Rabu, 26 Februari 2025

Oligarki (8)

"Melobi dalam politik merujuk pada tindakan mempengaruhi pejabat pemerintah, legislator, dan pembuat kebijakan dalam membentuk undang-undang, peraturan, atau kebijakan yang menguntungkan kelompok kepentingan, organisasi, atau industri tertentu. Pelobi dapat mewakili perusahaan, kelompok advokasi, serikat pekerja, atau entitas lain yang berusaha memajukan kepentingan mereka," lanjut Cangik.
"Dalam 'Lobbying: The Art of Political Persuasion' (2008, Harriman House), Lionel Zetter mendefinisikan melobi sebagai 'proses dalam upaya membentuk agenda kebijakan publik guna mempengaruhi pemerintah (dan lembaga-lembaganya) dan program legislatif.' Ia juga menyebutnya sebagai 'the art of political persuasion.' Zetter mengeksplorasi asal-usul dan evolusi melobi, dengan mencatat bahwa asal muasal terma tersebut masih diperdebatkan tetapi berakar di Westminster atau Washington. Sebuah sumber menunjukkan bahwa pada tahun 1860-an, orang yang hendak mempengaruhi Presiden Ulysses S. Grant berkumpul di lobi Hotel Willard di Washington, D.C., mencari peluang guna menyampaikan kasus mereka kepadanya. Perspektif lain menelusuri terma tersebut ke Inggris Raya, tempat orang menunggu di lobi Gedung Parlemen dalam berinteraksi dengan Anggota Parlemen. Seiring berjalannya waktu, melobi berkembang menjadi profesi yang terstruktur, yang memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan publik dan legislasi.
Zetter menekankan bahwa melobi yang beretika sangat penting dalam menjaga kepercayaan publik dan integritas sistem politik. Ia membahas perlunya pelobi mematuhi kode etik yang ketat, memastikan transparansi, kejujuran, dan penghormatan terhadap proses demokrasi. Kerangka regulasi bervariasi secara global, tetapi elemen umum mencakup pendaftaran wajib pelobi, pengungkapan aktivitas melobi, dan pembatasan pemberian atau insentif kepada pejabat publik. Langkah-langkah ini bertujuan mencegah pengaruh yang tak semestinya dan meningkatkan akuntabilitas dalam profesi pelobi.
Karya Zetter mengeksplorasi bagaimana aktivitas lobi didanai, dengan menyoroti bahwa pendanaan dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk perusahaan, organisasi nirlaba, dan asosiasi industri. Zetter mencatat bahwa meskipun kontribusi finansial merupakan cara yang sah untuk mendukung upaya advokasi, kontribusi tersebut hendaknya dikelola secara transparan agar menghindari konflik kepentingan. Ia juga meneliti peran sumbangan politik, membahas bagaimana sumbangan tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan akses ke pembuat kebijakan, tetapi juga bagaimana sumbangan tersebut diatur untuk mencegah korupsi dan memastikan bahwa pengaruh politik tidak dibeli secara tak semestinya.
Analisis komprehensif Zetter memberikan pemahaman yang bernuansa tentang dimensi etika dan finansial dari lobi, dengan menggarisbawahi pentingnya regulasi yang kuat dan praktik etis untuk menegakkan legitimasi advokasi politik.

