Jumat, 05 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (6)

Pemerintah Indonesia udah bikin draf RUU Perampasan Aset, atau yang kerennya disebut Asset Forfeiture Bill. Draft ini udah dipoles ama Kemenkumham bareng PPATK biar nyambung ke undang-undang lain, termasuk KUHP baru. Ide awalnya muncul pas era Jokowi, bahkan udah dikirim resmi ke DPR sejak Mei 2023. Tapi ya gitu, meskipun Jokowi dan sekarang Prabowo udah teriak-teriak biar cepet disahkan, DPR masih adem ayem dan belum juga ngebahas.
Alasannya? Ya karena DPR lagi sibuk revisi KUHAP, yang diproyeksikan baru kelar akhir 2025. Jadi, kemungkinan besar RUU Perampasan Aset baru akan naik panggung setelahnya. Sementara itu, pemerintah gak berhenti ngegas. Yusril sebagai Menko udah bilang eksekutif siap kapan aja dipanggil buat bahas. Bahkan, Presiden Prabowo juga udah ngasih lampu hijau buat masukin RUU ini ke Prolegnas 2025–2026.
Drafnya udah ada, tinggal nunggu DPR nyetel mic dan buka sidang. RUU ini niatnya buat jadi senjata pamungkas lawan korupsi dan kejahatan keuangan. Tapi kayak konser besar, meskipun panggung udah siap, acaranya masih harus nunggu jadwal kosong di kalender politik DPR yang penuh drama.

Inovasi utama RUU Perampasan Aset ini yalah masuknya mekanisme non-conviction based forfeiture, alias perampasan aset tanpa harus nunggu vonis pidana. Artinya, kendati pelakunya kabur ke luar negeri, ngumpetin bukti, atau jago ngeles pakai celah hukum, harta haramnya tetep bisa disikat lewat jalur perdata. Cara ini sebenernya bukan barang baru—udah dipakai banyak negara dan juga jadi standar internasional dalam UNCAC, yang memang sudah diratifikasi Indonesia. Jadi, RUU ini ibarat upgrade sistem anti-korupsi biar gak gampang keok sama trik lama para bandit berdasi.
Dalam drafnya, juga ada rencana bikin mekanisme pengadilan khusus biar urusan perampasan aset ini tetep lewat jalur due process dan diawasi hakim. Yang bisa disita bukan cuma duit hasil korupsi, tapi juga aset dari narkoba, pendanaan terorisme, sampai pencucian uang. Nanti hasil sitaan langsung masuk kas negara, dengan pesan jelas: “maling kagak bakalan kaya selamanya.”
Tapi, tetep ada yang nyinyir. Mereka khawatir aturan ini bisa jadi senjata makan tuan kalau dipakai sembarangan, soalnya prinsip “asas praduga tak bersalah” bisa terancam. Pendukungnya balas bilang bahwa RUU udah ngasih rem pengaman, kayak hak menggugat di pengadilan dan kewajiban negara buat nunjukkin bukti kuat kalau aset beneran hasil kejahatan. Jadi intinya, ini tarik-ulur klasik: negara pengen balikkin duit rakyat yang dijarah, tapi juga kudu hati-hati biar nggak jadi negara semena-mena.

