[Bagian 12]Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, lagi siap-siap ngegas Rp200 triliun duit negara yang selama ini cuma rebahan di Bank Indonesia. Duit segunung itu bakal dikucurin ke enam bank pelat merah alias Himbara, biar ekonomi nggak cuma ngopi-ngopi doang tapi mulai gerak.Dengan likuiditas yang dilonggarin, bank punya ruang lebih buat ngasih kredit ke rakyat dan pelaku usaha, terutama sektor yang padat karya—kayak perumahan murah, proyek bangunan, dan UMKM di kampung. Harapannya, duit yang ngalir bisa nyalain mesin ekonomi: orang dapet kerja, bahan baku kebeli, usaha bisa nambah kapasitas, bukan cuma buat gaya-gayaan.Kalau suntikan ini tepat sasaran dan dikelola dengan rapi, bisa nambah jumlah uang beredar, bikin bunga dana turun, dan pertumbuhan ekonomi ngebut kayak motor drag. Tapi ya, harus jelas arahnya dan jangan asal-asalan.Pemerintah naruh duitnya di bank kayak BRI, Mandiri, BTN, BNI, plus dua bank syariah kayak BSI, biar duitnya diputer buat kredit, bukan cuma buat beli surat utang negara yang ujung-ujungnya cuma numpang lewat.Tapi jangan lupa, ada risiko juga. Kalau duit segede itu cuma numplek di segelintir bank, apalagi kalau duitnya pendek tapi kreditnya panjang, bisa bikin sistem keuangan goyang kayak jembatan gantung.Kuncinya ada di sektor riil—kalau pelaku usaha lagi males ngutang atau ekonomi lagi ngambek, ya dampaknya ke pertumbuhan bakal minimal. Jadi, ini bukan jurus sakti, tapi bisa jadi booster kalau eksekusinya cakep.Intinya, Menkeu lagi nyoba bikin duit negara yang selama ini ngendon di BI jadi lebih produktif. Biar bisa nyalurin kredit ke sektor riil, nambah lapangan kerja, dan bikin ekonomi nggak cuma hidup segan mati tak mau. Asal tata kelolanya nggak zonk, ini bisa jadi langkah yang nendang.Yang paling cuan dari guyuran Rp200 triliun ke bank-bank itu ya sektor yang banyak nyerap tenaga kerja—alias sektor padat karya dan sektor ekonomi nyata, bukan yang cuma main angka di spreadsheet.Pertama-tama, sektor konstruksi dan perumahan murah bakal dapet angin segar. Mereka butuh modal buat bangun proyek baru dan ngegedein usaha. Terus, industri tekstil dan produk tekstil juga ikut ngerasain berkah, soalnya mereka hidup dari kredit bank buat ekspansi dan produksi. Tanpa suntikan dana, pabrik bisa kayak sinetron episode terakhir—gantung.Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga nggak ketinggalan. Kredit ke mereka bisa bantu ningkatin produktivitas dan buka lapangan kerja, terutama di daerah. Perdagangan dan transportasi pun dapet efek domino, karena mereka jadi tulang punggung rantai pasok dan distribusi. Dan jangan lupa, pariwisata plus ekonomi kreatif—dari tukang desain sampai tukang nyanyi di kafe—punya potensi nyerap tenaga kerja yang nggak main-main.Kalau kredit ini beneran nyampe ke tangan yang butuh, bisa bikin lapangan kerja baru, dompet rakyat makin tebal, dan konsumsi rumah tangga naik. Tapi ya, semua itu butuh dukungan kebijakan yang bikin usaha mudah jalan, plus pelaku usaha yang emang niat ngutang buat ekspansi. Kalau enggak, duitnya cuma muter-muter di bank kayak drama Korea yang gak kelar-kelar.Kalau ngomongin sektor yang paling butuh suntikan kredit di Indonesia, jawabannya jelas: industri manufaktur. Ini bukan sekadar pabrik-pabrik biasa, tapi yang nyerap tenaga kerja kayak spons nyerap air. Mulai dari makanan dan minuman, tekstil dan garmen, baju jadi, sepatu dan barang kulit, furnitur, sampai mainan anak—semuanya masuk daftar wajib disokong.Bank gede kayak BNI, Mandiri, dan BCA udah jor-joran ngucurin kredit ke sektor ini. Angkanya? Ratusan triliun rupiah, bukan recehan. Contohnya, Bank Mandiri aja nyatat pertumbuhan kredit ke sektor pengolahan sebesar 18,6% dibanding tahun lalu, nilainya nyaris Rp178 triliun. Itu bukan angka buat gaya-gayaan, tapi bukti kalau sektor ini lagi digarap serius.Biar makin ngebut, pemerintah juga nyiapin jurus tambahan: Program Kredit Industri Padat Karya alias KIPK. Pinjamannya