Selasa, 02 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (1)

Di ujung September 1965, Indonesia ngalamin salah satu episode tergelap dalam sejarah modernnya, waktu Partai Komunis Indonesia (PKI) coba ngerebut kekuasaan dengan cara brutal. Malam 30 September langsung identik ama pengkhianatan dan darah, karena beberapa jenderal penting diculik dan dibunuh secara kejam. Aksi yang dibungkus jargon revolusi ini bikin bangsa Indonesia syok total, sekaligus nyulut rangkaian kekerasan panjang yang ninggalin luka batin mendalam.
Tragedi G30S-PKI bukan sekadar kudeta gagal, tapi serangan terencana ke fondasi negara. Dengan nyasar ke pucuk pimpinan Angkatan Darat, para pelaku jelas pengen bikin negara kacau biar jalan menuju dominasi Komunis kebuka lebar. Kekacauan setelah itu bikin rakyat Indonesia ngeliat langsung wajah asli ideologi yang cuek sama agama, moral, bahkan nyawa manusia, demi ambisi kekuasaan mutlak.
Sejak saat itu, tiap akhir September, bangsa Indonesia diajak buat inget lagi hari-hari mencekam itu. Peringatannya bukan sekadar buka luka lama, tapi jadi ajang buat nguatin persatuan nasional melawan ideologi apa pun yang mau ngacak-ngacak Pancasila. Ingatan kolektif tentang para jenderal yang gugur dan ancaman serius dari Komunisme jadi alarm keras biar kemerdekaan dan nilai moral bangsa nggak pernah dianggap enteng.
Peristiwa G30S-PKI akhirnya jadi catatan wajib di kalender Indonesia, sekaligus jadi peringatan dan pelajaran. Ia nunjukin betapa ekstremisme bisa melahirkan kekejaman, apalagi kalau ambisi politik dibungkus fanatisme ideologi. Buat Indonesia hari ini, mengenang akhir September bukan lagi soal trauma, tapi soal keteguhan: bahwa meski pernah dicoba dipecah dan dihancurkan, bangsa ini tetap tegak di bawah panji Pancasila.

Sebelum nyemplung bahas sejarah dan bahaya Komunisme, ada baiknya kita berhenti sebentar buat nengok kondisi Indonesia kekinian. Bangsa ini lagi ada di persimpangan jalan: ketimpangan ekonomi masih terasa, polarisasi politik makin kelihatan, dan ideologi global terus berebut pengaruh di hati dan pikiran rakyatnya. Memang, Indonesia udah lumayan lama menikmati damai dan kemajuan sejak gejolak abad ke-20, tapi stabilitas demokrasi dan keteguhan nilai-nilai bangsa jelas bukan sesuatu yang otomatis aman. Karenanya, biar paham kenapa kewaspadaan itu penting dan kenapa ada ideologi yang kudu dipantau ketat, kita mesti bercermin dulu ke realitas zaman sekarang.

Peristiwa Protes di bulan Agustus 2025 itu nggak muncul tiba-tiba; ini ujung ledakan dari bara yang lama disimpan, lalu disulut satu kejadian yang bikin hati kebakar. Amarah publik soal jatah mewah anggota dewan—terutama tunjangan rumah yang nggak nyambung dengan gaji rakyat jelata—ketemu suasana “irit-irit anggaran” yang nyenggol sekolah, layanan kesehatan, sampai infrastruktur. Begitu Affan Kurniawan, kurir 21 tahun, tewas tertabrak kendaraan taktis di depan DPR, ceritanya berubah total: dari soal kesenjangan jadi soal martabat, keadilan, dan rem kekuasaan. Video dan saksi mata menyebar secepat gosip kampus; demo pun bertransformasi dari perang angka jadi perjuangan kemanusiaan keseharian. 

Selain Affan Kurniawan yang tragisnya tertabrak kendaraan taktis polisi, bukti dari banyak sumber nunjukin bahwa ada korban mahasiswa lain dan juga penangkapan massal yang ngawur. Kasus Affan sudah dikonfirmasi dan bikin gelombang protes makin besar—tapi bukan cuma itu aja yang bikin suasana makin panas. 
Amnesty dan LSM lain bilang ada mahasiswa yang meninggal di Yogyakarta setelah berkonfrontasi dengan aparat—kampus dan saksi ngomong begitu—sehingga mereka minta investigasi independen karena kematian itu dicurigai terkait tindakan represif. Banyak laporan juga nyebut polisi nembakin gas air mata dan peluru karet di sekitar kampus (Bandung salah satunya), mahasiswa kena luka, dan suasana jadi brutal.