Di Inggris, mekanisme non-conviction based forfeiture udah resmi jalan lewat Proceeds of Crime Act 2002. Lewat aturan ini, pemerintah bisa minta pengadilan tinggi buat nyita aset yang dicurigai hasil kejahatan, meskipun pelakunya belum divonis. Contohnya, kalau ada orang hidupnya mewah banget tapi pendapatannya nggak nyambung, aparat bisa masuk dan ngejar asetnya, entah itu rumah mewah atau rekening bank. Bedanya sama sidang pidana, standar bukti di sidang perdata lebih ringan: cukup “kemungkinan besar” daripada “mutlak tanpa keraguan.” Jadi, negara lebih gampang buat ngeblokir jalannya mafia dan bikin mereka nggak bisa pamer duit haram.
Di Amrik, dikenal dengan nama civil asset forfeiture. Polisi dan aparat federal bisa langsung nyita harta yang diduga ada kaitannya ama kejahatan, meskipun pemiliknya nggak pernah dituduh atau diadili. Kasus yang sering rame misalnya uang tunai dalam jumlah besar yang ketahuan di jalan tol—langsung disita dengan alasan ada kaitannya sama narkoba. Memang praktik ini berhasil bikin kartel narkoba megap-megap, tapi di sisi lain juga banyak kasus orang biasa yang hartanya ikut raib cuma gara-gara aparat kelewat semangat. Makanya, di banyak negara bagian muncul gerakan buat ngerem atau bahkan ngehapus praktik ini biar nggak jadi alat sewenang-wenang.
Buat Indonesia, contoh dari Inggris dan Amerika ini bisa jadi bahan belajar. Sisi positifnya, mekanisme ini bisa jadi gebrakan ampuh buat balikin duit negara yang dirampok koruptor. Tapi sisi negatifnya, kalau enggak hati-hati, bisa menjadi boomerang dan bikin rakyat kecil jadi korban salah sasaran. So, PR besar RUU Perampasan Aset adalah bikin aturan yang tajam ke atas tapi aman buat rakyat biasa, biar nggak berubah jadi drama baru ala “hukum tumpul ke atas, tajem ke bawah.”

Prospek penerapan perampasan aset tanpa vonis pidana di Indonesia itu ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ini peluang emas. Korupsi udah kayak kanker stadium akhir di negeri ini, dan jalur pidana sering mentok karena pelaku kabur ke luar negeri, nyuap aparat, atau main akal-akalan pakai celah hukum. Dengan mekanisme perdata, negara bisa langsung nyabet harta haram tanpa harus nunggu drama sidang pidana yang entah kapan kelarnya. Buat rakyat yang udah lama muak sama korupsi, ini bisa jadi simbol nyata kalau pemerintah serius memberantas maling berdasi.
Tapi di sisi lain, tantangannya gede banget. Sistem hukum kita masih rapuh, transparansi sering bolong, dan kepercayaan publik tipis. Kalau negara dikasih wewenang nyita aset tanpa vonis, gampang banget dipelintir jadi alat politik. Bayangin kalau dipakai buat ngehajar oposisi atau orang kritis sama pemerintah—rusak sudah. Apalagi aparat penegak hukum sendiri masih sering kena kasus korupsi. Jadi bisa aja aturan ini malah jadi mesin ATM baru buat oknum.

Masalah lain ada di kapasitas pengadilan. Perlu hakim yang ngerti kejahatan finansial tingkat tinggi, penyidik yang bisa ngulik jejak uang lintas negara, dan tentu saja keberanian buat lawan intervensi politik. Itu semua butuh duit, training, dan integritas—barang langka di republik ini. Belum lagi soal penerimaan sosial. Buat banyak orang Indonesia, konsep “disita tanpa vonis” bisa kedengeran kayak melanggar asas praduga tak bersalah, kecuali dijelasin dengan jernih dan dikasih pagar hukum yang kuat.

Jadi, Indonesia lagi ada di persimpangan jalan. Kalau RUU Perampasan Aset dibikin dengan rem pengaman yang ketat—standar bukti jelas, pengawasan hakim independen, dan jalur banding yang fair—bisa menjadi tonggak sejarah perang lawan korupsi. Tapi kalau setengah matang atau dipakai buat balas dendam politik, hasilnya cuma bikin rakyat makin apatis dan hukum makin dicap tebang pilih.