mulai dari Rp500 juta sampai Rp10 miliar, bunganya disubsidi 5%. Tujuannya? Biar pabrik-pabrik ini bisa nambah produksi, buka lowongan kerja, dan nggak kalah saing sama produk luar negeri.Jadi, sektor padat karya yang paling haus kredit itu ya manufaktur—dari makanan sampai furnitur. Bank udah masuk, pemerintah udah turun tangan, tinggal pelaku usaha yang harus gaspol. Kalau ini berhasil, ekonomi bisa naik kelas, bukan cuma naik daun.Kebijakan Menkeu baru yang mau ngegas Rp200 triliun duit negara ke bank-bank punya dua sisi: ada yang tepuk tangan, ada yang garuk-garuk kepala.Yang pro bilang, ini langkah cepet buat ngeguyur likuiditas ke perbankan. Bank jadi punya ruang lebih buat ngasih kredit ke sektor riil—bisa nyalain proyek baru, nambah usaha, dan buka lapangan kerja yang nggak cuma gimmick. Kalau likuiditas naik, bunga pinjaman bisa turun, jadi UMKM dan sektor padat karya bisa ngutang tanpa harus jual motor dulu.Skema ini juga supaya bank buat muterin duit ke kredit produktif, bukan cuma beli surat utang negara yang ujung-ujungnya cuma numpang lewat. Banyak yang anggap ini langkah out-of-the-box dari pemerintah buat ngegas ekonomi di tengah dunia yang lagi masuk angin.Tapi yang kontra nggak tinggal diam. Mereka bilang, kalau duit segede itu cuma numplek di segelintir bank, bisa bikin sistem keuangan goyang—apalagi kalau kreditnya panjang tapi dananya pendek. Kalau pelaku usaha lagi males ngutang karena ekonomi lesu, ya likuiditas tambahan ini cuma bikin uang beredar makin banyak, dan ujung-ujungnya bisa nyulut inflasi.Ada juga yang was-was rupiah bisa melemah kalau bank asal pakai duit tanpa skema yang jelas, apalagi kalau inflasi mulai naik. Keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung sama aturan teknis dan tata kelola yang ketat. Kalau nggak dijaga, bisa-bisa duitnya malah nyasar ke tempat yang nggak produktif.Dan yang paling sensitif: ada kekhawatiran kalau skema ini bikin Bank Indonesia jadi kurang independen. Kalau dana dipakai buat langsung biayai proyek pemerintah, bisa bikin BI kayak anak magang yang disuruh-suruh.Jadi, meskipun kebijakan ini punya potensi buat ngegas ekonomi dan nyiptain kerjaan, tetep kudu hati-hati. Transparansi dan eksekusi harus rapi, jangan sampai niat baik malah jadi bumerang inflasi dan bikin sistem keuangan masuk angin jangka menengah.Soal program Makan Bergizi Gratis alias MBG, banyak hasil evaluasi nunjukin kalau program ini belum sepenuhnya nendang di hati murid—dan butuh revisi biar nggak cuma jadi proyek nasi bungkus dari langit.Masalah pertama: banyak anak yang ogah makan karena menunya nggak nyambung sama lidah mereka. Jadi, perlu banget variasi menu yang lebih cocok sama selera anak-anak dan budaya makan lokal. Jangan sampai tiap hari disuguhi lauk yang bikin mereka lebih milih jajan cilok di luar pagar sekolah.Distribusi juga jadi sorotan. Ada laporan makanan basi, yang bikin program ini kayak sinetron gagal tayang. Rantai pasok dan standar kebersihan harus dibenerin, biar nggak cuma ngasih makan tapi juga ngasih rasa aman.Ahli gizi wajib masuk dapur perencanaan. Menu harus sesuai standar gizi dan kebutuhan kalori anak sekolah, bukan asal kenyang. Dan jangan lupa, edukasi gizi ke murid dan masyarakat juga harus digas. Biar mereka nggak cuma makan, tapi ngerti kenapa makan sehat itu penting—nggak kalah penting dari nilai matematika.Keterlibatan warga, sekolah, dan pelaku usaha lokal itu kunci. Kalau cuma top-down dari kementerian, ya wajar kalau muridnya bingung dan sekolahnya ogah-ogahan. Bahkan ada sekolah yang bilang, “Mending duit MBG dipakai buat bangun toilet daripada ngasih makanan yang nggak dimakan.”Pemerintah dan lembaga terkait masih terus survei dan mantau, biar datanya bisa dipakai buat mutusin langkah selanjutnya. Secara keseluruhan, MBG punya potensi gede buat ningkatin gizi dan kesehatan anak, serta bikin pendidikan makin berkelanjutan. Tapi ya, harus dibenerin dulu dari menu, distribusi, partisipasi, sampai