisnis, dan penegakan hukum. Inilah jenis Oligarki keempat, Oligarki Kriminal (Mafia dan Kartel). 'Narcoland: The Mexican Drug Lords and Their Godfathers' karya Anabel Hernández (Los Señores del Narco dalam bahasa Spanyol, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Iain Bruce), diterbitkan pada tahun 2010 oleh Verso Books, menyelami secara mendalam hubungan antara kejahatan terorganisasi dan korupsi pemerintah di Meksiko.Hernández menggunakan terma Oligarki Kriminal untuk menggambarkan individu atau kelompok kuat yang mengonsolidasikan kekayaan dan pengaruh melalui perusahaan kriminal—terutama perdagangan narkoba—sambil menanamkan diri mereka dalam sistem politik dan ekonomi. Oligarki ini tak terbatas pada raja narkoba, melainkan seringkali mencakup politisi, pebisnis, dan pejabat penegak hukum yang terlibat dalam operasi kartel.Karya tersebut mengemukakan bahwa kartel narkoba di Meksiko tak dapat mencapai tingkat kekuasaan mereka saat ini tanpa kolusi pejabat tinggi dan lembaga. Hubungan simbiosis ini memunculkan oligarki kriminal yang mendapatkan keuntungan dari dan melestarikan korupsi sistemik. Hernández merinci bagaimana presiden, politisi, dan lembaga penegak hukum Meksiko tertentu telah memainkan peran penting dalam memungkinkan kartel narkoba berkembang pesat. Para oligark kriminal ini menjalankan kendali di luar perdagangan narkoba, memperluas pengaruhnya ke sektor-sektor ekonomi yang legal. Misalnya, mereka mencuci uang melalui sektor real estat, perbankan, dan industri lainnya. Kegiatan mereka mengacaukan lembaga-lembaga demokrasi dan memusatkan kekuasaan di tangan segelintir orang, sehingga melanggengkan ketimpangan dan kekerasan dalam masyarakat Meksiko.Hernández mengungkap bagaimana tokoh-tokoh ini menikmati impunitas oleh hubungan mereka dengan negara. Hakim, jaksa, dan penegak hukum sering berkompromi, yang memungkinkan para oligark menghindari keadilan. Ia mengungkap contoh-contoh spesifik, semisal pemerintah Meksiko yang melindungi kartel tertentu sambil menargetkan kartel lain untuk mempertahankan kedok penegakan hukum.Karya tersebut menyoroti bagaimana para oligarki kriminal ini memiliki koneksi yang melampaui batas negara. Mereka bekerja dengan jaringan kriminal internasional dan mendapatkan keuntungan dari permintaan narkoba di negara-negara seperti Amerika Serikat. Operasi mereka kerap mendapat dukungan finansial dari bank-bank asing yang bersedia menutup mata terhadap pencucian uang. Hernández menyebutkan nama-nama orang yang menjadi contoh fenomena ini, merinci kebangkitan mereka menuju kekuasaan dan metode mereka dalam mempertahankan kendali. Ia juga menjelaskan bagaimana pemerintah Meksiko secara sistematis menargetkan para whistleblower dan jurnalis yang mengungkap kebenaran ini. Contoh penting termasuk Joaquín 'El Chapo' Guzmán dan hubungannya dengan tokoh-tokoh berpengaruh dalam pemerintahan.Di Meksiko, kartel narkoba mempengaruhi pemerintahan daerah, kepolisian, dan peradilan, sementara di Rusia, ada oligark yang punya hubungan dengan kejahatan terorganisasi dan menggunakan kekayaan mereka untuk membentuk politik.Tipe kelima ialah Oligarki Teknologi & Media (Penguasa Informasi & Digital). Beberapa oligarki mengendalikan infrastruktur digital, jaringan media, dan saluran komunikasi global. Sebagai contoh di Amerika Serikat, miliarder seperti Elon Musk (X/Twitter), Mark Zuckerberg (Meta), dan Jeff Bezos (Amazon/Washington Post) berpengaruh signifikan terhadap wacana publik. Di China, raksasa teknologi semisal Tencent dan Alibaba berhubungan dekat dengan pemerintah.'The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power' (2019, PublicAffairs) karya Shoshana Zuboff mengeksplorasi bagaimana perusahaan teknologi besar, yang sering disebut sebagai 'oligarki teknologi,' telah memperoleh kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya melalui kendali mereka atas informasi digital dan data pribadi. Zuboff membuat istilah 'surveillance