LSM dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia sebenernya mendukung RUU Perampasan Aset, tapi dukungannya setengah hati alias penuh catatan. ICW, Transparency International Indonesia, sampai pusat-pusat kajian antikorupsi di kampus udah lama teriak kalau asset recovery itu titik lemah pemberantasan korupsi kita. Banyak kasus korupsi udah diputus, pelakunya masuk penjara, tapi duit hasil jarahannya tetep aman nggak balik ke negara. Jadi negara rugi dua kali: duit raib, biaya sidang dan penjara pun keluar. Buat mereka, RUU ini ibarat tambalan wajib di baju antikorupsi yang udah penuh sobekan.
Tapi, di balik dukungan itu, mereka juga pasang alarm. Mereka khawatir RUU ini bisa disulap jadi senjata politik atau malah mesin rente baru buat oknum aparat. Makanya mereka nuntut aturan jelas: siapa yang berhak mulai proses perampasan, standar bukti kayak apa yang dipakai, dan jalur bandingnya harus gimana. Selain itu, mereka ngotot butuh badan pengawas independen biar aturan ini nggak cuma tajam ke ikan teri, tapi juga berani nusuk ke “ikan kakap” yang biasanya kebal hukum.
Kesimpulannya, LSM nggak nolak, tapi mereka ngegas biar RUU ini nggak jadi macan ompong atau malah jadi pedang liar. Bagi mereka, sah atau nggaknya RUU ini di mata publik bukan cuma soal bunyi pasal, tapi soal gimana implementasinya nanti di lapangan. Kalau dipakai bener, bisa jadi game changer. Kalau disalahgunakan, ya cuma nambah daftar panjang drama hukum tumpul ke atas, tajem ke bawah.

DPR dan partai politik di Indonesia pegang RUU Perampasan Aset kayak main tali skipping: di satu sisi, mereka tahu rakyat pengen aturan ini; di sisi lain, mereka juga mikir soal kepentingan sendiri. Di depan publik, hampir semua partai bilang “setuju” karena kalau terang-terangan nolak, bisa dicap pro-koruptor—bunuh diri politik namanya. Tapi di balik layar, semangatnya nggak seheboh itu. Alasan klasiknya: “Kita selesaikan dulu revisi KUHAP baru lanjut ke RUU ini.” Padahal, yang disembunyiin adalah fakta bahwa aturan ini bisa ngehajar kepentingan lama yang selama ini aman-aman aja karena celah hukum.
Buat sebagian partai, RUU ini lebih mirip bom waktu ketimbang peluang emas. Mekanisme perampasan aset tanpa vonis bisa ngejar harta yang sumbernya mencurigakan—dan itu bisa bikin jantung para politisi sama donatur partai dag-dig-dug. Apalagi dalam iklim politik Indonesia, duit gelap buat kampanye udah kayak oksigen. Jadi wajar kalau banyak yang pilih jalan pelan, nunggu suasana aman, atau berusaha nego biar pasal-pasal yang tajam itu jadi tumpul.
Nggak cuma itu, tarik-ulurnya juga kelihatan di isi draf. Ada yang ngusulin biar perampasan cuma berlaku buat “kejahatan serius” aja, ada juga yang nyoba ngecilin independensi pengadilan khusus yang direncanain. Jadi jelas, ini bukan sekadar debat hukum, tapi pertarungan buat ngejaga jaringan patronase politik dan bisnis biar nggak kejebak. Hasilnya, DPR main drama: gaya reformis di depan kamera, tapi di ruang rapat sibuk ngatur biar pedang hukum kagak nusuk terlalu dalam ke kantong mereka sendiri.