edukasinya.Intinya, evaluasi itu bukan nyinyir, tapi langkah penting biar MBG nggak cuma jadi program makan-makan, tapi jadi gerakan makan sehat yang beneran disukai dan dibutuhkan murid.Evaluasi terkini soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) nunjukin kalau banyak murid dan orangtua mulai angkat tangan. Bukan karena mereka anti makan gratis, tapi karena menunya bikin mikir dua kali sebelum nyuap.Masalah utama? Kualitas dan keamanan makanan yang bikin was-was. Ada kasus keracunan, dan standar keamanan kayak HACCP masih kayak formalitas di atas kertas. Kalau makan malah bikin masuk IGD, ya jelas orang tua langsung pasang larangan.Menu MBG juga banyak yang ultra-proses—gula, garam, lemaknya ngebut kayak sinetron prime time. Bukannya sehat, malah bikin orang tua mikir ini program “Makan Gagal Gizi”. Anak-anak dilarang makan, bukan karena nggak lapar, tapi karena takut efek jangka panjang.Selera anak-anak juga nggak nyambung sama menu yang disajiin. Banyak yang bilang rasanya kayak makanan alien—asing dan nggak familiar. Katering pun kesulitan nyesuaiin menu satu per satu, jadinya semua dapat template rasa yang nggak bikin semangat makan.Pengawasan program juga dinilai amburadul. Nggak ada jalur pengaduan yang aman dan responsif. Malah ada cerita soal tekanan ke pelapor dan keterlibatan militer yang bikin suasana makin tegang. Kritik jadi barang mahal, padahal niatnya cuma mau makan enak dan sehat.Beberapa makanan yang dikasih malah mentah atau cuma snack kemasan. Bukannya nambah gizi, malah kayak bekal darurat buat camping. Jauh dari cita-cita makan bergizi.Kesimpulannya, penolakan MBG bukan sekadar soal rasa, tapi soal kepercayaan. Dari keamanan pangan, kualitas gizi, variasi menu, sampai tata kelola—semuanya butuh dibenerin. Kalau nggak, program ini cuma jadi etalase kebijakan yang nggak dimakan.Evaluasi kenapa banyak yang nggak sreg sama menu Makan Bergizi Gratis (MBG) ini nemuin beberapa alasan utama yang bikin murid sama ortu pada sebel dan nolak. Yang paling ngaruh itu kualitas dan keamanan makanannya yang nggak oke, bahkan sampai sering kejadian keracunan gara-gara makan yang dibagiin. Masalahnya karena standar keamanan makanan kayak HACCP di program MBG ini belum jalan maksimal. Selain itu, banyak menu MBG yang isinya makanan super olahan yang penuh gula, garam, dan lemak, yang gak sesuai sama aturan gizi. Jadi, makanan ini dianggap gak sehat dan bisa bikin anak-anak sakit dalam jangka panjang, makanya ortu pada larang anaknya makan MBG. Menu yang disediain juga kurang variatif dan gak pas sama selera anak, jadi banyak murid yang nggak suka atau gak biasa sama rasanya. Hal ini juga karena kateringnya susah banget buat ngatur menu satu-satu sesuai selera murid yang banyak.Terus, pengawasan dan tatakelola program juga kurang oke, kayak gak ada mekanisme pengaduan yang aman dan gampang diakses buat murid dan ortu, malah ada kabar militer ikut campur dan tekan orang yang berani kritik program ini. Beberapa makanan yang dibagi juga ada yang mentah atau snack kemasan yang dianggap kurang sehat sama gak sesuai tujuan perbaikan gizi. Intinya, penolakan menu MBG ini banyak gara-gara masalah keamanan makanan, kualitas gizi, kurang variasi menu, dan tata kelola yang amburadul, makanya program ini harus dievaluasi dan dibenerin total supaya bisa diterima dan bermanfaat buat murid-murid.Alternatif program untuk ngelarin dana Makan Bergizi Gratis (MBG) tuh ada beberapa, bro. Bisa aja sebagian dana itu dialihin ke program lain yang berdampak lebih greget buat masyarakat, kayak program perlindungan sosial, pembangunan fasilitas pendidikan, atau program kesehatan yang lebih pas sasaran. Bahkan ada beberapa sekolah yang ngajukin usulan agar dana MBG dipake buat bangun sarana belajar yang lebih kece. Trus, opsi lain juga ada yang namanya blended finance, gabungin dana negara sama sumber lain kayak CSR dari BUMN dan swasta, atau naikkin pendapatan dari