capitalism (kapitalisme pengintaian)' guna menggambarkan sistem ekonomi tempat perusahaan mengekstrak, menganalisis, dan mendapatkan keuntungan dari data yang dihasilkan oleh aktivitas daring pengguna tanpa pemahaman atau persetujuan penuh mereka.Fokus utama kapitalisme pengawasan adalah komodifikasi data pribadi. Perusahaan seperti Google, Facebook, dan Amazon mengumpulkan data pengguna, sering kali dari berbagai platform, untuk membuat profil terperinci. Profil ini digunakan untuk iklan bertarget, memengaruhi perilaku, dan dalam beberapa kasus, memanipulasi proses pengambilan keputusan.Zuboff berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan ini tidak hanya mengamati perilaku pengguna, tetapi juga secara aktif membentuknya. Dengan memanfaatkan algoritme, mereka dapat mendorong pengguna untuk melakukan tindakan tertentu, seperti membeli produk tertentu atau bahkan memengaruhi opini politik, sehingga menciptakan 'pasar berjangka perilaku'.Salah satu kritik utama terhadap oligarki teknologi yang disebutkan dalam karya tersebut ialah kurangnya transparansi. Pengumpulan dan penggunaan data seringkali terjadi tanpa persetujuan eksplisit dari pengguna. Bahlan pun ketika pengguna menyetujui syarat dan ketentuan, ruang lingkup dan konsekuensi dari apa yang mereka setujui tetap tak jelas, sehingga menyulitkan individu menjalankan kontrol yang berarti atas data mereka.Zuboff menyoroti bagaimana kapitalisme pengawasan menggeser keseimbangan kekuasaan, memusatkannya di tangan beberapa perusahaan teknologi. Hal ini tidak hanya melemahkan otonomi individu tetapi juga memungkinkan perusahaan untuk membentuk pasar dan masyarakat secara luas. Perusahaan-perusahaan ini memiliki akses yang belum pernah ada sebelumnya ke wawasan perilaku yang memungkinkan mereka untuk memengaruhi sistem politik, sosial, dan ekonomi.Zuboff juga mengeksplorasi tantangan dalam mengatur kapitalisme pengawasan. Pemerintah, menurutnya, sering kali gagal untuk melakukan intervensi secara efektif, baik karena kekuatan lobi perusahaan teknologi yang sangat besar atau kurangnya pemahaman tentang implikasi yang lebih luas dari eksploitasi data.Singkatnya, Zuboff berpendapat bahwa kontrol digital dan informasi oleh oligarki teknologi memunculkan bentuk-bentuk kekuatan baru yang mengancam demokrasi, otonomi, dan privasi. Zuboff mendesak perlunya kerangka kerja baru dalam mengatasi tantangan etika dan sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme pengintaian.Mari kita bandingkan Oligarki di Rusia, China, dan Amerika Serikat. Meskipun ketiga negara—Rusia, China, dan AS—memiliki unsur-unsur oligarki, mereka beroperasi secara berbeda berdasarkan konteks historis, politik, dan ekonomi.Amerika Serikat sering dipandang sebagai negara demokrasi, akan tetapi, kendali elit atas politik, ekonomi, dan pembuatan kebijakan menunjukkan adanya unsur oligarki. Orang-orang kaya, elit perusahaan, dan lembaga keuangan secara signifikan mempengaruhi tatakelola pemerintahan, kerapkali mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan masyarakat umum.Dalam karya mereka tahun 2017, Benjamin I. Page dan Martin Gilens berpendapat bahwa Amerika Serikat semakin berfungsi sebagai oligarki, dimana sistem politik secara tidak proporsional melayani kepentingan orang kaya dan berkuasa, daripada mayoritas demokratis yang lebih luas.Menurut Page dan Gilens, Demokrasi adalah sistem politik dimana mayoritas warga negara berpengaruh yang sama terhadap kebijakan dan keputusan pemerintah. Oligarki merupakan sistem pemerintahan dimana kekuasaan politik terpusat di antara sekelompok kecil elit kaya yang mempengaruhi kebijakan pemerintah demi kepentingan mereka.Kok bisa sih AS lebih condong ke arah Oligarki? Menurut Page dan Gilens, elit ekonomi dan kelompok kepentingan terorganisasi (semisal perusahaan dan pelobi) berdampak yang tidak proporsional terhadap kebijakan publik dibandingkan dengan warga negara biasa. Kebijakan selalu sejalan dengan preferensi orang kaya, terlepas dari pendapat mayoritas di antara masyarakat. 