Media dan opini publik jadi motor utama yang ngegas RUU Perampasan Aset. Portal berita tiap minggu bongkar kasus korupsi triliunan yang duitnya ngacir ke luar negeri atau berubah jadi vila mewah, sementara negara cuma bisa gigit jari. Narasinya jelas: RUU ini diposisikan sebagai obat penawar buat penyakit lama—duit rakyat dicolong, tapi nggak pernah balik. Di medsos, warga biasa ikut nyuarain rasa muak, apalagi kalau lihat pejabat yang terseret kasus tapi masih bisa hidup glamor seolah-olah kebal hukum.
Buat publik, RUU ini udah naik kelas jadi ujian moral. Kalau DPR ngulur-ngulur, media langsung tuduh mereka ngelindungin koruptor, dan pengamat pun bilang makin lama ditunda makin kelihatan DPR itu nggak serius. Rakyat nggak peduli detail teknis soal non-conviction based forfeiture, yang mereka mau cuma sederhana: harta koruptor harus balik ke negara. Jadi, liputan media lebih banyak menyorot soal keberpihakan—DPR ada di pihak rakyat atau pihak maling berdasi?
Risikonya jelas: kalau DPR kebanyakan drama, bisa jadi blunder politik. Di era sekarang, isu gampang banget viral, kemarahan publik bisa meledak dalam hitungan jam, dan DPR langsung dicap kompakan sama koruptor. Jadi, meski elite politik sibuk ngatur strategi di balik layar, pengadilan opini publik udah jalan duluan, dan rakyat lagi ngawasin dengan sabar—atau lebih tepatnya, dengan kesabaran yang makin tipis.

Singkatnya, RUU Perampasan Aset ini kayak drama panjang penuh plot twist: dari niat mulia buat gebuk koruptor, tapi kejebak tarik-menarik politik dan birokrasi yang bikin jalannya lambat banget. Meski udah lama digodok, keberadaannya tetep nunjukin kalau Indonesia makin sadar—korupsi level dewa butuh obat super. Nah, akankah nanti RUU ini jadi senjata pamungkas yang beneran bikin pejabat korup ciut, atau malah sekadar janji manis yang basi, ya balik lagi pada kejujuran para pemimpin plus keaktifan rakyat buat ngawasin.

Balik ke topik kita.

Beberapa tokoh penting di kubu Sosialis tuh percaya kalau jalan menuju sosialisme itu harusnya kayak upgrade aplikasi—pelan-pelan, transparan, lewat demokrasi. Bukan langsung nge-restart sistem kayak gaya komunis yang pake main revolusi segala.
Salah satunya yang paling dikenal ya Eduard Bernstein (1850–1932), sang “bapak sosialisme revisi.” Lewat bukunya Evolutionary Socialism (1899), doski terang-terangan bilang: sosialisme gak perlu revolusi instan. Cukup pakai demokrasi parlementer, reformasi bertahap, dan transparansi. Biar adil tanpa harus ngorbanin kebebasan. Evolutionary Socialism: A Criticism and Affirmation oleh Eduard Bernstein (Schocken Books, 1963) sangat penting dalam memahami pergeseran menuju sosialisme yang etis dan demokratis, serta memainkan peran transformatif dalam pemikiran politik abad ke-20. Buku ini terbagi dalam tiga bagian utama, dan masing-masing mencerminkan upaya Bernstein buat mikirin ulang sosialisme pada pergantian abad ke-20, ketika kapitalisme tampak jauh lebih mudah beradaptasi daripada yang dibayangkan Marx.