pajak progresif dan windfall tax supaya program gizi anak tetep jalan tanpa bebani anggaran negara berat-berat.Selain itu, ngurangin frekuensi bagi MBG-nya, misalnya dari lima hari seminggu jadi tiga kali aja, supaya hemat duit dan sesuain sama infrastruktur yang belum maksimal. Ada juga opsi buat ganti MBG sama bantuan tunai bersyarat, jadi keluarga penerima bisa milih sendiri apa yang terbaik buat anak-anaknya, tapi tujuan perbaikan gizi dan kesehatan tetep dipantau.Maksimalkan potensi pangan lokal juga penting banget buat bikin biaya lebih efisien sekaligus bikin program lebih lestari dan diterima. Program ini juga bisa disinergiin sama program kementerian dan pemerintah daerah lewat digitalisasi monitoring biar distribusi makin tepat sasaran dan hasilnya makin mantep.Pokoknya, dana MBG tuh bisa dialihin ke program lain yang sejalan sama tujuan ningkatin gizi dan pendidikan anak, tinggal pakai strategi pembiayaan alternatif plus efisiensi pelaksanaan. Tapi, pengalihan ini mesti didukung evaluasi mendalam dan partisipasi warga supaya manfaat program tetap terjaga.Soal menu MBG, banyak murid yang gak suka, makanya program ini perlu dievaluasi total. Evaluasi nunjukin kalo menu butuh diperbanyak variasinya dan disesuaikan sama selera anak-anak, kualitas dan keamanan makanannya harus ditingkatin, plus libatin ahli gizi dan masyarakat supaya programnya pas sasaran dan manfaatnya maksimal. Kalau udah dibenerin gitu, MBG bisa lebih diterima dan efektif.Penyebab murid dan ortu nolak menu MBG itu karena kualitas makanannya gak sesuai standar gizi dan keamanan, ada kasus keracunan, menunya kurang variasi dan gak cocok sama selera anak, juga tata kelola program yang kurang oke, pengawasan lemah, dan gak ada mekanisme pengaduan yang efektif. Makanya banyak yang nolak.Peran pemasok dan katering MBG juga krusial. Pemasok pastiin bahan bakunya berkualitas dan bergizi, sementara katering yang olah dan distribusi makanannya kudu tetep jaga standar kebersihan dan gizi. Semua ini harus dikelola profesional dan didukung pembiayaan serta pelatihan supaya programnya stabil dan kualitasnya oke, sekaligus bantu pemberdayaan UMKM lokal.Alternatif pengalihan dana MBG ada banyak mulai dari fokus ke program perlindungan sosial atau bangun sarana pendidikan yang lebih urgent, pake pembiayaan campuran dari APBN dan sumber lain kayak CSR dan pajak progresif, ngurangin frekuensi pemberian MBG, sampe ganti pakai bantuan tunai bersyarat. Sinergi antar pemerintah daerah juga bisa jadi solusi tambah dana supaya program tetep jalan terus dan tepat sasaran.Sekarang balik ke topik Komunisme.
Kumpulan tulisan klasik Mao Zedong tentang politik dan filosofi yang sebelumnya udah diterbitkan dalam Selected Works of Mao Zedong oleh beberapa penerbit, biar lebih kekinian, tulisan-tulisan tersebut disatukan lagi dalam satu edisi yang dibuka dengan pengantar gokil dari filsuf Slovenia yang kontroversial, Slavoj Žižek, formatnya lebih mirip proyek editorial ketimbang buku baru karangan Mao, diterbitkan oleh Verso tahun 2017, bertajuk On Practice and Contradiction.Bagian awalnya adalah esai panjang Žižek, dimana ia menempatkan Mao bukan sekadar penerus Marx dan Lenin, tapi sebagai sosok yang mengutak-atik Marxisme sampai level ekstrim. Mao dianggap bukan tipe yang doyan kompromi, melainkan yang percaya hidup itu selalu penuh pertentangan dan konflik, bahkan sampai skala kosmik.Bab pertama, A Single Spark Can Start a Prairie Fire, ngomongin betapa revolusi bisa meledak dari tempat kecil dan terpencil, bukan cuma dari pabrik-pabrik gede. Bab kedua, Oppose Book Worship, isinya nyerang orang-orang yang terlalu nyembah buku tanpa turun langsung ke lapangan—kata Mao, kebenaran lahir dari praktik, bukan dari ngafalin teori.Bab tiga dan empat—On Practice dan On Contradiction—adalah karya filosofis Mao yang paling ngetop. Di situ Mao menekankan bahwa ilmu hendaknya selalu diuji lewat tindakan, dan bahwa kontradiksi alias