Soal penangkapan, angkanya gede: laporan resmi dan media nasional bilang lebih dari seribu orang ditangkap di Jakarta saja, sementara NGO dan pemantau lapangan nyatat ratusan mahasiswa ditahan di berbagai kota (ada angka-angka seperti ~600 mahasiswa menurut beberapa penghitungan). Bedanya angka ini nunjukin betapa kacau dan cepatnya kejadian, tapi intinya sama—penangkapan massal emang terjadi. 
Organisasi HAM internasional, PBB, dan kelompok lokal juga sudah teriak minta penjelasan dan penyelidikan karena ada laporan orang hilang (KontraS sebut puluhan laporan orang hilang). Semua itu nunjukin: tuduhan soal kekerasan berlebihan dan penangkapan sewenang-wenang itu serius dan perlu diselidiki. 
So, Affan bukan satu-satunya tragedi; ada mahasiswa yang tewas dan banyak penangkapan tanpa kejelasan hukum. 

Tercatat dua nyawa melayang dalam suasana protes membara: Rheza Sendy Pratama, mahasiswa yang tewas di Sleman setelah diduga dipukul aparat hingga kritis dan dinyatakan wafat di rumah sakit sekitar pukul 19.06 WIB pada 30 Agustus di lokasi demo, serta Affan Kurniawan, kurir ojol yang tertabrak kendaraan taktis Brimob di depan DPR Jakarta pada 28 Agustus.
Rangkaian penangkapan massal mewarnai demo akhir Agustus 2025. Polda Metro Jaya ngumumin kalau sekitar 1.240 orang diciduk gara-gara dianggap ikut aksi anarkis dalam rentang 25 sampai 29 Agustus. Yang keangkut bukan cuma anak Jakarta aja, tapi juga ada yang datang dari Jawa Barat dan Banten.
Nggak berhenti di situ, Komnas HAM juga buka data kalau total 1.683 orang sempat ditahan dari gelombang protes tanggal 25, 28, 30, dan 31 Agustus. Mereka ngebut banget minta biar para demonstran ini segera dibebasin dan keluarga mereka dikasih kabar.
Bahkan, di tanggal 25 dan 28 Agustus, catatan KontraS nunjukin ada 351 orang yang ditahan secara sewenang-wenang (196 di antaranya anak-anak di bawah umur!). Setelah itu jumlahnya makin naik, tembus 734 orang, lengkap dengan laporan tindakan brutal kayak tembakan peluru tajam, pemukulan, semprotan water cannon, sampai gas air mata. Hasilnya? 113 orang luka parah dan tiga nyawa melayang.

Kalau ditilik dari laporan kredibel, di era yang lalu, demonstrasi sering ketemu sama Polisi dalam—penangkapan sewenang-wenang, intimidasi fisik, sampai pembatasan ruang sipil dilakukan demi ngeredam aspirasi.
Contohnya pas demo Omnibus Law 2020, hampir enam ribu orang ditangkap dengan dalih ‘antise-mereka kacau’, padahal banyak yang cuma nyampaikan pendapat damai. LSM HAM juga dokumentasi penggunaan kekuatan berlebihan—gas air mata, water cannon, pemukulan, sampai halangan ke kuasa hukum—semuanya bentuk represi terhadap demo damai.
Di Tanah Papua juga jadi sorotan. Aktivis yang ngebela hak politik di sana sempat ditahan, bahkan dianggap makar cuma gara-gara ngomong soal referendum atau kibarin simbol damai.
Belum lagi sensasi terselubung: pemerintah dulu pakai “communication approach” dimana polisi plus intelijen disuruh 'ngajak ngobrol’ civitas kritis. Katanya engagement, tapi kenyataannya jadi ancaman terselubung. Wartawan dan pembela HAM juga kena—kena doxing, akun media sosial di-hack, ribet hukum, yang akhirnya bikin suara kritis makin tertutup. Intinya: demo tetap dibolehkan, tapi rezim sebelumnya rajin kasih batas—dengan cara blak-blakan atau pakai kode rahasia—yang bikin ruang berekspresi makin terjepit, meski sebenarnya itu hak konstitusional.