'Lobbying' penting di banyak negara, terutama negara-negara dengan sistem demokrasi dimana pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan. AS memiliki salah satu industri 'lobbying' yang paling terdepan, dengan peraturan ketat yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka. Hal ini penting karena kompleksitas pembuatan kebijakan di tingkat federal dan negara bagian, dengan bisnis, serikat pekerja, LSM, dan kelompok advokasi yang mempengaruhi undang-undang. Kontribusi finansial kampanye politik dan PAC (Political Action Committees) memainkan peran penting dalam pengaruh kebijakan.
Lobbying sangat berpengaruh di Inggris, khususnya di Parlemen dan kementerian pemerintah. Lembaga pemikir, serikat pekerja, perusahaan, dan kelompok advokasi bekerjasama dengan politisi membentuk undang-undang. Ada peraturan tentang lobi, tetapi ada kekhawatiran tentang transparansi terkait aktivitas lobi informal.
Lobbying amatlah penting di Brussels, tempat Komisi Eropa dan Parlemen Eropa membuat keputusan yang memengaruhi 27 negara anggota. Korporasi, LSM, dan industri mempengaruhi kebijakan UE tentang perdagangan, regulasi lingkungan, dan teknologi. Uni Eropa memiliki daftar transparansi untuk memantau aktivitas melobi.
Lobi merupakan profesi yang diatur di Kanada, dengan Undang-Undang Lobi yang mensyaratkan transparansi. Lobi penting dalam memengaruhi kebijakan pemerintah di tingkat federal dan provinsi. Sektor seperti energi, perawatan kesehatan, dan teknologi terlibat dalam lobi untuk membentuk regulasi.
Lobbying merupakan bagian penting dari politik Australia, khususnya dalam industri semisal pertambangan, pertanian, dan farmasi. Transparansi dan masalah etika telah menyebabkan regulasi lobi yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka.
Jerman memiliki kehadiran lobi perusahaan dan industri yang kuat, khususnya di sektor seperti otomotif, energi, dan keuangan. Serikat pekerja dan kelompok lingkungan juga melobi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Negara tersebut baru-baru ini memperkuat undang-undang transparansi untuk lobbying.
Lobbying semakin menonjol di Prancis, dengan perusahaan, serikat pekerja, dan kelompok advokasi mempengaruhi keputusan kebijakan. Ada kerangka hukum yang mengharuskan pelobi mendaftar dan mengungkapkan aktivitas mereka. Lobi perusahaan khususnya aktif dalam industri seperti pertahanan, teknologi, dan keuangan.
Meskipun lobbying tak terstruktur seperti di negara demokrasi Barat, lobbying memainkan peran penting dalam bisnis dan politik di India. Perusahaan besar, asosiasi perdagangan, dan konsultan politik mempengaruhi keputusan pemerintah. Kekhawatiran tentang transparansi dan etika lobi tetap menjadi tantangan.
Lobbying resmi terbatas di China, tetapi pengaruh terjadi melalui hubungan pemerintah, jaringan bisnis, dan organisasi yang berafiliasi dengan negara. Perusahaan asing dan bisnis domestik terlibat dalam lobi tidak langsung melalui asosiasi dan kemitraan industri.
Lobbying penting dalam membentuk kebijakan pemerintah, terutama di sektor-sektor semisal pertanian, energi, dan keuangan di Brazil. Kendati melobi itu legal, ada kekhawatiran tentang korupsi dan kurangnya transparansi. Reformasi terkini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dalam lobi politik.

Pemerintah mengandalkan masukan ahli dari bisnis, LSM, dan kelompok advokasi. Berbagai pemangku kepentingan (perusahaan, pekerja, kelompok lingkungan, dll.) memastikan bahwa aspirasi mereka didengar. Lobbying yang diatur dengan baik dapat membantu memastikan representasi yang adil ketimbang transaksi gelap. Industri melobi peraturan yang mempengaruhi perdagangan, undang-undang ketenagakerjaan, kebijakan lingkungan, dan perpajakan.
Meskipun tak dilembagakan atau transparan seperti di negara-negara Amerika Serikat atau Uni Eropa, lobbying di Indonesia seringkali beroperasi melalui jaringan informal, hubungan pribadi, dan koneksi bisnis-politik, bukan melalui firma atau asosiasi lobi formal.
Lobi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan nepotisme dan jaringan patronase, dimana bisnis, elit politik, dan kelompok kepentingan mempengaruhi pengambilan keputusan melalui koneksi pribadi. Perusahaan besar, khususnya di sektor seperti pertambangan, minyak kelapa sawit, energi, dan telekomunikasi, terlibat dalam lobi untuk mendapatkan kontrak pemerintah, izin, dan peraturan yang menguntungkan.
Meskipun sumbangan politik diatur, bisnis seringkali mendukung partai politik atau kandidat dengan imbalan pengaruh atas keputusan ekonomi dan kebijakan. Organisasi semisal KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) bertindak sebagai kelompok lobi yang mewakili kepentingan sektor swasta. Bisnis dan investor internasional melobi pemerintah Indonesia, kerap melalui saluran diplomatik, konsultan, atau usaha patungan dengan perusahaan lokal.
Perusahaan kelapa sawit melobi peraturan lingkungan yang ketat dan mencari subsidi. Perusahaan pertambangan batu bara, emas, dan nikel melobi kebijakan ekspor dan izin pertambangan. Perusahaan teknologi melobi peraturan yang mempengaruhi perpajakan digital, e-commerce, dan perlindungan data. Proyek infrastruktur pemerintah sangat dipengaruhi oleh lobi dari perusahaan konstruksi besar.
Tak seperti negara-negara Barat, Indonesia tidak memiliki undang-undang lobi yang jelas, yang menyebabkan kurangnya transparansi dalam cara bisnis dan politisi berinteraksi. Indonesia telah menghadapi beberapa kasus korupsi besar dimana upaya lobi melibatkan penyuapan dan sogokan alih-alih negosiasi formal.
Beberapa industri yang paling berpengaruh dalam lobi meliputi Industri Minyak Kelapa Sawit, yang mempengaruhi regulasi lingkungan, kebijakan ekspor, dan undang-undang penggundulan hutan; Pertambangan dan Sumber Daya Alam, yang mengamankan izin pertambangan, menegosiasikan keringanan pajak, dan membentuk kebijakan energi; Teknologi & Ekonomi Digital, yang mempengaruhi regulasi internet, undang-undang perlindungan data, dan aturan investasi asing; Infrastruktur & Konstruksi, melobi kontrak pemerintah dan kemitraan publik-swasta; Farmasi & Kesehatan, membentuk kebijakan tentang harga obat, akses layanan kesehatan, dan investasi asing di rumah sakit; Industri Tembakau, mempengaruhi pajak rokok dan regulasi periklanan; Perbankan & Keuangan, melobi regulasi keuangan, kebijakan teknologi finansial, dan undang-undang kepemilikan asing.
Meskipun Indonesia memiliki komisi antikorupsi (KPK), menegakkan transparansi dalam lobi tetap menjadi tantangan. Upaya meningkatkan transparansi melalui undang-undang pengungkapan publik dapat memformalkan lobi. Memperkuat langkah-langkah antikorupsi dapat membantu mengatur bagaimana lobi mempengaruhi keputusan politik. Bisnis dapat mengadopsi praktik lobi yang lebih etis seiring dengan semakin terintegrasinya Indonesia ke dalam ekonomi global.