'Warga negara biasa hampir tak memiliki pengaruh terhadap kebijakan pemerintah, sementara elit ekonomi dan kelompok kepentingan yang didominasi bisnis memegang kekuasaan yang substansial.'Page dan Gilens menganalisis puluhan tahun keputusan kebijakan dan menemukan bahwa ketika warga Amerika yang kaya mendukung suatu kebijakan, ada kemungkinan 45% bahwa kebijakan itu akan diberlakukan. Ketika warga negara berpenghasilan rata-rata mendukung suatu kebijakan, hanya ada kemungkinan 30% kebijakan itu menjadi undang-undang—sekalipun jika mayoritas mendukungnya.Pemotongan Pajak untuk Orang Kaya, contohnya, meskipun ada pertentangan publik, kebijakan pajak seringkali menurunkan tarif pajak bagi perusahaan dan penerima penghasilan tinggi (misalnya, the 2017 Tax Cuts and Jobs Act (Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan 2017). Miliaran dolar dalam bentuk subsidi dan dana talangan (misalnya, selama krisis keuangan 2008) menguntungkan perusahaan besar daripada bisnis kecil atau pekerja. Upaya melemahkan program seperti Medicare, Medicaid, dan Jaminan Sosial seringkali didorong oleh kepentingan perusahaan dan elit, meskipun program tersebut populer di kalangan masyarakat.Page dan Gilens mengidentifikasi beberapa cara orang kaya dan korporasi mendominasi politik AS. Kandidat politik sangat bergantung pada sumbangan dari orang kaya, korporasi, dan Komite Aksi Politik (Political Action Committees, PAC). Politisi menjadi lebih responsif terhadap donor daripada pemilih rata-rata. Dalam pemilihan presiden AS 2016, 1% donor teratas menyumbang lebih dari 75% dari semua dana kampanye, memberi mereka pengaruh yang sangat besar terhadap kandidat dan kebijakan.Korporasi dan kelompok kepentingan kaya menghabiskan miliaran dolar melobi Kongres guna membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Pembuatan kebijakan cenderung berpihak pada kepentingan korporasi dan elit, bahkan ketika hal tersebut bertentangan dengan preferensi publik. Pada tahun 2018, lebih dari $3,5 miliar dihabiskan untunk 'lobbying' di AS, sebagian besar oleh perusahaan dan asosiasi perdagangan. Sektor semisal farmasi, keuangan, dan energi mendominasi 'lobbying', kerap menentang peraturan yang akan menguntungkan konsumen atau lingkungan. Kita akan perbincangkan 'Lobbying" pada sesi selanjutnya, bi'idznillah.Dark Money (2016) karya Jane Mayer menyajikan investigasi terperinci tentang bagaimana elit kaya, khususnya keluarga miliarder semisal Koch bersaudara, telah membentuk politik AS dengan memanfaatkan kekuatan finansial mereka untuk mempengaruhi pemilihan umum, pembuatan kebijakan, dan opini publik. Karya ini mendukung analisis Page dan Gilens dengan menawarkan penelaahan lebih mendalam tentang mekanisme yang digunakan orang kaya dalam mendominasi sistem politik AS, mengarahkannya ke tujuan ekonomi dan ideologis mereka sendiri.Mayer mengungkap jaringan pendanaan miliarder yang luas dan seringkali tersembunyi yang merusak proses demokrasi. Ia menjelaskan bagaimana miliarder konservatif mendanai lembaga pemikir, kampanye politik, dan kelompok advokasi untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah berpihak pada kepentingan mereka, yang seringkali merugikan warga jelata. Sekelompok kecil individu yang sangat kaya telah memanipulasi politik AS untuk melayani kepentingan finansial dan ideologis mereka, menciptakan apa yang disebut Mayer sebagai 'plutokrasi' alih-alih demokrasi.Miliarder semisal Koch bersaudara, Richard Mellon Scaife, dan keluarga DeVos telah menggelontorkan miliaran dolar untuk kampanye politik, super PAC, dan iklan politik. Dengan memanfaatkan celah pendanaan kampanye (seperti putusan Mahkamah Agung Citizens United pada tahun 2010), mereka telah memperoleh pengaruh yang belum pernah terjadi sebelumnya atas pemilihan umum dan pembuatan kebijakan. Hal ini sejalan dengan temuan Page dan Gilens bahwa elit ekonomi