Di bagian awal, Bernstein langsung ngantemin Marxisme ortodoks. Doski gak percaya kalau kapitalisme pasti bakal tumbang karena kontradiksi internal. Justru doi ngelihat kapitalisme pinter banget nyari cara selamat—entah lewat kredit, bank, atau industri yang lebih rapi. Analisis ini penting banget, soalnya nendang keluar bagian “ramalan pasti kiamat” dari teori Marx.
Dalam Evolutionary Socialism, Bernstein sebenarnya lebih sering ngomong soal materialism, bukan materialist. Bedanya? Kalau materialism itu ngebahas soal aliran pemikiran besar, sedangkan materialist lebih ke orang yang ikut aliran itu. Nah, kenapa sih topik ini jadi rame banget di kalangan sosialis abad ke-19? Karena Marx dan gengnya bangun teori besar yang namanya historical materialism. Intinya: sejarah itu jalan karena kondisi ekonomi dan kelas sosial, bukan gara-gara ide atau moral doang. Jadi kalau ada yang berani ngeremehin materialism, dianggap kayak ngejek pondasi rumahnya Marx.
Masalahnya, pas zamannya Bernstein, kenyataan di lapangan agak beda. Buruh ternyata nggak makin miskin parah kayak ramalan Marx, malah ada yang mulai naik kelas lewat serikat pekerja, koperasi, atau reformasi parlemen. Dari situ Bernstein mikir, “Hmm, apa iya hidup manusia segampang hitungan ekonomi doang?” Buat doski, ada faktor lain yang penting: moral, demokrasi, dan budaya.
Jadi wajar banget kalau materialism jadi arena debat panas. Kalau terlalu kaku sama teori materialism, ujung-ujungnya ya harus revolusi total. Tapi kalau dilonggarin kayak Bernstein, jadi terbuka ruang buat reformasi pelan-pelan, lewat parlemen, lewat demokrasi, sambil tetep ngejar keadilan sosial. So, debat soal materialism ini sebenernya bukan cuma filosofi abot alias berat, tapi kode politik: mau pakai cara revolusi berdarah, atau mau pakai cara upgrade sistem dari dalam.

Keraguan Bernstein soal materialism bikin doski clash ama Karl Kautsky, yang waktu itu dianggap “polisi lalu lintas” Marxist ortodoks di Second International. Buat Kautsky, materialism—terutama historical materialism—itu harga mati. Kenapa? Karena itu yang bikin Marxism kelihatan ilmiah dan revolusioner. Menurut dia, sejarah jalan sesuai hukum ekonomi yang objektif: kapitalisme bakal hancur sendiri karena kontradiksinya, dan revolusi itu tinggal tunggu waktu. Kalau materialism dilemahkan, sosialisme bakal jatuh jadi “idealisme moral doang” tanpa fondasi sains.
Sementara Bernstein nyeleneh. Doi bilang, “Eh bro, realita nggak kayak teori.” Kapitalisme ternyata tahan banting, buruh nggak sekarat miskin, malah makin kuat lewat serikat, koperasi, dan reformasi politik. Jadi menurutnya, sosialisme jangan cuma ditopang hukum ekonomi deterministik, tapi harus dipahami sebagai proyek moral dan politik, dengan nilai etika dan demokrasi. Kalau nggak, sosialisme bakal jadi dogma beku yang nggak nyambung sama dunia nyata.
Debat mereka jadi drama besar: mau tetep setia sama revolusi ala Marx, atau upgrade ke jalur reformis yang lebih demokratis. Kautsky khawatir ide Bernstein bikin sosialisme cuma jadi liberalisme manis dengan topeng merah. Tapi Bernstein yakin, kalau gak beradaptasi, sosialisme bakal punah. Jadi, ribut-ribut soal materialism ini sebenernya bukan sekadar filosofi—tapi soal jati diri: apakah sosialisme mau jadi gerakan revolusioner, atau jadi gerakan reformasi yang relevan dengan zamannya.