Lionel Zetter meneliti praktik lobi di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah. Meskipun karyanya memberikan gambaran umum yang komprehensif, perincian spesifik tentang lobi di Timur Tengah masih terbatas. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa lobi di wilayah ini seringkali beroperasi melalui jaringan informal dan hubungan pribadi, mengingat lanskap politik dan budaya yang unik. Ketiadaan kerangka lobi formal, seperti yang terlihat di negara-negara demokrasi Barat, berarti bahwa pengaruh seringkali diberikan melalui interaksi langsung dan koneksi yang mapan dalam kalangan elit penguasa dan komunitas bisnis.

'Total Lobbying: What Lobbyists Want (and How They Try to Get It)' oleh Anthony J. Nownes (2006, Cambridge University Press) menawarkan tinjauan ilmiah namun mudah dipahami tentang peran lobi dalam politik Amerika, yang diambil dari penelitian yang ada dan data asli dari wawancara dengan banyak pelobi di seluruh Amerika Serikat. Karya tersebut menjelaskan bagaimana pelobi beroperasi di semua cabang pemerintahan di tingkat nasional, negara bagian, dan lokal, yang memberikan pandangan komprehensif tentang lobi di luar apa yang tersedia dalam banyak literatur yang ada.
Nownes mendefinisikan lobi sebagai 'proses yang dilakukan individu dan kelompok untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.' Definisi ini menggarisbawahi bahwa melobi tak terbatas pada pelobi profesional, tetapi mencakup pula berbagai pelaku, semisal bisnis, kelompok kepentingan, dan bahkan warga biasa yang berupaya membentuk kebijakan publik.
Karena lobi mencakup berbagai aktivitas, strategi, dan pelaku yang beroperasi di berbagai tingkat pemerintahan, Nownes menggambarkan lobbying sebagai fenomena yang kompleks. Ia menyoroti bahwa lobbying bukanlah proses tunggal yang seragam, tetapi bervariasi tergantung pada lingkungan politik, isu kebijakan yang sedang dihadapi, dan sumber daya yang tersedia bagi pelobi. Karyanya juga mencatat bahwa lobbying terjadi di seluruh cabang pemerintahan—legislatif, eksekutif, dan bahkan yudikatif—yang semakin menambah kompleksitasnya.
Nownes mengidentifikasi beberapa strategi yang digunakan pelobi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Strategi ini dapat dikategorikan secara luas menjadi lobi langsung dan lobi tak langsung (atau akar rumput). Dalam Lobi Langsung (Strategi Internal), pelobi terlibat dalam pertemuan tatap muka dengan pembuat kebijakan untuk menyampaikan argumen, menyediakan penelitian, dan mengadvokasi kebijakan tertentu. Kelompok kepentingan dan pelobi sering memberikan kesaksian di hadapan komite legislatif untuk membentuk diskusi kebijakan. Pelobi terkadang menulis rancangan undang-undang atau amandemen dan memberikannya kepada legislator untuk diperkenalkan. Mereka membangun hubungan jangka panjang dengan anggota parlemen, staf, dan pejabat lembaga untuk mendapatkan pengaruh dari waktu ke waktu.
Dalam Lobi tidak langsung (Strategi Eksternal), para pelobi mendorong masyarakat menghubungi perwakilan mereka melalui panggilan telepon, email, petisi, atau protes. Menggunakan iklan, media sosial, dan liputan berita untuk mempengaruhi opini publik dan, secara tidak langsung, keputusan politik. Pelobi sering membentuk aliansi dengan kelompok kepentingan lain untuk memperkuat pengaruh mereka. Mereka mendukung kandidat secara finansial atau melalui dukungan untuk mendapatkan pengaruh politik. Nownes menekankan bahwa efektivitas strategi ini bergantung pada konteks politik, isu yang sedang dilobi, dan sumber daya yang tersedia bagi para pelobi.