pertentangan itu adalah mesin sejarah. Bukan semua kontradiksi sama, kata Mao, tapi ada yang jadi kunci utama di setiap situasi, dan itulah yang harus dihadapi duluan.Lanjut ke Combat Liberalism, Mao nyindir habis-habisan sikap setengah hati dan kompromi. Lalu di The Chinese People Cannot Be Cowed by the Atom Bomb dan US Imperialism Is a Paper Tiger, Mao pasang gaya nekat, bilang bom atom Amerika dan imperialisme itu cuma macan kertas—seram di luar, tapi rapuh di dalam.Bab-bab berikutnya masuk ke kritiknya terhadap Stalin, terutama di Concerning Stalin’s Economic Problems of Socialism in the USSR dan Critique of Stalin’s Economic Problems of Socialism in the USSR. Mao di sini ngegas ke teori ekonomi Soviet dan ngasih penekanan baru tentang pentingnya petani dan faktor politik. Dalam On the Correct Handling of Contradictions among the People, Mao menjelaskan cara membedakan kontradiksi yang sifatnya musuhan banget dengan yang bisa diselesaikan secara damai.Bab-bab terakhir seperti Where Do Correct Ideas Come From? dan Talk on Questions of Philosophy balik lagi ke tema bahwa ide nggak boleh lahir dari lamunan, tapi harus dari pengalaman nyata rakyat. Semua bab ini, kalau dijahit, punya benang merah yang sama: jangan pernah nyaman dengan dogma, karena hidup dan sejarah digerakkan oleh kontradiksi yang terus berubah.Secara keseluruhan, buku ini bukan karya teoritis mulus dari awal sampai akhir, tapi ngumpulan tulisan yang lahir dari momen-momen sejarah tertentu, lalu disatukan dengan pengantar Žižek yang bikin Mao terasa relevan lagi buat debat politik zaman sekarang.Kalau menurut buku On Practice and Contradiction, Mao punya cara pandang yang unik soal kontradiksi, tindakan, dan mobilisasi massa. Buat Mao, kontradiksi itu bukan teori ngawang-ngawang, tapi denyut nadi dari kehidupan, masyarakat, sampai politik. Katanya, semua hal—dari alam sampai sejarah—bergerak karena ada pertentangan. Tapi nggak semua pertentangan sama pentingnya: selalu ada kontradiksi utama yang jadi penentu arah perjuangan, dan itu yang harus ditangani duluan.Dalam On Practice, Mao bilang teori dan aksi itu kayak lingkaran yang nggak pernah putus. Pengetahuan lahir dari pengalaman nyata, dan pengalaman balik lagi menguji teori. Jadi, jangan kebanyakan nyembah buku—pemahaman sejati muncul kalau ide ditempa dalam perjuangan nyata, lalu diuji terus lewat praktik. Buat Mao, bertindak itu bukan sekadar ngejalanin teori, tapi maju mundur antara belajar dan bertindak, terus-menerus.Soal mobilisasi massa, Mao percaya kekuatan revolusi itu bukan segelintir elit pinter, tapi rakyat luas—terutama kaum tani. Menurutnya, ide-ide yang benar muncul dari pengalaman rakyat sendiri. Peran pemimpin bukan nyuruh-nyuruh, tapi ngumpulin, merangkum, dan mengarahkan pengalaman rakyat jadi gerakan sadar. Prinsipnya: “dari massa, kembali ke massa”—dengerin rakyat, olah jadi kebijakan, lalu balikin lagi ke rakyat buat dites di lapangan.Di Combat Liberalism, Mao ngingetin bahaya sikap setengah hati dan manja, karena mobilisasi butuh disiplin dan ketegasan, bukan manuver buat kenyamanan pribadi. Lalu di On the Correct Handling of Contradictions among the People, doski bedain kontradiksi dengan musuh—yang harus dihadapi keras—dan kontradiksi di antara rakyat sendiri, yang bisa diselesaikan lewat debat, diskusi, dan cara-cara demokratis. Intinya, bagi Mao, revolusi nggak hidup dari menutup pertentangan, tapi dari ngerti, mengarahkan, dan memanfaatkannya biar api perjuangan nggak padam.Mari kita lihat gimana Mao bener-bener ngejalanin teorinya soal kontradiksi, aksi, dan mobilisasi massa, khususnya di dua momen gede: Perang Melawan Jepang dan Revolusi Kebudayaan.Pas perang lawan Jepang di tahun 1930-1940an, Mao ngegas bahwa kontradiksi utama udah geser, bukan lagi pertarungan kelas di dalam negeri, tapi pertarungan nasional antara rakyat China melawan penjajah Jepang. Dalam tulisannya On the Correct Handling of Contradictions among the