Warisan dari “rezim sebelumnya”, alias era Jokowi, tuh kayak paket campur-campur gitu, guys. Ada sisi soal jalan tol, LRT, IKN—tapi banyak juga yang masih nyisain PR berat!
Pertama, demokrasi jadi rada tinggal nama aja. KPK yang dulu diharap jadi pahlawan anti korupsi dikecilin kekuatannya. Demokrasi Politik malah terasa makin digenggam elit, bahkan KOK ada nepotisme soal anak-anaknya jadi pejabat. Rasa perjuangan reformasi tuh kaya “dicuri” dikit-dikit dan belum pulih. 
Lalu, soal duit: konon infrastruktur semuanya cakep dan wow, menurut para buzzerp, tapi negara jadi numpuk utang gede, defisit mengembang, dan penerimaan pajak malah nge-drop. Proyek super gede kayak IKN dan kereta cepat masih makan bujet dan bikin susah penerusnya.
Ngomong soal IKN, proyek IKN itu bukan cuma soal pindah ibu kota aja. Soal konsultasi warga lokal, apalagi masyarakat adat? Minim banget! Uangnya banyak, rasa keadilan belum jalan.
Masih ada juga yang belum diselesaikan: hak-hak masyarakat adat. Undang-undang soal pengakuan tanah adat masih belum dikabulin. Program kehutanan yang konon ramah ternyata banyak disorot karena justru nanggung dan malah nunjukin tanah adat yang malah digeser. Ditambah eksploitasi nikel, sawit, dll, bikin kerusakan lingkungan dan konflik lahan tambah parah.
Terakhir, soal korupsi—yaa… nggak kelar-kelar. Banyak menteri kena kasus, reputasi malah makin anjlok. Rasanya korupsi malah tambah nyaman beranak pinak.
Intinya: era Jokowi ninggalin infrastruktur yang bikin PR berat—hutang gede, demokrasi tipis-tipis, konflik lahan, dan korupsi yang tetep nyangkut di rakyat. Hingga kini, semua itu masih jadi tantangan buat rezim sekarang.

Lantas, benarkah rakyat Indonesia menuntut Presiden Prabowo mundur? Pertanyaan ini kerap menggema di ruang publik sejak munculnya gelombang protes pada bulan Agustus 2025. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kenyataannya gak sesederhana itu. Apa yang tampak di jalanan sebagai suara keras rakyat sesungguhnya lebih banyak mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan, ketimpangan ekonomi, serta warisan yang ditinggalkan rezim sebelumnya yang belum tuntas dibereskan. Sebagian masyarakat marah, sebagian kecewa, dan sebagian lainnya hanya ikut arus demonstrasi tanpa arah politik yang jelas. Tetapi untuk sampai pada tuntutan agar Presiden Prabowo benar-benar mundur, itu bukanlah kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat tahu bahwa jika Presiden Prabowo turun di tengah jalan, konsekuensinya bisa jauh lebih berat dari sekadar krisis politik sesaat. Negara bisa kehilangan stabilitas, konflik elite akan semakin liar, dan perebutan kuasa bisa berujung pada kehancuran ekonomi yang lebih dalam. Dalam konteks inilah, banyak masyarakat yang memilih bertahan, meski dengan keluhan dan kritik, ketimbang harus menanggung risiko pergantian presiden secara prematur. Bagi rakyat kecil, yang sehari-hari berjuang dengan harga bahan pokok, ongkos hidup, dan pekerjaan yang tidak menentu, kehilangan pegangan politik justru menakutkan. Mereka mungkin marah, tetapi tidak bodoh: mereka faham bahwa menurunkan presiden bukan obat mujarab, melainkan bisa membuka pintu bencana yang lebih besar. Dengan demikian, demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi lebih tepat disebut sebagai tekanan sosial dan ekspresi keresahan, bukan seruan kolektif untuk penggulingan. Rakyat masih memandang kepemimpinan Presiden Prabowo sebagai pagar terakhir yang menjaga agar sistem negara tidak runtuh. Maka, meski suaranya lantang di jalanan, batin mereka menyimpan kesadaran: jangan sampai gejolak berubah menjadi kehancuran.
Lagian, para kritikus langsung mempertanyakan pertemuan Wapres Gibran sama orang yang nganggep diri sebagai driver ojol di Istana pada Minggu, 31 Agustus 2025. Mereka nyebut momen itu cuma “pencitraan politik” alias settingan belaka. Netizen langsung nanggepin dengan canda pedas: “Bajunya kinclong, sepatunya Air Jordan itu buat ojol beneran apa ONG?” Gila banget level glowing-nya, bikin curiga ini bukan driver asli yang lagi stres ngejar order doang. Tambah gaduh waktu Ketua Asosiasi Ojol yang resmi bilang kalau yang datang itu bukan anggota mereka, dan ia juga nggak kenal siapanya. Ia nyebut langkah ini “kecerobohan” dari Wapres—jadi makin kentara kalau ini bukan pertemuan yang tulus, tapi lebih mirip adegan sinetron pencitraan. Belum lagi iparnya yang di Sumatera Utara bagi-bagi sembako ke driver ojol.