dan kepentingan bisnis secara tak proporsional membentuk kebijakan AS. Preferensi warga biasa sering diabaikan karena politisi bergantung secara finansial pada para donor ini.Mayer mengungkap bagaimana para miliarder menciptakan jaringan organisasi yang rumit dan saling terhubung—termasuk lembaga pemikir (misalnya, Cato Institute, Heritage Foundation), kelompok advokasi, dan lembaga akademis—untuk menyebarkan ideologi mereka dan melobi kebijakan yang menguntungkan mereka. Pengaruh jaringan ini memastikan bahwa hasil kebijakan lebih selaras dengan kepentingan elit daripada kebutuhan masyarakat luas, menggemakan kesimpulan Page dan Gilens.Mayer menyoroti seberapa besar pendanaan ini merupakan dark money'—kontribusi yang tak dapat dilacak karena celah dalam undang-undang pendanaan kampanye. Para miliarder dengan sengaja mendanai kampanye hubungan masyarakat, iklan, dan gerakan 'astroturf' (organisasi akar rumput palsu) untuk mempengaruhi opini publik sambil mengaburkan keterlibatan mereka.Karya Mayer ini berfokus secara ekstensif pada Charles dan David Koch, dua dari donor politik terkaya dan paling berpengaruh di AS. Mereka menggunakan kekayaan mereka mendanai kampanye penolakan perubahan iklim; upaya deregulasi untuk melindungi kerajaan minyak dan gas mereka; politisi dan hakim yang berpihak pada kepentingan-kepentingan korporasi.Koch bersaudara merupakan contoh bagaimana elit ekonomi menggunakan sumber daya mereka mendominasi pembuatan kebijakan, mengabaikan preferensi warga biasa. Mayer berpendapat bahwa pengaruh dark money yang semakin besar telah sangat melemahkan demokrasi AS. Kebijakan lebih memihak minoritas kaya sementara mengabaikan mayoritas; Warga kehilangan kepercayaan pada sistem politik ketika mereka melihatnya melayani kepentingan elit; Dark Money memicu ekstremisme ideologis dan kebuntuan politik. Konsekuensi ini mencerminkan temuan Page dan Gilens tentang AS yang berfungsi lebih sebagai oligarki daripada demokrasi.Page dan Gilens berpendapat bahwa orang kaya dan korporasi memiliki mayoritas media besar, membentuk opini publik dan membatasi ruang lingkup perdebatan politik. Narasi media seringkali mengutamakan perspektif elit, meminggirkan suara warga biasa.Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988) karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman serta Democracy in America? What Has Gone Wrong and What We Can Do About It (2017) karya Benjamin I. Page dan Martin Gilens sama-sama mengeksplorasi dinamika kekuasaan dalam sistem demokrasi dan dampaknya terhadap opini publik dan tatakelola. Sementara yang pertama berfokus pada kontrol media dan propaganda, yang terakhir berpusat pada erosi demokrasi karena pengaruh kekayaan dan kekuasaan perusahaan.Chomsky dan Herman berpendapat bahwa media massa dalam demokrasi kapitalis tak berfungsi sebagai platform netral bagi kebebasan berbicara, tetapi berfungsi sebagai sistem propaganda. Mereka mengusulkan 'Model Propaganda', yang menjelaskan bagaimana media menciptakan persetujuan bagi kepentingan elit melalui outlet media yang dimiliki oleh perusahaan besar dengan kepentingan finansial dan politik yang kuat; Ketergantungan media pada pendapatan iklan mendistorsi konten untuk mendukung narasi yang menguntungkan korporasi; Ketergantungan pada sumber pemerintah dan korporasi memastikan bahwa berita mencerminkan perspektif elit; Tanggapan negatif terhadap suara-suara yang berbeda pendapat menghambat jurnalisme kritis; Anti-komunisme (dan kemudian, anti-terorisme atau ideologi dominan lainnya) bertindak sebagai mekanisme kontrol untuk membingkai wacana publik. Chomsky dan Herman berpendapat bahwa struktur ini menyaring informasi dan mempromosikan narasi yang menguntungkan elit perusahaan dan negara sembari meminggirkan sudut pandang yang berbeda pendapat. Persepsi publik tentang berbagai isu dibentuk bukan oleh debat terbuka, melainkan oleh narasi media yang memperkuat kepentingan mereka yang berkuasa.Menurut