Nowness mengeksplorasi efektivitas lobbying dengan memeriksa berbagai faktor yang menentukan seberapa besar pengaruh yang dapat diberikan pelobi terhadap pembuat kebijakan. Ketika suatu isu tidak diketahui secara luas atau kontroversial, pelobi dapat memberikan dampak yang lebih besar karena pengawasan dan pertentangan publik yang lebih sedikit. Pelobi yang memiliki koneksi baik dan memiliki hubungan dengan anggota parlemen atau pejabat pemerintah cenderung lebih berhasil. Organisasi dengan sumber daya keuangan yang signifikan dapat mendanai penelitian, mempekerjakan pelobi yang terampil, dan mempertahankan upaya lobi jangka panjang, sehingga menjadi lebih efektif. Jika suatu isu mendapat perhatian media dan dukungan publik, pelobi dapat menggunakannya menekan politisi. Namun, jika opini publik sangat menentang tujuan pelobi, hal itu dapat menjadi bumerang. Mengetahui kapan harus melobi—seperti selama tahap awal pembentukan kebijakan—dapat meningkatkan peluang keberhasilan.
Nownes juga mengakui bahwa meskipun melobi itu powerful, namun tidak sepenuhnya powerful—pembuat kebijakan memiliki kepentingan, kendala, dan tekanan mereka sendiri yang membentuk keputusan mereka.

Nownes menyajikan beberapa temuan utama tentang lobbying di Amerika Serikat, yang menekankan kompleksitas, strategi, dan dampaknya. Lobi terjadi di seluruh tingkatan pemerintahan (lokal, negara bagian, dan federal) dan di semua cabang (legislatif, eksekutif, dan bahkan yudikatif). Lobbying melibatkan berbagai aktor, termasuk pelobi profesional, bisnis, kelompok kepentingan, serikat pekerja, dan bahkan warga negara.
Tak cuma satu cara untuk melobi—lobi sangat mudah beradaptasi dan bervariasi tergantung pada isu dan lingkungan politik. Strategi langsung (lobi internal) meliputi pertemuan pribadi dengan para pembuat kebijakan, memberikan kesaksian di hadapan komite legislatif, menyusun rancangan undang-undang, dan memelihara hubungan jangka panjang dengan para pejabat. Strategi tidak langsung (lobi eksternal) meliputi mobilisasi publik, kampanye media, pembangunan koalisi, dan mempengaruhi pemilihan umum melalui dukungan dan sumbangan kampanye. Pilihan strategi bergantung pada sifat isu kebijakan, sumber daya yang tersedia, dan political timing.
Melobi paling efektif ketika publik tak memerhatikan, karena pembuat kebijakan menghadapi lebih sedikit tekanan dari konstituen. Pelobi yang punya hubungan pribadi dengan legislator dan birokrat memiliki keuntungan yang signifikan. Kelompok dengan lebih banyak uang dan keahlian (misalnya, kepentingan perusahaan) cenderung lebih berhasil dalam mempengaruhi kebijakan. Melobi di awal proses kebijakan, terutama pada tahap penyusunan, meningkatkan peluang keberhasilan.
Sementara beberapa pihak memandang lobi sebagai tindakan korup atau manipulatif, Nownes berpendapat bahwa melobi merupakan bagian yang normal dan penting dari politik demokrasi. Tak semua melobi berkaitan dengan pengaruh perusahaan—banyak kelompok advokasi melobi untuk kepentingan publik, semisal perlindungan lingkungan atau hak sipil. Meskipun ada kepercayaan umum, uang tak selalu menjamin keberhasilan—para pelobi masih menghadapi kendala politik dan kelembagaan.
Legislator dan pejabat pemerintah tak mudah terpengaruh oleh lobi semata—mereka menyeimbangkan berbagai faktor, termasuk loyalitas partai, opini publik, dan keyakinan pribadi. Melobi merupakan salah satu pengaruh di antara banyak pengaruh dalam pembuatan kebijakan, tapi tidak secara langsung menentukan keputusan. Para pembuat kebijakan terkadang menggunakan pelobi untuk memperoleh keahlian, penelitian, dan proposal kebijakan, sehingga menjadikan lobi sebagai pertukaran dua arah.
Dalam isu-isu yang sangat teknis (misalnya, kebijakan pajak, regulasi perawatan kesehatan), pelobi yang ahli dapat berdampak yang lebih besar karena legislator mengandalkan pengetahuan mereka. Dalam isu-isu yang sangat menonjol dan kontroversial (misalnya, aborsi, dan pengendalian senjata), lobi kurang efektif karena politisi lebih mengutamakan opini publik dan keberpihakan partai daripada tekanan lobi.
Sementara lobi berfokus pada upaya mempengaruhi pembuat kebijakan setelah mereka terpilih, kelompok kepentingan juga mencoba membentuk siapa yang akan terpilih melalui sumbangan kampanye, dukungan, dan iklan politik. Hal ini memunculkan siklus dimana pejabat terpilih mungkin lebih reseptif terhadap mereka yang mendukung kampanyenya.
Nownes menyimpulkan bahwa lobi merupakan fitur yang penting dan meluas dalam demokrasi Amerika. Meskipun sering dianggap sebagai alat bagi orang kaya dan berkuasa, lobbying juga digunakan oleh kelompok kepentingan publik dan gerakan akar rumput. Efektivitas lobbying bergantung pada waktu, hubungan, sumber daya, dan sifat isu yang dilobi.