People, Mao bilang, kalau negara udah mau digilas, semua ribut-ribut kelas harus sementara ditaruh di belakang. Bukan berarti perjuangan kelas hilang, tapi harus diatur ulang taktis: pertama, satukan semua kekuatan—buruh, tani, borjuis kecil, bahkan sebagian borjuis nasional—buat lawan Jepang. Mobilisasi massa di era ini digeber lewat semangat patriotik, perang gerilya, dan keyakinan bahwa kemenangan bukan datang dari tentara elit, tapi dari jutaan petani yang tiap aksinya jadi percikan api yang nyulut padang rumput perlawanan.Beda cerita pas Revolusi Kebudayaan di akhir 1960an. Di sini, Mao pakai logika kontradiksi dengan cara yang jauh lebih ekstrem dan bikin rusak. Doi bilang, bahkan di masyarakat sosialis, bibit borjuis baru terus muncul di dalam Partai Komunis dan lembaga negara, ngancam bawa balik kapitalisme. Jadi, kontradiksi utama kali ini bukan lagi musuh luar, tapi musuh dalam—antara rakyat revolusioner dan “kapitalis jalur baru” di tubuh partai. Slogannya “gempur markas besar” bikin mahasiswa dan pekerja ngegas melawan pemimpin mereka sendiri, lahirlah gerakan Red Guard yang bikin negeri jungkir balik.Di dua kasus tersebut, Mao pakai metode mass line: cari tahu dulu kontradiksi utama, terjemahin biar rakyat gampang nyambung, lalu lepasin massa buat bergerak. Tapi hasilnya beda banget. Lawan Jepang, strategi ini bikin rakyat bersatu dan tangguh, sekaligus nambah legitimasi Partai Komunis. Sedangkan pas Revolusi Kebudayaan, strategi yang sama malah jadi resep chaos—rakyat diadu sesama rakyat, negara penuh kekerasan, semua atas nama revolusi tanpa henti.Waktu Mao mendirikan Republik Rakyat China tahun 1949, itu bukan cuma ganti bendera doang, tapi juga bersih-bersih ideologi. Yang pertama disapu habis adalah feodalisme—sistem tuan tanah, hierarki klan, sama tradisi Konfusianisme yang bikin petani cuma jadi budak taat. Lalu doi gebuk imperialisme, alias campur tangan asing yang sejak lama ngeruk pelabuhan, dagang, sampai industri China. Nggak kalah penting, Mao juga ngegas ngelawan liberalisme borjuis, yang dia anggap jadi ciri rezim republik lemah yang gagal menyatukan negeri.Sebagai gantinya, Mao nanemin ideologi baru: sosialisme ala Marxis-Leninis, tapi dimodif dengan bumbu khas Mao. Kalau di Eropa buruh kota jadi motor revolusi, Mao bilang justru petani desa yang jadi mesin utama. Doi juga ngangkat kontradiksi sebagai kunci ngerti sejarah dan politik, plus metode mass line—partai harus nyerap suara rakyat, lalu balikin lagi ke rakyat lewat kebijakan nyata.Di level budaya, Mao berusaha ngubur ajaran lama kayak Konfusianisme dan ganti dengan kesadaran sosialis: hidup kolektif, setara, dan loyal ke revolusi. Nasionalisme juga ditanam kuat: RRC bukan cuma negara sosialis, tapi juga negara merdeka yang udah bebas dari penghinaan kolonial. Kombinasi sosialisme + patriotisme anti-imperialis inilah yang jadi fondasi ideologi baru: buang feodalisme dan kolonialisme ke tong sampah sejarah, lalu hidup dalam semangat revolusi tanpa henti, perjuangan kelas, dan partisipasi massa.Langkah pertama yang paling heboh adalah reformasi tanah. Mao nyikat habis kelas tuan tanah: jutaan hektar tanah disita lalu dibagiin ke petani miskin. Buat Mao, ini bukan cuma soal ekonomi, tapi simbol bahwa feodalisme resmi tamat, dan rakyat jelata jadi tulang punggung revolusi. Reformasi ini sering disertai dengan “sesi kritik” di mana tuan tanah dipermalukan, diadili massa, bahkan dieksekusi—intinya perjuangan kelas bener-bener ditanemin ke kehidupan sehari-hari.Setelah itu ada kampanye pemberantasan kontra-revolusioner, nyasar ke mantan pejabat Nasionalis, intelektual liberal, sampai siapa aja yang dicurigai nggak loyal. Lalu muncul juga Gerakan Tiga Anti dan Lima Anti yang ngegas lawan korupsi, pemborosan, penghindaran pajak, dan kelakuan ala kapitalis. Semua ini bukan sekadar razia hukum, tapi gerakan mobilisasi massa buat ngeganti pola pikir dan maksa orang buktiin loyalitas ke sosialisme.Di bidang