Page dan Gilens, meningkatnya kesenjangan, hilangnya kepercayaan publik, dan polarisasi politik merupakan konsekuensi dari pemerintahan oligarki. Pada tahun 2017, 1% orang Amerika teratas menguasai 38,6% kekayaan negara, sementara 90% orang terbawah menguasai kurang dari 23%. Kebijakan seperti pemotongan pajak untuk orang kaya dan pengurangan regulasi korporasi memperburuk kesenjangan ini. Warga merasa kecewa dengan demokrasi ketika suara mereka diabaikan. Hanya 20% orang Amerika yang memercayai pemerintah untuk melakukan apa yang benar, yang merupakan titik terendah dalam sejarah. Dominasi elit memicu kebencian publik, yang berkontribusi pada polarisasi politik dan ekstremisme.AS telah memiliki unsur-unsur oligarki sejak berdirinya, tetapi unsur-unsur tersebut telah berevolusi seiring waktu. Pada Oligarki Industri abad ke-19 ('Robber Barons'), tokoh-tokoh seperti John D. Rockefeller (minyak), Andrew Carnegie (baja), dan J.P. Morgan (keuangan) memunculkan monopoli besar-besaran dan punya kendali yang sangat besar atas ekonomi. Mereka mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui lobi, sumbangan perusahaan, dan kendali atas industri. Oligarki militer-industri berevolusi pada abad ke-20. Pasca-Perang Dunia II, AS mengembangkan 'kompleks industri-militer', dimana kontraktor pertahanan (misalnya, Lockheed Martin, Boeing) membentuk kebijakan luar negeri dan militer. Presiden Dwight D. Eisenhower memperingatkan hal ini dalam pidato perpisahannya tahun 1961. Dalam Oligarki AS Modern, Peran elit kaya menjadi dominan. Pengaruh miliarder pada pemilu, keputusan Mahkamah Agung Citizens United (2010) membolehkan pengeluaran perusahaan tanpa batas dalam pemilu, yang menyebabkan miliarder membiayai kampanye politik. Tokoh seperti Elon Musk, Jeff Bezos, dan Charles Koch mempengaruhi kebijakan melalui sumbangan kampanye, lembaga pemikir, dan kontrol media.Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, JPMorgan, dan BlackRock mempengaruhi kebijakan ekonomi, yang seringkali menguntungkan orang terkaya. Krisis keuangan 2008 menyoroti bagaimana elit Wall Street diselamatkan sementara warga biasa menderita.Dalam Too Big to Fail: The Inside Story of How Wall Street and Washington Fought to Save the Financial System—and Themselves karya Andrew Ross Sorkin (2009, Viking Press), penulis merinci bagaimana oligarki Wall Street memainkan peran penting dalam membentuk respons pemerintah selama krisis keuangan 2008. Sorkin memberikan narasi mencekam tentang bagaimana tokoh-tokoh berpengaruh di bidang keuangan dan pemerintah bekerja sama dalam berbagai kesepakatan rahasia, pertemuan mendesak, dan negosiasi panik untuk mencegah keruntuhan ekonomi total.Karya tersebut menjelaskan bagaimana individu seperti Hank Paulson (saat itu Menteri Keuangan dan mantan CEO Goldman Sachs), Timothy Geithner (saat itu Presiden Federal Reserve Bank of New York), dan Ben Bernanke (saat itu Ketua Federal Reserve) berkolaborasi erat dengan para pemimpin lembaga keuangan besar seperti JPMorgan Chase, Goldman Sachs, dan Citigroup. Latarbelakang mereka yang sama, karier yang berganti-ganti, dan kepentingan yang tumpang tindih bermakna bahwa orang dalam Wall Street berpengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pemerintah.Sorkin menyoroti bagaimana keputusan seperti Program Bantuan Aset Bermasalah (Troubled Asset Relief Program, TARP) senilai $700 miliar dibentuk di bawah tekanan dari para eksekutif Wall Street, yang berpendapat bahwa tanpa campur tangan pemerintah, sistem keuangan akan hancur. Para kritikus berpendapat hal ini mengabadikan mentalitas '"too big to fail (terlalu besar untuk gagal)', karena dana talangan ini melindungi lembaga-lembaga besar sementara membiarkan pembayar pajak menanggung biayanya. Para oligarki Wall Street memanfaatkan urgensi krisis untuk mendorong tindakan segera yang akan menstabilkan perusahaan mereka, seringkali membingkai permintaan mereka sebagai hal yang diperlukan