Dalam bab kedua bukunya, Bernstein bahas soal distribusi kekayaan di masyarakat modern, dan doi langsung bantahin ramalan klasik ala Marx bahwa kapitalisme pasti bikin harta menumpuk cuma di segelintir orang super kaya. Menurut Bernstein, meskipun pembagian kekayaan jelas timpang, kenyataannya struktur kepemilikan lebih cair dan fleksibel daripada yang diprediksi Marx. Doi nunjukin munculnya kelas menengah, berkembangnya koperasi, lembaga kredit, sampai perusahaan saham gabungan sebagai bukti kalau kapitalisme gak cuma melahirkan polarisasi, tapi juga membuka ruang partisipasi baru dalam ranah ekonomi. Buat Bernstein, distribusi kekayaan di bawah kapitalisme jauh lebih rumit: bukan cuma dua kutub tajir melintir lawan miskin papa, tapi ada banyak lapisan di antaranya. Dari situ doi tekankan bahwa gerakan sosialis harus berangkat dari realitas yang ada, bukan dogma usang soal “semua orang pasti tambah miskin lalu kapitalisme ambruk sendiri.” Buat doski, masyarakat modern itu sekaligus ditandai oleh konsentrasi dan penyebaran kekayaan, dan justru dua hal itu yang jadi medan pertarungan nyata buat sosialisme.
Dalam pembahasannya soal “Crises and Possibilities of Adjustment in Modern Economy,” Bernstein ngebantah keyakinan klasik ala Marx bahwa krisis kapitalisme bakal makin parah sampai sistemnya roboh total. Doi bilang, krisis memang bawaan asli kapitalisme, tapi sifatnya bukan kiamat final, melainkan gangguan yang berulang dan seringkali memunculkan cara-cara penyesuaian. Bernstein nunjukin perkembangan sistem kredit modern, kemajuan komunikasi, makin beragamnya industri, sampai campur tangan negara sebagai faktor yang bisa meredam dampak krisis. Buat doi, kapitalisme punya daya adaptasi yang luar biasa, bahkan bisa menjadikan setiap krisis sebagai momen buat ngerombak struktur dan menyeimbangkan ulang. Justru karena daya tahan inilah, menurut Bernstein, ide “kapitalisme bakal runtuh sendiri” jadi nggak masuk akal. Maka, sosialisme harus diperjuangkan lewat aksi politik yang sadar dan reformasi bertahap, bukan dengan duduk manis nunggu kapitalisme kolaps gara-gara kontradiksinya sendiri.

Dalam pemikirannya soal The Tasks and Possibilities of Social Democracy, Bernstein ngerumusin visi sosialisme yang beda jauh dari jargon revolusi instan, dan lebih condong ke tanggungjawab reformis. Doi berargumen kalau tugas utama sosial demokrasi itu bukan nunggu kapitalisme ambruk kayak dongeng kiamat, tapi kerja aktif lewat institusi yang udah ada buat dorong perubahan progresif. Menurut Bernstein, parlemen, serikat buruh, koperasi, sampai pemerintahan kota itu bukan sekadar alat borjuis buat ngelamunin rakyat, tapi panggung nyata dimana kelas pekerja bisa memperluas pengaruh dan merebut reformasi yang berarti. Doi tekankan bahwa reformasi seperti hak-hak buruh yang lebih baik, legislasi sosial, pendidikan, dan jaminan kesejahteraan bukan remah-remah kecil, tapi fondasi asli dari sosialisme yang nyata dijalankan. Sosial demokrasi, kata Bernstein, harus punya dua hal: realisme, yaitu paham bahwa kapitalisme itu adaptif banget, dan tujuan moral, yaitu ngejar keadilan dan kesetaraan lewat jalan demokratis. Dengan redefinisi kayak gini, Bernstein ubah sosialisme dari utopia jauh di awang-awang jadi program praktis, lahir dari perjuangan sehari-hari dan perluasan kehidupan demokratis yang terus-menerus.

Dalam pembahasannya soal The Political and Economic Preliminary Conditions of Socialism, Bernstein tegas bilang kalau sosialisme itu nggak bisa jatuh dari langit lewat teori abstrak atau slogan revolusi doang, tapi harus tumbuh dari perkembangan sejarah yang nyata. Doski tekankan bahwa kedewasaan politik kelas pekerja, meluasnya institusi demokrasi, dan berkembangnya ekonomi modern yang kompleks adalah fondasi penting sebelum sosialisme bisa jalan. Buat Bernstein, sosialisme itu nggak bisa dipisahin dari demokrasi: butuh kebebasan politik, lembaga perwakilan, dan supremasi hukum biar bisa hidup. Dari sisi ekonomi, doi nyorotin bahwa kemajuan industri, inovasi teknologi, dan munculnya bentuk-bentuk kepemilikan kolektif—mulai dari koperasi, serikat buruh, sampai perusahaan saham gabungan—jadi lahan subur tempat sosialisme bisa berakar. Jadi, menurut Bernstein, sosialisme itu bukan lompatan dadakan, melainkan kelanjutan alami dari kecenderungan yang udah ada di dalam kapitalisme itu sendiri. Visinya bikin sosialisme bukan ramalan kiamat, tapi kelanjutan logis dari evolusi politik dan ekonomi, dimana setiap reformasi jadi batu loncatan ke transformasi sosial yang lebih dalam.