ekonomi, Mao ngepush kolektivisasi. Setelah tanah dibagi, petani didorong—lama-lama dipaksa—gabung ke koperasi lalu komune rakyat. Buat Mao, ini syarat wajib kalau mau bangun sosialisme, sekaligus cara negara nyedot surplus hasil tani buat ngegas industrialisasi.Di level budaya, Mao nyerang habis-habisan hierarki Konfusianisme dan ganti dengan nilai-nilai sosialis baru. Pendidikan dirombak biar isinya Marxisme dan sejarah revolusi, seni-budaya dijadikan alat propaganda. Bahkan muncul gerakan kayak Anti-Konfusius, biar cara pikir lama dicabut sampai ke akarnya, lalu diganti dengan kesadaran perjuangan, kesetaraan, dan loyalitas ke Partai.Nggak lupa, Mao juga ngasih dosis kuat nasionalisme dan kemandirian. Cina diputus dari Barat, awalnya mesra dengan Uni Soviet, lalu klaim ke dunia: “Cina sudah berdiri tegak” setelah seratus tahun dipermalukan. Slogannya: “condong ke satu sisi”—alias sosialis di dalam negeri, anti-imperialis di luar negeri.Jadi, paket lengkap kebijakan Mao—reformasi tanah, pembersihan musuh, kolektivisasi, kampanye budaya, dan nasionalisme—semuanya satu benang merah: hapus feodalisme, imperialisme, sama borjuisme, lalu tanam sosialisme, perjuangan kelas, dan mobilisasi massa tanpa henti.Sekarang kita lihat dampak jangka panjang dari ideologi dan kebijakan Mao—hasilnya ada yang bikin China berdiri tegak, tapi ada juga yang bikin rakyatnya babak belur.Di sisi positif, kampanye awal Mao bikin China yang tadinya tercerai-berai dan setengah jajahan asing berubah jadi negara berdaulat penuh. Reformasi agraria nyikat habis kekuasaan tuan tanah yang udah berabad-abad, kasih lahan ke jutaan petani miskin, bikin mereka merasa berharga. Fokus Mao ke kemandirian bikin Cina lepas dari cengkeraman Barat dan akhirnya bisa pasang wibawa di dunia internasional. Walau industrinya awalnya amburadul, fondasinya justru jadi modal buat kebangkitan ekonomi China di kemudian hari. Selain itu, kampanye massal bikin rakyat desa yang dulu buta huruf mulai bisa baca-tulis, dan kesehatan dasar akhirnya nyampe ke kampung-kampung.Tapi harga yang dibayar luar biasa mahal. Puncaknya pas Lompatan Jauh ke Depan (1958–1962). Mao pengen China nyalip Barat dengan tenaga rakyat semata: desa-desa disulap jadi komune, rakyat dipaksa bikin tungku baja mini, dan hasil panen dilaporkan ngawur demi penuhi kuota. Akhirnya malah bencana: kelaparan besar melanda, dan korban jiwa diperkirakan antara dua puluh sampai empat puluh juta orang. Ini bukti betapa keyakinan Mao pada semangat massa bisa ambruk kalau nabrak realitas.Lanjut ke Revolusi Kebudayaan (1966–1976), kekacauan tambah jadi. Mao ngajak mahasiswa dan buruh ngejar habis “kapitalis jalur baru” dan “ide lama.” Hasilnya: intelektual diburu, pejabat partai dihabisi, keluarga porak-poranda. Sekolah-sekolah mandek, warisan budaya dihancurin, dan jutaan orang hidupnya hancur. Mao maunya nyelametin semangat revolusi, tapi malah ninggalin luka sosial yang panjang, bikin ekonomi lemah dan satu generasi trauma.Tetep saja, jejak Mao nggak bisa dipisahin dari China modern. Gara-gara doi, China bisa berdiri mandiri, sehingga penerusnya kayak Deng Xiaoping bisa reformasi ekonomi tanpa takut dikendalikan asing. Budaya mobilisasi massa dan egalitarianisme juga ninggalin warisan rasa tanggungjawab kolektif di politik China. Tapi tragedi kelaparan dan ekstremisme ideologi nunjukkin gimana revolusi tanpa rem bisa makan anaknya sendiri.Singkatnya, proyek Mao bikin China modern mungkin terjadi, tapi juga bikin rakyatnya menderita hebat. Doski berhasil ngebuang feodalisme dan imperialisme, tapi di saat paling radikal, kebijakannya justru jadi belenggu baru yang nyiksa rakyat.Ketika negara-negara pindah ke paham Komunisme—entah itu Uni Soviet, Cina, Kamboja, atau lainnya—para pemimpinnya merasa mereka gak cuma ganti pemerintahan, tapi mau bikin ulang seluruh tatanan masyarakat. Nah, agama dan kepercayaan tradisional dianggap sebagai penghalang, karena isinya loyalitas