bagi kelangsungan hidup seluruh perekonomian. Misalnya, selama keruntuhan Lehman Brothers, keputusan dibuat dengan tergesa-gesa, dengan para eksekutif Wall Street memainkan peran aktif dalam menentukan hasilnya.Karya tersebut menggambarkan bagaimana kurangnya konsekuensi substansial bagi para pemimpin Wall Street, meskipun peran mereka dalam menyebabkan krisis, mencerminkan pengaruh mereka terhadap para pembuat kebijakan. Sementara perusahaan seperti Bear Stearns dan Lehman Brothers dibiarkan gagal atau diserap, yang lain diselamatkan dengan dana pembayar pajak, yang selanjutnya memperkuat dominasi Wall Street.Laporan investigasi Sorkin menggarisbawahi kekuatan besar yang dipegang oleh para elit Wall Street dan kemampuan mereka mempengaruhi keputusan pemerintah guna melindungi kepentingan mereka sendiri selama salah satu krisis ekonomi paling kritis dalam sejarah modern.Dalam The Great Deformation: The Corruption of Capitalism in America karya David Stockman (2013, PublicAffairs), penulis menyampaikan kritik pedas tentang bagaimana kebijakan pemerintah AS secara sistematis lebih memihak pada elit keuangan, yang menyebabkan korupsi kapitalisme pasar bebas. Stockman, mantan anggota Kongres dan direktur anggaran di bawah Presiden Ronald Reagan, berpendapat bahwa intervensi pemerintah telah mendistorsi ekonomi, melemahkan kapitalisme, dan mengakar kronisme. Stockman sangat kritis terhadap dana talangan krisis keuangan 2008, khususnya Program Bantuan Aset Bermasalah (TARP). Ia memandangnya sebagai contoh nyata kapitalisme kroni, dimana pemerintah menggunakan uang pembayar pajak untuk menyelamatkan lembaga-lembaga Wall Street sambil mengabaikan Main Street. Ia berpendapat bahwa tindakan-tindakan ini memberi penghargaan atas perilaku keuangan yang sembrono dan melindungi kekayaan elit keuangan. Stockman mempersoalkan kebijakan suku bunga rendah dan pelonggaran kuantitatif Federal Reserve, yang menurutnya secara artifisial meningkatkan harga aset dan secara tidak proporsional menguntungkan orang kaya. Ia berpendapat bahwa langkah-langkah ini telah menciptakan gelembung di pasar keuangan sementara tidak banyak membantu merangsang ekonomi riil atau menguntungkan kelas pekerja.Karya Stockman mengkritik bagaimana lembaga keuangan besar dianggap "terlalu besar untuk gagal" dan dengan demikian menerima perlindungan pemerintah, sementara bisnis dan individu yang lebih kecil dibiarkan berjuang sendiri. Stockman berpendapat bahwa pendekatan ini merusak mekanisme korektif alami kapitalisme, dimana entitas yang gagal seharusnya dibiarkan bangkrut.Stockman mengklaim bahwa kebijakan pemerintah telah dikuasai oleh elit keuangan, mengubah negara menjadi alat bagi kesejahteraan korporasi. Ia menelusuri hal ini kembali ke beberapa dekade, dengan menyatakan bahwa pemerintahan Republik dan Demokrat telah memprioritaskan kepentingan Wall Street dan perusahaan besar daripada warga negara biasa.Penulis mengkritik intervensi seperti subsidi, dana talangan, dan pengeluaran defisit, yang menurutnya mendistorsi sinyal pasar dan salah mengalokasikan sumber daya. Stockman berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan ini telah menciptakan ekonomi yang bergantung pada utang dan spekulasi, bukan investasi yang produktif.Stockman berpendapat bahwa kebijakan pemerintah telah menciptakan bahaya moral dengan mendorong perilaku berisiko di kalangan elit keuangan. Jaminan implisit bahwa pemerintah akan campur tangan untuk mencegah kegagalan sistemik mendorong spekulasi yang sembrono.Secara keseluruhan, Stockman menyajikan The Great Deformation sebagai dakwaan atas kegagalan sistem keuangan dan politik dalam menegakkan prinsip-prinsip kapitalisme pasar bebas, sebaliknya membiarkan elite keuangan memanipulasi kebijakan demi keuntungan mereka sendiri dengan mengorbankan stabilitas ekonomi jangka panjang."Kita akan melanjutkan latar belakang sejarah Oligarki di AS pada sesi berikutnya, bi'idznillah."
[Bagian 4]