Nownes mendefinisikan para kelompok kepentingan (interest groups) sebagai entitas terorganisasi yang berupaya mempengaruhi kebijakan publik dengan cara yang menguntungkan anggotanya atau memajukan tujuan mereka. Kelompok ini dapat mewakili bisnis, serikat pekerja, asosiasi profesional, gerakan ideologis, atau tujuan kepentingan publik.
Pelobi kerap adalah profesional yang disewa yang bekerja bagi para kelompok kepentingan, tetapi keduanya tidak sama. Kelompok kepentingan terlibat dalam banyak kegiatan di luar lobi, termasuk pendidikan publik, mobilisasi akar rumput, dan pemilihan umum. Mengapa para kelompok kepentingan penting dalam politik? Para kelompok kepentingan menjembatani kesenjangan antara warga negara dan pemerintah dengan menyelenggarakan tindakan kolektif. Mereka menyediakan keahlian dan informasi kepada para pembuat kebijakan, memengaruhi keputusan kebijakan. Melalui kontribusi dan dukungan kampanye, mereka membentuk siapa yang terpilih dan dipilih kembali. Kelompok Kepentingan dapat menggunakan beberapa taktik: bertemu dengan para pembuat kebijakan, menyusun undang-undang, bersaksi di sidang (lobi langsung); Memobilisasi anggota untuk menghubungi pejabat, memprotes, atau mengajukan petisi (lobi akar rumput); menggunakan iklan dan liputan berita untuk membentuk opini publik (kampanye media); berkontribusi pada kandidat, mendukung tokoh politik, menjalankan iklan politik (eletioneering).

Nownes berpendapat bahwa meskipun kelompok kepentingan berpengaruh signifikan, mereka tak selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Efektivitas mereka bergantung pada sumber daya, opini publik, political timing, dan hambatan kelembagaan. Sementara beberapa pihak mengkritik kelompok kepentingan karena mendistorsi demokrasi demi kepentingan elit kaya, pihak lain memandang mereka penting bagi partisipasi demokrasi.

Dalam The Lobbying Strategy Handbook: 10 Steps to Advancing Any Cause Effectively (2021, Oxford University Press), Pat Libby membedakan lobbying dari advokasi, menekankan bahwa meskipun saling terkait, keduanya tidaklah sama. Advokasi adalah istilah umum yang merujuk pada segala upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik, meningkatkan kesadaran, atau mempromosikan suatu tujuan. Advokasi mencakup berbagai kegiatan seperti pendidikan publik, kampanye media, dan pengorganisasian masyarakat. Advokasi umumnya tidak dibatasi dan dapat dilakukan oleh lembaga nirlaba, individu, dan organisasi tanpa batasan hukum. Advokasi mencakup berbagai kegiatan seperti menulis opini, mengorganisasi protes, atau mendidik masyarakat. Advokasi sering ditujukan kepada masyarakat umum untuk membangun kesadaran dan memobilisasi dukungan terhadap suatu isu.
Lobbying merupakan jenis advokasi khusus yang melibatkan komunikasi langsung dengan pejabat pemerintah untuk mempengaruhi undang-undang atau kebijakan. Lobi diatur oleh hukum, khususnya bagi organisasi nirlaba dan pelobi terdaftar, yang harus mengikuti persyaratan dan pembatasan pelaporan (seperti batasan keterlibatan kampanye politik). Lobi secara khusus melibatkan upaya langsung mempengaruhi anggota parlemen, semisal bertemu dengan legislator, memberikan kesaksian di sidang, atau mendorong perubahan legislatif tertentu. Lobi menargetkan pejabat pemerintah dan pembuat kebijakan agar mendorong perubahan kebijakan yang konkret. Pat Libby menekankan bahwa semua lobi adalah advokasi, namun tak semua advokasi adalah lobi. Advokasi merupakan konsep yang lebih luas yang mencakup berbagai cara untuk mendorong perubahan, sedangkan lobi adalah upaya yang lebih terfokus, legal, dan didorong oleh kebijakan.