lama, hierarki lama, dan cara berpikir lama yang bikin revolusi susah jalan.Ideologi Komunis sendiri berangkat dari ucapan Marx yang terkenal: agama itu “candu rakyat.” Jadi, bagi mereka, iman dianggap bukan cuma khayalan, tapi juga alat kaum elit buat bikin rakyat pasrah. Gereja, masjid, pura, sampai kelenteng, dipandang sebagai saingan partai: pusat kekuasaan dan loyalitas di luar kendali negara. Maka, ngehapus atau menekan agama dianggap perlu supaya rakyat “bebas” dari takhayul, dan biar semua loyal ke partai dan ideologi baru.Masalahnya, revolusi Komunis biasanya lahir di tengah perang saudara dan kekacauan. Di situ, batas antara “mendidik rakyat” dan “menekan brutal” jadi kabur banget. Buat ngancurin kekuatan para tuan tanah, bangsawan, atau pemimpin tradisional, kekerasan dipakai besar-besaran: musuh dibunuh, sisanya ditakut-takutin biar nurut. Karena pemuka agama sering jadi simbol otoritas moral alternatif, mereka otomatis masuk daftar sasaran utama.Di China era Mao, biara ditutup, kuil dihancurin, orang beriman dipaksa sembunyi-sembunyi. Di Uni Soviet, pendeta, imam, dan rabi ditangkep atau dibunuh, sementara ateisme diajarin sebagai doktrin negara. Di Kamboja, Khmer Merah bahkan ngeksekusi biksu dan melenyapkan komunitas agama seutuhnya. Pola ini bukan kebetulan, tapi bagian dari keyakinan Komunis bahwa bikin “manusia baru” cuma bisa lewat penghancuran kepercayaan lama—meski harus bayar dengan nyawa jutaan orang.Tapi seiring waktu, beberapa negara Komunis sadar represi total itu nggak bisa bertahan. Setelah Mao wafat, China mulai ngasih ruang buat agama, tapi tetep diawasi negara. Uni Soviet bahkan sempet ngidupin kembali Gereja Ortodoks buat nyemangatin rakyat pas Perang Dunia II. Jadi, meski Komunisme awalnya anti banget sama agama, ternyata ngilangin spiritualitas manusia 100% mustahil, karena keyakinan udah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.Memang unik banget: negara-negara Komunis yang mau ngilangin agama malah sering bikin “agama baru” versi politik—yaitu kultus partai dan pemujaan pemimpin. Ini bukan kebetulan, tapi karena manusia sejak dulu selalu butuh simbol makna tertinggi, ritual kebersamaan, dan figur otoritas yang dianggap mewakili ideal. Begitu agama ditekan, kebutuhan itu nggak hilang, tapi dialihin ke bentuk lain.Secara teori, Marxisme bilang iman pada Tuhan harus diganti dengan iman pada manusia dan sejarah, dengan Partai Komunis jadi “nabi” yang ngarahin rakyat menuju pembebasan. Tapi di lapangan, ini sering berubah jadi devosi baru: Lenin, Stalin, Mao, sampai Kim Il-Sung dijadikan figur suci. Foto-foto mereka ganti ikon, slogan partai ganti kitab suci, rapat akbar ganti festival keagamaan. Janji kemenangan terakhir melawan kapitalisme berfungsi kayak doktrin keselamatan: bukan surga di akhirat, tapi surga masyarakat tanpa kelas di dunia.Di Cina, Buku Merah Kecil Mao diperlakukan kayak kitab suci—harus dibawa, dihafal, dan dikutip setiap hari. Di Uni Soviet, wajah Lenin dan Stalin ada dimana-mana, dan kesetiaan ke partai jadi ukuran moral. Di Korea Utara, pemujaan keluarga Kim malah bener-bener mirip agama, lengkap dengan mitos kelahiran ajaib dan bimbingan ilahi. Pola ini nunjukin: meski agama dihajar habis, “naluri spiritual” manusia malah balik lewat jalur politik, dengan perjuangan revolusi dijadiin sakral, dan pemimpin dijadikan simbol takdir.Fungsi politiknya jelas: lewat ritual loyalitas ke partai dan pemimpin, rezim bisa jaga persatuan, bungkam oposisi, dan ngarahin energi jutaan orang ke proyek kolektif. Tapi risikonya gede: masyarakat bisa jatuh ke dalam ketaatan buta, kreativitas macet, serta keberagaman ide dan pemikiran hilang. Ironisnya, perang Komunis melawan agama justru nunjukkin bahwa manusia nggak bisa hidup tanpa iman, ritual, dan rasa transenden—cuma kali ini iman itu ditujukan ke pemimpin bumi, bukan ke Tuhan langit.Kita lanjutin soal kultus kepemimpinan Komunis ini ke bagian berikut ya!
[Bagian 10]