Dalam pandangannya soal Economic Capacities of Co-operative Associations, Bernstein melihat koperasi sebagai bukti paling menjanjikan dari sosialisme yang tumbuh di dalam cangkang kapitalisme. Doi berargumen kalau koperasi, baik di bidang produksi, distribusi, maupun kredit, nunjukin bahwa kepemilikan kolektif dan manajemen demokratis bisa berjalan dengan sukses dalam dunia ekonomi modern. Buat Bernstein, koperasi adalah wujud nyata bahwa para pekerja dan konsumen mampu ngatur usaha tanpa harus tunduk pada dominasi kapitalis pribadi. Tapi doski juga nggak nyepelein realitas: koperasi punya keterbatasan dalam skala, persaingan, dan akses modal. Justru keterbatasan inilah yang bikin doi tekankan pentingnya reformasi sosial dan politik yang lebih luas buat menopang perkembangan koperasi. Bernstein ngotot bahwa koperasi jangan dianggep eksperimen kecil yang terpisah, tapi bagian dari transformasi bertahap menuju ekonomi dengan kepemilikan lebih sosial dan kontrol lebih demokratis. Koperasi, menurutnya, adalah “laboratorium hidup” sosialisme, yang ngasih manfaat langsung ke anggotanya sekaligus ngasih gambaran bagaimana produksi bisa jalan tanpa melulu nguber untung kapitalis.

Dalam pembahasannya soal Demokrasi dan Sosialisme, Bernstein bikin gebrakan paling tegas dalam memutus jarak dengan Marxisme ortodoks. Doi ngotot bahwa sosialisme bukan cuma cocok sama demokrasi, tapi justru bergantung penuh padanya. Buat Bernstein, demokrasi itu sekaligus jalan dan tujuan: tanpa kebebasan politik, lembaga perwakilan, dan supremasi hukum, proyek sosialisme bakal kehilangan dasar etikanya dan berpotensi berubah jadi tirani. Doski tolak mentah-mentah ide diktatur proletariat, karena menurutnya itu cuma bakal ganti satu bentuk penindasan dengan penindasan yang lain. Sebaliknya, doi ngelihat demokrasi sebagai lahan subur tempat sosialisme tumbuh, karena di sanalah buruh bisa berserikat, ikut parlemen, dan pelan-pelan ngubah undang-undang. Sosialisme, menurut Bernstein, adalah penyempurnaan etis dari demokrasi: prinsip kesetaraan yang tadinya cuma ada di ranah politik, dibawa masuk juga ke ranah ekonomi. Jadi, doi ngubah sosialisme dari kiamat revolusioner jadi evolusi demokratis, yang dibangun lewat partisipasi aktif dan kedewasaan moral rakyatnya sendiri.

Dalam pemikirannya soal Masalah Paling Mendesak dari Sosial Demokrasi, Bernstein bilang bahwa tantangan utama gerakan sosialis itu bukan meramal utopia jauh di depan atau nunggu kapitalisme jatuh kayak sinetron dramatis, tapi mikirin gimana partai dan kelas pekerja bisa ngehasilin perubahan nyata yang tahan lama dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, tugas terpenting adalah nyatuin idealisme sosialis dengan realitas politik demokratis, biar gerakan ini nggak terjebak antara jadi pemuja dogma kaku atau malah nyasar jadi kompromis oportunis. Bernstein tekankan pentingnya nguatkan organisasi, ningkatin pendidikan politik di kalangan buruh, dan rebut reformasi yang bisa memperluas keadilan ekonomi sekaligus kebebasan demokratis. Doi ngelihat masalahnya soal arah: apakah sosial demokrasi berani ambil peran sebagai kekuatan reformis yang bangun sosialisme selangkah demi selangkah lewat institusi demokratis, atau masih ngarep kapitalisme roboh sendiri kayak mitos. Buat Bernstein sih jawabannya jelas—kekuatan sejati sosial demokrasi ada di kerja nyata, keyakinan moral, dan langkah maju demokrasi yang konsisten.