'So Damn Much Money: The Triumph of Lobbying and the Corrosion of American Government' karya Robert G. Kaiser (2009, Alfred A. Knopf) meneliti bagaimana munculnya lobi telah menyebabkan erosi proses demokrasi di Amerika Serikat. Kaiser, seorang jurnalis kawakan, memberikan narasi mendalam tentang bagaimana lobi telah menjadi kekuatan yang menyebar luas, yang kerap mengarah pada keputusan kebijakan yang lebih memihak kepentingan khusus daripada kepentingan publik. Kaiser menyoroti kasus-kasus tertentu dimana upaya lobi telah menghasilkan hasil legislatif yang signifikan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang integritas lembaga pemerintah.
Kaiser, seorang jurnalis kawakan, meneliti kebangkitan lobi di Amerika Serikat dan dampak buruknya terhadap demokrasi. Ia menelusuri bagaimana lobi telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar, yang membentuk kebijakan demi menguntungkan kepentingan khusus dengan mengorbankan masyarakat luas.
Kaiser berpendapat bahwa lobi telah mengubah prioritas Kongres, mengalihkan fokus legislatif dari isu-isu kepentingan publik (seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) dan mengarah pada agenda perusahaan dan kepentingan khusus. Hal ini mengarah pada kebijakan yang melayani entitas terkaya dan paling berpengaruh daripada masyarakat umum.
Sejak tahun 1970-an, lobi telah berkembang secara dramatis, dengan perusahaan dan asosiasi perdagangan menginvestasikan sejumlah besar uang untuk mempengaruhi anggota parlemen. Lobi telah menjadi sebuah profesi, dengan firma-firma yang mengkhususkan diri dalam manipulasi kebijakan, menciptakan industri yang mandiri yang berkembang pesat dengan akses dan pengaruh orang dalam.
Pelobi dan kelompok kepentingan menyalurkan uang ke dalam kampanye politik, membuat pejabat terpilih semakin bergantung pada pendanaan kepentingan khusus. Hal ini menciptakan sistem dimana politisi memprioritaskan donor daripada pemilih, yang merusak akuntabilitas demokratis.
Banyak mantan anggota parlemen dan pejabat pemerintah menjadi pelobi usai meninggalkan jabatan, memanfaatkan koneksi orang dalam mereka untuk mempengaruhi kebijakan. 'Pintu putar' ini mendorong siklus perdagangan pengaruh, dimana keputusan kebijakan dibentuk oleh mantan orang dalam daripada pemilih. Para pelobi seringkali berupaya melemahkan regulasi di berbagai industri seperti keuangan, perawatan kesehatan, dan energi, yang berujung pada deregulasi yang menguntungkan perusahaan sekaligus meningkatkan risiko bagi warga biasa. Kaiser menyoroti bagaimana upaya lobi sektor keuangan berkontribusi terhadap krisis ekonomi 2008 dengan mendorong pengawasan yang longgar.
Kelompok kepentingan khusus kerap mendikte prioritas kebijakan, mengesampingkan isu-isu yang tak sejalan dengan tujuan finansial atau politiknya. Kaiser menjelaskan bagaimana perusahaan farmasi, misalnya, mempengaruhi kebijakan perawatan kesehatan untuk melindungi harga obat yang tinggi.
Perusahaan besar menyusun undang-undang dan mendorongnya melalui Kongres dengan pengawasan publik yang minimal. Kaiser merinci bagaimana perusahaan telekomunikasi dan energi telah membentuk kebijakan untuk mengamankan keuntungan monopoli, seringkali dengan mengorbankan konsumen. Ia berpendapat bahwa lobi memperburuk polarisasi politik, karena kelompok kepentingan mendorong anggota parlemen ke posisi ekstrem yang menguntungkan agenda mereka daripada mendorong kompromi. Hal ini berkontribusi pada kebuntuan legislatif, dimana reformasi yang berarti gagal karena tekanan lobi yang kuat.
Kaiser menyajikan lobi sebagai kekuatan yang menyebar luas yang mendistorsi demokrasi, membuat pemerintah lebih responsif terhadap kepentingan uang daripada kebutuhan warga negara biasa. Ia berpendapat bahwa sistem ini merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menyerukan transparansi dan reformasi yang lebih besar untuk mengurangi dominasi kepentingan khusus.