Di tengah gelombang panas Agustus 2025, saat rakyat Indonesia turun ke jalan membawa spanduk keresahan, sikap Presiden Prabowo justru memperlihatkan sisi lain dari demokrasi yang layak dapat apresiasi. Beliau tak memilih jalan kekerasan membabi buta, apalagi menutup rapat ruang diskusi. Sebaliknya, beliau menunjukkan bahwa suara rakyat bukan untuk dibungkam, melainkan untuk didengar. Bukan berarti beliau lemah, tapi justru itu tanda bahwa demokrasi sehat kalau kritik dijawab, bukan dibasmi. Di tengah hiruk pikuk yang bisa saja berubah jadi represi, beliau membiarkan protes tetep hidup sebagai wujud nyata bahwa demokrasi Indonesia bukan cuma berhenti di kotak suara, tapi juga berdenyut di jalanan tempat rakyat bersuara.
Sikapnya yang lebih menahan diri ini menepis ketakutan banyak pihak, bahwa negara bakal jatuh lagi ke dalam reflek otoriter. Dengan menahan diri dari jalur represif, Presiden Prabowo sebenarnya memberi sinyal: Indonesia masih berkomitmen pada demokrasi meski suasana penuh gejolak. Meski kritik terhadap lambatnya perbaikan tetep ada, paling tidak bisa diakui bahwa dengan tak membungkam suara rakyat, ia ikut menjaga keseimbangan rapuh demokrasi negeri ini.

Apakah ketimpangan ekonomi sesungguhnya jadi salah satu pemicu utama gelombang protes Agustus 2025? Yup, jelas banget bahwa ketimpangan ekonomi jadi salah satu faktor besar yang bikin rakyat meledak marah di Agustus 2025. Banyak orang kesel berat pas tahu kalau anggota DPR bisa dapat tunjangan hunian Rp 50 juta per bulan—sekitar 10 kali UMP Jakarta—padahal mereka sendiri ngerasa hidup makin susah: harga makin mahal, gaji tetap, pekerjaan hilang dimana-mana.
Ekonom juga bilang, bukan protes cuma buat ngeluh—tapi emang karena ekonomi bener-bener bikin pusing. Ribuan pekerja manufaktur kena PHK, inflasi nyerang tabungan, sementara program populis gak kerasa manfaatnya. Komentar sosiolog dan pengamat sosial juga bilang bahwa ketimpangan itu makin melebar—dan rasa ketidakadilan itu yang bikin rakyat sampe turun ke jalan.
Jadi, bukan cuma bonus biaya hidup yang bikin marah, tapi juga bagaimana kebijakan dianggap abai sama rakyat biasa—ini yang bikin protes Agustus 2025 punya akar yang kuat dan meledak banget.

Para pengamat bilang, Presiden Prabowo kayaknya agak telat dan terlalu kalem dalam nanggepin suara rakyat, apalagi setelah ribut-ribut Agustus 2025. Gaya diam-diamnya bikin kesan lebih ngincer stabilitas dan jaga hubungan sama elite ketimbang turun langsung merespons keresahan warga biasa. Buat banyak orang, ini mirip jurus “low profile in crisis” yang bisa bikin aman dari salah langkah, tapi di sisi lain bikin kesannya cuek dan lamban. Publik juga ngelihat, bukannya nyapa rakyat yang teriak di jalanan, beliau malah lebih sibuk ngerapetin barisan politik dan aparat. Tapi, ada juga yang ngebelain: katanya Prabowo bukan dingin, cuma lagi main strategi panjang biar keadaan bisa ditata lebih rapi. Jadi intinya, tergantung angle: mau ngelihat beliau kurang cepat responsnya atau justru karena hati-hati dan taktis

[Bagian 2]