Dalam refleksi terkenalnya soal The Final Goal and the Movement, Bernstein ngelontarin kalimat yang jadi cap khas dirinya: “Gerakan adalah segalanya, tujuan akhir bukan apa-apa.” Maksudnya bukan berarti doi buang jauh-jauh mimpi sosialisme, tapi doski mau tekankan bahwa nilai sejati sosialisme bukan terletak di tujuan utopis nun jauh di sana, melainkan di perjuangan nyata yang terus-menerus buat perubahan, reformasi, dan keadilan. Bernstein bilang, kalau terlalu terobsesi sama “tujuan akhir” yang abstrak, gerakan malah jadi lumpuh, sementara kalau fokus ke gerakannya—lembaga-lembaganya, reformasi yang diperjuangkan, dan pertarungan sehari-hari—sosialisme bisa hidup, relevan, dan berkembang. Buatnya, sosialisme itu bukan loncatan sekali jadi, tapi proses sejarah yang diwujudkan lewat partisipasi demokratis dan komitmen etis. Tujuan akhir, menurutnya, bukan titik beku, tapi semangat yang ngarahin gerakan, sementara gerakan itu sendiri adalah wujud nyata dari sosialisme. Dengan penekanan ini, Bernstein ubah politik sosialis jadi perjalanan permanen reformasi dan kemajuan moral, bukan ramalan revolusi mendadak.

Nah, kalau beda pendapat, ya dibalas pakai argumen dong—bukan langsung ngadu ke polisi kayak geng Termul. Lihat aja Rosa Luxemburg, bukannya drama di medsos, doski malah nulis buku gara-gara beda pandangan ama Bernstein. Kelasnya memang beda, guys!
Rosa Luxemburg ikutan nimbrung lewat karyanya yang legendaris, Reform or Revolution (1899), yang langsung nembak argumen Bernstein di Evolutionary Socialism. Kalau Kautsky masih rada alus dalam ngebelain Marx ortodoks, Luxemburg mah kagak pake tedeng aling-aling—langsung gaspol. Buat doi, pemikiran Bernstein itu sama aja kayak nusuk jantung sosialisme dari dalam.

Luxemburg bilang, reformasi di dalam kapitalisme sih boleh, bahkan penting. Tapi itu nggak bisa jadi pengganti revolusi. Menurutnya, Bernstein terlalu polos—doi kira perbaikan sementara yang buruh rasain itu tanda kapitalisme udah jinak dan bakal pelan-pelan berubah jadi sosialisme. Padahal, kata Luxemburg, kapitalisme itu emang dasarnya eksploitatif, penuh krisis, dan kontradiktif. Satu-satunya cara buat ngilangin itu semua ya cuma revolusi. Kalau sosialisme cuma ngandelin reformasi, jadinya hanyalah liberalisme versi lembut yang udah kehilangan taring.
Buat Luxemburg, debat sama Bernstein ini bukan cuma soal teori, tapi soal strategi perjuangan kelas. Materialism harus tetap jadi pondasi ilmiah sosialisme, tapi revolusi juga butuh tekad politik dan aksi massa. Nah, Bernstein dengan reformisme santainya dianggap bikin buruh jadi jinak dan berdamai sama sistem yang sebenernya nggak akan pernah berpihak ke mereka. Nggak heran kalau Reform or Revolution jadi teks panas yang bikin Bernstein dicap “revisionist” dan bikin dunia sosialis terbelah sampai puluhan tahun ke depan.

[Bagian 7]
[Bagian 5]