Dalam Overview of Soft Corruption: How Unethical Conduct Undermines Good Government and What To Do About It (2017, Rutgers University Press), William E. Schluter, mantan senator negara bagian New Jersey, mengeksplorasi bentuk-bentuk korupsi yang lebih halus (soft corruption) yang mengikis tatakelola pemerintahan yang baik. Tak seperti penyuapan langsung atau pelanggaran pidana, yang mudah diidentifikasi, 'soft corruption' mengacu pada praktik yang sah, namun tak beretika, yang mendistorsi pembuatan kebijakan, yang selalu menguntungkan kelompok kepentingan yang kuat dengan mengorbankan masyarakat.
Pelobi menggunakan taktik legal tetapi etikanya dipertanyakan untuk mempengaruhi anggota parlemen, semisal hadiah mewah, perjalanan gratis, dan acara eksklusif yang membangun hubungan pribadi dengan legislator; Politik pintu putar, dimana pejabat pemerintah menjadi pelobi usai tak menjabat, menggunakan pengetahuan orang dalam untuk membentuk kebijakan; Ghostwriting legislation, dimana pelobi perusahaan atau industri menyusun rancangan undang-undang yang disahkan oleh legislator dengan sedikit pengawasan; Celah hukum memungkinkan donor dan perusahaan kaya memberikan pengaruh yang tak proporsional terhadap pemilihan umum dan keputusan kebijakan; Super PAC (Komite Aksi Politik) dan kelompok uang gelap mendanai kampanye politik, membuat politisi lebih bertanggungjawab kepada donor daripada kepada pemilih. Pejabat publik memberi penghargaan kepada sekutu politik dengan kontrak pemerintah, pekerjaan, atau peraturan yang menguntungkan, bahkan ketika mereka bukan kandidat yang paling memenuhi syarat (Kronisme dan Patronase). Hal ini menyebabkan inefisiensi dan merusak pengambilan keputusan berdasarkan prestasi. Legislator dan pembuat kebijakan memiliki saham dalam industri yang mereka atur, yang memungkinkan mereka meloloskan undang-undang yang menguntungkan kepentingan finansial mereka. Beberapa legislator menerima pekerjaan sektor swasta yang menguntungkan setelah meninggalkan jabatan dengan imbalan perlakuan yang menguntungkan saat berkuasa (konflik kepentingan); Beberapa politisi sengaja menunda legislasi atau memblokir reformasi yang akan meminta pertanggungjawaban pelobi dan donor. Gridlocks (kebuntuan) kerapkali menguntungkan status quo, yang menguntungkan kepentingan yang mengakar di atas kebutuhan publik.
Menurut Schluter, soft corruption mengacu pada perilaku yang sah tetapi tidak beretika, yang mendistorsi operasi pemerintah, pembuatan kebijakan, dan demokrasi. Tak seperti hard corruption, yang melibatkan kegiatan ilegal semisal penyuapan dan penipuan, soft corruption beroperasi dalam batasan hukum tetapi merusak kepercayaan publik dan tatakelola pemerintahan yang baik.
Soft corruption akan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah; mengutamakan kepentingan khusus di atas kesejahteraan umum; mengurangi akuntabilitas, karena praktik yang tak beretika tetapi legal terus berlanjut tanpa kendali; melemahkan demokrasi dengan membuat pejabat terpilih lebih bergantung pada donor kaya daripada pemilih biasa.
Schluter berpendapat bahwa meskipun hard corruption (semisal penyuapan) adalah ilegal, soft corruption lebih berbahaya karena lebih sulit dideteksi dan legal dalam banyak kasus. Soft corruption tak melanggar hukum secara langsung, tetapi mengeksploitasi celah dalam sistem. Contohnya termasuk pengaruh lobi yang berlebihan, patronase politik, dan konflik kepentingan. Alih-alih membayar suap, kelompok kepentingan khusus menggunakan sumbangan kampanye, bantuan, dan jaringan untuk mempengaruhi politisi. Legislator dapat memprioritaskan kepentingan donor di atas kebutuhan pemilih, membentuk kebijakan yang menguntungkan perusahaan dan elit daripada publik.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun ketika warga negara menganggap bahwa politisi melayani para donatur kaya daripada para pemilih. Pengambilan keputusan pemerintah menjadi bias terhadap entitas yang kuat, sehingga mengurangi keadilan dan akuntabilitas. Schluter berpendapat bahwa soft corruption lebih berbahaya daripada korupsi kriminal karena lebih sulit dideteksi dan tetap legal. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan pemerintah, favoritisme, dan kebijakan yang melayani kepentingan khusus daripada kepentingan publik. Ia menyebutkan beberapa contoh korupsi lunak: Pelobi menulis undang-undang atas nama perusahaan, yang disahkan oleh anggota parlemen dengan sedikit pengawasan; Mantan pejabat pemerintah menjadi pelobi (politik pintu putar) dan menggunakan pengaruh orang dalam mereka untuk menguntungkan kepentingan pribadi; Individu dan perusahaan kaya menyumbangkan sejumlah besar uang kepada politisi, memastikan keputusan kebijakan yang menguntungkan; Super PAC dan kelompok uang gelap memungkinkan pengaruh anonim atas pemilihan umum, sehingga mengurangi transparansi; Pejabat publik memberi penghargaan kepada teman, keluarga, dan sekutu politik dengan pekerjaan dan kontrak pemerintah. Hal ini memprioritaskan kesetiaan daripada prestasi, yang mengarah pada pemerintahan yang tidak efisien; Politisi menunda atau memblokir reformasi yang akan membatasi kekuatan lobi, memperkuat aturan etika, atau meningkatkan transparansi.
Schluter berpendapat bahwa korupsi ringan lebih berbahaya daripada korupsi kriminal karena lebih sulit dideteksi dan tetap legal. Hal ini menyebabkan inefisiensi pemerintah, favoritisme, dan kebijakan yang melayani kepentingan khusus daripada kepentingan publik.

Schluter mendefinisikan 'politik pintu putar' sebagai perpindahan individu antara posisi pemerintahan dan sektor swasta, khususnya peran lobi dan industri, dengan cara yang menciptakan konflik kepentingan dan merusak tatakelola pemerintahan yang baik. Ini merujuk pada siklus dimana pejabat publik meninggalkan pekerjaan pemerintah untuk bekerja di perusahaan swasta yang berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintah—atau sebaliknya. Praktik ini memungkinkan perusahaan dan kelompok kepentingan khusus untuk memberikan pengaruh yang tak semestinya terhadap para pembuat kebijakan dengan memanfaatkan koneksi pribadi dan pengetahuan orang dalam.
Banyak pejabat pemerintah yang sudah pensiun atau mengundurkan diri mengambil pekerjaan bergaji tinggi sebagai pelobi, konsultan, atau eksekutif perusahaan di industri yang pernah mereka atur. Orang-orang ini menggunakan koneksi dan pengetahuan orang dalam mereka untuk mempengaruhi mantan kolega mereka dan mendorong agenda perusahaan. Misalnya, seorang mantan senator bergabung dengan firma lobi farmasi untuk mengadvokasi regulasi harga obat yang menguntungkan perusahaan besar.
Perusahaan sering menempatkan para eksekutifnya pada posisi pemerintahan, memastikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Misal, seorang mantan eksekutif perusahaan minyak menjadi kepala Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency, EPA) dan melemahkan peraturan tentang polusi.
Karena mantan pejabat pemerintah sering bekerja di industri yang pernah mereka atur, mereka cenderung tak menegakkan aturan ketat atau mendorong reformasi yang merugikan prospek pekerjaan masa depan mereka. Hal ini memunculkan konflik kepentingan, dimana para pembuat keputusan memprioritaskan manfaat karier masa depan daripada layanan publik.
Ketika publik melihat pejabat pemerintah berpindah-pindah antara lembaga regulator dan industri yang mereka awasi, mereka kehilangan kepercayaan pada ketidakberpihakan keputusan pemerintah. Hal ini mengarah pada persepsi bahwa kepentingan perusahaan mengendalikan kebijakan, bukan pemilih.

Fenomena 'politik pintu putar'—dimana individu berpindah antar peran di sektor publik dan industri swasta, yang menimbulkan potensi konflik kepentingan—juga terjadi di Indonesia.
Laporan Greenpeace tahun 2018 menyoroti bagaimana orang-orang yang terekspos secara politik (politically exposed persons, PEP) di Indonesia kerap menduduki posisi kepemimpinan di perusahaan batubara. Tumpang tindih antara peran politik dan kepentingan bisnis ini dapat menyebabkan konflik kepentingan dan keputusan kebijakan yang lebih memihak industri batubara daripada masalah lingkungan.
Transparency International Indonesia telah melaporkan tentang 'fenomena pintu putar' dalam industri minyak kelapa sawit, dimana pejabat yang bertanggungjawab mengatur sektor tersebut beralih ke peran dalam industri tersebut, dan sebaliknya. Pergerakan ini dapat mengakibatkan penangkapan regulasi, dimana kepentingan industri mendominasi keputusan kebijakan, yang berpotensi mengorbankan standar lingkungan dan sosial.

Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana pertukaran personel antara jabatan publik dan industri swasta di Indonesia dapat mengarah pada kebijakan yang mengutamakan kepentingan perusahaan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang tatakelola dan kepercayaan publik.
Militer Indonesia secara historis mempertahankan kehadiran yang signifikan dalam urusan negara, warisan dari era Orde Baru (1967-1998) ketika angkatan bersenjata tertanam kuat dalam bidang politik dan sosial. Meskipun ada reformasi yang bertujuan memprofesionalkan militer dan mengurangi keterlibatan langsungnya dalam politik, perwira militer yang sudah pensiun terus menduduki posisi berpengaruh dalam pemerintahan dan partai politik. Misalnya, sejak transisi demokrasi, beberapa tiket presiden telah menampilkan mantan jenderal militer, yang mencerminkan pengaruh abadi tokoh militer dalam politik. Di tingkat lokal, perwira yang sudah pensiun juga mengejar jabatan politik, meskipun dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Partai politik sering merekrut para pensiunan ini, mengintegrasikan mereka ke dalam struktur politik sipil.
Pergerakan antara dinas militer dan peran politik ini merupakan contoh politik pintu putar, dimana keahlian dan jaringan perwira yang sudah pensiun dimanfaatkan dalam pemerintahan sipil. Meskipun hal ini dapat meningkatkan wawasan sektor keamanan dalam pembuatan kebijakan, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan dan militerisasi lembaga sipil.
Singkatnya, politik pintu putar di Indonesia terwujud melalui interaksi antara perusahaan milik negara dan kepentingan politik, serta transisi perwira militer dan polisi yang sudah pensiun ke peran pemerintahan sipil. Untuk mengatasi dinamika ini diperlukan penguatan kerangka tatakelola, peningkatan transparansi, dan memastikan penggambaran yang jelas antara ranah militer dan sipil guna menegakkan prinsip-prinsip demokrasi."